“Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti
air, dan kebenaran seperti sungai-sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:24)
Dalam
tahun-tahun terakhir ini istilah “evangelisasi baru” berkumandang di mana-mana
dan mendorong banyak orang untuk semakin mendalami maknanya. Evangelisasi sama sekali
bukanlah kegiatan misioner untuk mewartakan Injil semata-mata dengan tujuan
membaptis orang sebanyak-banyaknya, sebagaimana pernah dipahami di masa-masa
lalu. Evangelisasi sesungguhnya adalah usaha mewartakan kabar gembira tentang
Yesus Kristus kepada umat manusia dalam seluruh aspek kehidupannya (bdk. Evangelii Nuntiandi 14;18). Kalau kini
banyak dibicarakan tentang evangelisasi baru, di manakah sebenarnya letak
kebaruan ini? Kebaruan itu terletak pada semangat, metode dan ungkapannya.Dalam
konteks kita yang tinggal di salah satu negara di Asia, yang rata-rata
berkembang dengan irama pembangunan yang cepat, evangelisasi baru ini perlu
menemukan ungkapannya dengan mengindahkan nilai-nilai yang diajarkan Injil,
sementara melaksanakan pembangunan. Damai sejahtera yang diwartakan Yesus
Kristus sendiri tidaklah mempunyai sisi rohani saja, melainkan mencakup seluruh
segi kehidupan manusia. Pembangunan yang dilakukan setiap negara juga mempunyai
tujuan agar setiap warga negara memperoleh kesejahteraan lahir dan batin
sebagai manusia seutuhnya. Kesejahteraan ini tidaklah dimaksudkan bagi
segelintir orang saja yang memiliki privilese khusus, melainkan harus
diusahakan agar sampai ke segenap orang. Sila kelima dasar negara kita,
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bahkan secara nyata menegaskan
hal ini. Oleh karena itu, pembangunan negara harus berarti pula pembangunan
keadilan masyarakatnya.
Keadilan sosial
adalah tema yang telah begitu lama menjadi keprihatinan ilahi. Pada abad VIII
sebelum Masehi Tuhan, lewat nabinya, Amos, berbicara tegas mengenai soal ini,
saat kaum pilihan Tuhan mengabaikan nilai utama ini. Dari Amos setiap orang
bisa belajar banyak tentang kehendak ilahi akan keadilan dalam kehidupan
bersama dan akan luhurnya martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kelalaian
dalam mempraktekkan keadilan akan menghantarkan pada situasi yang semakin
parah, yang pada jaman Amos diyakini sebagai hukuman Tuhan sendiri.
LATAR BELAKANG NABI
1. SIAPAKAH NABI
Informasi
tentang siapakah Amos hanya dapat diperoleh secara terbatas dalam kitabnya. Di
dalamnya tidak tertulis kapan dan di mana ia lahir dan mati serta kapan ia
menerima panggilan kenabian. Namun demikian, di awal kitabnya diberikan
petunjuk kapan ia menjalankan karya kenabiannya, yakni “pada jaman raja Uzia
dari Yehuda dan pada jaman raja Yerobeam II dari Israel” (Amos 1:1). Inilah
saat Israel mencapai kemapanan politis dan kesejahteraan ekonomis, karena
hilangnya ancaman musuh dari luar dan karena berkembangnya perdagangan dengan
negara tetangga. Namun situasi aman sejahtera ini justru menjadi sasaran kritik
Amos, karena menyimpan ketimpangan sosial yang menjadikan kaum miskin dan lemah
sebagai korban.
Dengan rendah
hati Amos menyatakan dirinya sebagai “seorang peternak domba dari Tekoa” (Amos
1:1), “seorang penggembala dan pengumpul buah ara” (Amos 7:14). Tekoa adalah
satu desa kecil sekitar 17 kilometer di sebelah selatan Yerusalem di ujung
barat gurun Yudea. Latar belakang pekerjaannya ini mempengaruhi
ungkapan-ungkapan dalam kitabnya yang seringkali menyebutkan keakrabannya
dengan padang penggembalaan dan dunia pertanian. Hanya semata-mata karena
panggilan Tuhanlah, Amos meninggalkan pekerjaannya semula dan menjalankan tugas
kenabiannya bagi umat Israel. Dalam konfliknya dengan imam Amazia, Amos
samasekali menolak anggapan Amazia bahwa ia adalah nabi profesional, yang
bernubuat demi nafkah: “Aku ini bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan
nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan. Tetapi
Tuhan mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan Tuhan
berfirman kepadaku: Pergilah, bernubuatlah terhadap umatKu Israel” (Amos
7:14-18).
Panggilan
kenabian dari Tuhan ini tak tertahankan olehnya. Amos masuk dalam situasi yang
membuatnya tak kuasa menolak panggilan ini. Ia mengkiaskan hal ini dengan
pengalamannya menggembala, ketika ia menghadapi singa yang tentu membuat setiap
gembala diliputi ketakutan luar biasa. “Singa telah mengaum, siapakah yang
tidak takut? Tuhan Allah telah berfirman, siapakah yang tidak bernubuat?”
(Amos 3:8).
Dengan tegar
nabi bernubuat bahwa Israel karena kejahatan sosialnya terhadap bangsa mereka
sendiri, akan menghadapi hukuman definitif Tuhan. Tanpa takut ia menubuatkan
masa depan yang suram seperti ini: “Sebab beginilah dikatakan Amos: Yerobeam
akan mati terbunuh oleh pedang dan Israel pasti pergi dari tanahnya sebagai
orang buangan.” (Amos 7:11). Ini pewartaan yang tidak populer dan tidak enak
didengarkan, namun tetap dijalankannya, dengan mengambil resiko ditolak oleh
kaum mapan, sebagaimana diwakili oleh imam Amazia yang menyuruhnya untuk tutup
mulut dan mengusirnya keluar dari Israel (bdk 7:12-13).
Dari gaya
bahasanya yang berani dan tidak kompromis, diberi kesan bahwa ia berusia muda.
Namun situasi ketidakadilan yang dihadapi Amos kemungkinan besar akan menggugah
setiap orang yang tertindas, bahkan juga orang tua, untuk melakukan protes
dengan cara yang sama dengan yang dilakukan Amos.
2. SITUASI JAMAN AMOS
Dalam awal kitab
Amos diberi petunjuk kapan Amos menjalankan pewartaannya, yakni: “pada jaman
raja Uzia dari Yehudia (785-733) dan pada jaman raja Yerobeam II dari Israel
(789-748)” Pada jaman ini, Israel mencapai puncak kejayaan politik dan ekonomi.
Ancaman militer dari negara sekitar terhadap raja-raja yang mendahului Yerobeam
dan Uzia, tidak ada lagi karena semakin lemahnya kekuasaan Asyur dan Mesir.
Kesempatan ini dipergunakan Yerobeam untuk meluaskan batas-batas kerajaan: di
daerah timur hingga Lodabar (Amos 6:13) dan di daerah utara hingga Lebo-Hamat (bdk.
2 Raja 14:25). Ekspansi geografis ini disertai dengan perkembangan pesat
perdagangan dengan negara tetangga, sehingga terciptalah sekelompok kecil kaum
kaya raya. Kekayaan yang dengan cepat mereka kumpulkan membuat mereka mempunyai
gaya hidup yang sangat mewah. Ini terungkap dalam kecintaan mereka untuk
mendirikan bangunan megah penuh hiasan mewah (Amos 3:15; 5:11; 6:4-6) dan
mengadakan pesta pora meriah (Amos 2:8; 4:1). Hal yang tertulis dalam Kitab
Amos ini juga bisa dibuktikan dari penggalian arkeologis di Samaria. Sangat
ironis, bahwa mereka yang mendapatkan keuntungan dari kesejahteraan ekonomis
ini mengumpulkan harta mereka dengan melakukan penindasan kepada mayoritas kaum
miskin dan lemah dan menjadikan kaum kecil ini sebagai korban keserakahan
mereka.
Kemewahan ini
muncul pula dalam ibadat-ibadat mereka di Betel dan Gilgal (Amos 4:4-5;
5:21-23). Yang mereka ungkapkan dalam ibadat ini adalah ‘rasa syukur’ mereka
pada Tuhan yang - dalam anggapan mereka - melimpahi mereka dengan
kesejahteraan. Ibadat memberi mereka rasa tenteram (yang palsu) bahwa Tuhan ada
di pihak mereka dan menjamin masa depan mereka, entah apa saja yang mereka
lakukan. Di mata Amos, ibadat-ibadat yang mereka lakukan ini kehilangan makna
karena terlepas dari praktek hidup sehari-hari. Tidak pernah ibadat kepada
Tuhan bisa menggantikan tingkah laku moral. Sikap keagamaan sementara orang
yang merasa aman dan tenang dengan melakukan ibadat-ibadat seperti ini, menjadi
sasaran kecaman Amos. Ada hal baru yang kiranya diwartakan Amos: moralitas
tidak hanya merupakan hal penting dalam menentukan masa depan bangsanya,
melainkan justru menjadi hal yang utama. Sementara nabi-nabi lain pada umumnya
mewartakan bahwa ibadat kepada dewalah yang menghantarkan Israel kepada
kehancuran, Amos justru menegaskan soal tingkah laku moral ini sebagai faktor
penentu masa depan Israel. Amos tidak pernah samasekali bicara tentang ibadat
kepada dewa ini, kecuali dalam dua ayat yang konteksnya khusus (Amos 5:26;
8:14).
Dalam situasi
seperti inilah sang gembala dari Tekoa muncul dan dengan penuh keberanian
melakukan kritik terhadap masyarakatnya, terutama pada mereka yang bertanggungjawab
atas situasi ketidakadilan ini dan kepada mereka yang mempunyai sikap religius
keliru. Ia mengecam hal-hal yangmereka lakukan: penyuapan di pengadilan,
korupsi, penyelewengan, ketidakjujuran, eksploitasi kaum lemah, kemewahan dan
pesta berlebihan, sikap rakus dan rasa tenteram yang palsu, sikap sombong bahwa
Tuhan pasti melindungi mereka. Menurut Amos cara hidup seperti ini, yang sering
dibebankan kepada penderitaan kaum kecil demi kepuasan mereka sendiri, hanyalah
akan mengantarkan mereka pada ‘hari Tuhan’ (Amos 5:18-20).
3. STRUKTUR DAN ISI BUKU
Kitab Amos
mempunyai petunjuk-petunjuk sastra yang sangat membantu untuk menentukan
struktur keseluruhan kitab dan melakukan pengelompokan tema. Secara garis besar
Kitab Amos terdiri dari unsur-unsur sejenis yang dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
·
nubuat melawan bangsa-bangsa, yang memuncak
dalam nubuat melawan Israel (bab 1-2)
·
nubuat-nubuat melawan Israel (bab 3-6; 8:4-14;
9:7-10)
·
nubuat-nubuat terpisah mengenai pujian pada
Allah (mis. Amos 4:13; 5:8 dan 9:5-6)
·
kelima penglihatan (Amos 7:1-9; 8:1-3; 9:1-4)
·
nubuat akhir mengenai keselamatan (Amos 9:11-15)
Nubuat-nubuat di
atas disusun dalam bentuk yang relatif teratur dan rumusan-rumusan yang sama,
sebagaimana terlihat di bawah ini:
1:3
Beginilah firman Tuhan (kepada Damsyik)
1:6
Beginilah firman Tuhan (kepada Gaza)
1:9
Beginilah firman Tuhan (kepada Tirus)
1:11
Beginilah firman Tuhan (kepada Edom)
1:13
Beginilah firman Tuhan (kepada Amon)
2:1
Beginilah firman Tuhan (kepada Moab)
2:4
Beginilah firman Tuhan (kepada Yehuda)
2:6
Beginilah firman Tuhan (kepada Israel)
3:1
Dengarkanlah firman ini
4:1
Dengarkanlah firman ini
5:1
Dengarkanlah firman ini
5:7
Celakalah ....
5:1
Celakalah ....
6:1
Celakalah ....
7:1
Inilah yang diperlihatkan Tuhan Allah kepadaku.
7:4
Inilah yang diperlihatkan Tuhan Allah kepadaku.
7:7
Inilah yang diperlihatkan Tuhan Allah kepadaku.
(Amos 7:10-17: konflik dengan
Amazia)
8:1
Inilah yang diperlihatkan Tuhan Allah kepadaku.
8:4
Dengarkanlah ini
9:1:
Kulihat Tuhan ....
Dalam
nubuat-nubuat pertama melawan bangsa-bangsa dapat diamati keteraturan yang
diciptakan oleh struktur masing-masing nubuat yang saling sejajar dan
rumusan-rumusan yang dipakai pun pada dasarnya sama. Namun demikian selanjutnya
muncul kekurang-teraturan: Nubuat-nubuat yang dimulai dengan “Dengarkanlah firman
ini” meloncat dari kelompok Amos 3:1; Amos 4:1 dan Amos 5:1 jauh ke Amos 8:4.
Demikian juga kelima penglihatan Amos tidak terkelompok baik. Setelah
penglihatan ketiga muncullah sisipan prosa konflik nabi dengan imam Amazia;
lalu barulah ditampilkan penglihatan keempat yang juga terletak terpisah dari
penglihatan kelima. Bagaimana hal seperti ini diterangkan? Kemungkinan besar
karena penglihatan ketiga berkaitan dengan raja Yerobeam, maka masuk akallah
menyelipkan konflik nabi dengan Amazia, yang dimulai dengan nubuat nabi tentang
raja ini. Sementara itu Amos 8:4 dan seterusnya mau memberi alasan tentang
hukuman yang akan dialami Israel, karena penglihatan-penglihatan sebelumnya
tidak memberi alasan apa-apa. Hal-hal seperti ini memberi petunjuk bahwa Kitab
Amos tidak berasal dari nabi sendiri, melainkan disusun berkali-kali dengan
melewati proses redaksi dari orang lain, entah muridnya atau orang lain yang
menyunting Kitab Amos di masa kemudian.
Setelah diawali
dengan pemberian judul buku (Amos 1:1) dan kata pengantar (Amos 1:2) isi Kitab
Amos adalah sebagai berikut:
·
Nubuat-nubuat melawan bangsa-bangsa asing yang
memuncak dalam nubuat melawan Israel (Amos 1:3-2:16). Dalam nubuat yang
terakhir ini dibeberkan secara lebih rinci kejahatan-kejahatan Israel dan
hukuman yang akan menimpa mereka. Bagian ini sungguh penting, karena di sinilah
Tuhan ditampilkan sebagai pembela keadilan bagi semua bangsa. Ia memakai ukuran
yang sama untuk mengadili, tanpa peduli bahwa Israel memahami diri sebagai
bangsa terpilih.
·
Nubuat-nubuat melawan Israel (Amos 3:1-6:14). Di
bagian ini nabi mengecam kejahatan-kejahatan moral Israel seperti ketidakdilan
dalam hidup bersama, kemewahan, penindasan kaum lemah, sikap tidak mau
bertobat, ibadat palsu dan rasa tenteram keliru dan kesombongan mereka yang
kaya. Karena hubungan khusus Tuhan dan Israel, Tuhan melakukan perhitungan
dengan bangsa ini dengan menghukum mereka (Amos 3:2). Inilah ‘hari Tuhan’ yang
tidak bisa dielakkan (Amos 5:18-20).
·
Kelima penglihatan (Amos 7:1-9:10) yang disela
oleh kisah konflik nabi dengan imam Amazia diantara penglihatan ketiga dan
keempat. Kelima penglihatan ini menyatakan bahwa hukuman bagi Israel sudah
diambang pintu.
·
Nubuat keselamatan (Amos 9:11-15). Dua hal dituliskan
di sini: yang pertama mengenai pemulihan kembali dinasti raja Daud; yang kedua
mengenai situasi sejahtera di masa datang bagi umat Israel. Mengingat sebelum
bagian akhir Kitab Amos ini nabi tidak pernah memberi harapan akan pertobatan
dan keselamatan, para ahli menaruh curiga bahwa bagian ini merupakan tambahan
pada masa setelah Amos.
POKOK-POKOK UTAMA PEWARTAAN AMOS
1. KEADILAN SOSIAL
Membaca Kitab
Amos, orang segera memperoleh kesan kuat bahwa nabi adalah pembela keadilan.
Namun perlu dicatat, bahwa apa yang diwartakannya bukanlah hasil renungan dan
pertimbangan nabi sendiri. Amos memiliki kesadaran total bahwa ia semata-mata
bicara atas nama Allah. Apa yang diucapkannya adalah pewartaan seorang utusan
Allah. Sangat kerap dalam bukunya Amos menggarisbawahi apa yang dikatakannya
dengan rumusan pengutusan ini, “Beginilah firman Tuhan”.
Dalam urutan
nubuat-nubuat melawan bangsa-bangsa yang memuncak dalam nubuat melawan Israel
(Amos 1:3-2:16), nyatalah bahwa Israel dikecam dan diancam dengan hukuman
karena kegagalan merekamempraktekkan keadilan bagi sesama bangsanya. Dalam
bagian ini bisa dilihat struktur masing-masing nubuat yang sejajar:
·
rumusan pengutusan: “Beginilah firman TUHAN”
·
penggunaan urutan tiga-empat dan keputusan
definitif Allah untuk menghukum: “Karena tiga perbuatan jahat (bangsa
tertentu), bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusanKu:
·
alasan untuk menghukum: “Oleh karena ....”
·
bentuk hukuman: api
Tabel di bawah ini mengutip dari
Kitab Suci alasan-alasan mengapa bangsa-bangsa tetangga Israel dikecam oleh
Amos.
BANGSA
ALASAN UNTUK MENGHUKUM
DAMSYIK
karena mereka telah mengirik Gilead dengan eretan pengirik
dari besi, (Amos 1:3c)
GAZA
karena mereka telah mengangkut
ke dalam pembuangan suatu bangsa seluruhnya, untuk diserahkan kepada Edom,
(Amos 1:6c)
TIRUS
karena mereka telah
menyerahkan tertawan suatu bangsa seluruhnya kepada Edom dan tidak mengingat
perjanjian persaudaraan, (Amos 1:9c)
EDOM
karena ia mengejar saudaranya dengan
pedang dan mengekang belas kasihannya, memendamkan amarahnya untuk selamanya
dan menyimpan gemasnya untuk seterusnya, (Amos 1:11c)
AMON
karena mereka membelah perut
perempuan-perempuan hamil di Gilead dengan maksud meluaskan daerah mereka
sendiri, (Amos 1:13c)
MOAB
karena ia telah membakar
tulang-tulang raja Edom menjadi kapur, (Amos 2:1c)
YEHUDA
karena mereka telah menolak hukum TUHAN, dan tidak
berpegang pada ketetapan-ketetapannya, tetapi disesatkan oleh dewa-dewa
kebohongannya, yang diikuti oleh nenek moyangnya, (Amos 2:4c)
Alasan-alasan di
atas semuanya berkaitan dengan kejahatan perang terhadap bangsa lain, kecuali
alasan untuk menghukum Yehuda, yang dicurigai sebagai tambahan dari kaum
Deuteronomistis, yakni penyunting Kitab Suci yang sangat menekankan hubungan
umat terpilih dengan Tuhan. Tidak demikian halnya dengan nubuat melawan Israel
(Amos 2:6-16). Dari segi struktur nubuat, ada kesamaan. Namun kalau kita
mengamati lebih teliti, kita melihat alasan yang bersifat samasekali lain dan
lebih terinci. Kini alasan itu bukan lagi soal kejahatan perang terhadap bangsa
lain, melainkan kejahatan terhadap bangsa sendiri! Israel akan menghadapi
hukuman Tuhan karena melakukan penindasan kepada saudara-saudara sebangsanya
sendiri, yang miskin dan lemah. Alasan-alasan penghukuman yang lebih terinci
dibandingkan nubuat-nubuat sebelumnya itu adalah:
·
menjual orang benar karena uang’ (penyuapan
dunia pengadilan)
·
(menjual) orang miskin karena sepasang kasut’
(penyuapan bahkan dengan barang yang nilainya sedikit sekali)
·
menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam
debu’
·
menyesatkan jalan (kehidupan) orang-orang
sengsara
·
melakukan pelecehan terhadap perempuan muda
·
melakukan pesta pora di sekitar tempat suci
(‘mezbah’) sambil berbaring di atas pakaian yang dipakai untuk jaminan gadaian.
·
bermabuk-mabukan anggur yang dibeli dari hasil
melakukan denda di tempat beribadat.
Alasan-alasan
ini masih ditambah lagi dengan menambah sisi historis, saat Israel menjadi kaum
lemah di tanah perbudakan di Mesir. Namun Allah menyelamatkan mereka hingga
tanah terjanji. Allah juga menjamin bimbingannya dengan mengirim nabi-nabi dan
kaum nazir (mereka yang berjanji kepada Allah dengan hidup asketis, yakni
dengan tidak memotong rambut dan tidak minum anggur; tokohnya, Samson dan
Samuel). Sayang, bahwa saat Israel menjadi kuat dan sejahtera, mereka justru
menindas saudara-saudara mereka sebangsa yang lemah dan miskin. Karena
kejahatan-kejahatan moral inilah Israel tak bisa mengelakkan diri dari hukuman
yang akan berupa gempa bumi (‘Aku akan mengguncangkan tempat kamu berpijak’,
Amos 2:13a). Tidak ada seorangpun yang bisa lolos dari hukuman ini.
Penulis kitab
Amos ini menyusun nubuat-nubuat melawan bangsa-bangsa ini dengan teknik retoris
yang memikat. Bayangkan, pendengar Amos adalah bangsa Israel (“Pergilah,
bernubuatlah terhadap umatKu Israel.” Amos 7:15). Pada saat mereka mendengarkan
nubuat demi nubuat kepada bangsa-bangsa di sekitar Israel, mereka akan
tenang-tenang saja. Bukankah yang dikecam nabi bukan bangsa kita? Akan tetapi
justru pada akhir nubuat-nubuat ini Amos mengecam Israel dengan tuduhan yang
lebih panjang dan rinci dan mengancam dengan hukuman yang lebih menakutkan.
Pastilah cara yang digunakan Amos ini sangat mengena dan mengejutkan
pendengarnya.
Amos
memperjuangkan keadilan bagi masyarakat bawahan. Dalam nubuatnya melawan
Israel, ia mengecam mereka yang mempraktekkan ketidakadilan kepada orang benar
(dalam arti hukum), orang miskin, orang lemah, orang-orang sengsara, perempuan
muda, mereka yang mengalami kesulitan ekonomis sehingga harus menggadaikan
pakaiannya dan tidak bisa membayar pinjaman sehingga didenda. Korban-korban
ketidakadilan ini adalah mereka yang tidak mempunyai kekuatan untuk membela hak
mereka. Dan bagi kepentingan merekalah Amos dengan tegar menyuarakan kehendak
Allah yang tidak tinggal diam saat mereka ditindas.
Tema keadilan
sosial ini selanjutnya diperkembangkan secara tersebar di dalam Kitab Amos.
·
Amos 4:1-3: wanita-wanita kaya Samaria yang
diibaratkan ‘lembu-lembu Basan’ dikecam karena gaya hidup mereka, yakni
berpesta dengan hasil pemerasan orang lemah dan miskin yang dilakukan oleh
‘tuan-tuan’ (suami-suami) mereka.
·
Amos 5;7-13: kritik Amos pada mereka yang
mengubah keadilan menjadi ‘racun’ dengan tindakan-tindakan tidak suka proses
pengadilan yang dilakukan di pintu gerbang kota, dengan pemerasan dan
penindasan orang lemah.
·
Amos 8:4-8: dengan nada yang sama Amos mengecam
mereka yang mempraktekkan ketidakadilan kepada orang lemah, sengsara dan miskin
dengan berlaku tidak jujur dalam bidang perdagangan, tidak lain demi keuntungan
sendiri.
Pada ketiga
perikop di atas hal yang sama dikatakan Amos: Kegagalan mempraktekkan keadilan
pada sesama, terutama mereka yang seharusnya dibela karena miskin, lemah dan
sengsara, mengantarkan bangsa Israel pada hukuman. Oleh karena menyaksikan
ketidakadilan dalam masyarakatnya ini, Amos mendambakan situasi saat keadilan
ini menjadi kenyataan. Katanya: “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung
seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Amos 5:24).
Kata-kata ini diucapkan nabi setelah ia menyatakan kemuakan Tuhan akan ibadat
palsu Israel. Hubungan dengan Tuhan haruslah mendapatkan dasarnya pada hubungan
yang benar dengan umatNya, bahkan umat yang mengikat perjanjian khusus dengan
Tuhan. Kegagalan dalam hubungan antar manusia ini membuat setiap ibadat
kehilangan artinya. Kata-kata di atas mengacu pada gambaran pedesaan,
lingkungan yang melatarbelakangi Amos dan pendengarnya. Tindakan-tindakan orang
Israel bisa diibaratkan seperti sumber air di gurun yang seringkali kering.
Tanaman bisa hidup hanya karena diberi air terus-menerus; demikian juga bangsa
Israel harus disirami dengan air keadilan dan kebenaran agar tetap hidup dalam
perlindungan Allah.
2. ALLAH HAKIM SEGALA BANGSA
Dari urutan
nubuat-nubuat melawan bangsa-bangsa, bisa disimpulkan hal yang lain, yakni
universalisme pemahaman akan Tuhan. Rupanya Tuhan bukanlah Allah orang Israel
saja; Ia juga adalah Allah bagi bangsa-bangsa tetangga Israel. Ia menghakimi
bangsa-bangsa dengan ukuran yang sama dengan yang Ia pakai ketika menghakimi
Israel. Allah tidak tinggal diam ketika bangsa-bangsa itu melakukan kejahatan
perang terhadap bangsa lain. Ia bertindak dengan menghukum mereka dalam bentuk
api yang ke pemukiman mereka.
Ukuran yang sama
dipakai Allah untuk menghukum Israel, justru karena Israel mengikat perjanjian
khusus dengan Allah, maka hukuman itu menjadi lebih serius. Ikatan kesetiaan
kepada Yahwe ini harus diwujudkan dengan perlakuan yang benar kepada umatNya.
Namun Israel justru tidak peduli akan hal ini dan malah memperlakukan saudara
sebangsanya sendiri dengan buruk. Karena kejahatan moral inilah, Tuhan juga
akan menghukum Israel. Di sini ada hal yang sering disebut dengan istilah
“perang suci terbalik”. Israel selalu menganggap perang mereka sebagai perang
suci, perang yang dilakukan Allah sendiri demi kemenangan mereka. Oleh karena
itu dalam setiap perang mereka tabut perjanjian, tanda kehadiran Allah, selalu
dibawa. Namun kini, oleh karena kejahatan moral mereka, Allah berbalik
menyerang Israel dengan hukuman dahsyat. Kejahatan ini membuat Allah tidak lagi
ada di pihak mereka.
Konsep akan
Tuhan sebagai hakim semua bangsa ini tersirat dari kesukaan Amos memanggil
Tuhan sebagai “Allah semesta alam” (Amos 3:13; 4:13; 5:14.15.16.25; 6:8-14;
9:5). Ialah yang menciptakan alam semesta seisinya (bdk. Amos 4:13) dan akan
bertindak ketika ciptaanNya ini melakukan hal yang tidak berkenan kepadaNya.
3. IBADAT PALSU
Sikap Amos
terhadap ibadat terkesan sangat sinis dan negatif. Dalam Amos 4:4-5 nabi
mengungkapkan sikapnya dengan nada sangat sarkastis: “Datanglah ke Betel dan
lakukanlah perbuatan jahat, ke Gilgal dan perhebatlah perbuatan jahat!” (Amos
4:4a.b.). Dalam nubuat-nubuat melawan bangsa-bangsa, kata “kejahatan” dipakai
dalam konteks hubungan antar manusia. Kini kata “perbuatan jahat” dipakai dalam
konteks hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya keduanya merupakan
ungkapan tidak taat manusia pada Tuhan. Di sini Amos samasekali tidak mengecam
orang Israel karena korban persembahan mereka yang najis atau karena mereka
melakukan penyembahan berhala. Yang dikatakan Amos adalah, bahwa semakin mereka
gencar beribadat di kedua tempat ibadat ini, semakin hebatlah mereka berbuat
jahat kepada Tuhan. Di sinilah Amos memperkenalkan segi baru bagi kehidupan beragama
Israel. Ketidakadilan sosial yang merajalela dalam hidup bersama hanya membuat
ibadat mereka sia-sia. Yang dituntut oleh Allah pada hakekatnya adalah
kehidupan moral yang baik. Ibadat justru harus membantu agar tujuan keadilan
dan kebenaran dalam masyarakat tercapai, tidak malah menjadi silih bagi
kejahatan sehari-hari. Setiap tindakan ibadat yang dilakukan oleh mereka yang
kehidupan moralnya tidak bertanggungjawab, tidak bisa diterima. Sikap Amos
sejajar dengan apa yang diwartakan Yesaya: “Untuk apa itu korbanmu yang
banyak-banyak?” (Yesaya 1:11). “Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat
baik; usahakanlah keadilan .... “ (Yesaya 1:16-17).
Sikap tidak suka
Tuhan pada kemeriahan dan kemewahan ibadat terungkap dalam Amos 5:21-27. Sangat
menarik memperhatikan bagaimana Amos menampilkan sikap tidak suka Tuhan ini
dengan gambaran antropologis, sebagaimana ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
BENTUK IBADAT
SIKAP TUHAN
5:22a:
“perkumpulan
rayamu” “Aku tidak
senang”: kata Ibrani ryh mempunyai arti membaui sesuatu yang tidak enak.
5:22.c: “korban
keselamatan”
“Aku tidak mau memandang”
5:23:
“lagu gambusmu”
“Aku tidak mau mendengar”
Ketidaksukaan ini
diungkapkan dengan sikap menutup tiga indera (penciuman, penglihatan dan
pendengaran), tanda bahwa Allah betul-betul muak dengan ungkapan-ungkapan
ibadat yang dilakukan Israel dan menolaknya secara total. Pada pokoknya, apa
yang dilakukan orang Israel dalam ibadat tidak berkenan bagi Tuhan, sama
seperti apa yang mereka lakukan dalam hidup sehari-hari.
Apakah ibadat per se, yakni ibadat sebagai ibadat,
dikecam secara habis-habisan oleh Amos? Kiranya tidak! Yang menjadi sasaran
kritik Amos adalah iabdat yang dilakukan oleh orang yang hidup sehari-harinya
dikotori oleh perbuatan jahat dan ketidakadilan terhadap sesamanya. Bagi Amos,
ibadat tidak pernah bisa menjadi silih bagi ketidakadilan yang dilakukan dalam
masyharakat. Ibadat hanya bisa diterima, sejauh ia diungkapkan oleh orang yang
hidup moralnya bisa dipertanggungjawabkan.
“Carilah yang
baik dan jangan yang jahat supaya kamu hidup; dengan demikian Tuhan, Allah
semesta alam, akan menyertai kamu, seperti yang kamu katakan.” (Amos 5:14)
Berbeda dengan
nabi-nabi yang berkarya setelahnya, Amos samasekali tidak bicara tentang ibadat
kepada berhala (kecuali di Amos 5:26 dan Amos 8:14), dosa yang biasanya menjadi
dosa turun-temurun Israel yang mengantarkan bangsa ini pada keruntuhan. Dalam
bukunya Amos mengungkapkan ide yang sungguh-sungguh baru: Bukan penyembahan
berhala, melainkan hidup moral yang jahat yang merupakan hal yang penting,
bahkan yang menentukan kejatuhan bangsa Israel di masa mendatang. Ketidakadilan
yang dilakukan Israel kepada saudara sebangsanya, inilah yang membuat Tuhan
“tidak akan menarik keputusanNya” untuk menghukum.
4. HUKUMAN TUHAN
Bagi kejahatan
Israel yang menindas bangsanya sendiri, Amos menubuatkan hukuman Tuhan:
“Sesungguhnya aku akan mengguncangkan tempat kamu berpijak seperti goncangan
kereta yang sarat dengan berkas gandum” (Amos 2:13). Ancaman hukuman ini
mengacu pada gambaran gempa bumi. Pada umumnya para ahli Kitab Suci berpendapat
bahwa hukuman Tuhan ini adalah gempa bumi. Dalam awal bukunya sendiri Amos
menyebutkan adanya gempa bumi ini, hal yang juga terbukti dari penyelidikan
arkeologis.
Dalam banyak
bagian bukunya Amos menyebutkan berbagai macam hukuman di masa mendatang
sebagai konsekuensi dari tingkah laku jahat orang Israel: dikalahkan musuh dan
dibantai (Amos 3:11), penghancuran tempat ibadat dan rumah mewah (Amos 3:14-15;
6:11), dibuang keluar Israel (Amos 4:2-3; 6:7), “hari Tuhan” yang merupakan
hari kegelapan bagi Israel (Amos 5:18-20), hari perkabungan (Amos 8:9-10),
kelaparan dan kehausan (Amos 8:11-14). Keputusan Tuhan untuk menghukum ini
tampaknya bersifat pasti, sungguh-sungguh, tak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam
nubuatnya melawan Israel Amos berkata: “Aku tidak akan menarik kembali
keputusanKu.”
Kelima penglihatan
yang dialami Amospun pada dasarnya mewahyukan hukuman yang ada di ambang pintu
ini. Pada penglihatan pertama (belalang) Tuhan menggagalkan rencananya untuk
menghukum (Amos 7:1-3), namun tidak dikatakan bahwa Ia mengampuni. Ampun tidak
diberikan, karena umat tidak bertobat. Demikian juga hal yang sama terjadi pada
penglihatan kedua (api, Amos 7:4-6). Pada penglihatan selanjutnya (tali timah,
bakul berisi buah-buah musim panas, Tuhan yang berdiri dekat mezbah dan
mengancam dengan hukuman) hukuman ini betul-betul definitif. Kata Tuhan: “Aku
tidak akan memaafkannya lagi” (Amos 7:8; 8:2). Disini kita melihat dua ciri
khas peranan kenabian, yakni perantara doa bagi kepentingan umatnya dan utusan
yang menyampaikan keputusan untuk segera menghukum. Peranan ganda selalu muncul
dalam karya pewartaan nabi. Penglihatan pertama hingga keempat mempunyai kata
pengantara yang sama: “Inilah yang diperlihatkan Tuhan Allah kepadaku” (Amos
7:1.4.7; 8:1), sementara pada penglihatan terakhir Amos telah mempunyai cukup
kepekaan, sehingga katanya: “Kulihat Tuhan ....” (Amos 9:1).
5. RASA TENTERAM YANG PALSU
“Celakalah
atas orang-orang yang merasa aman di Sion atas orang-orang yang merasa tenteram
di gunung Samaria..” (Amos 6:1)
Dengan kata-kata
diatas Amos melakukan kecamannya kepada orang-orang yang sudah hilang kepekaan
sosial dan religiusnya. Mereka kemungkinan besar terlalu sadar akan status
mereka sebagai anggota bangsa terpilih, yang mempunyai hubungan kesetiaan
dengan Yahwe. Ia dipahami sebagai Allah yang berpihak pada mereka. Bahwa mereka
menikmati kemakmuran ekonomis dan kejayaan politis, dianggap sebagai tanda
bahwa Tuhan memberikan perhatianNya pada mereka tanpa syarat. Itulah sebabnya
mereka merasa aman dan tenteram akan saat ini dan yakin akan masa depan.
Rasa tenteram
ini terutama muncul karena mereka menikmati cara hidup yang penuh kenikmatan.
Mereka mempunyai rumah-rumah besar yang dihias dengan gading (Amos 3:15; 6:4),
rumah dengan konstruksi batu pahat yang kuat (Amos 5:11). Mereka suka berpesta
pora sambil bermabuk-mabukan (Amos 2:8; 4:1; 6:4-6). Kenikmatan seperti ini
tidak mereka alami sebelumnya, saat ancaman dari negara-negara sekitar tidak
ada lagi. Orang-orang ini tidak mempersoalkan apakah kenikmatan mereka
diperoleh dengan jalan bermoral atau tidak. Amos prihatin dan meluncurkan
kecamannya justru karena mereka tega berpesta pora di atas beban penderitaan
kaum miskin yang mereka peras demi kesenangan mereka sendiri. Rasa tenteram ini
juga didukung oleh kecintaan orang akan ibadat yang meriah. Dalam ibadat
orang-orang Israel mengungkapkan hubungannya dengan Allah, yang mereka anggap
sebagai pembela Israel tanpa syarat. Padahal justru dengan praktek hidup
sehari-hari yang bertentangan dengan nilai moral, setiap ibadat ini menjadi
tanpa arti.
Tidak masuk akal
bahwa rasa aman dan tenteram ini bisa muncul, kendati hidup sehari-hari mereka
diwarnai oleh hal-hal yang berlawanan dengan ketidakdilan dan kejujuran. Amos
mengungkapkan kegundahan hatinya ini dengan berkata:
“Berlarikah
kuda di atas bukit batu, atau dibajak orangkah laut dengan lembu? Sungguh, kamu
telah mengubah keadilan menjadi racun dan hasil kebenaran menjadi ipuh” (Amos
6:12)
Pertanyaan
diatas harus dijawab dengan “tidak”. Batu karang yang tajam pasti akan merusak
kaki kuda. Demikian juga, lembu pasti tidak bisa membajak laut. Ini
bertentangan dengan kodrat alam. Namun rupanya apa yang tidak masuk akal dalam
dunia hewan terjadi pula dalam kehidupan sehari-hari orang Israel. Mereka
“mengubah keadilan menjadi racun dan hasil kebenaran menjadi ipuh” dan tetap
bisa hidup aman dan tenteram, karena kejahatan mereka anggap sebagai sesuatu
yang wajar. Memutarbalikkan keadilan dan kebenaran adalah hal yang merusak
tatanan hidup bersama dan akan membawa masyarakat pada ketidakteraturan. Bahwa
mereka bisa merasa tenteram, sungguh melawan hakekat moral kehidupan bersama.
6. HIMBAUAN UNTUK BERTOBAT
Amos sadar akan
nilai-nilai luhur yang akan membawa umat Israel pada kehidupan. Ia mengajarkan
kepada mereka agar umat jangan hanya asyik dengan ibadat dan pergi
kesana-kemari ke tempat ibadat dan berhenti pada kemeriahan ibadat saja. Ibadat
adalah sarana agar orang dapat menghayati hubungannya dengan Tuhan. Amos
menandaskan hal ini dengan berkata:
“Carilah
Aku, maka kamu akan hidup!” (Amos 5:4)
“Carilah
Tuhan, maka kamu akan hidup!” (Amos 5:6).
Di tempat lain,
Amos menyampaikan nasehat yang sama dengan lebih menekankan segi moralnya.
Beresnya tingkah laku moral ini merupakan syarat bagi penyertaan Tuhan. Tuhan
tidak akan berkenan pada umatNya yang hidup sehari-harinya diwarnai dengan
perlakuan jahat kepada sesamanya, apalagi yang miskin dan lemah.
Carilah
yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian Tuhan,
Allah semesta alam, akan menyertai kamu, seperti yang kamu katakan” (Amos
5:14)
Nasehat-nasehat
di atas menyiratkan keinginan Amos agar pendengarnya melakukan pertobatan.
Cinta akan Allah dan kebaikan akan membuat orang menjauhi kejahatan,
penindasan, keserakahan dan sikap beragama yang keliru.
Namun demikian
himbauan untuk bertobat ini rupanya tidak ditanggapi oleh orang-orang Israel.
Dalam Amos 4:6-12 ditampilkan banyak tanda yang membawa bencana pada tanaman
(ayat 6-9) dan manusia serta binatang (ayat 10). Tanda-tanda ini seharusnya
menyadarkan mereka untuk berbalik kepada Allah dan bertobat. Tetapi hati mereka
bebal dan menolak pertobatan. Sikap ini terungkap dalam refren “namun kamu
tidak berbalik kepadaKu” (Amos 4:6.8.9.10.11). Tampaknya dalam kitab Amos jalan
bagi pertobatan telah tertutup. Hal inilah yang mengantarkan umat Israel pada
hukuman Tuhan.
7. PENGHARAPAN
Meskipun hampir
seluruh Kitab Amos berbicara mengenai hukuman Allah yang tak bisa terelakkan
dan ketidakmauan umat untuk bertobat, bagian akhir memberi warna baru dengan
menyatakan janji Allah untuk memulihkan kembali dinasti Daud dan juga kehidupan
umat. Banyak ekseget sangat ragu bahwa bagian ini berasal dari Amos. Mereka,
dengan memperhatikan gaya bahasa dan pemikiran dasarnya, memperkirakan bagian
akhir Kitab Amos ini sebagai tambahan dari seorang penyunting dari masa
pembuangan atau setelah pembuangan. Demi kepentingan kita, soal penyuntingan
ini tidak perlu kita perhatikan. Kita memperhatikan teks apa adanya,
sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci.
Pengharapan ini
ditujukan pada dua hal, yakni terwujudnya kembali kejayaan kerajaan Daud dan
kembalinya masa kesejahteraan umat Israel. Kejayaan kerajaan Daud ini
diungkapkan dengan kata “mendirikan” (ayat 11); sementara pengembalian
kesejahteraan umat diungkapkan dengan kata “menanam” (ayat 15). Kejayaan
kerajaan Daud akan tercipta dengan membangun kembali dari kehancurannya dan
dengan kembali menguasai negara-negara yang pernah dikuasainya dulu.
Kesejahteraan umat akan terwujud saat alam memberikan hasil yang baik bagi
manusia dan saat manusia menemukan tempat tinggal yang aman.
Meskipun seluruh
Kitab Amos bernada suram, bagian akhir ini tetap memberikan harapan akan
keselamtan di masa mendatang. Kemungkinan besar penyunting bagian ini ingin memberikan
ajaran kepada umat Israel, bahwa dalam sejarah hidup mereka yang sangat buruk
pun, yakni pembuangan, mereka tetap harus berharap akan masa depan yang lebih
baik, ketika mereka beroleh kembali ke tanah air sendiri dan menikmati kembali
apa yang dituliskan dalam Amos 9:11-15 ini.
RENUNGAN
Apa yang dikecam
oleh Amos pada abad VIII sebelum Masehi bukanlah hal yang khas dan hanya
terjadi pada jamannya. Persoalan keadilan selalu dan harus menjadi masalah
kalau orang hidup bersama dalam masyarakat. Ada banyak prinsip yang mengatur
hubungan antar mereka; salah satunya yang penting adalah keadilan itu. Tuhan
menampilkan sikap yang sama setiap kali nilai-nilai keadilan ini hilang dalam
hidup bersama. Sadar bahwa keadilan merupakan prinsip dasar hidup bersama kita
di negara Indonesia tercinta, kita perlu merenungkan pesan-pesan Amos, yang
selalu kontekstual untuk masyarakat kita, dan setiap masyarakat di mana saja:
·
Fungsi kritis kenabian ditampilkan Amos karena
“Tuhan mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan Tuhan
berfirman kepadaku: Pergilah, bernubuatlah kepada umatKu Israel.” (Amos 7:15).
Fungsi kenabian ini tidaklah muncul dari pengamatan sosial dan renungan akal
budi saja, melainkan dari kesadaran Amos akan panggilan Tuhan. Tuhan yang
memanggil Amos adalah Tuhan yang tidak diam saja, saat umatNya, terutama mereka
yang miskin dan lemah, diperlakukan dengan tidak adil. Tuhan memakai Amos untuk
menyampaikan keprihatinanNya. Apakah panggilan ilahi bagi terciptanya keadilan
ini juga masih kita dengar?
·
Tingkah laku dalam hidup sehari-hari
(moralitas), inilah yang sangat ditekankan oleh Amos sebagai penentu masa depan
Israel. Kegagalan mereka untuk berbuat baik kepada sesama demi terciptanya
hidup bersama yang adil dan sejahtera, mengantarkan Israel kepada “hari Tuhan”
(Amos 5:18-20). Dalam pandangan Amos, inilah hari dimana Tuhan menegakkan
keadilan dengan menghukum kaum Israel yang jahat. Tak seorangpun bisa
melepaskan diri dari hukuman Tuhan, betapa hebatpun ia (Bdk. Amos 2:13-16).
Kita semua akan menghadapi pengadilan Tuhan atas dasar apa yang telah kita buat
selama hidup di dunia. Hal ini juga ditegaskan oleh Yakobus: “Jika iman itu
tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Amos 2:17).
·
Pembangunan di negara kita tercinta berjalan
begitu pesat dan menimbulkan kekaguman dunia internasional. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa roda pembangunan yang berjalan cepat, kecuali menciptakan
kesejahteraan yang dinikmati banyak orang, juga menciptakan jarak kaya - miskin
yang semakin dalam. Letupan-letupan sosial kerap terjadi karena kaum miskin
tidak digaji layak, kurang menikmati hasil pembangunan dan mendapat
perlindungan hukum yang minim. Dalam konteks inilah pewartaan Amos bisa menjadi
kontekstual dan memberi inspirasi bagi perjuangan keadilan, hal yang ditegaskan
dalam sila kelima Pancasila.
·
Kita dikenal sebagai bangsa yang religius.
Sementara di Barat, gereja-gereja semakin berkurang hadirinnya, gereja-gereja
di Indonesia malahan semakin dipenuhi umat. Peran serta dalam ibadat inilah
yang sering membuat orang dinilai hidup keagamaannya baik apabila rajin hadir
dalam kegiatan keagamaan. Dari Kitab Amos kita bisa belajar bahwa hidup
keagamaan hanya bermakna, jika hubungan dengan sesama dibina dalam nilai-nilai
keadilan.
Amos mengecam
praktek ibadat yang kehilangan maknanya, karena dilakukan oleh orang-orang yang
tidak peduli akan sesamanya dan menindas mereka yang lemah. Ibadat bukanlah
kegiatan yang bisa dipisahkan dari tingkah laku sehari-hari. Kedua-duanya
menjadi kesempatan untuk mengungkapkan dan mewujudkan apa yang mereka imani
dari Tuhan. Di kota-kota besar, kesibukan yang tanpa henti membuat orang
merasakan kerinduan rohani untuk mendapatkan kekuatan iman. Maka orang beriman
berusaha bertekun dalam kelompok-kelompok iman. Ini sesuatu yang sangat baik,
namun perlu juga dilengkapi dengan kesediaan untuk mewujudkan iman itu dalam
hidup berkeluarga, pekerjaan dan hidup bermasyarakat. Kegagalan dalam
mewujudkan kasih dalam hidup sehari-hari hanyalah akan membuat setiap ibadat
kita kehilangan nilai.