GAGASAN PENDUKUNG
BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018
“MEWARTAKAN KABAR
GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”
V. Indra Sanjaya, pr
Pendahuluan
Dalam pertemuan nasional (Pernas) yang diadakan pada tanggal 18-22 Juli
2016 di Sawangan, Bogor, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sepakat untuk
mengusung sebuah tema besar “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai
arahan selama 4 tahun ke depan. Tema itu kemudian dijabarkan dalam 4 (empat)
tema yang lebih spesifik yang akan direnungkan terutama dalam Bulan Kitab Suci
Nasional selama 4 tahun mendatang. Adapun keempat tema itu adalah sebagai
berikut:
Mewartakan Kabar Gembira
dalam Gaya Hidup Modern (2017)
Mewartakan Kabar Gembira
dalam Kemajemukan (2018)
Mewartakan Kabar Gembira
dalam Krisis Lingkungan Hidup (2019)
Mewartakan Kabar Gembira
dalam Krisis Iman dan Identitas Diri (2020)
Tema pertama sudah kita renungkan selama bulan September 2017. Sekarang ini
kita memasuki tema yang kedua, yaitu Mewartakan
Kabar Gembira dalam Kemajemukan.
Sebagaimana biasa, tema ini akan dibagi dalam 4 pertemuan mingguan dalam
rangka Bulan Kitab Suci Nasional. Tulisan ini, yang bisa diperlakukan sebagai
Gagasan Pendukung, mau menempatkan permenungan atas tema itu dalam konteks
Gereja Indonesia. Oleh karena itu, Gagasan Pendukung ini akan diawali dengan
refleksi tentang Gereja Indonesia dan panggilan mewartakan Injil sebelum nanti
dilanjutkan dengan pembahasan bahan-bahan yang merupakan barang khas Bulan
Kitab Suci Nasional.
***
Amanat Agung: Mewartakan Kabar Sukacita
Kalau kita memeras seluruh Perjanjian Baru menjadi satu ayat, mungkin yang
keluar adalah satu nats terkenal dari Injil Yohanes. “Karena Allah begitu mengasihi dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh
3,16 TB2). Seluruh narasi kekristenan sepanjang sejarah, tidak lain dan tidak
bukan sebenarnya adalah kisah tentang penjabaran nats pokok ini dalam sejarah
yang selalu berubah. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang begitu
mengasihi dunia. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal. Kekristenan adalah kisah tentang orang percaya dan
membuat orang percaya.
Untuk membuat “setiap orang” – artinya
seluruh umat manusia, tidak hanya kini dan di sini, tetapi juga yang kemudian
dan di sana – percaya kepada Anak Tunggal Bapa, perlulah ada gerakan yang
membawa Dia kepada setiap makhluk mengarungi zaman. Seperti Paulus berujar,
“Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar?
Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?
Dan bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus?” (Rom 10,14-15).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Perjanjian Baru, khususnya keempat
Injil, menempatkan karya pewartaan Kabar Gembira kepada segala makhluk ini
sebagai perutusan pokok dari Gereja semesta. Hidup Gereja praktis tidak bisa dipisahkan dari karya pewartaan Injil atau
Kabar Gembira. Setelah Gereja sendiri lahir dari pewartaan Injil dari Yesus dan
Keduabelas Rasul, maka pada gilirannya, Gereja sendiri mesti mewartakan Injil
“dengan mengutus para pewarta Injil. Gereja meletakkan dalam bibir-bibir mereka
Sabda yang menyelamatkan” (EN 15).
Setelah kisah kebangkitan dan
penampakan Yesus kepada para murid, keempat Injil dengan caranya masing-masing
menyampaikan perintah perutusan. Injil Matius mempunyai
Amanat Agung yang menjadi misi Gereja sepanjang masa, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman" (Mat
28,19-20). Perintah yang mirip bisa kita temukan dalam Injil Markus. “Pergilah
ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16,15). Injil
keempat memang tidak mempunyai perintah penginjilan dalam bentuk yang
eksplisit. Tetapi rumusan yang ada pada akhir Injil Yohanes sebenarnya
mengandaikan (akan) terjadinya karya pewartaan Injil. “Memang masih banyak
tanda mukjizat lain yang diperbuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang
tidak tertulis dalam kitab ini,
tetapi hal-hal ini telah ditulis,
supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena
percaya, kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20,30-31 Terjemahan Pribadi).
Dengan dicatat atau ditulis (Yun: graphein), kisah tentang Yesus menjadi terbekukan, terbukukan dan
terbakukan; dan dengan demikian tersedia bagi para pewarta yang nantinya akan
membawa kisah tersebut kepada setiap orang di setiap zaman dan tempat.
Lalu bagaimana dengan Injil ketiga,
yaitu Injil Lukas? Injil ini merumuskannya dengan agak berbeda. “Dalam nama-Nya
berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus disampaikan kepada
segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamulah saksi-saksi dari semuanya ini”
(Luk 24,47-48). Buku kedua Lukas, yaitu Kisah Para Rasul, menyatakannya dengan
cara yang agak berbeda, tetapi lebih terperinci. “Tetapi kamu akan menerima
kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi
saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke
ujung bumi" (Kis 1,8). Pewartaan Kabar Sukacita akan mulai dari Yerusalem,
kemudian ke seluruh Yudea dan Samaria; dan dari situ “ke ujung bumi,” sebuah lokasi
yang tidak tahu di mana persisnya.
Dari Yerusalem ke Ujung Bumi
Kisah bagaimana para murid Kristus
pertama melaksanakan tugas perutusan ini sebenarnya diceritakan dalam Kisah Para
Rasul. Kisah Para Rasul sebenarnya merupakan sebuah kisah kesaksian tentang perkembangan
Gereja dan perutusannya. Teks yang sudah dikutip di atas, yaitu Kis 1,8
sebenarnya boleh dipandang sebagai teks programatis, yang merumuskan dengan
singkat program kerja Kisah Para Rasul. Dengan demikian, seluruh Kisah Para
Rasul, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya hanyalah penjabaran dari program
kerja itu.
Perutusan menjadi saksi Kristus sampai
ke ujung bumi mengandaikan 3 (tiga) hal yang masing-masing berkaitan satu sama
lain.
a.
Ada gerakan ke luar Palestina
b.
Ada tokoh yang melaksanakan
c.
Ada pertemuan dengan budaya-budaya non-Yahudi
a.
Gerakan ke luar Palestina
Palestina bukan
“ujung bumi”; demikian juga “ujung bumi” bukan Palestina. Artinya, kalau tugas
menjadi saksi Kristus mau dilaksanakan, maka mesti ada sebuah gerakan ke luar
dari Palestina. Harus ada gerakan jemput bola. Para pewarta tidak bisa hanya
tinggal di Yerusalem dan menunggu orang-orang dari “ujung bumi” untuk datang
dan mendengarkan kisah tentang Yesus. Mereka tidak bisa bersikap seperti para
rabi Yahudi yang hanya menunggu sampai mereka didatangi oleh anak-anak muda
yang mau belajar tentang Taurat.
Memang ada
kesempatan tertentu, seperti misalnya hari Pentakosta, di mana dikatakan bahwa
pada waktu itu “di Yerusalem tinggal orang-orang Yahudi yang saleh dari segala
bangsa di bawah kolong langit” (Kis 2,5). Tetapi hal ini tidak banyak artinya
bagi pewartaan Injil, karena yang datang ke sana adalah orang-orang Yahudi yang
memang mempunyai kewajiban untuk datang berziarah ke Yerusalem tiga kali dalam
setahun (bdk. Ul 16,1-17; Kel 23,14-19). Padahal yang dimaksud dengan pewartaan
sampai ke ujung bumi adalah pewartaan yang juga menjangkau orang non-Yahudi
yang berada di dunia sana, di luar Palestina. Oleh karena itu, memang tidak ada
cara lain. Kalau kesaksian akan Yesus mau dialamatkan kepada mereka, kegiatan
misi keluar mesti dijalankan.
Dalam Kisah Para
Rasul kita memang menemukan gambaran tentang gerakan misionaris ini. Kita bisa
amati beberapa teks tertentu. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kis 2,14-40)
dan di Serambi Salomo (Kis 3,11-26), serta juga di hadapan Mahkamah Agama (Kis 4,1-22) merupakan kesaksian
para rasul pertama di Yerusalem. Kemudian pecahlah penganiayaan atas jemaat.
Penganiayaan ini memaksa orang Kristen untuk keluar dari Yerusalem. “Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang
hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar
ke seluruh daerah Yudea dan Samaria” (Kis 8,1b). Tetapi penganiayaan ini
ternyata menjadi blessing in disguise,
karena orang Kristen tidak hanya sekedar melarikan diri dari Yerusalem, tetapi
mereka juga memberitakan Injil di tempat mereka berada. “Mereka yang tersebar
itu menjelajahi seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8,4).
Mulai dari sini
gerak keluar untuk mewartakan Injil berjalan terus semakin meluas, meninggalkan
pusatnya Yerusalem. Barnabas dan Saulus sampai di Antiokhia (Kis 11,19-30).
Gerakan mereka kemudian merambah ke beberapa provinsi Romawi di Asia Kecil
(13,1-14,28; 15,40-16,8). Dari sana para misionaris awal ini menyeberang ke
tanah Yunani, ke Makedonia dan Akhaya (16,9-19.22). Kis mengakhiri narasi misionarisnya
dengan menceritakan kisah Paulus di Roma (Kis 27,1-28,31). Orang banyak
menafsirkan bahwa Roma adalah “ujung bumi”. OK lah...silakan saja. Yang jelas,
menurut Rom 15,24.28 Paulus sebenarnya masih ingin mengunjungi Spanyol.
b.
Sang Eksekutor
Program menjadi
saksi Kristus sampai ke ujung bumi seperti digariskan oleh Kis 1,8 membutuhkan
pelaksana. Siapa yang akan berangkat ke ujung bumi ini? Siapa orangnya? Ada
beberapa orang yang tampil sebagai pewarta Injil. Filipus, salah seorang dari
tujuh diakon (lihat Kis 6,5), membawa dan mewartakan Injil ke Samaria (Kis
8,4-25). Kemudian kita juga temukan nama Barnabas (Kis 13,2) ditunjuk Allah
untuk menjadi pewarta Kabar Sukacita. Tetapi di antara semua itu, ada tokoh
yang nengejutkan. Siapa yang menduga kalau sang pelaksana karya misioner ini
adalah seorang mantan “penganiaya jemaat” (bdk. Flp 3,6; 1Tim 1,13) yang
bernama Paulus atau Saulus.
Sulit dibayangkan
bahwa seorang “yang nafasnya penuh ancaman dan pembunuhan atas murid-murid
Tuhan” (bdk. Kis 9,1) ternyata kemudian berbalik 180 derajat menjadi seorang
pewarta iman yang tangguh. Hal ini hanya bisa terjadi jika memang ada suatu
kekuatan besar yang campur tangan dalam kehidupan Paulus. Kisah Para Rasul
memang menceritakan bagaimana Paulus mengalami sebuah pengalaman rohani yang
mencekam, yang akhirnya mengubah seluruh hidupnya. Sampai tiga kali pengalaman
Paulus ini diceritakan dalam Kis (Kis 9,1-19a; 22,6-16; 26,12-23). Tidak lain dan tidak bukan, Allah
sendirilah yang campur tangan di sini. “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku
untuk memberitakan nama-Ku di hadapan bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan
orang-orang Israel” (Kis 9,15).
Dalam perjalanan
selanjutnya, kita tetap melihat bagaimana Allah sendiri, melalui Roh Kudus,
mengarahkan semua perjalanan misi yang dilaksanakan oleh Paulus. Dalam Kis 13,2
Roh Kudus berkata, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang
telah Kutentukan bagi mereka." Karena disuruh Roh Kudus, mereka berangkat
ke Seleukia dan dari situ mereka berlayar ke Siprus (Kis 13,4). Narasi singkat
dalam Kis 16,6-10 menggambarkan bagaimana Roh secara eksplisit menentukan
perjalanan misi mereka.
6 Mereka melintasi tanah Frigia dan
tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di
Asia. 7 Setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh
Yesus tidak mengizinkan mereka. 8 Setelah melintasi Misia, mereka sampai di
Troas. 9 Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: Ada
seorang Makedonia berdiri di situ dan memohon kepadanya, "Menyeberanglah
kemari dan tolonglah kami!" 10 Setelah Paulus melihat penglihatan itu,
segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari
penglihatan itu kami menarik kesimpulan bahwa Allah telah memanggil kami untuk
memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.
Kisah Para Rasul sendiri merekam kisah-kisah perjalanan
misi Paulus untuk memberitakan Injil.
§ Perjalanan I :
Kis 13,4-14,28 mungkin tahun
45-58
§ Perjalanan II :
Kis 15,36-18,23 mungkin tahun
48-50
§ Perjalanan III :
Kis18,23-21,17 mungkin sekitar
52-58
§ Perjalanan IV (ke Roma) : Kis 21,15-28,31 mungkin sekitar 60 M
Kisah perjalanan ini tidak terungkap dalam surat-surat Paulus. Tetapi
sebenarnya hal ini tidak amat mengherankan. Paulus banyak mendirikan jemaat di
banyak tempat. Tetapi Paulus tidak bisa terus bersama mereka. Oleh karena itu,
tidak lama setelah jemaat setempat berdiri dan pemimpin lokal ditunjuk, Paulus
beranjak ke tempat lain untuk melanjutkan tugasnya mewartakan Injil kepada
segala bangsa. Kadang kala jemaat baru yang ia tinggalkan harus berhadapan
dengan beberapa hal yang ketika Paulus ada bersama mereka belum muncul sebagai
masalah. Karena tidak atau kurang tahu bagaimana memecahkan persoalan tersebut,
para pemimpin jemaat mungkin bertanya kepada Paulus yang sudah dalam
perjalanan. Paulus lalu menanggapinya dengan surat. Dengan demikian, isi surat
Paulus memang sebenarnya sangat terbatas, yaitu menanggapi persoalan yang
dihadapi oleh jemaat dari sudut pandang iman Kristiani. Satu kekecualian adalah
Surat Roma, karena jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus.
Dalam diri Paulus, tugas pewartaan ke ujung bumi mendapatkan pelaksananya.
Tentu saja, Paulus bukan satu-satunya misionaris abad pertama yang berkeliling
mewartakan Injil. Tetapi sebagaimana kita tahu, di balik semua itu, kita
bertemu dengan Roh Kudus yang ternyata juga memainkan peranan amat penting.
Dialah kuasa dari tempat tinggi yang dianugerahkan kepada para rasul agar
mereka dapat menjalankan tugas pewartaannya (bdk. Luk 24,49; Kis 1,8).Kisah
Para Rasul di satu pihak memang bercerita tentang Roh Kudus yang mendampingi
jemaat perdana; tetapi di lain pihak, juga merupakan kisah tentang perjalanan
para rasul, khususnya Paulus dalam mewujudkan karya pewartaan Injil ke dunia
yang lebih luas.
c.
Pertemuan dengan Budaya
Non-Yahudi
Paulus sendiri meyakini bahwa Allah menghendakinya untuk pergi mewartakan
Injil kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. “...Allah, telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan
memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku,
supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi...” (Gal
1,15-16) atau kepada “orang-orang yang tidak bersunat” (Gal 2,9). Situasi ini
membawa tiga konsekwensi penting: (1) Paulus harus pergi ke luar Palestina, (2)
itu berarti bahwa dia harus bertemu dengan budaya-budaya serta tradisi religius
non-Yahudi, (3) maka metode pewartaannya pun mesti berbeda.
Konsekwensi pertama sudah diuraikan di
atas, maka tidak akan diulang di sini. Konsekwensi kedua merupakan soal besar,
dan sampai sekarang masih merupakan salah satu pokok diskusi teologis dalam
pemikiran tentang karya misioner. Berkaitan dengan hal ini, kekristenan awal
menghadapi persoalan yang khas. Pertama-tama mesti disadari bahwa jemaat
Kristen awal adalah orang-orang Yahudi yang tentu saja hidup menurut hukum dan budaya
mereka. Di sini segera muncul persoalan: apakah menurut tradisi hukum Yahudi, pertemuan
antara para pewarta yang adalah orang Yahudi dengan orang-orang non-Yahudi bisa
dibenarkan atau dimungkinkan? Apakah pertemuan seperti ini tidak membuat orang
Yahudi menjadi najis?
Dua teks dari Kisah Para Rasul baik
dikutip di sini. Dalam Kis 10 kita menemukan sebuah kisah panjang yang dalam
Alkitab kita diberi judul Petrus dan
Kornelius. Kisah ini bisa dibagi menjadi 4 bagian:
· Ay. 1-8 : Penglihatan Kornelius di Kaisarea.[1] Dalam
penglihatan malaekat menyuruh Kornelius untuk memanggil Petrus yang sedang
berada di Yope.
· Ay. 9-18 : Penglihatan Petrus. Petrus melihat benda seperti kain lebar
diturunkan ke tanah. Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang. Kita tidak
tahu binatang apa saja yang ada di sana, tetapi dari jawaban Petrus kita bisa
menduga bahwa yang ada di sana adalah binatang najis. Ketika Petrus
diperintahkan untuk menyembelih dan memakannya, Petrus menolak karena binatang
itu haram. Tetapi suara dari sorga mengatakan, “Apa yang dinyatakan halal oleh
Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Dikatakan bahwa hal itu
terjadi sampai tiga kali.
· Ay. 19-23 : Petrus dan utusan Kornelius. Saat Petrus sedang merenungkan
pengalamannya, utusan Kornelius datang dan mengutarakan maksudnya untuk membawa
Petrus ke Kaisarea.
· Ay. 24-43 : Pertemuan Petrus dan Kornelius. Petrus sadar bahwa sebenarnya
ia sebagai orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang non-Yahudi, tetapi
karena Allah yang memerintahkannya maka ia lakukan (ay. 28). Petrus akhirnya
menyadari bahwa keselamatan Allah melalui Yesus Kristus juga diperuntukkan
bangsa-bangsa lain. “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini
dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” (ay.
47).
Pembaptisan Kornelius oleh Petrus merupakan peristiwa penting bagi
perkembangan jemaat. Petrus adalah wakil jemaat Yerusalem yang merupakan Gereja
Induk. Sementara Kornelius adalah seorang Roma, seorang non-Yahudi. Dalam Kis
11,1-18 diceritakan bahwa Petrus mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di
hadapan orang-orang bersunat di Yerusalem. “Jadi, jika Allah memberikan karunia
yang sama kepada mereka seperti kepada kita pada waktu kita percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?” (ay. 17). Dengan
demikian, pembaptisan Kornelius merupakan legitimasi dari Gereja Induk untuk
mewartakan kabar sukacita kepada bangsa-bangsa lain. Allah memang menghendaki
demikian. Dengan demikian, jalan menuju perutusan kepada bangsa-bangsa
mendapatkan lampu hijau dari Gereja Yerusalem.
Tidak hanya itu. Pengalaman Petrus yang mendapatkan penglihatan (ay. 9-18)
memberi solusi pada satu persoalan yang meski sederhana, tetapi bisa amat merepotkan.
Ketika para pewarta Kristen berangkat keluar meninggalkan dunia Yahudi dan
masuk dunia asing, mau tidak mau mereka juga harus hidup menurut gaya dunia
asing itu. Bisa dibayangkan bahwa soal makanan yang kosher menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Dalam situasi
seperti itu, suara dari surga pada ay. 15 memberikan pemecahan bagi persoalan makanan
ini. Dengan demikian, tidak ada lagi masalah bagi orang Kristen Yahudi untuk
bertemu dan bergaul, atau makan bersama dengan orang-0rang non-Yahudi.
Dengan demikian satu dimensi dari ketegangan antara budaya Yahudi dengan
budaya asing terselesaikan. Dari pihak hukum dan tradisi Yahudi kini tidak ada
lagi keberatan untuk menerima orang asing. Satu teks lagi yang juga mesti
dipertimbangkan adalah Kis 15,1-21 yang diberi judul Sidang di Yerusalem. Pertemuan ini seringkali disebut juga konsili
pertama dalam Gereja. Dalam pertemuan ini, sekali lagi konflik budaya menjadi pokok
perdebatan.
Sampai saat itu kekristenan masih melekat kuat pada agama Yahudi dengan
segala macam tradisinya, termasuk Hukum Taurat. Di beberapa tempat – terutama
di bagian awal Kis – kita melihat bagaimana para rasul berkhotbah di Bait Suci.
Tampaknya mereka masih berdoa di Bait Suci walau kemudian mereka melanjutkan
persekutuan mereka (memecahkan roti) di rumah masing-masing. Oleh karena itu,
ketika sekarang orang non-Yahudi akan menjadi kristen, pertanyaan yang mendasar
adalah: apakah mereka juga masih harus menjalankan kewajiban-kewajiban Hukum
Taurat? Secara konkret pertanyaannya adalah: apakah orang-orang non-Yahudi yang
menjadi Kristen harus juga menjalani sunat dan mengikuti Hukum Musa? Inilah
yang didiskusikan dalam Konsili Yerusalem ini.
Kita bisa mendengar gema pertentangan itu dalam Kis 15. Kita mendengar ada
kelompok yang mengatakan
"Jikalau
kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat
diselamatkan" (Kis 15,1)
"Orang-orang
bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa" (Kis
15,5)
Nanti Paulus masih harus berhadapan dengan masalah semacam ini seperti
terungkap dalam suratnya kepada jemaat Galatia.
Persoalan ini sebenarnya bukan sekedar persoalan budaya saja, tetapi juga
mempunyai implikasi amat penting bagi iman keyakinan Kristen. Yang menjadi
pokok masalah adalah apa atau siapakah yang sebenarnya memberi keselamatan?
Kristus atau Hukum Taurat? Jika untuk menjadi Kristen orang harus disunat, maka
itu berarti bahwa Kristus belum cukup untuk keselamatan manusia. Tetapi
sebaliknya, jika keselamatan datang dari Kristus, maka Hukum Taurat dengan
sendirinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Pertentangan antara Kristus
dan Hukum Taurat seperti bisa kita lihat, juga mewarnai surat Galatia dan surat
Roma.
Dalam Konsili Yerusalem, Petrus dengan jelas mengatakan,
7
"Hai Saudara-saudara, kamu tahu bahwa sejak semula Allah memilih aku dari
antara kamu, supaya dengan perantaraanku bangsa-bangsa lain mendengar berita
Injil dan menjadi percaya. 8 Allah, yang mengenal hati manusia, memberi
kesaksian untuk mereka dengan mengaruniakan Roh Kudus kepada mereka sama
seperti kepada kita, 9 dan Ia sama sekali tidak membeda-bedakan antara kita
dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. 10 Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan
meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu gandar yang tidak dapat dipikul,
baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri? 11 Sebaliknya, kita
percaya bahwa melalui anugerah Tuhan Yesus Kristus kita akan diselamatkan sama
seperti mereka juga."
Yakobus yang waktu itu menjadi pemimpin Gereja Yerusalem akhirnya
memutuskan bahwa
“Sebab
itu aku berpendapat bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka
dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, 20 tetapi kita harus
menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari hal-hal yang
telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang
mati dicekik dan dari darah” (Kis 15,19-20)
Dengan Konsili Yerusalem
ini, persoalan mengenai sunat bagi orang non-Yahudi praktis selesai. Secara
teologis dan teoretis, pewartaan kepada bangsa-bangsa lain dengan segala
konsekwensinya mendapat peneguhan dalam Konsili Yerusalem. Kini segalanya sudah
siap. Orang yang mendapatkan tugas sudah ada, restu dan lampu hijau dari Gereja
Induk sudah diberikan. Yang tersisa sekarang adalah pelaksanaannya.
Di sinilah konsekwensi yang ketiga perlu diperhatikan. Masuk ke dalam dunia
yang sama sekali berbeda, menuntut cara bergaul yang perbedaan juga. Lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, begitu kata orang. Ketika para
pewarta masih berkeliling di sekitar tanah Palestina, “di seluruh Yudea dan
Samaria”, mereka tidak menemui banyak kesulitan berarti karena mereka
berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang kebudayaan dan
tradisi religius yang sama. Mari kita lihat. Pokok utama pewartaan Kristen
kepada orang-orang Yahudi adalah bahwa Yesus Kristus merupakan pemenuhan janji
dan harapan Israel. Hal ini bisa ditangkap dan dipahami, meskipun tidak selalu
diterima, oleh orang-orang yang ada di Yudea dan Samaria. Tetapi tidak demikian
halnya ketika mereka berhadapan dengan orang-orang non-Yahudi di tanah asing.
Kitab Suci Ibrani tidak mereka kenal; Hukum Taurat tidak mereka kenal.
Pengharapan Israel akan mesias sang pembebas juga tidak mereka kenal. Oleh
karena itu, gagasan Yesus sebagai pemenuhan pengharapan Israel sama sekali
tidak laku ‘dijual’ kepada bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka memang sama
sekali tidak paham tentang hal itu. Oleh karena itu supaya pewartaan Kabar
Gembira bisa tetap berjalan, mesti dicari jalan lain.
Kisah Para Rasul sebenarnya mempunyai sebuah kisah yang persis
menggambarkan pertemuan antara kekristenan yang baru muncul dan bergerak dengan
alam pikir Yunani. Dalam kisah itu, kita bisa merasakan strategi genius yang
dijalankan Paulus ketika ia bermisi di luar Palestina. Dalam Kis 17,16-34 kita
melihat bagaimana Paulus berdebat dengan para tokoh Yunani di Areopagus. Dalam
konteks ini, Atena bisa dipandang pusat dari pewartaan ke ‘ujung bumi’, pusat
dunia kafir! Ini adalah dunia non-Yahudi! Pertemuan bersejarah antara Paulus
dengan para filosof Atena ini bisa dipandang sebagai pertemuan simbolik antara
budaya Barat dengan budaya Timur.
Sebenarnya menarik kalau kita bisa menikmati pengalaman Paulus di Areopagus
ini. Akan tetapi karena perikopa ini akan digunakan sebagai bahan permenungan
Minggu III BKSN tahun 2018 ini, maka pembahasan atas perikop yang sangat
inspiratif ini akan diletakkan agak ke belakang.
Di Ujung Bumi: Gereja di Indonesia, Gereja di Asia
Tugas perutusan yang diserahkan oleh Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya
belum berakhir. Dalam setiap dokumen Gereja yang dikeluarkan, ajakan untuk
tetap mewartakan Injil pasti terus dikumandangkan. Para murid Kristus di mana
pun mereka berada terus didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita dalam konteks
hidup mereka. Demikian juga kita. Umat Kristiani di Indonesia juga tidak
ketinggalan diajak untuk tetap bersemangat dalam mewartakan Injil.
Kita berada di Asia, dan Gereja Asia mempunyai ciri khas tertentu. Dengan
penduduk yang mencapai dua per tiga dari enam miliar penduduk dunia, Asia
merupakan benua yang paling banyak dihuni. Asia juga merupakan benua yang luar
biasa luas, merentang dari Terusan Suez yang memisahkan benua Asia dan Afrika
sampai dengan Selat Bering, Laut Jepang, dan Laut Cina Timur; dari Siberia
sampai dengan Samudera Hindia. Secara tradisional, Asia dibagi menjadi 5 daerah[2]: Asia
Tengah (misalnya, Tajikistan, Turkmekistan, Uzbekistan), Asia Timur (seperti
Cina, Jepang, Korea, Taiwan), Asia Selatan (India, Bangladesh, Pakistan, Nepal,
Srilangka), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Kambodia, Filipina,
Laos, Vietnam), dan Asia Barat yang mencakup negara-negara Timur Tengah.
Dari paparan ini, bisa dibayangkan bahwa Asia memang diwarnai oleh
pluralisme. Ada pluralisme dalam bidang linguistik, ethnik, politik, kultural,
dan tentu saja religius.
Tuhan kita Yesus Kristus lahir dan dibesarkan di benua Asia, di daerah
kecil di sebelah barat Asia. Dan sebenarnya, selain kekristenan, agama-agama
besar di dunia seperti misalnya, Yudaisme, Islam, dan Hindu, serta juga tradisi
kerohanian lain, seperti, Buddha, Tao, Konghucu, Shinto, dan yang lain lagi,
juga lahir di Asia (bdk. Ecclesia in Asia[3]
6). Ironi terbesar bagi kekristenan adalah bahwa meskipun kekristenan lahir di
Asia, ia kembali ke benua asalnya sebagai agama asing, atau bahkan lebih buruk,
agama dari mereka yang menjajah Asia, yang merupakan benua tempat kelahiran kekristenan
itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang ini, masih banyak orang
Asia yang menganggap kekristenan sebagai agama penjajah.
Dalam suasana yang sedemikian itu, bisa dibayangkan bahwa perutusan
mewartakan Kabar Sukacita mesti memperhitungkan banyak hal agar bisa
dilaksanakan dan menghasilkan buah. Justru karena menyadari bahwa bagaimana pun
tugas pewartaan ini merupakan suatu tugas, yang sekarang ini mendesak untuk
dijalankan, suatu keharusan dan hal yang agung, maka para bapa uskup Asia
secara khusus berkumpul untuk membicarakan hal ini. Dalam Sidang Paripurna FABC
I di Taipei, Taiwan tanggal 27 April 1974 ditelurkan sebuah pernyataan sidang
berjudul “Pewartaan Injil di Asia Zaman Sekarang.” Tanpa harus menguraikan
panjang lebar pernyataan sidang FABC tersebut, dapatlah kita katakan bahwa
mempertimbangkan situasi Asia yang plural itu, karya pewartaan injil harus
diadakan dengan cara berdialog dengan situasi setempat. Secara khusus
ditegaskan bahwa pewartaan Injil di Asia mesti menempuh dialog rangkap tiga
atau triple dialogue, yaitu dialog
dengan bangsa-bangsa Asia, khususnya mereka yang miskin dan tersingkir; dialog
dengan budaya-budaya Asia (kontekstualisasi dan interkulturasi), dan dialog
dengan agama-agama lain (dialog antar-agama atau antar-iman).
Gereja Indonesia adalah bagian dari Gereja di Asia. Uniknya, kalau kita memperhatikan Indonesia sebenarnya boleh dipandang
sebagai miniatur benua Asia. Sebagaimana benua Asia, Indonesia juga diwarnai
oleh kemajemukan. Kemajemukan dari segi budaya dan dari segi agama – walaupun
secara resmi Pemerintah Indonesia hanya menerima enam agama menjadi ciri
kehidupan Gereja di Indonesia. Tentang kemajemukan ini, Pater John Prior dari
STFK Ledalero melukiskan, “Politely ask to photograph half a dozen Indonesians
hailing from different islands, and you will not immediately recognize them as
coming from a single nation”[4]. Selain
itu, mesti diakui juga bahwa kemiskinan atau jurang antara yang miskin dan yang
kaya rasanya juga menjadi masalah di Indonesia. Kalau demikian, maka tidak
keliru jika dikatakan bahwa pewartaan Injil di Indonesia kiranya juga mesti
memperhatikan triple dialogue ini.
Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan: BKSN 2018
Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2018 ini mengambil tema “Mewartakan Kabar
Gembira dalam Kemajemukan.” Seperti sudah dikatakan sebelumnya, selama empat
tahun (2017-2020) BKSN akan merenungkan “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman”
sebagai tema besar. “Mewartakan Injil” menjadi fokus utama, sementara untuk
tahun 2018 ini, kekhasannya terletak pada kata “kemajemukan.” Dengan demikian,
tema BKSN 2018 ini sungguh sesuai dengan situasi Gereja Indonesia yang di satu
pihak, tetap dipanggil dan didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita; tetapi di
lain pihak, hidup dalam kemajemukan, sebuah situasi yang menuntut perhatian
khusus.
Karena situasi yang mirip ini, maka arahan FABC berkaitan dengan triple dialogue yang mesti mengiringi
perutusan pewartaan Kabar Sukacita, kiranya juga relevan untuk Gereja
Indonesia. Oleh karena itu, dalam BKSN tahun ini kita akan merenungkan
panggilan mewartakan Injil dengan memperhatikan triple dialogue ini. Berturut-turut kita akan merenungkan:
a.
Dialog dalam kemajemukan
kaya – miskin
b.
Dialog dalam kemajemukan
budaya
c.
Dialog dalam kemajemukan
agama
Kemudian untuk yang keempat? Marilah kita menyadari bahwa kekristenan
sendiri merupakan sesuatu yang majemuk. Jika Anda sempat sampai ke Gereja Makam
Suci di Yerusalem, di sanalah Anda akan melihat sesuatu yang sangat ironis.
Justru di tempat di mana Yesus pernah dimakamkan, di sana terlihat perpecahan
para pengikut-Nya. Oleh karena itu, pada minggu IV BKSN, kita merenungkan
bersama kemajemukan yang de facto
terdapat dalam Tubuh Kristus atau Gereja sendiri.
Untuk pendalaman Kitab Suci di masing-masing minggu, beberapa teks bisa
ditawarkan.
Minggu I : dialog dengan
kemiskinan - Mat
14,13-21
Minggu II : dialog dengan budaya - Mat 1,18-25
Minggu III : dialog dengan agama
lain - Mrk 9,38-41
Minggu IV : dialog dengan Gereja
lain - Yoh 17,20-23
Pada bagian berikut ini, teks-teks ini akan diperdalam untuk memperjelas
bagaimana masing-masing teks bisa berperan dalam mengolah tema-tema mingguan.
Harus diakui bahwa teks-teks yang dipilih ini tidak langsung jelas
berkaitan dengan tema yang sedang direnungkan. Mengapa demikian? Karena
tema-tema yang dibicarakan dalam masing-masing pertemuan sebenarnya merupakan
refleksi kemudian yang dihasilkan dalam perjalanan Gereja atau boleh dikatakan
bahwa tema-tema itu adalah tema-tema modern, kecuali misalnya tema kemiskinan.
Dialog dengan kebudayaan atau dengan agama lain, bukanlah keprihatinan utama Gereja
Awal. Tidak mengherankan kalau untuk tema-tema tersebut sulit atau tidak bisa
ditemukan teks-teks alkitabiah yang langsung berkaitan dengan tema.
***
Minggu I
Dialog dengan Yang Miskin & Tersingkir
Mat 14,13-21
13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan
hendak menyendiri dengan perahu ke tempat yang terpencil. Tetapi orang banyak
mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota
mereka.14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya,
maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan
mereka yang sakit.
15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, "Tempat
ini terpencil dan hari mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya
mereka dapat membeli makanan di desa-desa."16 Tetapi Yesus berkata kepada
mereka, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka
makan."17 Jawab mereka, "Yang ada pada kami di sini hanya lima roti
dan dua ikan."18 Yesus berkata, "Bawalah kemari kepada-Ku."
19 Lalu Ia menyuruh orang banyak itu duduk di rumput. Setelah diambil-Nya
lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia
memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu
murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak.20 Mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang
mengumpulkan potongan-potongan roti yang lebih, sebanyak dua belas bakul penuh.
21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan
dan anak-anak.22 Sesudah itu Yesus segera mendesak murid-murid-Nya naik ke
perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak
pulang.
Pendalaman Teks
Kisah mukjizat pergandaan roti adalah satu-satunya kisah mukjizat yang
terdapat dalam keempat Injil (Mrk 6,32-44; Luk 9,10-17; Yoh 6,1-15). Injil
Yohanes yang biasanya mempunyai bahan-bahan yang berbeda dari injil sinoptik
ternyata juga mempunyai kisah pergandaan roti ini. Secara sederhana perikop ini
bisa disusun sebagai berikut:
-
ay. 13-14 : pendahuluan - penyembuhan
-
ay. 15-18 : diskusi antara Yesus dan para murid
-
ay. 19-21 : mukjizat pergandaan roti dan
hasilnya
Ay. 13-14: Pendahuluan – Penyembuhan
Dua ayat ini merupakan ayat peralihan dan sekaligus mempersiapkan pembaca
untuk episode berikutnya. Akhir perikop sebelumnya mencatat bahwa murid-murid
Yohanes Pembaptis memberitahukan kematian gurunya kepada Yesus (ay. 12).
Perikop selanjutnya yang akan kita bahas, menggambarkan reaksi Yesus setelah
mendengar berita ini. Dengan peralihan ini mau dikatakan bahwa dua perikop (Mat
14,1-12 dengan 14,13-21) ini berhubungan erat. Meskipun topiknya kurang lebih
mirip, tetapi ada kontras tajam antara keduanya. Perikop Mat 14,1-12 berbicara
tentang pesta ulang tahun dan perjamuan yang diadakan Herodes (bdk. Mrk 6,21 perjamuan) yang berakhir dengan kematian
Yohanes Pembaptis; sementara Mat 14,13-21 juga berbicara tentang makan bersama
yang diselenggarakan oleh Yesus, tetapi berakhir dengan kepuasan. “Mereka
semuanya makan sampai kenyang” (Mat 14,20).
Setelah mendengar berita itu, Yesus menyingkir untuk menyendiri. Dalam Mat
4,12 juga dikatakan bahwa ketika Yesus mendengar bahwa Yohanes ditangkap oleh
Herodes Antipas, Ia menyingkir ke Galilea. Kata “menyingkir” ini memang
beberapa kali digunakan Yesus (lihat juga Mat 2,12; 12,15; 15,21). Tampaknya
Yesus memang mau menyingkir dari Herodes karena belum waktunya. Ia masih harus
mengerjakan karya perutusan-Nya dan tidak mau bertemu dengan Herodes di saat
yang terlalu awal. Kalau Yesus menyingkir dengan naik perahu ke tempat
terpencil, tampaknya Ia mau meninggalkan daerah Herodes Antipas dan memasuki
daerah Filipus di sisi timur utara Danau Galilea.
Tetapi ternyata orang banyak tidak membiarkan Yesus sendirian. Mereka lalu
menyusul melalui jalan darat. Dan ketika akhirnya Yesus bertemu dengan orang
banyak itu tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan dan menyembuhkan mereka yang
sakit (ay. 14). Orang banyak yang sama inilah yang nantinya akan makan dan
dikenyangkan dalam bagian berikutnya. Dengan demikian, mereka tidak hanya
mengalami penyembuhan, tetapi juga dikenyangkan! Yesus tidak saja tampil
sebagai penyembuh penyakit, tetapi juga berkuasa dalam urusan kelaparan.
Ay. 15-18 Diskusi
dengan para murid
Empat ayat ini memuat dialog antara Yesus dengan para murid-Nya. Senja
sudah datang, lalu mau apa dengan orang banyak yang mengikuti Yesus ini? Para
murid memberi usulan kepada Yesus dengan menunjukkan fakta bahwa tempat itu
sepi terpencil dan hari sudah mulai malam. Waktu yang sudah semakin sore
membuat situasi menjadi semakin rumit. Kalau hari sudah benar-benar gelap,
sulit bagi orang untuk membeli makanan di desa yang kiranya cukup jauh jaraknya
dari tempat mereka berada. Lagi pula, toko atau warung mungkin sudah tutup.
Selagi masih ada sedikit waktu, para murid lalu memerintah Yesus, “Suruhlah orang banyak itu pergi supaya
mereka dapat membeli makanan di desa-desa."Apa motif para murid mengatakan
seperti ini? Tentu kita tidak bisa sampai pada pemahaman yang akurat. Tetapi
beberapa kemungkinan bisa dikemukakan: Di satu sisi, para murid mungkin gelisah
dengan situasi ini. Yesus dianggap terlalu sibuk menyembuhkan mereka yang
sakit, tetapi melupakan bahwa orang banyak itu kelaparan. Tetapi, di lain sisi,
para murid bisa saja merasa diri lebih peka terhadap kebutuhan sesama
dibandingkan dengan Yesus yang dianggap terlalu sibuk dengan hal-hal bersifat
supernatural, dan mengabaikan kebutuhan (sehari-hari) konkret yang bersifat
natural. Atau, para murid gelisah karena keberadaan sesama yang membutuhkan di
sekitar mereka. Penderitaan atau kesengsaraan memang bukan sesuatu yang indah
dan menarik untuk dinikmati. Perintah mereka kepada Yesus untuk menyuruh orang
banyak pergi mungkin didorong oleh kegelisahan ini.
Tanggapan Yesus juga cukup lugas.
“Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan."Jawaban ini
menjadi penting karena mempunyai jangkauan yang luas. Murid-murid Yesus
ternyata juga harus bertanggungjawab untuk mengatasi masalah seperti ini.
Mereka tidak bisa cuci tangan begitu saja dan melimpahkan tanggungjawab kepada
orang lain. Kalau benar bahwa para murid sebenarnya ingin melarikan diri dari
situasi ini, maka pernyataan Yesus langsung menohok para murid! Bukannya
menyingkir dari (atau menyingkirkan) mereka, sekarang para murid justru mesti
mengurusi orang banyak itu.
Para murid kemudian menyatakan
kemustahilan memenuhi perintah Yesus dengan menunjukkan (hanya) lima roti dua
ikan yang mereka miliki. Para murid tampaknya tidak menyadari siapa sebenarnya
yang sedang berada di hadapan mereka yang baru saja menunjukkan kemampuan-Nya dalam
menyembuhkan orang-orang sakit. Para murid tampaknya hanya mampu melihat roti
dan ikan saja, tetapi gagal melihat kehadiran unsur ketiga yang juga hadir di
sana, yaitu Yesus sendiri.
Sekarang Yesus langsung menanggapi,
“Bawalah kemari kepada-Ku!” Dengan kata-kata ini mau ditunjukkan bagaimana Yesus bisa berperan dalam situasi
seperti ini. Akan segera kita lihat, apa perbedaan lima roti dua ikan di tangan
para murid dan di tangan Yesus! Dengan ketaatan penuh, para murid menyerahkan
roti dan ikan, yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, kepada Yesus; Yesus yang
kemudian akan bertindak. Lalu apa yang akan diperbuat Yesus?
Ay. 19-21 Mukjizat Pergandaan Roti dan Hasilnya
Di sinilah terjadi mukjizat pergandaan
roti. Apa yang dibuat Yesus digambarkan secara detil dengan serangkaian kata
kerja. “Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke
langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya
kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak”
(ay. 19). Meskipun penginjil memberikan gambaran cukup detil tentang mukjizat
pergandaan roti ini, tetapi tetap saja tidak mudah membayangkan bagaimana mukjizat
ini terjadi. Apakah ini seperti seorang pemain sulap yang tidak habis-habisnya
mengeluarkan burung merpati dari saku jas atau topinya? Di dalam Perjanjian
Lama, ada kisah mukjizat yang amat mirip dalam 2Raj 4,42-44. Dua puluh roti
jelai untuk seratus orang! Juga di sini, tidak diceritakan bagaimana terjadinya
mukjizat. Yang jelas, pada akhir kisah hanya dikatakan bahwa “makanlah mereka
dan ada sisanya” (2Raj 4,44).
Demikianlah terjadi mukjizat pergandaan
roti. Yesus tidak hanya Tuhan atas penyakit-penyakit; tetapi juga berkuasa atas
hal-hal jasmaniah. Ia tidak hanya berkuasa atas kuasa-kuasa jahat – yang
terwujud dalam penyakit-penyakit – tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan manusia
yang paling dasariah, yaitu makanan. Lebih lagi, Ia tidak begitu saja main
sulap sim salabim menghadirkan roti
dari ketiadaan, tetapi menggunakan sarana yang ada meskipun tidak memadai.
Pergandaan roti adalah sesuatu yang supernatural, tetapi roti itu sendiri hal
yang natural saja!
Yang menarik adalah bahwa roti (tetapi ikan
tidak disebut. Ke mana dua ekor ikan kita?) akhirnya
sampai kepada orang banyak melalui para murid Yesus. Yesus memberikan roti
kepada para murid “lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak” (ay.
19). Para murid dilibatkan dalam karya penyelamatan Tuhan. Dalam hal ini, Yesus
tidak sekedar memberi nasehat atau main perintah, tetapi Ia berbuat sesuatu.
Dengan begitu ada keteladanan di sini. Para murid tidak hanya ikut membagikan
roti, tetapi juga ‘menyumbang’ meskipun kecil dan tak berarti. Firman Tuhan,
“Bawalah kemari kepada-Ku!” mengandaikan ada sesuatu yang dibawa, seberapapun
adanya.
Yang mungkin lebih menarik untuk
diperhatikan adalah ini. Coba simak dengan seksama rumusan yang terdapat dalam
ay. 19 dan bandingkan dengan lukisan yang terdapat dalam kisah Perjamuan Malam
Mat, 26,26. Kita memperoleh hasil seperti ini:
“Setelah diambil-Nya
lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan
roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya
memberikannya kepada orang banyak” (Mat 14,19)
Ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya lalu memberikannya
kepada murid-murid-Nya” (Mat 26,26)
Kita lihat bahwa kedua teks itu menggambarkan Yesus melakukan serangkaian
tindakan yang sama dengan kata kerja yang juga sama. Memperhatikan kemiripan
seperti ini, sulit untuk mengatakan bahwa antara kedua teks ini tidak ada
hubungan sama sekali. Bahwa ini terjadi secara kebetulan rasanya sulit untuk
diterima. Oleh karena itu, tampaknya kita juga bisa mengatakan bahwa ada
hubungan antara kisah pergandaan roti dengan kisah perjamuan terakhir.
Perjamuan Tuhan tampaknya mesti berakhir dengan pergandaan roti!
Setelah pembagian, lalu dikatakan bahwa “mereka semua makan sampai kenyang”
(ay. 20). Tidak hanya itu, roti ternyata masih tersisa dua belas bakul penuh!
Baru di sinilah, ketika semua orang makan dan kenyang, serta masih tersisa,
kita mengetahui bahwa telah terjadi sebuah mukjizat. Meskipun sekali lagi, kita
tidak tahu kapan mukjizat itu terjadi. Apakah pada waktu Yesus mengambil roti?
Mengucap syukur? Memecah-mecahkan roti? Atau membagikan roti?
Keterangan tentang jumlah mereka yang makan menggambarkan bagaimana
mukjizat ini memberikan hasil yang berlimpah ruah. Yang makan ada sekitar lima
ribu laki-laki, “tidak termasuk perempuan dan anak-anak”. Dalam konteks
masyarakat patriarkal zaman dahulu, perempuan dan anak-anak memang tidak
diperhitungkan. Secara kultural, mereka tidak diperhitungkan, tetapi nyatanya,
Yesus juga tetap memberi mereka makan. Dengan demikian, tindakan Yesus
mengatasi sekat-sekat budaya. Itu berarti bahwa keselamatan yang Ia tawarkan
juga menyentuh mereka-mereka yang karena alasan lain tersingkirkan!
***
“Orang-orang miskin selalu ada padamu.”
Ini adalah kata-kata Yesus yang direkam baik oleh Injil Sinoptik maupun Injil
Yohanes (Mrk 14,7; Mat 26,11; Yoh 12,8). Ungkapan yang mirip juga terdapat
dalam Perjanjian Lama, Ul 15,11 “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan
ada di dalam negeri itu.” Ungkapan ini kiranya tepat untuk Gereja Asia yang
berada di tengah-tengah bangsa-bangsa Asia, yang sebagian terbesarnya ialah
massa kaum miskin (FABC I no. 19). Dengan orang-orang seperti inilah Gereja
mesti hidup dan berdialog.
Dengan ungkapan “orang-orang miskin
selalu ada padamu” Yesus kiranya menerima adanya kelas miskin di dalam
masyarakat. Ia tidak bermaksud memperjuangkan sebuah masyarakat tanpa kelas,
sama rata sama rasa. Meskipun demikian, Ia juga tidak menginginkan bahwa mereka
yang miskin semakin lama akan semakin miskin, sampai segala miliknya, termasuk
hidupnya, habis sehabisnya. Institusi Tahun Sabat dan Tahun Yobel yang
dipaparkan dalam Im 25 merupakan strategi yang ditawarkan agar kelompok miskin
dalam masyarakat Israel tidak hancur sama sekali, tetapi selalu mempunyai
pengharapan untuk bangkit kembali demi hidup yang lebih baik. Tuhan Yesus dalam
program kerja-Nya seperti terungkap dalam Luk 4,18-19 jelas mengatakan bahwa
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan
kabar baik (Yun: euanggelisasthai = menginjili) kepada orang-orang miskin”
(Luk 4,18). Hal yang mirip dikatakan ketika murid-murid Yohanes datang
kepada-Nya dan bertanya tentang identitas-Nya. Kepada mereka Yesus menjawab, “Pergilah,
dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta
melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli
mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar
baik” (Luk 7,22). Kepada orang buta diberikan penglihatan; orang lumpuh bisa
berjalan; orang kusta ketahiran, tetapi orang miskin? Tidak dikatakan bahwa
orang miskin akan di-kaya-kan atau dibuat kaya, tetapi kepada mereka akan
diberitakan kabar baik. Apa yang menjadi ‘kabar baik’ bagi orang miskin? Kalau
kita melihat gambaran hidup komunitas kristen perdana sebagaimana terdapat
dalam Kisah Para Rasul (Kis 2,41-47; 32-35) secara jelas dilukiskan bahwa gaya
hidup saling berbagi merupakan cara
sehingga “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (Kis
4,34).
Gereja, melalui Konsili Vatikan II,
sudah menegaskan posisinya bahwa “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”
(GS 1). Di tempat lain, konsili menjelaskan apa yang dimaksud dengan
keterlibatan Gereja dalam hidup orang-orang zaman sekarang itu dengan rumusan
yang agak provokatif. “Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya,
harus memandang hal-hal lahiriah yang
dimilikinya secara sah bukan hanya
sebagai miliknya sendiri, melainkan
juga sebagai
milik umum, dalam arti
bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri,
melainkan juga bagi sesamanya.
Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian harta-benda sehingga
mencukupi bagi dirinya
maupun kaum kerabatnya. Begitulah pandangan
para Bapa dan Pujangga Gereja,
yang mengajarkan, bahwa
manusia wajib meringankan beban kaum miskin, itu
pun bukan
hanya dari kelebihan miliknya.
Mereka yang menghadapi
kebutuhan darurat, berhak untuk mengambil
dari kekayaan orang-orang
lain apa yang sungguh dibutuhkannya. Karena di dunia ini begitu banyaklah orang
yang kelaparan, Konsili mendesak
semua orang, masing-masing secara perorangan, maupun mereka yang berwenang
supaya mengenangkan pernyataan para Bapa: “Berilah makan
kepada orang yang
akan mati
kelaparan; sebab bila engkau tidak
memberinya makan, engkau membunuhnya”, dan sesuai
dengan kemampuan masing-masing, sungguh membagikan dan
menggunakan harta-benda mereka,
terutama dengan menyediakan bagi orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa
upaya-upaya, yang
memungkinkan mereka itu
untuk menolong diri dan mengembangkan diri. (GS 69)
Mahatma Gandhi
mengatakan, “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every
man’s greed.” Persoalannya: bagaimana kita bisa saling berbagi dan menjadi
saluran pengantara berkah Allah untuk sesama. Sebenarnya di tengah-tengah kita
sudah banyak hal konkret yang dibuat untuk berbagi dengan sesama. Tidak terlalu
sulit bagi kita untuk mengadakan penggalangan dana untuk membangun fisik
gereja, apakah tidak mungkin mengadakan fundraising
untuk proyek-proyek berbagi?
Minggu II
Dialog dengan Budaya
Mat 1,18-25
18 Kelahiran Yesus Kristus adalah
seperti berikut:
Pada waktu Maria, ibu-Nya,
bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka
hidup sebagai suami istri. 19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati
dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud
menceraikannya dengan diam-diam. 20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud
itu, malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, "Yusuf, anak
Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang
di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. 21 Ia akan melahirkan anak
laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan
menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka."
22 Hal itu terjadi supaya digenapi
yang difirmankan Tuhan melalui nabi: 23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan
mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia
Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)
24 Sesudah bangun dari tidurnya,
Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia
mengambil Maria sebagai istrinya, 25 tetapi tidak bersetubuh dengannya sampai
Maria melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.
Pendalaman Teks
Teks yang akan direnungkan pada Minggu II ini sudah sangat terkenal, bahkan
di antara kita mungkin ada yang sudah hampir hafal luar kepala. Alkitab kita
memberi judul Kelahiran Yesus Kristus,
dan diberi catatan bahwa teks paralelnya adalah Luk 2,1-7. Tetapi tentu saja
kalau kita lihat, kisahnya berbeda. Memang, sebagaimana kita semua sudah
ketahui, kita mempunyai dua versi kisah Masa Kanak-kanak Yesus (Infancy Narrative), yaitu versi Injil
Matius dan Injil Lukas. Teks ini serasa sudah punya konteks tersendiri,
sehingga mungkin agak aneh kalau teks ini kita bicarakan dalam konteks yang
lain. Tapi kita coba.
Bahwa seorang gadis bertunangan dengan seorang laki-laki sebenarnya
bukanlah yang terlalu istimewa. Sebelum pernikahan, amat wajar kalau calon
suami-istri memasuki tahap pertunangan. Itu sangat normal. Dalam adat Yahudi,
perkawinan terdiri dari dua tahap. Tahap yang pertama adalah pertunangan. Tahap
kedua adalah ketika mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai laki-laki
kira-kira setahun kemudian. Pertunangan atau tahap pertama dari perkawinan
sudah diatur oleh hukum. Demikian juga apa yang terjadi dengan Maria dan Yusuf.
Kalau tidak terjadi apa-apa, maka bisa dibayangkan bahwa setelah periode
pertunangan akan ada pesta pernikahan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Persoalannya adalah bahwa kemudian penginjil memberikan informasi bahwa sang
calon mempelai wanita, yaitu Maria, ternyata sudah mengandung “sebelum mereka
hidup sebagai suami-istri” (ay. 18) artinya sebelum tahap kedua terjadi. Ini
mengubah situasi.
Kehamilan sebelum kedua calon mempelai ini hidup bersama bisa dipandang
sebagai sebuah skandal. Dalam hal ini, kehamilan Maria merupakan sesuatu yang
memalukan bagi Yusuf. Sebenarnya dalam tradisi religius Israel yang tersimpan
dalam Perjanjian Lama, orang Israel sudah terbiasa dengan kisah-kisah kelahiran
yang tidak biasa untuk menunjukkan campur tangan Allah. Tokoh seperti Ishak,
Samson, Samuel adalah tokoh-tokoh yang lahir dari ibu yang mandul dan lanjut
usia. Tetapi kelahiran dari seorang perawan merupakan sesuatu yang sebelumnya
sama sekali tidak diperhitungkan. Di sini kita bisa bertanya, kalau benar
kehamilan Maria ini merupakan kehendak Tuhan, lalu mengapa hal ini mesti
mengakibatkan ketidaknyamanan bagi Bapa Yusuf? Kalau hal ini terjadi ketika
Bunda Maria belum bertunangan, tentu dampaknya tidak terlalu besar. Paling
tidak hanya seorang saja yang dipermalukan.
Kehamilan Maria memang diberi keterangan “mengandung dari Roh Kudus”.
Tetapi di sini perlu disadari bahwa informasi ini sebenarnya hanya untuk
pembaca. Yusuf tidak tahu kalau Maria mengandung “dari Roh Kudus”. Yang ia tahu
adalah bahwa Maria hamil. Persoalan hukum yang langsung muncul ke permukaan
adalah yang tercantum dalam Ul 22,20-21:
20 Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan
pada si gadis, 21 maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya,
dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati --
sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Lalu bagaimana kira-kira reaksi Yusuf? Apa yang ia pikirkan? Mungkin Yusuf
marah. Kalau Maria ternyata sudah hamil dan mereka belum tinggal bersama, maka
kesimpulan yang paling logis adalah bahwa Maria mungkin telah berbuat selingkuh
(bdk. Ul 22,23-24) atau diperkosa (bdk. Ul 22,25-27). Dengan latar belakang ini
kiranya perlu dipahami ay. 19 “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak
mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan
diam-diam.”
Sebagai seorang yang tulis hati (atau orang
benar), Yusuf tidak bisa mengambil Maria sebagai istrinya, karena dengan
demikian ia membiarkan yang jahat itu berada di tengah-tengahnya. Menurut Ul
22,21 perempuan yang kedapatan tidak perawan harus dihukum dengan dilempari
dengan batu sehingga mati. Dalam bentuk yang lebih ringan, usaha untuk
“menghapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu” bisa dipenuhi dengan cara
menceraikan sang istri. Menurut pendapat beberapa ahli, pada abad pertama
Masehi praktik hukum rajam tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Dalam kasus ini,
Yusuf sebenarnya mempunyai dua pilihan, menceraikan Maria secara publik atau
secara diam-diam. Tetapi karena Yusuf tidak mau “mencemarkan nama istrinya di
depan umum”, maka yang ia pilih adalah menceraikan Maria secara diam-diam. Menceraikan secara diam-diam berarti hanya di
hadapan dua orang saksi, dan bukan di hadapan umum. Dengan demikian, proses ini
tidak terlalu mempermalukan Maria.
Tetapi rencana Yusuf ini ternyata tinggal rencana. Tengah dia
merenung-renung, tiba-tiba datang veto dari
Allah sendiri melalui Malaekat-Nya (ay. 20) yang hadir dalam mimpi.Persis pada
waktu itu disampaikan oleh Malaekat Tuhan apa yang sedang terjadi dalam diri
Maria dan siapa ada di dalam kandungannya. Maria tidak seperti yang difikirkan
oleh Yusuf. Ia tidak melakukan yang tidak benar, karena anak yang ada di
kandungannya adalah dari Roh Kudus.
Dengan veto malaikat ini, tidak ada lagi alasan bagi Yusuf untuk
menceraikan Maria. Kehidupan pasangan yang bertunangan ini bisa terus berjalan
sebagaimana sudah direncanakan. Dan dengan demikian, Yusuf mendapatkan
tempatnya seperti sudah tercantum dalam silsilah Yesus. “Yusuf suami Maria, yang melahirkan
Yesus yang disebut Kristus” (Mat 1,16). Dengan
(tetap) menikahi Maria, Yusuf mendapatkan hak untuk menjadi ayah secara hukum dari
bayi Yesus. Ini berarti menempatkan Yesus dalam garis keturunan Daud. Dengan
memberi nama kepada sang bayi (“engkau
akan menamakan Dia Yesus” – ay. 21), Yusuf menegaskan secara publik bahwa bayi Yesus adalah anaknya. Dalam tradisi rabinik, seorang yang menyatakan sebuah
pengakuan: “Si-X ini adalah anak saya”, maka pernyataan ini mesti dipercaya (mBaba Batra 8,6).
Malaikat kemudian melanjutkan
dengan menyingkap latar belakang peristiwa ini. “Hal itu terjadi supaya digenapi yang
difirmankan Tuhan melalui nabi” (ay. 22). Kelahiran Yesus dipandang sebagai pemenuhan nubuat lama, yang pernah diucapkan oleh nabi Yesaya
sekitar delapan abad yang lalu. “Sesungguhnya, anak dara
itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan
menamakan Dia Imanuel” (Mat 1,23). Di sini pembaca mungkin bertanya: lho, kok
“memanggil nama” lagi? Bukankahh pada ayat sebelumnya dikatakan bahwa Yusuf
sebagai ayah menurut hukum sudah memberi nama sang bayi kecil ini? Yang patut
dicatat adalah bahwa di sini, subjek yang memberi nama adalah mereka. Siapa yang dimaksud dengan mereka ini? Tampaknya mereka di sini mewakili jemaat Matius
atau orang-orang Kristen, atau orang-orang yang percaya kepada Kristus. Dengan
demikian, Imanuel yang kemudian
diberi penjelasan sebagai “Allah menyertai kita”, kiranya lebih baik tidak
diartikan sebagai nama diri, tetapi semacam gelar Yesus. Bukankah nama diri
sudah diberikan oleh yang lebih berhak, yaitu Yusuf ayahnya secara hukum?
Mereka
yang pernah mempelajari Injil Matius mengetahui bahwa gagasan Allah yang
menyertai jemaat-Nya adalah gagasan yang sentral. Ada tiga ayat kunci dalam
Injil Matius yang membangun struktur injil pertama ini.
Mat 1,23 :
dan mereka akan menamakan Dia Imanuel."
(Yang berarti: Allah menyertai kita.)
Mat 18,20 :
Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Mat 28,20 : Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman."
Dengan cara ini penginjil mau mewartakan siapakah Yesus ini. Dia adalah Firman
yang menjadi daging, Allah yang menyertai manusia sepanjang segala masa. Juga
ketika kita mewartakan Kabar Sukacita pada zaman sekarang ini, Tuhan Yesus tetap
menyertai kita.
***
Kisah seputar kehamilan Maria ini sengaja dipilih untuk permenungan pada
Minggu kedua ini tidak untuk menekankan mukjizat perkandungan Yesus, atau soal
keperawanan Maria. Yang mau digarisbawahi adalah satu hal yang lebih mendasar,
yaitu soal inkarnasi, Firman yang menjadi daging. Inkarnasi adalah salah satu
ajaran pokok dalam kekristenan. Kalau Allah memutuskan untuk berinkarnasi, maka
mau tidak mau Ia yang tidak terbatas ini mesti berinkarnasi dalam sebuah
konteks yang amat terbatas. Paulus merumuskannya dengan sangat indah, Yesus
Kristus “yang walaupun
dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2,6-7).
Di satu pihak inkarnasi adalah sebuah
pengosongan diri; Allah yang turun; tetapi di lain pihak, inkarnasi juga
berarti sebuah pemuliaan; kodrat manusia diangkat. Inkarnasi menunjukkan bahwa
Allah menilai tinggi budaya manusia. Gagasan ini menjadi penting bagi kita
dalam merenungkan tempat budaya-budaya lokal di mana Gereja berada. Inkarnasi
ini menjadi dasar bagi inkulturasi yang memainkan peranan penting dalam tugas
evangelisasi Gereja kini dan di sini.
Bukan kebetulan kalau almarhum Paus St. Yohanes Paulus II gemar dengan istilah inkulturasi, yang baru mulai populer
sekitar tahun 70-an, justru karena mempunyai kemiripan dengan istilah inkarnasi, baik dari segi isi maupun
istilah.
Tema minggu II ini adalah mewartakan
Kabar Gembira dalam kemajemukan budaya. Dokumen FABC tahun 1974 mengatakan
bahwa “untuk mewartakan Injil di Asia masa kini hendaklah kita sungguh
mendarah-dagingkan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan perihidup
bangsa-bangsa kita. Titik berat utama tugas kita mewartakan Inji, pada saat
sejarah kita sekarang, ialah membangun Gereja setempat yang sejati (FABC, 9).
Sebab Gereja setempat ialah perwujudan dan pengejawantahan Tubuh Kristus dalam
bangsa tertentu, di tempat tertentu, pada waktu tertentu (FABC, 10). Gereja
setempat ialah Gereja yang berinkarnasi dalam suatu bangsa, Gereja yang pribumi
dan berinkulturasi (FABC, 12). Dengan kata lain, para uskup Asia menghendaki
agar Gereja sungguh-sungguh menjadi Gereja Asia dan bukan gereja di Asia.
Harus diakui bahwa perjalanan sejarah
misi di masa lalu tidak terlalu bersahabat dengan kultur setempat. Pada waktu
itu perbedaan antara agama dengan kultur tidak tampak. Keyakinan para
misionaris bahwa mereka membawa agama yang unggul secara tidak disadari juga
menghasilkan perasaan lebih unggul dalam bidang kultural. Sebaliknya, juga
keunggulan dalam bidang budaya, terutama sejak zaman Pencerahan, membawa juga
anggapan keunggulan dalam bidang religius. Para misionaris datang ke tanah misi
dengan anggapan tidak hanya mewartakan Kabar Sukacita Injil, tetapi juga
membawa kultur barat yang unggul. Salah satu teks misioner pada waktu itu
adalah kata-kata Yesus yang terdapat dalam Yoh 10,10 “Aku datang, supaya mereka
mempunyai hidup, dan mempunyainya dengan berlimpah-limpah.”Dan ungkapan “Hidup
yang berlimpah-limpah” diartikan sebagai berlimpahnya hal-hal modern untuk pendidikan,
kesehatan, dan pertanian masyarakat yang terbelakang di dunia ini[5].
Akibat dari penalaran yang seperti ini, kultur setempat tidak pernah mendapat
tempat yang selayaknya.
Situasi seperti inilah yang mesti
perlahan-lahan mesti diubah. Agama harus bisa dibedakan dari unsur budayanya. Dengan
demikian, agama bisa bersikap kritis terhadap kultur yang membawanya; dan pada
saat yang bersamaan, agama bisa lebih mengapresiasi kultur yang lain, dan
dengan demikian bisa diperkaya juga olehnya. Inkulturasi mempunyai gerakan
ganda. Di satu pihak, ada inkulturasi iman Kristen; dan di lain pihak, ada
kristenisasi kultur setempat[6].
Dalam konteks ini perlu diperhatikan catatan dari Paus St. Yohanes Paulus II dalam
anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae
(16 Oktober 1979);
...kekuatan Injil di mana pun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran
baru. Bila kekuatan itu merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak
unsur kebudayaan itu dijernihkan atau diluruskan olehnya (CT 53)
Kekayaan budaya yang dikandung oleh
tanah air kita, Indonesia ini sungguh luar biasa mengagumkan. Di banyak tempat,
sudah banyak dipikirkan bagaimana kekayaan budaya ini sungguh-sungguh bisa
dimanfaatkan untuk penyebaran dan perkembangan iman umat. Dengan demikian,
masalah inkulturasi sudah menjadi bahan pemikiran dan diskusi dengan melihatkan
banyak pihak yang berkompeten. Tentu saja mesti diakui bahwa di masing-masing
tempat, perkembangan soal inkulturasi ini juga melewati tahap-tahap yang
berbeda. Di beberapa tempat, masalah inkulturasi ini berada pada ranah liturgi:
bagaimana kekayaan budaya, seperti lagu-lagu, tata busana serta tarian yang
merupakan ekspresi batin sebuah budaya tertentu, bisa menyumbang bagi ibadat
Gereja. Di tempat lain, mulai dicari dan dipikirkan juga titik temu antara
gagasan dan pengharapan yang terungkap dalam aneka macam ungkapan dan simbol
yang terdapat dalam budaya setempat dengan pengharapan yang ditawarkan oleh
kekristenan.
Menjadi Gereja Asia, dan bukan menjadi
Gereja di Asia, kiranya memang sudah menjadi concern kita sudah sejak lama. Pertemuan-pertemuan dalam rangka
BKSN mungkin bisa mendalami kembali pengalaman inkulturasi yang sudah ada,
tetapi bisa saja menemukan sesuatu yang baru. Membaca dan mendalami Kitab Suci
dari perspektif sebuah budaya tertentu mungkin bisa menjadi sebuah usaha yang
menarik untuk dicoba? Apakah ada konsep-konsep budaya tertentu bisa membantu
kita untuk memahami satu konsep teologis/alkitabiah tertentu?
Minggu III
Dialog dengan Agama Lain
Kis 17,16-34
16 Sementara Paulus menantikan
mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh
dengan patung-patung berhala.17 Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran
dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar
setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ.18 Juga beberapa ahli pikir
dari golongan Epikuros dan Stoa berdebat dengan dia dan ada yang berkata,
"Apa yang hendak dikatakan si pembual ini?" Tetapi yang lain berkata,
"Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia
memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya.
19 Lalu mereka membawanya menghadap
sidang Areopagus dan mengatakan, "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang
kauajarkan ini?20 Sebab engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang asing.
Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu."
21 Adapun semua orang Atena dan
orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain
untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.22 Paulus berdiri di
hadapan sidang Areopagus dan berkata, "Hai orang-orang Atena, aku lihat
bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.23 Sebab ketika
aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku
menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal.
Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.24
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas
langit dan bumi, tidak tinggal dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,25 dan
juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa,
karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua
orang.26 Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia
untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi
mereka dan batas-batas kediaman mereka,27 supaya mereka mencari Allah dan
mudah-mudahan mencari-cari dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita
masing-masing.28 Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini
keturunan-Nya juga.29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak
boleh berpikir bahwa keadaan ilahi serupa dengan emas atau perak atau batu,
ciptaan kesenian dan keahlian manusia.30 Tanpa memandang lagi zaman kebodohan,
sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana saja untuk bertobat.31 Karena
Ia telah menetapkan suatu hari ketika Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh
seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu
jaminan tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati."
32 Ketika mereka mendengar tentang
kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata,
"Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."33
Lalu Paulus meninggalkan mereka.34 Tetapi beberapa orang menggabungkan diri
dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis
Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain
bersama-sama dengan mereka.
Pendalaman Teks
Kis 17,16-34 yang diberi judul Paulus
di Atena, kiranya menawarkan inspirasi segar mengenai bagaimana pewartaan
kepada bangsa-bangsa lain bisa dilaksanakan. Seperti dikatakan dalam judul,
perikop ini berkisah tentang Paulus yang mewartakan Kristus di Atena. Atena
boleh dibilang adalah pusat kebudayaan Yunani. Oleh karena itu, karya pewartaan
Paulus di Atena sungguh merupakan sesuatu yang amat penting. Karya Paulus di Atena
adalah puncak karya kerasulannya di dunia non-Yahudi. Saat dia berada di Areopagus,
kita merasakan ketegangan bagaimana alam fikir Yunani bertemu dengan
kebijaksanaan dari timur, dari Yerusalem, yaitu berita gembira tentang seorang
bernama Yesus yang mati dan bangkit lagi.
Kisah Paulus di Atena dibuka dengan sebuah pernyataan yang khas, “Sementara
Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa
kota itu penuh dengan patung-patung berhala” (Kis 17,16). Karakteristik kota Atena
sudah ditampilkan pada awal kisah: kota ini penuh dengan berhala. Tetapi
sekaligus ditunjukkan bahwa itulah konteks yang harus dihadapi Paulus dalam
mewartakan
Kabar Sukacita tentang Yesus.
Kemudian digambarkan bagaimana Paulus menjalankan karya pewartaannya.
Sebenarnya, saat di Atena pun, Paulus memainkan strategi klasik pewartaannya,
yaitu mengunjungi sinagoga Yahudi dan bersoal jawab dengan orang-orang Yahudi
dan ‘mereka yang takut akan Allah. Mungkin ini terjadi pada hari Sabat. Selain itu
ia juga mengunjungi pasar (agora) dan
berdiskusi dengan setiap orang yang dijumpainya di sana (Kis 17,17). Hanya
saja, di Atena ini pewartaan di sinagoga tidak mendapat sorotan sama sekali;
hanya disebut sepintas saja, tidak seperti yang terjadi di Tesalonika atau di
Berea dan beberapa tempat lainnya. Karena memang yang menjadi pusat kali ini
adalah pewartaan ke dunia non-Yahudi yang diwakili oleh Atena. Hal ini menjadi
jelas karena oposisi atau komentar yang muncul tidak berasal dari kelompok
Yahudi, tetapi dari para filosof yang disebut golongan Epikuros dan Stoa
(17,18). Di Atena Paulus tidak berhadapan dengan orang-orang yang siap
menanggapinya secara teologis, tetapi dengan orang-orang yang akan
menyanggahnya dari segi filosofis. Mereka adalah orang-orang yang “tidak
mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala
sesuatu yang baru” (Kis 17,21). Di sini argumen-argumen biblis-teologis tidak
akan berjalan karena tidak ada titik berangkat yang sama.
Ini kelihatan kalau kita mendengar komentar mereka, “Rupa-rupanya ia
pemberita ajaran dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus
dan kebangkitan-Nya” (Kis 17,18). Paulus dianggap mau mewartakan dan
menambahkan dewa-dewa asing yang baru ke dalam khazanah dewa-dewi Atena, yaitu
“Yesus dan kebangkitan-Nya.” Menarik memperhatikan salah paham yang terjadi di
sini. Kata “kebangkitan” dalam bahasa Yunani adalah he anastasis yang bergenus feminin. Rupanya orang Atena tidak
memahami kata tersebut sebagai kata benda, tetapi sebagai nama diri atau nama
seorang dewi yang menjadi pasangan
dewa yang bernama Yesus. Karena kesalahpahaman ini, maka Paulus dianggap
mewartakan “dewa-dewa asing” (plural), yaitu Yesus dan “Anastasis.” Yesus
mungkin mereka kenal, tetapi “kebangkitan” tampaknya benar-benar asing bagi
mereka. Situasi ini menggambarkan dengan amat jelas situasi macam apa yang
dihadapi oleh Paulus.
Pewartaan Paulus tampaknya sungguh-sungguh membingungkan mereka yang
mendengarnya. Mereka menyebutnya “perkara-perkara aneh.” Akhirnya mereka
membawanya ke hadapan sidang Areopagus. Areopagus tampaknya berasal dari kata Areios + pagus yang berarti “bukit Ares” yaitu Dewa Perang Yunani. Areopagus
bisa berarti sebuah tempat terbuka di mana orang bisa berbicara dengan tenang;
tetapi juga bisa berarti semacam dewan yang mengambil nama bukit itu sebagai
nama. Tidak amat jelas apa fungsi dewan ini dan mengapa Paulus harus dibawa ke
sidang tersebut. Apakah ini suatu acara tukar pendapat dalam suasana yang cukup
bersahabat mengingat orang-orang Atena mempunyai keingintahuan yang tinggi?
Atau sebuah pengadilan? Sulit untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh Lukas.
Biarkan saja demikian. Bagi kita juga tidak terlalu penting apa yang sebenarnya
dimaksudkan. Isi dari pidato Paulus itu yang jauh lebih penting bagi kita.
Setidaknya, ada dua poin yang bisa kita teliti sehubungan dengan pidato Paulus.
1.
“Kepada Allah yang tidak dikenal”
Paulus mengawali pidatonya dengan kata-kata yang menarik, seperti berikut
ini, “Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat
beribadah kepada dewa-dewa” (Kis 17,22). Dengan kata-kata ini, Paulus
menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada penduduk Atena yang dianggapnya amat
religius (“sangat beribadah kepada dewa-dewa”). Kemudian ia melanjutkan, “Sebab
ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu,
aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak
dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada
kamu” (Kis 17,23). Bagian ini merupakan bagian yang paling penting. Di antara
patung-patung dan hal-hal lain di kota Atena, secara khusus Paulus menyebut
sebuah mezbah yang bertuliskan “Kepada Allah yang tidak dikenal.”
Dalam agama Yunani kuno, selain dua belas dewa utama dan sejumlah dewa-dewa
yang lebih rendah tingkatannya, rupanya masih ada tempat juga bagi satu ilah
yang disebut “Allah yang tidak dikenal.” Mungkin ada ketakutan kalau-kalau
masih ada dewa yang terlewatkan tidak dihormati sehingga tidak mendapatkan
persembahan, dan ini bisa berbahaya. Maka untuk menanggulangi masalah ini,
dibuatlah suatu mezbah untuk “Allah” yang merangkum segalanya, yaitu “Allah
yang tidak dikenal.” Di sini tidak perlu didiskusikan apa yang sebenarnya
dimaksud dengan ungkapan seperti itu. Mungkin bisa dipikirkan demikian: Di satu
pihak, diyakini bahwa masih ada dewa lain selain yang sudah dikenal; tetapi di
lain pihak, nama atau karakternya belum dinyatakan kepada orang-orang Atena,
sehingga mereka tidak mengenalnya.
Pokok ini merupakan celah masuk bagi Paulus. Dan dengan brilian Paulus
memanfaatkannya untuk mewartakan injilnya. “Apa yang kamu sembah tanpa
mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.” Paulus membuat identifikasi
dengan memanfaatkan “ketidaktahuan” mereka. Kami tahu yang kalian tidak tahu!
Kami punya yang sebenarnya kalian cari tanpa tahu kemana harus mencari! Dengan
demikian menjadi jelas bahwa sebenarnya Paulus tidak mewartakan sesuatu yang
sama sekali baru, yang asing bagi pendengarnya. Dia hanya memberi nama pada, atau boleh juga memaknai, kerinduan atau pengharapan
yang sudah ada dalam diri masing-masing orang Atena. Titik tolak pewartaan
Paulus adalah kesalehan orang-orang Atena sendiri, bukan sesuatu yang berasal
dari luar, tetapi dari dalam diri mereka.
Bisa dibayangkan bahwa pembukaan seperti ini menjadi sesuatu yang menarik
dan menimbulkan keingintahuan bagi orang-orang Atena: bagaimana kelanjutan
pembicaraan Paulus ini? Pembukaan ini menjadi semacam tema yang kemudian
diuraikan secara panjang lebar pada bagian berikutnya.
2.
Kisah Alkitab yang Tersembunyi
Untuk bagian ini, silakan memperhatikan dengan teliti bagian khotbah Paulus
yang terdapat dalam ay. 23-31. Seperti bisa dilihat,khotbah yang disampaikan
Paulus sebenarnya adalah gambaran lebih lanjut tentang “Allah yang tidak
dikenal” itu. Tanpa masuk pada detil-detil analisis teks, bisa dikatakan bahwa
setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang menarik untuk diperhatikan.
Pertama, di sini Paulus menyampaikan inti pewartaannya dalam bahasa yang khas.
Dari teks di atas, tampak bahwa tidak ada rujukan secara eksplisit dari
Perjanjian Lama sebagai teks yang otoritatif. Mengapa demikian? Karena sekarang
ini Paulus sedang berhadapan dengan orang-orang Atena yang tidak menerima
otoritas teks suci Ibrani. Hal ini berbeda saat Paulus berhadapan dengan
orang-orang Yahudi. Dengan orang-orang Atena tidak ada gunanya menggunakan
argumen alkitabiah.
Kendati demikian, walaupun Paulus tidak secara eksplisit merujuk pada
Perjanjian Lama, kita bisa merasakan bahwa pewartaan Paulus ini sebenarnya
berlatar belakang teologi Perjanjian Lama. Pada ay. 24 kita mendengar gema dari
kisah penciptaan seperti yang terdapat dalam Kej 1-2. Ay. 26 mungkin berlatar
belakang janji TUHAN kepada Abraham yang akan memberikan keturunan kepadanya (bdk.
Kej 12,1-3 passim). Gagasan bahwa
Allah membuat manusia mendiami seluruh muka bumi serta menentukan batas-batas
kediaman mereka (ay. 25-26), rasanya mirip dengan yang terdapat dalam Ul 32,8
“Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa,
ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah
bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.” Allah yang tidak tinggal di
dalam kuil-kuil buatan tangan manusia dan tidak dilayani oleh tangan manusia
(ay. 24-25) tampaknya berlatar belakang 1Raj 8,27 atau Yes 42,5 atau Yes
66,1-2. Ay. 31 yang berbicara tentang seseorang yang akan diutus Allah untuk
mengadili dunia mungkin berlatar belakang Dan 7,13-14 yaitu Anak Manusia yang
memperoleh kuasa atas dunia.
Dengan demikian rasanya tidak perlu diragukan bahwa Paulus memang sedang
mewartakan sejarah keselamatan seperti ditemukan di dalam teks suci Ibrani,
yaitu Perjanjian Lama kita. Menariknya adalah bahwa dalam pemaparan ini tidak
satupun Paulus menyebut secara eksplisit teks dari kitab sucinya. Alkitab
Ibrani tetap tersembunyi di balik kata-kata Paulus, tetapi tampil dalam bentuk
yang agak berbeda. Di Atena ini Paulus sedang mewartakan kisah alkitab yang
tersembunyi.
Kedua. Paulus tidak menyinggung secara eksplisit teks suci Ibrani, tetapi
sebaliknya dia bahkan secara eksplisit mengutip ungkapan seorang pujangga
Yunani. Pada ay. 28 “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini keturunan-Nya juga.” Kutipan
ini berasal dari kata-kata seorang penyair dari aliran Stoa yang bernama Aratus
(lahir di Kilikia tahun 315 SM) yang terdapat dalam karyanya Phaenomena, 5. Orang juga berpikir bahwa
seorang filosof Stoa yang lain, Cleanthes juga mengutarakan gagasannya dengan
rumusan yang hampir sama (Hymn to Zeus,
4).
Ini strategi hebat dari Paulus. Tampaknya Paulus cukup mengetahui kekayaan
tradisi filsafat Yunani dan bisa memanfaatkannya dengan baik dengan
menjadikannya dasar pewartaannya. Dengan demikian ia mau menunjukkan bahwa
pesan yang dia bawa sebenarnya - sekali lagi - tidak asing atau bertentangan
dengan tradisi orang-orang Atena yang kaya.
Memang harus diakui bahwa pidato Paulus di hadapan Areopagus masih belum
sampai pada inti kekristenan, yaitu salib dan kebangkitan Kristus. Pada ayat
terakhir pidatonya (ay. 31) Paulus memang mencoba berbicara tentang Allah yang
membangkitkan Yesus dari orang mati. Dan begitu sampai pada kata “kebangkitan
orang mati”, hadirin langsung berkomentar, “Lain kali saja kami mendengar
engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17,32). (Tetapi perhatikanlah bahwa di
akhir kisah diceritakan bahwa beberapa orang menjadi percaya juga; bdk. ay 34).
Sekali lagi, gagasan tentang kebangkitan orang mati tampaknya asing bagi
orang-orang Atena. Beberapa abad sebelumnya, seorang penyair tragedi bernama
Aeschylus pernah mengatakan lewat tokohnya Apollo, “Ketika debu menyerap habis
darah seseorang, maka sekali dia mati, tak ada lagi kebangkitan” (Eumenides, 647-648). Untuk dunia Yunani,
mungkin gagasan “kebakaan jiwa” lebih cocok, tetapi bukan kebangkitan dari
antara orang mati.
Kendati tidak lengkap, rasanya pewartaan Paulus sudah menunjukkan suatu
strategi yang amat lihai. Persoalan salib dan kebangkitan memang merupakan soal
yang paling sulit dalam tradisi kekristenan. Paulus sendiri sudah mengatakan
bahwa salib “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk
orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1,23).
Kita tidak tahu pasti bagaimana hasil karya misi Paulus di Atena. Kita
tidak mempunyai surat Paulus kepada jemaat di Atena. Tetapi yang penting bagi
kita adalah strategi Paulus ketika berhadapan dengan orang-orang Atena yang
menjadi, katakanlah, pusat dunia non-Yahudi. Paulus mencoba mewartakan Kristus
sebagai jawaban atas kerinduan dan pengharapan orang-orang Atena.
***
Dalam hal religius, Asia merupakan locusyang istimewa. Asia boleh dibilang
sebagai rahim agama-agama besar di dunia. Kekristenan sendiri lahir di Asia,
tetapi kemudian seiring dengan pergerakan misionaris-misionaris pertama,
kekristenan bergerak ke arah barat dan mendapatkan Roma sebagai pusat. Baru
setelah berabad-abad berlalu, kekristenan kembali lagi ke Asia, dengan wajah
yang tentu saja sudah berbeda. Berkaitan dengan ini ada dua catatan yang patut
dipertimbangkan saat kita merenungkan karya pewartaan Injil di Asia.
Yang pertama, perjalanan misi ke Asia dalam banyak kasus terjadi dengan
membonceng kaum kolonial Eropa, seperti misalnya Spanyol, Portugal, Inggris,
dan Belanda. Akibatnya, kekristenan sendiri seringkali dicurigai sebagai agama
kaum penjajah. Kedua, negara-negara
besar praktis sudah dikuasai oleh beberapa agama besar, misalnya Hindu di
India, Muslim di Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan; Buddha di
Kambodia, Hongkong, Laos, Mongolia, Myanmar, Singapura, Korea Selatan. Hanya di
Filipina kekristenan menjadi mayoritas. Situasi ini menjadi tantangan khusus
bagi Gereja dalam tugas perutusannya mewartakan Injil.
Fakta ini perlahan-lahan menyadarkan
Gereja bahwa secara manusiawi tidak masuk akal mengharapkan bahwa pernah
seluruh bangsa dan masyarakat di bumi akan masuk ke dalam Gereja. rasanya
Gereja akan tetap menjadi “kawanan kecil” saja (Luk 12,32). Kesadaran baru ini
pelan-pelan mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, Tidak
mungkin agama-agama itu – yang terbesar di antaranya adalah agama Islam,
Buddha, Hindu, dan Kongfutsu - dianggap sebagai semacam sisa umat manusia yang
belum kristiani[7].
Dalam situasi seperti ini, dialog antaragama
merupakan salah satu alternatif niscaya yang tersedia. Orang tidak bisa hidup
tanpa berdialog dan kerja sama dengan orang lain. Tugas utama orang Kristen
adalah mewartakan dan memberi kesaksian akan Kerajaan Allah, sebagaimana dibuat
oleh Yesus Kristus dalam karya publik-Nya, dan bukan pertama-tama memperluas
keanggotaan dan pengaruh melalui pembaptisan baru[8].
Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa dalam dialog dengan
agama-agama tersebut ditemukan benih-benih Sabda (FABC 1974, no. 16) melalui
pengharapan atau keprihatinan yang terdapat dalam tradisi-tradisi religius yang
ditemui.
Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan
II, pada tahun 1984 Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-agamamengeluarkan sebuah
dokumen tentang refleksi dan orientasi atas Dialogue
and Mission. Dalam dokumen tersebut, disebutkan empat model dialog
antar-agama:
1.
Dialog Kehidupan (Dialogue
of Life)
Dialog dipahami sebagai sebuah gaya hidup yang mencakup sikap perhatian,
penghargaan, serta hospitalitas orang lain. Sikap seperti inilah yang mesti
dibawa oleh setiap orang Katolik dalam hidup kesehariannya, entah sebagai
minoritas atau mayoritas.
2.
Dialog Karya (Dialogue
of Deeds)
Dialog dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain dalam bidang sosial,
politik, dan ekonomi yang terarah pada kemajuan dan pembebasan manusia.
3.
Dialog Para Spesialis (Dialogue of Specialist)
Sesuai dengan namanya, dialog model ini melibatkan para ahli dalam bidang
tertentu, dari agama masing-masing. Mereka berusaha mendalami dan pengertian
untuk mencapai pemahaman dan saling penghargaan bersama akan warisan rohani dan
budaya dari masing-masing tradisi religius.
4.
Dialog Pengalaman Religius (Dialogue of Religious Experience)
Pada level ini masing-masing yang sudah terakar kuat pada tradisi
religiusnya mampu membagikan pengalaman mereka dalam doa, iman, serta ungkapan
iman mereka.
Dari empat model dialog di atas, dialog
model kedua, yaitu dialog karya, yang rasanya mempunyai kesempatan cukup luas
untuk dilaksanakan pada konteks zaman sekarang ini.
Minggu IV
Dialog dengan Gereja Lain
Yoh 17,20-23
20 Bukan untuk mereka ini saja Aku
berdoa,
tetapi juga untuk orang-orang, yang
percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;
21 supaya mereka semua menjadi satu,
sama seperti Engkau, ya Bapa, di
dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar mereka juga di dalam Kita,
supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.
22 Aku telah memberikan kepada
mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,
supaya mereka menjadi satu,
sama seperti Kita adalah satu:
23 Aku di dalam mereka dan Engkau di
dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa
Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti
Engkau mengasihi Aku.
24 Bapa, Aku ingin supaya mereka,
yang Bapa berikan kepada-Ku, ada bersama-Ku di tempat Aku berada, supaya mereka
melihat keagungan-Ku; yaitu keagungan yang Bapa berikan kepada-Ku, karena Bapa
mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.
25 Bapa yang adil! Dunia tidak
mengenal Bapa, tetapi Aku mengenal Bapa; dan orang-orang ini tahu bahwa Bapa
mengutus Aku.
26 Aku sudah menyatakan
nama Bapa kepada mereka; dan Aku akan terus berbuat begitu, supaya kasih Bapa
kepada-Ku tetap di dalam hati mereka dan Aku bersatu dengan mereka."
Pendalaman Teks
Bagian yang digunakan sebagai bahan permenungan pada minggu ini adalah
sebagian saja dari bagian lebih besar Yoh 17,1-26 yang biasa disebut dengan Doa Yesus untuk murid-murid-Nya. Orang
biasa mengatakan bahwa Yoh 14-17 membentuk satu unit teks yang disebut Pidato
Perpisahan (Farewell Discourse). Bagian
ini adalah bagian khas dari Injil Yohanes. Dalam bagian ini Yesus berhadapan
hanya dengan murid-murid-Nya. Sebagai sebuah jenis sastra, Pidato Perpisahan
merupakan hal yang biasa ditemukan dalam karya sastra baik Yunani maupun
Israel. Juga di dalam Alkitab sendiri kita bisa temukan, misalnya dalam, Ul 31-33
yang merupakan Pidato Perpisahan Musa atau Kis 20,17-38 yang adalah Pidato
Perpisahan Paulus di hadapan para penatua Efesus. Yesus menyampaikan pidato
perpisahan-Nya karena Ia akan segera meninggalkan murid-murid-Nya (Yoh 13,33).
Menurut Yoh 13, Yesus makan bersama
dengan para murid-Nya. Ada dua hal yang terjadi pada waktu mereka mengadakan
perjamuan: Yesus membasuh kaki para murid (Yoh 13,1-20) dan perginya Yudas (Yoh
13,21-30). Setelah Yudas berangkat, mulai Yoh 13,31 praktis Yesus yang
berbicara terus sampai pada Yoh 16. Macam-macam tema dibicarakan di sini. Dan
akhirnya, pidato perpisahan ini diakhiri dengan sebuah doa panjang dalam Yoh 17
sebagai doa perpisahan. Secara khusus, Yoh 17 ini seringkali, terutama di masa
lalu, disebut sebagai “doa Yesus sebagai imam agung.” Secara tradisional,
gagasan ini dianggap berasal dari seorang teolog Protestan, David Chytraeus (1530-1600),
tetapi akarnya sudah muncul dari seorang Klemens dari Aleksandria. Ini
didukung, misalnya kalau kita memperhatikan permohonan Yesus untuk Gereja yang
akan datang (ay. 9.20) dan pada kurban yang dirujuk Yesus dalam ay. 17 dan 19.
Yoh 17 adalah sebuah doa? Begitu bagian ini sering disebut. Tetapi jika
diperhatikan secara saksama, sebenarnya kita bisa bertanya apakah memang bagian
ini sebuah doa? Yesus tidak berada dalam situasi darurat dan membutuhkan
pertolongan. Yesus juga tidak berada dalam jarak tertentu dari Allah sehingga
bisa disebut iman. Yang justru tampak jelas di sini adalah relasi istimewa
antara Yesus dengan Bapa-Nya. Meskipun bisa diragukan apakah Yoh 17 ini memang
sebuah doa, tetapi untuk mudahnya, biarlah kita tetap gunakan saja istilah
tersebut.
Kalau kita perhatikan dengan teliti, Yoh 17 ini mempunyai unsur-unsur
tertentu yang selalu berulang. Kita lihat satu per satu:
1. Ada enam permohonan Yesus: dua
adalah permohonan agar Bapa memuliakan Anak (ay. 1 dan 5) dan empat permohonan
untuk para pengikut-Nya. Permohonan ini terdapat pada ay. 11. 17. 20 (= Aku berdoa) dan 24 (= Aku mau).
2. Ada enam sapaan kepada Allah:
Allah disebut sebagai Bapa (ay. 1b.
5. 21b. 24), sebagai Bapa yang kudus
(ay. 11b), dan Bapa yang adil (ay.
25).
3. Ada sembilan ayat yang
meninjau kembali apa yang sudah dibuat Yesus: ay. 4 (2x). 6. 8. 12 (x2). 14. 22. dan
26.
4. Permohonan
dan penegasan tentang apa yang dibuat Yesus itu tersusun secara rapi satu
sesudah yang lain sehingga bisa membentuk struktur dari Yoh 17 ini seperti di
bawah ini:
|
|
|
I
|
Ay. 1-2b
Ay. 4
Ay. 5
Ay. 6-8
|
Permohonan: Muliakanlah Anak-Mu
Tinjauan : Aku telah menyelesaikan pekerjaan
Permohonan: Muliakanlah Aku
Tinjauan: Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua
orang
|
II
|
Ay. 9-11
Ay. 12-14
Ay. 16-17
Ay. 18-19
|
Permohonan: Peliharalah mereka dalam nama-Mu
Tinjauan: Aku memelihara mereka
Permohonan: kuduskanlah mereka dalam nama-Mu
Tinjauan : Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia
|
III
|
Ay. 20-21
Ay. 22-23
Ay. 24
Ay. 25-26
|
Permohonan: supaya mereka semua menjadi satu
Tinjauan : Aku telah
memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku
Permohonan: supaya,
di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku
Tinjauan: Aku
telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka
|
Sesuai dengan bahan kita, maka yang akan kita lihat secara lebih mendetil adalah
bagian III, atau bagian terakhir.
Dari permohonan yang diungkapkan, secara tersamar bisa tergambar situasi
jemaat pada waktu itu. Jika kita memperhatikan ay. 20, kiranya tampak bahwa di
sini komunitas Yohanes sudah mulai berkembang. Di sini Yesus tidak hanya berdoa
untuk mereka, artinya para murid yang
pada waktu bersama-sama Yesus, yang boleh kita sebut sebagai para murid
generasi pertama, tetapi juga para pengikut-Nya dari generasi kedua, yang
merupakan buah dari karya pewartaan yang dikerjakan oleh para murid Yesus yang
pertama.
Berbeda dengan para murid generasi yang pertama, murid generasi kedua tidak
lagi mempunyai akses kepada Murid yang Dikasihi Tuhan yang menjadi sumber
kesaksian komunitas Yohanes. Antara kedua generasi ini bisa dan tampaknya
memang terjadi ketegangan. Generasi terdahulu mempunyai kekhasan tak
tergantikan karena mereka mempunyai jalan masuk kepada sumber tradisi Komunitas
Yohanes; sementara generasi kedua tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Generasi
pertama tahu bahwa mereka akan segera berlalu dalam kebanggaan, dan mereka
tidak tergantikan. Tetapi tampaknya
mereka masih belum rela bahwa generasi berdua, yang tidak mempunyai pengalaman
otentik bersama pendiri komunitas, kemudian memegang peran penting bagi
keutuhan dan perjuangan komunitas di masa depan. Situasi ini tampaknya
menimbulkan ketegangan di dalam komunitas. Bagaimana identitas komunitas
selanjutnya mau dibentuk? Apakah mereka
cukup mendalam dalam memahami seluk-beluk iman komunitas yang khas?
Komunitas generasi pertama, hampir bisa dipastikan terdiri dari orang-orang
Yahudi. Sementara generasi kedua, bisa dibayangkan bahwa orang-orang non-Yahudi
mulai berdatangan juga masuk ke dalam komunitas karena pemberitaan firman.
Meskipun Komunitas Yohanes bukan sebuah komunitas yang ditentukan atau dibatasi
oleh pertimbangan etnik, perbedaan etnik yang mulai tampak pada generasi kedua
dan seterusnya, rasanya juga menimbulkan ketegangan meskipun mungkin tidak
terlalu berpengaruh.
Demikianlah, sudah pada generasi pertama, komunitas Yohanes harus mengalami
ancaman perpecahan di antara jemaat. Bahkan Roh Kudus yang pernah dijanjikan
Yesus ternyata berpotensi menambah ruwetnya situasi. Sebelumnya, Yesus memang
pernah menjanjikan, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama
dengan kamu; tetapi Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam
nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan
mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14,25-26 lihat
juga 16,13). Sebetulnya, Yesus menjanjikan Roh Kudus yang menjadi pembimbing
setiap orang Kristen. Penulis surat Yohanes juga mengatakan, “Sebab di dalam
diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari Dia. Karena itu,
kamu tidak perlu diajar oleh orang lain” (1Yoh 2,27). Penegasan seperti ini
tampaknya memang bagus, tetapi apakah memang demikian?
Jika masing-masing orang Kristen dibimbing dan hanya cukup mengandalkan Roh
Kudus – dan tidak perlu diajar oleh orang lain – lalu apa jadinya? Jelas bahwa
masing-masing bisa mengklim diri dibimbing oleh Roh Kudus dan menafsirkan
ajaran Tuhan semau-maunya. Dan inilah yang rupanya terjadi dengan komunitas Yohanes
di kemudian hari, sebagaimana terungkap dalam surat 1Yoh.
Ketika kesatuan terancam, maka perlu dicari kekuatan lain untuk
mencegahnya. Dua kali dalam bagian ini Yesus menyampaikan pengharapan-Nya,
yaitu “supaya mereka semua menjadi satu” (ay. 21 dan 22). Kesejajaran tematis
seperti bisa lihat di bawah ini menunjukkan pentingnya tema ini dalam seluruh
Doa Yesus kepada Bapa-Nya ini.
Yoh 17,20-21
|
Yoh 17,22-23
|
20
Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa,
tetapi
juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;
21
supaya mereka semua menjadi satu,
sama
seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar
mereka juga di dalam Kita,
supaya
dunia percaya
bahwa
Engkaulah yang telah mengutus Aku.
|
22
Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,
supaya
mereka menjadi satu,
sama
seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku
supaya
mereka menjadi satu dengan sempurna,
agar
dunia tahu
bahwa
Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti
Engkau mengasihi Aku.
|
Ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kesatuan para murid
Kristus ini mesti didasarkan pada kesatuan Bapa dan Putera, Bapa “di dalam Aku
dan Aku di dalam Engkau” (ay. 21). Dan yang kedua, kesatuan Bapa dan Putera ini
dirumuskan dengan kata “di dalam”: Bapa di dalam Putra, Putera di dalam Bapa. Menarik
memperhatikan bahwa dalam doa Yesus ini, rumusan seperti ini muncul cukup
sering: Yesus berdoa juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku (ay. 21); Ia
juga memohon agar kasih yang diberikan kepada-Nya “ada di dalam mereka dan Aku
di dalam mereka” (ay. 26). Hubungan antara Bapa dengan Yesus dan para murid
dirumuskan demikian: Bapa di dalam Yesus (ay. 21.23), Yesus di dalam Bapa (ay.
21). Yesus di dalam para murid (ay. 23.26), sementara para murid dikatakan
berada di dalam Yesus dan di dalam Dia dan Bapa (ay. 21).
Kesatuan Bapa – Putera yang dirumuskan dengan menggunakan ungkapan yang
unik, “di dalam”. Bapa di dalam Putera; Putera di dalam Bapa. Rumusan semacam
ini adalah rumusan khas Yohanes, walaupun sulit dipahami apa yang sebenarnya
mau dikatakan dengan rumusan tersebut. Salah satu kemungkinan untuk memahami
rumusan tersebut adalah demikian. Dengan mengatakan “Bapa di dalam Putera” (atau sebaliknya) mau ditunjukkan di satu pihak,
kesatuan yang amat kuat antara keduanya, tetapi di lain pihak, keduanya tetap
berbeda. Mengatakan Bapa di dalam
Putera tidak sama dengan mengatakan Bapa adalah
Putera, dan sebaliknya. Dalam kesatuan erat ini, identitas masing-masing tidak
lebur dan menjadi sesuatu yang lain.
Lalu apa kandungan makna ungkapan “di dalam” (en) ini? Ungkapan ini tampaknya mau menunjukkan unsur kedekatan
antara pihak-pihak yang terlibat (Bapa di
dalam Putera, Putera di dalam
Bapa, Yesus di dalam para murid,
dsb). Dalam relasi ini, mereka berbagi hidup, kasih, dalam kehendak, dalam
kemuliaan, dan juga dalam kebahagiaan.
Dalam konteks ini, kesatuan para murid Kristus mesti bercermin pada
kesatuan atau relasi “tinggal di dalam” yang dihidupi oleh Bapa dan Putera.
Dengan kata lain, kesatuan para murid Kristus sebenarnya tetap mau
mempertahankan, di satu pihak, kesatuan atau kedekatan mereka, tetapi di lain
pihak, juga identitas masing-masing yang khas. Kesatuan para murid Kristus,
sebagai mana juga kesatuan Bapa dan Putera, tidak menuntut kesatuan di mana
identitas dan kekhasan masing-masing lenyap melebur menjadi satu.
Sampai saat ini kita bicara tentang “tinggal di dalam”. Tetapi silakan
diperhatikan bahwa “tinggal di dalam” ini hanya terjadi antara Bapa dan Putera
di satu pihak, dengan para pengikut Yesus di lain pihak. Artinya, dalam bagian
ini, tidak pernah dikatakan bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain. Meskipun sebenarnya bisa diandaikan bahwa
jika para murid tinggal di dalam Bapa atau Putera, maka di antara mereka pun,
sebenarnya terjalin sebuah kesatuan. Bapa dan Putera menjadi titik yang
mempersatukan mereka semua. Tetapi kita tahu bahwa dalam doa ini, tidak dikatakan
secara eksplisit bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain.
Satu poin lain perlu juga mendapat perhatian. Dalam dua pengharapan agar
mereka menjadi satu, Yesus menyatakan bahwa tujuannya adalah “supaya dunia
percaya” bahwa Bapa lah yang telah
mengutus Diri-Nya (ay. 21 dan 23). Dengan demikian, kesatuan para murid
Kristus sebenarnya mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi kemartiran, yaitu
memberikan kesaksian bagi dunia. Lalu, kesaksian apa? Dunia mesti tahu bahwa
Allah telah mengutus Yesus dan Allah mengasihi para pengikut Yesus sebagaimana
Ia mengasihi Yesus. Itu berarti bahwa di dalam komunitas para murid Kristus
terungkap kuasa yang lebih besar, yaitu kuasa Allah sendiri. Komunitas murid
Kristus tidak tiba-tiba muncul dengan kekuatannya sendiri.
***
Menjadi jelas bahwa dalam konteks Gereja Indonesia, Kabar Sukacita mesti
diwartakan dalam pluralitas gereja-gereja. Seperti sudah disinggung pada awal,
kalau orang sempat mengunjungi Gereja Makam Suci (Church of the Holy Sepulcher) di Yerusalem akan terasakan sesuatu
yang amat ironis. Di tempat di mana Sang Penebus menjalankan karya penyelamatan
Allah dengan menyerahkan diri-Nya di kayu salib, di tempat itulah perpecahan
umat kristiani amat kentara. Sejak tahun 1862, pemeliharaan Gereja Makam Suci
ini menjadi tanggungjawab tidak kurang dari enam denominasi Kristen, yaitu
Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Katolik Roma, Gereja Koptik,
Gereja Etiopia, dan Gereja Ortodoks Siria. Gereja yang luar biasa ini dibagi
sangat ketat menjadi enam area. Pelanggaran batas ini bisa menimbulkan konflik
berdarah di antara orang Kristen sendiri. Begitu gentingnya suasana
sampai-sampai kunci pintu Gereja Makam Suci ini sejak berabad-abad justru dipercayakan
kepada dua keluarga Muslim untuk menjaga kenetralannya. Konsili Vatikan II
dengan tegas menggambarkan situasi ini sebagai perpecahan yang
"terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu
sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil
kepada semua makhluk" (UR 1).
Dekrit tentang ekumenisme dibuka dengan kalimat “Mendukung pemulihan
kesatuan antara segenap umat Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili
Ekumenis Vatikan II” (UR 1). Dengan demikian menjadi jelas arah perjalanan
Gereja selanjutnya khususnya dalam relasi dengan gereja-gereja lain. Dirasakan
bahwa sampai saat ini, arahan Konsili Vatikan II ini berjalan dengan baik:
sikap polemik di masa lalu perlahan-lahan mulai ditinggalkan, keinginan umat
beriman untuk mengetahui gereja atau denominasi lain mulai tumbuh, dan beberapa
inisiatif bersama. Tentu saja masih banyak persoalan yang mesti diselesaikan,
dari hal-hal yang bersifat praktis sampai dengan yang dogmatis. Tetapi kiranya
kita tidak perlu menantikan semuanya selesai terlebih dahulu baru kita memulai
sesuatu. Dengan memulai sesuatu, mungkin kita justru menjejakkan langkah awal
untuk sesuatu yang lebih baik.
Harus diakui bahwa berhadapan dengan pluralisme denominasi kristen seperti
ini, tugas pewartaan Injil menjadi sangat unik dan peka, dan sekaligus
memprihatinkan. Semuanya merasa mendapatkan perutusan dari Amanat Agung (Mat
28,18-20) untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus. Yang diwartakan adalah
Yesus Kristus yang sama yang dikisahkan dalam Injil yang sama. Kalau boleh kita
gunakan kata “pasar”; maka “pasar” ke mana Kabar Sukacita itu ditawarkan,
sebenarnya ya itu itu saja. Tidak mengherankan dan memang tidak bisa
terhindarkan bahwa pewartaan tentang Yesus Kristus ini seringkali akhirnya juga
disampaikan kepada mereka yang sudah beriman kepada Yesus Kristus. Istilah yang
seringkali muncul adalah “memancing di kolam orang”. Dalam situasi demikian,
maka tidak jarang perbedaan, yang seringkali diartikan sebagai kelebihan yang
satu dibandingkan dengan denominasi yang lain, semakin ditonjolkan dan
ditampakkan, bahkan kadang-kadang dimanfaatkan sebagai sarana persuasif dan
provokatif.
Dalam kesempatan ini, rasanya tidak mungkin kita berdiskusi panjang lebar
lagi tentang relasi Gereja Katolik dengan gereja-gereja lain. Pada level umat
beriman yang tidak banyak berurusan dengan hal-hal yang berbau
teologis-dogmatis, mungkin pembicaraan dalam pertemuan akan lebih efektif jika
diarahkan pada hal-hal konkret yang bisa dikerjakan bersama dengan
saudara-saudara dari Gereja lain supaya bisa terbangun bonum commune atau kebaikan bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada
baiklah dikesampingkan terlebih dulu untuk memberi tempat pada persamaan yang
menghasilkan buah untuk melindungi kepentingan bersama.
[1]Kaisarea Maritima adalah sebuah kota di
tepi laut yang didirikan oleh Herodes Agung pada tahun 22 sM. Pada zaman
Romawi, kota ini menjadi ibukota provinsi Roma di Palestina. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika di sana banyak tinggal para pembesar Romawi.
[2] Peter C. Phan, Christianities in
Asia (Wiley-Blackwell, Chichester 2011) 2.
[3] Ecclesia in Asia adalah
anjuran apostolik dari Paus Yohanes Paulus II tentang pewartaan Injil di Asia.
Rangkuman dan kesimpulan dari hasil Sinode Istimewa para Uskup Asia di Roma
yang diadakan pada tanggal 18 April – 14 Mei 1998. Secara resmi EA dipromulgasikan di New Delhi pada
tanggal 6 Nopember 1999.
[4] John Prior, “Indonesia” dalam Phan, Christianities in Asia, 61-62.
[5] David J. Bosch, Transforming
Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission (Orbis Book, New York 2011)
256.
[6] Bosch, Transforming Mission,
385.
[7] Franz Magnis-Suseno, Menjadi
Saksi Kristus (Obor, Jakarta 2004) 124.
[8] Phan, Christianities in Asia,
257.