Social Icons

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018 : MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN

GAGASAN PENDUKUNG
BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018
“MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”
V. Indra Sanjaya, pr


Pendahuluan

Dalam pertemuan nasional (Pernas) yang diadakan pada tanggal 18-22 Juli 2016 di Sawangan, Bogor, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sepakat untuk mengusung sebuah tema besar “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai arahan selama 4 tahun ke depan. Tema itu kemudian dijabarkan dalam 4 (empat) tema yang lebih spesifik yang akan direnungkan terutama dalam Bulan Kitab Suci Nasional selama 4 tahun mendatang. Adapun keempat tema itu adalah sebagai berikut:

Mewartakan Kabar Gembira dalam Gaya Hidup Modern (2017)
Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan (2018)
Mewartakan Kabar Gembira dalam Krisis Lingkungan Hidup (2019)
Mewartakan Kabar Gembira dalam Krisis Iman dan Identitas Diri (2020)

Tema pertama sudah kita renungkan selama bulan September 2017. Sekarang ini kita memasuki tema yang kedua, yaitu Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan.  Sebagaimana biasa, tema ini akan dibagi dalam 4 pertemuan mingguan dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional. Tulisan ini, yang bisa diperlakukan sebagai Gagasan Pendukung, mau menempatkan permenungan atas tema itu dalam konteks Gereja Indonesia. Oleh karena itu, Gagasan Pendukung ini akan diawali dengan refleksi tentang Gereja Indonesia dan panggilan mewartakan Injil sebelum nanti dilanjutkan dengan pembahasan bahan-bahan yang merupakan barang khas Bulan Kitab Suci Nasional.

***





Amanat Agung: Mewartakan Kabar Sukacita

Kalau kita memeras seluruh Perjanjian Baru menjadi satu ayat, mungkin yang keluar adalah satu nats terkenal dari Injil Yohanes. “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3,16 TB2). Seluruh narasi kekristenan sepanjang sejarah, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya adalah kisah tentang penjabaran nats pokok ini dalam sejarah yang selalu berubah. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang begitu mengasihi dunia. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Kekristenan adalah kisah tentang orang percaya dan membuat orang percaya.

Untuk membuat “setiap orang” – artinya seluruh umat manusia, tidak hanya kini dan di sini, tetapi juga yang kemudian dan di sana – percaya kepada Anak Tunggal Bapa, perlulah ada gerakan yang membawa Dia kepada setiap makhluk mengarungi zaman. Seperti Paulus berujar, “Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar? Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus?” (Rom 10,14-15). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, menempatkan karya pewartaan Kabar Gembira kepada segala makhluk ini sebagai perutusan pokok dari Gereja semesta. Hidup Gereja praktis tidak bisa dipisahkan dari karya pewartaan Injil atau Kabar Gembira. Setelah Gereja sendiri lahir dari pewartaan Injil dari Yesus dan Keduabelas Rasul, maka pada gilirannya, Gereja sendiri mesti mewartakan Injil “dengan mengutus para pewarta Injil. Gereja meletakkan dalam bibir-bibir mereka Sabda yang menyelamatkan” (EN 15).

Setelah kisah kebangkitan dan penampakan Yesus kepada para murid, keempat Injil dengan caranya masing-masing menyampaikan perintah perutusan. Injil Matius mempunyai Amanat Agung yang menjadi misi Gereja sepanjang masa, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman" (Mat 28,19-20). Perintah yang mirip bisa kita temukan dalam Injil Markus. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16,15). Injil keempat memang tidak mempunyai perintah penginjilan dalam bentuk yang eksplisit. Tetapi rumusan yang ada pada akhir Injil Yohanes sebenarnya mengandaikan (akan) terjadinya karya pewartaan Injil. “Memang masih banyak tanda mukjizat lain yang diperbuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tertulis dalam kitab ini, tetapi hal-hal ini telah ditulis, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20,30-31 Terjemahan Pribadi). Dengan dicatat atau ditulis (Yun: graphein), kisah tentang Yesus menjadi terbekukan, terbukukan dan terbakukan; dan dengan demikian tersedia bagi para pewarta yang nantinya akan membawa kisah tersebut kepada setiap orang di setiap zaman dan tempat.

Lalu bagaimana dengan Injil ketiga, yaitu Injil Lukas? Injil ini merumuskannya dengan agak berbeda. “Dalam nama-Nya berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamulah saksi-saksi dari semuanya ini” (Luk 24,47-48). Buku kedua Lukas, yaitu Kisah Para Rasul, menyatakannya dengan cara yang agak berbeda, tetapi lebih terperinci. “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi" (Kis 1,8). Pewartaan Kabar Sukacita akan mulai dari Yerusalem, kemudian ke seluruh Yudea dan Samaria; dan dari situ “ke ujung bumi,” sebuah lokasi yang tidak tahu di mana persisnya.

Dari Yerusalem ke Ujung Bumi

Kisah bagaimana para murid Kristus pertama melaksanakan tugas perutusan ini sebenarnya diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Kisah Para Rasul sebenarnya merupakan sebuah kisah kesaksian tentang perkembangan Gereja dan perutusannya. Teks yang sudah dikutip di atas, yaitu Kis 1,8 sebenarnya boleh dipandang sebagai teks programatis, yang merumuskan dengan singkat program kerja Kisah Para Rasul. Dengan demikian, seluruh Kisah Para Rasul, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya hanyalah penjabaran dari program kerja itu.

Perutusan menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi mengandaikan 3 (tiga) hal yang masing-masing berkaitan satu sama lain.

a.     Ada gerakan ke luar Palestina
b.    Ada tokoh yang melaksanakan
c.     Ada pertemuan dengan budaya-budaya non-Yahudi

a.    Gerakan ke luar Palestina

Palestina bukan “ujung bumi”; demikian juga “ujung bumi” bukan Palestina. Artinya, kalau tugas menjadi saksi Kristus mau dilaksanakan, maka mesti ada sebuah gerakan ke luar dari Palestina. Harus ada gerakan jemput bola. Para pewarta tidak bisa hanya tinggal di Yerusalem dan menunggu orang-orang dari “ujung bumi” untuk datang dan mendengarkan kisah tentang Yesus. Mereka tidak bisa bersikap seperti para rabi Yahudi yang hanya menunggu sampai mereka didatangi oleh anak-anak muda yang mau belajar tentang Taurat.

Memang ada kesempatan tertentu, seperti misalnya hari Pentakosta, di mana dikatakan bahwa pada waktu itu “di Yerusalem tinggal orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit” (Kis 2,5). Tetapi hal ini tidak banyak artinya bagi pewartaan Injil, karena yang datang ke sana adalah orang-orang Yahudi yang memang mempunyai kewajiban untuk datang berziarah ke Yerusalem tiga kali dalam setahun (bdk. Ul 16,1-17; Kel 23,14-19). Padahal yang dimaksud dengan pewartaan sampai ke ujung bumi adalah pewartaan yang juga menjangkau orang non-Yahudi yang berada di dunia sana, di luar Palestina. Oleh karena itu, memang tidak ada cara lain. Kalau kesaksian akan Yesus mau dialamatkan kepada mereka, kegiatan misi keluar mesti dijalankan.

Dalam Kisah Para Rasul kita memang menemukan gambaran tentang gerakan misionaris ini. Kita bisa amati beberapa teks tertentu. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kis 2,14-40) dan di Serambi Salomo (Kis 3,11-26), serta juga di hadapan Mahkamah Agama (Kis 4,1-22) merupakan kesaksian para rasul pertama di Yerusalem. Kemudian pecahlah penganiayaan atas jemaat. Penganiayaan ini memaksa orang Kristen untuk keluar dari Yerusalem.  “Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria” (Kis 8,1b). Tetapi penganiayaan ini ternyata menjadi blessing in disguise, karena orang Kristen tidak hanya sekedar melarikan diri dari Yerusalem, tetapi mereka juga memberitakan Injil di tempat mereka berada. “Mereka yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8,4).

Mulai dari sini gerak keluar untuk mewartakan Injil berjalan terus semakin meluas, meninggalkan pusatnya Yerusalem. Barnabas dan Saulus sampai di Antiokhia (Kis 11,19-30). Gerakan mereka kemudian merambah ke beberapa provinsi Romawi di Asia Kecil (13,1-14,28; 15,40-16,8). Dari sana para misionaris awal ini menyeberang ke tanah Yunani, ke Makedonia dan Akhaya (16,9-19.22). Kis mengakhiri narasi misionarisnya dengan menceritakan kisah Paulus di Roma (Kis 27,1-28,31). Orang banyak menafsirkan bahwa Roma adalah “ujung bumi”. OK lah...silakan saja. Yang jelas, menurut Rom 15,24.28 Paulus sebenarnya masih ingin mengunjungi Spanyol.

b.   Sang Eksekutor

Program menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi seperti digariskan oleh Kis 1,8 membutuhkan pelaksana. Siapa yang akan berangkat ke ujung bumi ini? Siapa orangnya? Ada beberapa orang yang tampil sebagai pewarta Injil. Filipus, salah seorang dari tujuh diakon (lihat Kis 6,5), membawa dan mewartakan Injil ke Samaria (Kis 8,4-25). Kemudian kita juga temukan nama Barnabas (Kis 13,2) ditunjuk Allah untuk menjadi pewarta Kabar Sukacita. Tetapi di antara semua itu, ada tokoh yang nengejutkan. Siapa yang menduga kalau sang pelaksana karya misioner ini adalah seorang mantan “penganiaya jemaat” (bdk. Flp 3,6; 1Tim 1,13) yang bernama Paulus atau Saulus.

Sulit dibayangkan bahwa seorang “yang nafasnya penuh ancaman dan pembunuhan atas murid-murid Tuhan” (bdk. Kis 9,1) ternyata kemudian berbalik 180 derajat menjadi seorang pewarta iman yang tangguh. Hal ini hanya bisa terjadi jika memang ada suatu kekuatan besar yang campur tangan dalam kehidupan Paulus. Kisah Para Rasul memang menceritakan bagaimana Paulus mengalami sebuah pengalaman rohani yang mencekam, yang akhirnya mengubah seluruh hidupnya. Sampai tiga kali pengalaman Paulus ini diceritakan dalam Kis (Kis 9,1-19a; 22,6-16;  26,12-23). Tidak lain dan tidak bukan, Allah sendirilah yang campur tangan di sini. “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku di hadapan bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel” (Kis 9,15).

Dalam perjalanan selanjutnya, kita tetap melihat bagaimana Allah sendiri, melalui Roh Kudus, mengarahkan semua perjalanan misi yang dilaksanakan oleh Paulus. Dalam Kis 13,2 Roh Kudus berkata, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka." Karena disuruh Roh Kudus, mereka berangkat ke Seleukia dan dari situ mereka berlayar ke Siprus (Kis 13,4). Narasi singkat dalam Kis 16,6-10 menggambarkan bagaimana Roh secara eksplisit menentukan perjalanan misi mereka.

6 Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. 7 Setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka. 8 Setelah melintasi Misia, mereka sampai di Troas. 9 Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: Ada seorang Makedonia berdiri di situ dan memohon kepadanya, "Menyeberanglah kemari dan tolonglah kami!" 10 Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.

Kisah Para Rasul sendiri merekam kisah-kisah perjalanan misi Paulus untuk memberitakan Injil.

§  Perjalanan I                            : Kis 13,4-14,28            mungkin tahun 45-58
§  Perjalanan II                          : Kis 15,36-18,23          mungkin tahun 48-50
§  Perjalanan III                                     : Kis18,23-21,17            mungkin sekitar 52-58
§  Perjalanan IV             (ke Roma)      : Kis 21,15-28,31           mungkin sekitar 60 M

Kisah perjalanan ini tidak terungkap dalam surat-surat Paulus. Tetapi sebenarnya hal ini tidak amat mengherankan. Paulus banyak mendirikan jemaat di banyak tempat. Tetapi Paulus tidak bisa terus bersama mereka. Oleh karena itu, tidak lama setelah jemaat setempat berdiri dan pemimpin lokal ditunjuk, Paulus beranjak ke tempat lain untuk melanjutkan tugasnya mewartakan Injil kepada segala bangsa. Kadang kala jemaat baru yang ia tinggalkan harus berhadapan dengan beberapa hal yang ketika Paulus ada bersama mereka belum muncul sebagai masalah. Karena tidak atau kurang tahu bagaimana memecahkan persoalan tersebut, para pemimpin jemaat mungkin bertanya kepada Paulus yang sudah dalam perjalanan. Paulus lalu menanggapinya dengan surat. Dengan demikian, isi surat Paulus memang sebenarnya sangat terbatas, yaitu menanggapi persoalan yang dihadapi oleh jemaat dari sudut pandang iman Kristiani. Satu kekecualian adalah Surat Roma, karena jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus.

Dalam diri Paulus, tugas pewartaan ke ujung bumi mendapatkan pelaksananya. Tentu saja, Paulus bukan satu-satunya misionaris abad pertama yang berkeliling mewartakan Injil. Tetapi sebagaimana kita tahu, di balik semua itu, kita bertemu dengan Roh Kudus yang ternyata juga memainkan peranan amat penting. Dialah kuasa dari tempat tinggi yang dianugerahkan kepada para rasul agar mereka dapat menjalankan tugas pewartaannya (bdk. Luk 24,49; Kis 1,8).Kisah Para Rasul di satu pihak memang bercerita tentang Roh Kudus yang mendampingi jemaat perdana; tetapi di lain pihak, juga merupakan kisah tentang perjalanan para rasul, khususnya Paulus dalam mewujudkan karya pewartaan Injil ke dunia yang lebih luas.

c.    Pertemuan dengan Budaya Non-Yahudi

Paulus sendiri meyakini bahwa Allah menghendakinya untuk pergi mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. “...Allah, telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi...” (Gal 1,15-16) atau kepada “orang-orang yang tidak bersunat” (Gal 2,9). Situasi ini membawa tiga konsekwensi penting: (1) Paulus harus pergi ke luar Palestina, (2) itu berarti bahwa dia harus bertemu dengan budaya-budaya serta tradisi religius non-Yahudi, (3) maka metode pewartaannya pun mesti berbeda.

Konsekwensi pertama sudah diuraikan di atas, maka tidak akan diulang di sini. Konsekwensi kedua merupakan soal besar, dan sampai sekarang masih merupakan salah satu pokok diskusi teologis dalam pemikiran tentang karya misioner. Berkaitan dengan hal ini, kekristenan awal menghadapi persoalan yang khas. Pertama-tama mesti disadari bahwa jemaat Kristen awal adalah orang-orang Yahudi yang tentu saja hidup menurut hukum dan budaya mereka. Di sini segera muncul persoalan: apakah menurut tradisi hukum Yahudi, pertemuan antara para pewarta yang adalah orang Yahudi dengan orang-orang non-Yahudi bisa dibenarkan atau dimungkinkan? Apakah pertemuan seperti ini tidak membuat orang Yahudi menjadi najis?

Dua teks dari Kisah Para Rasul baik dikutip di sini. Dalam Kis 10 kita menemukan sebuah kisah panjang yang dalam Alkitab kita diberi judul Petrus dan Kornelius. Kisah ini bisa dibagi menjadi 4 bagian:
·      Ay. 1-8 : Penglihatan Kornelius di Kaisarea.[1] Dalam penglihatan malaekat menyuruh Kornelius untuk memanggil Petrus yang sedang berada di Yope.
·      Ay. 9-18 : Penglihatan Petrus. Petrus melihat benda seperti kain lebar diturunkan ke tanah. Di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang. Kita tidak tahu binatang apa saja yang ada di sana, tetapi dari jawaban Petrus kita bisa menduga bahwa yang ada di sana adalah binatang najis. Ketika Petrus diperintahkan untuk menyembelih dan memakannya, Petrus menolak karena binatang itu haram. Tetapi suara dari sorga mengatakan, “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Dikatakan bahwa hal itu terjadi sampai tiga kali.
·      Ay. 19-23 : Petrus dan utusan Kornelius. Saat Petrus sedang merenungkan pengalamannya, utusan Kornelius datang dan mengutarakan maksudnya untuk membawa Petrus ke Kaisarea.
·      Ay. 24-43 : Pertemuan Petrus dan Kornelius. Petrus sadar bahwa sebenarnya ia sebagai orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang non-Yahudi, tetapi karena Allah yang memerintahkannya maka ia lakukan (ay. 28). Petrus akhirnya menyadari bahwa keselamatan Allah melalui Yesus Kristus juga diperuntukkan bangsa-bangsa lain. “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” (ay. 47).

Pembaptisan Kornelius oleh Petrus merupakan peristiwa penting bagi perkembangan jemaat. Petrus adalah wakil jemaat Yerusalem yang merupakan Gereja Induk. Sementara Kornelius adalah seorang Roma, seorang non-Yahudi. Dalam Kis 11,1-18 diceritakan bahwa Petrus mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di hadapan orang-orang bersunat di Yerusalem. “Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita pada waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah Dia?” (ay. 17). Dengan demikian, pembaptisan Kornelius merupakan legitimasi dari Gereja Induk untuk mewartakan kabar sukacita kepada bangsa-bangsa lain. Allah memang menghendaki demikian. Dengan demikian, jalan menuju perutusan kepada bangsa-bangsa mendapatkan lampu hijau dari Gereja Yerusalem.

Tidak hanya itu. Pengalaman Petrus yang mendapatkan penglihatan (ay. 9-18) memberi solusi pada satu persoalan yang meski sederhana, tetapi bisa amat merepotkan. Ketika para pewarta Kristen berangkat keluar meninggalkan dunia Yahudi dan masuk dunia asing, mau tidak mau mereka juga harus hidup menurut gaya dunia asing itu. Bisa dibayangkan bahwa soal makanan yang kosher menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Dalam situasi seperti itu, suara dari surga pada ay. 15 memberikan pemecahan bagi persoalan makanan ini. Dengan demikian, tidak ada lagi masalah bagi orang Kristen Yahudi untuk bertemu dan bergaul, atau makan bersama dengan orang-0rang non-Yahudi.

Dengan demikian satu dimensi dari ketegangan antara budaya Yahudi dengan budaya asing terselesaikan. Dari pihak hukum dan tradisi Yahudi kini tidak ada lagi keberatan untuk menerima orang asing. Satu teks lagi yang juga mesti dipertimbangkan adalah Kis 15,1-21 yang diberi judul Sidang di Yerusalem. Pertemuan ini seringkali disebut juga konsili pertama dalam Gereja. Dalam pertemuan ini, sekali lagi konflik budaya menjadi pokok perdebatan.

Sampai saat itu kekristenan masih melekat kuat pada agama Yahudi dengan segala macam tradisinya, termasuk Hukum Taurat. Di beberapa tempat – terutama di bagian awal Kis – kita melihat bagaimana para rasul berkhotbah di Bait Suci. Tampaknya mereka masih berdoa di Bait Suci walau kemudian mereka melanjutkan persekutuan mereka (memecahkan roti) di rumah masing-masing. Oleh karena itu, ketika sekarang orang non-Yahudi akan menjadi kristen, pertanyaan yang mendasar adalah: apakah mereka juga masih harus menjalankan kewajiban-kewajiban Hukum Taurat? Secara konkret pertanyaannya adalah: apakah orang-orang non-Yahudi yang menjadi Kristen harus juga menjalani sunat dan mengikuti Hukum Musa? Inilah yang didiskusikan dalam Konsili Yerusalem ini.

Kita bisa mendengar gema pertentangan itu dalam Kis 15. Kita mendengar ada kelompok yang mengatakan

"Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan" (Kis 15,1)

"Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa" (Kis 15,5)

Nanti Paulus masih harus berhadapan dengan masalah semacam ini seperti terungkap dalam suratnya kepada jemaat Galatia.

Persoalan ini sebenarnya bukan sekedar persoalan budaya saja, tetapi juga mempunyai implikasi amat penting bagi iman keyakinan Kristen. Yang menjadi pokok masalah adalah apa atau siapakah yang sebenarnya memberi keselamatan? Kristus atau Hukum Taurat? Jika untuk menjadi Kristen orang harus disunat, maka itu berarti bahwa Kristus belum cukup untuk keselamatan manusia. Tetapi sebaliknya, jika keselamatan datang dari Kristus, maka Hukum Taurat dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Pertentangan antara Kristus dan Hukum Taurat seperti bisa kita lihat, juga mewarnai surat Galatia dan surat Roma.

Dalam Konsili Yerusalem, Petrus dengan jelas mengatakan,

7 "Hai Saudara-saudara, kamu tahu bahwa sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraanku bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya. 8 Allah, yang mengenal hati manusia, memberi kesaksian untuk mereka dengan mengaruniakan Roh Kudus kepada mereka sama seperti kepada kita, 9 dan Ia sama sekali tidak membeda-bedakan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. 10 Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu gandar yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri? 11 Sebaliknya, kita percaya bahwa melalui anugerah Tuhan Yesus Kristus kita akan diselamatkan sama seperti mereka juga."

Yakobus yang waktu itu menjadi pemimpin Gereja Yerusalem akhirnya memutuskan bahwa

“Sebab itu aku berpendapat bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, 20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari hal-hal yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah” (Kis 15,19-20)
            
Dengan Konsili Yerusalem ini, persoalan mengenai sunat bagi orang non-Yahudi praktis selesai. Secara teologis dan teoretis, pewartaan kepada bangsa-bangsa lain dengan segala konsekwensinya mendapat peneguhan dalam Konsili Yerusalem. Kini segalanya sudah siap. Orang yang mendapatkan tugas sudah ada, restu dan lampu hijau dari Gereja Induk sudah diberikan. Yang tersisa sekarang adalah pelaksanaannya.

Di sinilah konsekwensi yang ketiga perlu diperhatikan. Masuk ke dalam dunia yang sama sekali berbeda, menuntut cara bergaul yang perbedaan juga. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, begitu kata orang. Ketika para pewarta masih berkeliling di sekitar tanah Palestina, “di seluruh Yudea dan Samaria”, mereka tidak menemui banyak kesulitan berarti karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang kebudayaan dan tradisi religius yang sama. Mari kita lihat. Pokok utama pewartaan Kristen kepada orang-orang Yahudi adalah bahwa Yesus Kristus merupakan pemenuhan janji dan harapan Israel. Hal ini bisa ditangkap dan dipahami, meskipun tidak selalu diterima, oleh orang-orang yang ada di Yudea dan Samaria. Tetapi tidak demikian halnya ketika mereka berhadapan dengan orang-orang non-Yahudi di tanah asing. Kitab Suci Ibrani tidak mereka kenal; Hukum Taurat tidak mereka kenal. Pengharapan Israel akan mesias sang pembebas juga tidak mereka kenal. Oleh karena itu, gagasan Yesus sebagai pemenuhan pengharapan Israel sama sekali tidak laku ‘dijual’ kepada bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka memang sama sekali tidak paham tentang hal itu. Oleh karena itu supaya pewartaan Kabar Gembira bisa tetap berjalan, mesti dicari jalan lain.

Kisah Para Rasul sebenarnya mempunyai sebuah kisah yang persis menggambarkan pertemuan antara kekristenan yang baru muncul dan bergerak dengan alam pikir Yunani. Dalam kisah itu, kita bisa merasakan strategi genius yang dijalankan Paulus ketika ia bermisi di luar Palestina. Dalam Kis 17,16-34 kita melihat bagaimana Paulus berdebat dengan para tokoh Yunani di Areopagus. Dalam konteks ini, Atena bisa dipandang pusat dari pewartaan ke ‘ujung bumi’, pusat dunia kafir! Ini adalah dunia non-Yahudi! Pertemuan bersejarah antara Paulus dengan para filosof Atena ini bisa dipandang sebagai pertemuan simbolik antara budaya Barat dengan budaya Timur.

Sebenarnya menarik kalau kita bisa menikmati pengalaman Paulus di Areopagus ini. Akan tetapi karena perikopa ini akan digunakan sebagai bahan permenungan Minggu III BKSN tahun 2018 ini, maka pembahasan atas perikop yang sangat inspiratif ini akan diletakkan agak ke belakang.

Di Ujung Bumi: Gereja di Indonesia, Gereja di Asia

Tugas perutusan yang diserahkan oleh Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya belum berakhir. Dalam setiap dokumen Gereja yang dikeluarkan, ajakan untuk tetap mewartakan Injil pasti terus dikumandangkan. Para murid Kristus di mana pun mereka berada terus didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita dalam konteks hidup mereka. Demikian juga kita. Umat Kristiani di Indonesia juga tidak ketinggalan diajak untuk tetap bersemangat dalam mewartakan Injil.

Kita berada di Asia, dan Gereja Asia mempunyai ciri khas tertentu. Dengan penduduk yang mencapai dua per tiga dari enam miliar penduduk dunia, Asia merupakan benua yang paling banyak dihuni. Asia juga merupakan benua yang luar biasa luas, merentang dari Terusan Suez yang memisahkan benua Asia dan Afrika sampai dengan Selat Bering, Laut Jepang, dan Laut Cina Timur; dari Siberia sampai dengan Samudera Hindia. Secara tradisional, Asia dibagi menjadi 5 daerah[2]: Asia Tengah (misalnya, Tajikistan, Turkmekistan, Uzbekistan), Asia Timur (seperti Cina, Jepang, Korea, Taiwan), Asia Selatan (India, Bangladesh, Pakistan, Nepal, Srilangka), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Kambodia, Filipina, Laos, Vietnam), dan Asia Barat yang mencakup negara-negara Timur Tengah.

Dari paparan ini, bisa dibayangkan bahwa Asia memang diwarnai oleh pluralisme. Ada pluralisme dalam bidang linguistik, ethnik, politik, kultural, dan tentu saja religius.

Tuhan kita Yesus Kristus lahir dan dibesarkan di benua Asia, di daerah kecil di sebelah barat Asia. Dan sebenarnya, selain kekristenan, agama-agama besar di dunia seperti misalnya, Yudaisme, Islam, dan Hindu, serta juga tradisi kerohanian lain, seperti, Buddha, Tao, Konghucu, Shinto, dan yang lain lagi, juga lahir di Asia (bdk. Ecclesia in Asia[3] 6). Ironi terbesar bagi kekristenan adalah bahwa meskipun kekristenan lahir di Asia, ia kembali ke benua asalnya sebagai agama asing, atau bahkan lebih buruk, agama dari mereka yang menjajah Asia, yang merupakan benua tempat kelahiran kekristenan itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang ini, masih banyak orang Asia yang menganggap kekristenan sebagai agama penjajah.

Dalam suasana yang sedemikian itu, bisa dibayangkan bahwa perutusan mewartakan Kabar Sukacita mesti memperhitungkan banyak hal agar bisa dilaksanakan dan menghasilkan buah. Justru karena menyadari bahwa bagaimana pun tugas pewartaan ini merupakan suatu tugas, yang sekarang ini mendesak untuk dijalankan, suatu keharusan dan hal yang agung, maka para bapa uskup Asia secara khusus berkumpul untuk membicarakan hal ini. Dalam Sidang Paripurna FABC I di Taipei, Taiwan tanggal 27 April 1974 ditelurkan sebuah pernyataan sidang berjudul “Pewartaan Injil di Asia Zaman Sekarang.” Tanpa harus menguraikan panjang lebar pernyataan sidang FABC tersebut, dapatlah kita katakan bahwa mempertimbangkan situasi Asia yang plural itu, karya pewartaan injil harus diadakan dengan cara berdialog dengan situasi setempat. Secara khusus ditegaskan bahwa pewartaan Injil di Asia mesti menempuh dialog rangkap tiga atau triple dialogue, yaitu dialog dengan bangsa-bangsa Asia, khususnya mereka yang miskin dan tersingkir; dialog dengan budaya-budaya Asia (kontekstualisasi dan interkulturasi), dan dialog dengan agama-agama lain (dialog antar-agama atau antar-iman).

Gereja Indonesia adalah bagian dari Gereja di Asia. Uniknya, kalau kita memperhatikan Indonesia sebenarnya boleh dipandang sebagai miniatur benua Asia. Sebagaimana benua Asia, Indonesia juga diwarnai oleh kemajemukan. Kemajemukan dari segi budaya dan dari segi agama – walaupun secara resmi Pemerintah Indonesia hanya menerima enam agama menjadi ciri kehidupan Gereja di Indonesia. Tentang kemajemukan ini, Pater John Prior dari STFK Ledalero melukiskan, “Politely ask to photograph half a dozen Indonesians hailing from different islands, and you will not immediately recognize them as coming from a single nation”[4]. Selain itu, mesti diakui juga bahwa kemiskinan atau jurang antara yang miskin dan yang kaya rasanya juga menjadi masalah di Indonesia. Kalau demikian, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa pewartaan Injil di Indonesia kiranya juga mesti memperhatikan triple dialogue ini.

Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan: BKSN 2018

Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2018 ini mengambil tema “Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan.” Seperti sudah dikatakan sebelumnya, selama empat tahun (2017-2020) BKSN akan merenungkan “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai tema besar. “Mewartakan Injil” menjadi fokus utama, sementara untuk tahun 2018 ini, kekhasannya terletak pada kata “kemajemukan.” Dengan demikian, tema BKSN 2018 ini sungguh sesuai dengan situasi Gereja Indonesia yang di satu pihak, tetap dipanggil dan didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita; tetapi di lain pihak, hidup dalam kemajemukan, sebuah situasi yang menuntut perhatian khusus.

Karena situasi yang mirip ini, maka arahan FABC berkaitan dengan triple dialogue yang mesti mengiringi perutusan pewartaan Kabar Sukacita, kiranya juga relevan untuk Gereja Indonesia. Oleh karena itu, dalam BKSN tahun ini kita akan merenungkan panggilan mewartakan Injil dengan memperhatikan triple dialogue ini. Berturut-turut kita akan merenungkan:
a.     Dialog dalam kemajemukan kaya – miskin
b.    Dialog dalam kemajemukan budaya
c.     Dialog dalam kemajemukan agama

Kemudian untuk yang keempat? Marilah kita menyadari bahwa kekristenan sendiri merupakan sesuatu yang majemuk. Jika Anda sempat sampai ke Gereja Makam Suci di Yerusalem, di sanalah Anda akan melihat sesuatu yang sangat ironis. Justru di tempat di mana Yesus pernah dimakamkan, di sana terlihat perpecahan para pengikut-Nya. Oleh karena itu, pada minggu IV BKSN, kita merenungkan bersama kemajemukan yang de facto terdapat dalam Tubuh Kristus atau Gereja sendiri.

Untuk pendalaman Kitab Suci di masing-masing minggu, beberapa teks bisa ditawarkan.

Minggu I        : dialog dengan kemiskinan                        - Mat 14,13-21
Minggu II       : dialog dengan budaya                    - Mat 1,18-25
Minggu III     : dialog dengan agama lain             - Mrk 9,38-41
Minggu IV     : dialog dengan Gereja lain             - Yoh 17,20-23

Pada bagian berikut ini, teks-teks ini akan diperdalam untuk memperjelas bagaimana masing-masing teks bisa berperan dalam mengolah tema-tema mingguan.

Harus diakui bahwa teks-teks yang dipilih ini tidak langsung jelas berkaitan dengan tema yang sedang direnungkan. Mengapa demikian? Karena tema-tema yang dibicarakan dalam masing-masing pertemuan sebenarnya merupakan refleksi kemudian yang dihasilkan dalam perjalanan Gereja atau boleh dikatakan bahwa tema-tema itu adalah tema-tema modern, kecuali misalnya tema kemiskinan. Dialog dengan kebudayaan atau dengan agama lain, bukanlah keprihatinan utama Gereja Awal. Tidak mengherankan kalau untuk tema-tema tersebut sulit atau tidak bisa ditemukan teks-teks alkitabiah yang langsung berkaitan dengan tema.

***

Minggu I 
Dialog dengan Yang Miskin & Tersingkir         
Mat 14,13-21

13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak menyendiri dengan perahu ke tempat yang terpencil. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.
15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, "Tempat ini terpencil dan hari mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa."16 Tetapi Yesus berkata kepada mereka, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan."17 Jawab mereka, "Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan."18 Yesus berkata, "Bawalah kemari kepada-Ku."
19 Lalu Ia menyuruh orang banyak itu duduk di rumput. Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak.20 Mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang lebih, sebanyak dua belas bakul penuh.
21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.22 Sesudah itu Yesus segera mendesak murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

Pendalaman Teks

Kisah mukjizat pergandaan roti adalah satu-satunya kisah mukjizat yang terdapat dalam keempat Injil (Mrk 6,32-44; Luk 9,10-17; Yoh 6,1-15). Injil Yohanes yang biasanya mempunyai bahan-bahan yang berbeda dari injil sinoptik ternyata juga mempunyai kisah pergandaan roti ini. Secara sederhana perikop ini bisa disusun sebagai berikut:
-       ay. 13-14           : pendahuluan - penyembuhan
-       ay. 15-18           : diskusi antara Yesus dan para murid
-       ay. 19-21           : mukjizat pergandaan roti dan hasilnya

Ay. 13-14: Pendahuluan – Penyembuhan

Dua ayat ini merupakan ayat peralihan dan sekaligus mempersiapkan pembaca untuk episode berikutnya. Akhir perikop sebelumnya mencatat bahwa murid-murid Yohanes Pembaptis memberitahukan kematian gurunya kepada Yesus (ay. 12). Perikop selanjutnya yang akan kita bahas, menggambarkan reaksi Yesus setelah mendengar berita ini. Dengan peralihan ini mau dikatakan bahwa dua perikop (Mat 14,1-12 dengan 14,13-21) ini berhubungan erat. Meskipun topiknya kurang lebih mirip, tetapi ada kontras tajam antara keduanya. Perikop Mat 14,1-12 berbicara tentang pesta ulang tahun dan perjamuan yang diadakan Herodes (bdk. Mrk 6,21 perjamuan) yang berakhir dengan kematian Yohanes Pembaptis; sementara Mat 14,13-21 juga berbicara tentang makan bersama yang diselenggarakan oleh Yesus, tetapi berakhir dengan kepuasan. “Mereka semuanya makan sampai kenyang” (Mat 14,20).

Setelah mendengar berita itu, Yesus menyingkir untuk menyendiri. Dalam Mat 4,12 juga dikatakan bahwa ketika Yesus mendengar bahwa Yohanes ditangkap oleh Herodes Antipas, Ia menyingkir ke Galilea. Kata “menyingkir” ini memang beberapa kali digunakan Yesus (lihat juga Mat 2,12; 12,15; 15,21). Tampaknya Yesus memang mau menyingkir dari Herodes karena belum waktunya. Ia masih harus mengerjakan karya perutusan-Nya dan tidak mau bertemu dengan Herodes di saat yang terlalu awal. Kalau Yesus menyingkir dengan naik perahu ke tempat terpencil, tampaknya Ia mau meninggalkan daerah Herodes Antipas dan memasuki daerah Filipus di sisi timur utara Danau Galilea.

Tetapi ternyata orang banyak tidak membiarkan Yesus sendirian. Mereka lalu menyusul melalui jalan darat. Dan ketika akhirnya Yesus bertemu dengan orang banyak itu tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan dan menyembuhkan mereka yang sakit (ay. 14). Orang banyak yang sama inilah yang nantinya akan makan dan dikenyangkan dalam bagian berikutnya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mengalami penyembuhan, tetapi juga dikenyangkan! Yesus tidak saja tampil sebagai penyembuh penyakit, tetapi juga berkuasa dalam urusan kelaparan.

Ay. 15-18         Diskusi dengan para murid

Empat ayat ini memuat dialog antara Yesus dengan para murid-Nya. Senja sudah datang, lalu mau apa dengan orang banyak yang mengikuti Yesus ini? Para murid memberi usulan kepada Yesus dengan menunjukkan fakta bahwa tempat itu sepi terpencil dan hari sudah mulai malam. Waktu yang sudah semakin sore membuat situasi menjadi semakin rumit. Kalau hari sudah benar-benar gelap, sulit bagi orang untuk membeli makanan di desa yang kiranya cukup jauh jaraknya dari tempat mereka berada. Lagi pula, toko atau warung mungkin sudah tutup. Selagi masih ada sedikit waktu, para murid lalu memerintah Yesus, “Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa."Apa motif para murid mengatakan seperti ini? Tentu kita tidak bisa sampai pada pemahaman yang akurat. Tetapi beberapa kemungkinan bisa dikemukakan: Di satu sisi, para murid mungkin gelisah dengan situasi ini. Yesus dianggap terlalu sibuk menyembuhkan mereka yang sakit, tetapi melupakan bahwa orang banyak itu kelaparan. Tetapi, di lain sisi, para murid bisa saja merasa diri lebih peka terhadap kebutuhan sesama dibandingkan dengan Yesus yang dianggap terlalu sibuk dengan hal-hal bersifat supernatural, dan mengabaikan kebutuhan (sehari-hari) konkret yang bersifat natural. Atau, para murid gelisah karena keberadaan sesama yang membutuhkan di sekitar mereka. Penderitaan atau kesengsaraan memang bukan sesuatu yang indah dan menarik untuk dinikmati. Perintah mereka kepada Yesus untuk menyuruh orang banyak pergi mungkin didorong oleh kegelisahan ini.

Tanggapan Yesus juga cukup lugas. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan."Jawaban ini menjadi penting karena mempunyai jangkauan yang luas. Murid-murid Yesus ternyata juga harus bertanggungjawab untuk mengatasi masalah seperti ini. Mereka tidak bisa cuci tangan begitu saja dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain. Kalau benar bahwa para murid sebenarnya ingin melarikan diri dari situasi ini, maka pernyataan Yesus langsung menohok para murid! Bukannya menyingkir dari (atau menyingkirkan) mereka, sekarang para murid justru mesti mengurusi orang banyak itu.

Para murid kemudian menyatakan kemustahilan memenuhi perintah Yesus dengan menunjukkan (hanya) lima roti dua ikan yang mereka miliki. Para murid tampaknya tidak menyadari siapa sebenarnya yang sedang berada di hadapan mereka yang baru saja menunjukkan kemampuan-Nya dalam menyembuhkan orang-orang sakit. Para murid tampaknya hanya mampu melihat roti dan ikan saja, tetapi gagal melihat kehadiran unsur ketiga yang juga hadir di sana, yaitu Yesus sendiri.

Sekarang Yesus langsung menanggapi, “Bawalah kemari kepada-Ku!” Dengan kata-kata ini mau ditunjukkan  bagaimana Yesus bisa berperan dalam situasi seperti ini. Akan segera kita lihat, apa perbedaan lima roti dua ikan di tangan para murid dan di tangan Yesus! Dengan ketaatan penuh, para murid menyerahkan roti dan ikan, yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, kepada Yesus; Yesus yang kemudian akan bertindak. Lalu apa yang akan diperbuat Yesus?

Ay. 19-21         Mukjizat Pergandaan Roti dan Hasilnya

Di sinilah terjadi mukjizat pergandaan roti. Apa yang dibuat Yesus digambarkan secara detil dengan serangkaian kata kerja. “Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak” (ay. 19). Meskipun penginjil memberikan gambaran cukup detil tentang mukjizat pergandaan roti ini, tetapi tetap saja tidak mudah membayangkan bagaimana mukjizat ini terjadi. Apakah ini seperti seorang pemain sulap yang tidak habis-habisnya mengeluarkan burung merpati dari saku jas atau topinya? Di dalam Perjanjian Lama, ada kisah mukjizat yang amat mirip dalam 2Raj 4,42-44. Dua puluh roti jelai untuk seratus orang! Juga di sini, tidak diceritakan bagaimana terjadinya mukjizat. Yang jelas, pada akhir kisah hanya dikatakan bahwa “makanlah mereka dan ada sisanya” (2Raj 4,44).

Demikianlah terjadi mukjizat pergandaan roti. Yesus tidak hanya Tuhan atas penyakit-penyakit; tetapi juga berkuasa atas hal-hal jasmaniah. Ia tidak hanya berkuasa atas kuasa-kuasa jahat – yang terwujud dalam penyakit-penyakit – tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan manusia yang paling dasariah, yaitu makanan. Lebih lagi, Ia tidak begitu saja main sulap sim salabim menghadirkan roti dari ketiadaan, tetapi menggunakan sarana yang ada meskipun tidak memadai. Pergandaan roti adalah sesuatu yang supernatural, tetapi roti itu sendiri hal yang natural saja!

Yang menarik adalah bahwa roti (tetapi ikan tidak disebut. Ke mana dua ekor ikan kita?) akhirnya sampai kepada orang banyak melalui para murid Yesus. Yesus memberikan roti kepada para murid “lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak” (ay. 19). Para murid dilibatkan dalam karya penyelamatan Tuhan. Dalam hal ini, Yesus tidak sekedar memberi nasehat atau main perintah, tetapi Ia berbuat sesuatu. Dengan begitu ada keteladanan di sini. Para murid tidak hanya ikut membagikan roti, tetapi juga ‘menyumbang’ meskipun kecil dan tak berarti. Firman Tuhan, “Bawalah kemari kepada-Ku!” mengandaikan ada sesuatu yang dibawa, seberapapun adanya.

Yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan adalah ini. Coba simak dengan seksama rumusan yang terdapat dalam ay. 19 dan bandingkan dengan lukisan yang terdapat dalam kisah Perjamuan Malam Mat, 26,26. Kita memperoleh hasil seperti ini:

“Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak” (Mat 14,19)

Ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya” (Mat 26,26)

Kita lihat bahwa kedua teks itu menggambarkan Yesus melakukan serangkaian tindakan yang sama dengan kata kerja yang juga sama. Memperhatikan kemiripan seperti ini, sulit untuk mengatakan bahwa antara kedua teks ini tidak ada hubungan sama sekali. Bahwa ini terjadi secara kebetulan rasanya sulit untuk diterima. Oleh karena itu, tampaknya kita juga bisa mengatakan bahwa ada hubungan antara kisah pergandaan roti dengan kisah perjamuan terakhir. Perjamuan Tuhan tampaknya mesti berakhir dengan pergandaan roti!

Setelah pembagian, lalu dikatakan bahwa “mereka semua makan sampai kenyang” (ay. 20). Tidak hanya itu, roti ternyata masih tersisa dua belas bakul penuh! Baru di sinilah, ketika semua orang makan dan kenyang, serta masih tersisa, kita mengetahui bahwa telah terjadi sebuah mukjizat. Meskipun sekali lagi, kita tidak tahu kapan mukjizat itu terjadi. Apakah pada waktu Yesus mengambil roti? Mengucap syukur? Memecah-mecahkan roti? Atau membagikan roti?

Keterangan tentang jumlah mereka yang makan menggambarkan bagaimana mukjizat ini memberikan hasil yang berlimpah ruah. Yang makan ada sekitar lima ribu laki-laki, “tidak termasuk perempuan dan anak-anak”. Dalam konteks masyarakat patriarkal zaman dahulu, perempuan dan anak-anak memang tidak diperhitungkan. Secara kultural, mereka tidak diperhitungkan, tetapi nyatanya, Yesus juga tetap memberi mereka makan. Dengan demikian, tindakan Yesus mengatasi sekat-sekat budaya. Itu berarti bahwa keselamatan yang Ia tawarkan juga menyentuh mereka-mereka yang karena alasan lain tersingkirkan!

***

“Orang-orang miskin selalu ada padamu.” Ini adalah kata-kata Yesus yang direkam baik oleh Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes (Mrk 14,7; Mat 26,11; Yoh 12,8). Ungkapan yang mirip juga terdapat dalam Perjanjian Lama, Ul 15,11 “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu.” Ungkapan ini kiranya tepat untuk Gereja Asia yang berada di tengah-tengah bangsa-bangsa Asia, yang sebagian terbesarnya ialah massa kaum miskin (FABC I no. 19). Dengan orang-orang seperti inilah Gereja mesti hidup dan berdialog.

Dengan ungkapan “orang-orang miskin selalu ada padamu” Yesus kiranya menerima adanya kelas miskin di dalam masyarakat. Ia tidak bermaksud memperjuangkan sebuah masyarakat tanpa kelas, sama rata sama rasa. Meskipun demikian, Ia juga tidak menginginkan bahwa mereka yang miskin semakin lama akan semakin miskin, sampai segala miliknya, termasuk hidupnya, habis sehabisnya. Institusi Tahun Sabat dan Tahun Yobel yang dipaparkan dalam Im 25 merupakan strategi yang ditawarkan agar kelompok miskin dalam masyarakat Israel tidak hancur sama sekali, tetapi selalu mempunyai pengharapan untuk bangkit kembali demi hidup yang lebih baik. Tuhan Yesus dalam program kerja-Nya seperti terungkap dalam Luk 4,18-19 jelas mengatakan bahwa “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik (Yun: euanggelisasthai = menginjili) kepada orang-orang miskin” (Luk 4,18). Hal yang mirip dikatakan ketika murid-murid Yohanes datang kepada-Nya dan bertanya tentang identitas-Nya. Kepada mereka Yesus menjawab, “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7,22). Kepada orang buta diberikan penglihatan; orang lumpuh bisa berjalan; orang kusta ketahiran, tetapi orang miskin? Tidak dikatakan bahwa orang miskin akan di-kaya-kan atau dibuat kaya, tetapi kepada mereka akan diberitakan kabar baik. Apa yang menjadi ‘kabar baik’ bagi orang miskin? Kalau kita melihat gambaran hidup komunitas kristen perdana sebagaimana terdapat dalam Kisah Para Rasul (Kis 2,41-47; 32-35) secara jelas dilukiskan bahwa gaya hidup saling berbagi merupakan  cara sehingga “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (Kis 4,34).

Gereja, melalui Konsili Vatikan II, sudah menegaskan posisinya bahwa “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1). Di tempat lain, konsili menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterlibatan Gereja dalam hidup orang-orang zaman sekarang itu dengan rumusan yang agak provokatif. “Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya. Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian harta-benda sehingga mencukupi bagi dirinya maupun kaum kerabatnya. Begitulah pandangan para Bapa dan Pujangga Gereja, yang mengajarkan, bahwa manusia wajib meringankan beban kaum miskin, itu pun bukan hanya darkelebihan miliknya. Mereka  yang menghadapi kebutuhan darurat, berhak untuk mengambil dari kekayaan orang-orang lain apa yang sungguh dibutuhkannya. Karena di dunia ini begitu banyaklah orang yang kelaparan, Konsili mendesak semua orang, masing-masing secara  perorangan, maupun mereka yang berwenang supaya mengenangkan pernyataan para Bapa: “Berilah makan kepada orang  yang  akan  mati  kelaparan; sebab bila engkau tidak  memberinya makan, engkau membunuhnya”, dan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sungguh membagikan dan menggunakan harta-benda mereka, terutama dengan menyediakan bagi orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa upaya-upaya, yang memungkinkan mereka itu untuk menolong diri dan mengembangkan diri. (GS 69)

Mahatma Gandhi mengatakan, “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” Persoalannya: bagaimana kita bisa saling berbagi dan menjadi saluran pengantara berkah Allah untuk sesama. Sebenarnya di tengah-tengah kita sudah banyak hal konkret yang dibuat untuk berbagi dengan sesama. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengadakan penggalangan dana untuk membangun fisik gereja, apakah tidak mungkin mengadakan fundraising untuk proyek-proyek berbagi?





Minggu II
Dialog dengan Budaya             
Mat 1,18-25

18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut:
Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami istri. 19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. 20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. 21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka."
22 Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi: 23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)
24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya, 25 tetapi tidak bersetubuh dengannya sampai Maria melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.

Pendalaman Teks

Teks yang akan direnungkan pada Minggu II ini sudah sangat terkenal, bahkan di antara kita mungkin ada yang sudah hampir hafal luar kepala. Alkitab kita memberi judul Kelahiran Yesus Kristus, dan diberi catatan bahwa teks paralelnya adalah Luk 2,1-7. Tetapi tentu saja kalau kita lihat, kisahnya berbeda. Memang, sebagaimana kita semua sudah ketahui, kita mempunyai dua versi kisah Masa Kanak-kanak Yesus (Infancy Narrative), yaitu versi Injil Matius dan Injil Lukas. Teks ini serasa sudah punya konteks tersendiri, sehingga mungkin agak aneh kalau teks ini kita bicarakan dalam konteks yang lain. Tapi kita coba.

Bahwa seorang gadis bertunangan dengan seorang laki-laki sebenarnya bukanlah yang terlalu istimewa. Sebelum pernikahan, amat wajar kalau calon suami-istri memasuki tahap pertunangan. Itu sangat normal. Dalam adat Yahudi, perkawinan terdiri dari dua tahap. Tahap yang pertama adalah pertunangan. Tahap kedua adalah ketika mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai laki-laki kira-kira setahun kemudian. Pertunangan atau tahap pertama dari perkawinan sudah diatur oleh hukum. Demikian juga apa yang terjadi dengan Maria dan Yusuf. Kalau tidak terjadi apa-apa, maka bisa dibayangkan bahwa setelah periode pertunangan akan ada pesta pernikahan, dan seterusnya, dan seterusnya. Persoalannya adalah bahwa kemudian penginjil memberikan informasi bahwa sang calon mempelai wanita, yaitu Maria, ternyata sudah mengandung “sebelum mereka hidup sebagai suami-istri” (ay. 18) artinya sebelum tahap kedua terjadi. Ini mengubah situasi.

Kehamilan sebelum kedua calon mempelai ini hidup bersama bisa dipandang sebagai sebuah skandal. Dalam hal ini, kehamilan Maria merupakan sesuatu yang memalukan bagi Yusuf. Sebenarnya dalam tradisi religius Israel yang tersimpan dalam Perjanjian Lama, orang Israel sudah terbiasa dengan kisah-kisah kelahiran yang tidak biasa untuk menunjukkan campur tangan Allah. Tokoh seperti Ishak, Samson, Samuel adalah tokoh-tokoh yang lahir dari ibu yang mandul dan lanjut usia. Tetapi kelahiran dari seorang perawan merupakan sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan. Di sini kita bisa bertanya, kalau benar kehamilan Maria ini merupakan kehendak Tuhan, lalu mengapa hal ini mesti mengakibatkan ketidaknyamanan bagi Bapa Yusuf? Kalau hal ini terjadi ketika Bunda Maria belum bertunangan, tentu dampaknya tidak terlalu besar. Paling tidak hanya seorang saja yang dipermalukan.

Kehamilan Maria memang diberi keterangan “mengandung dari Roh Kudus”. Tetapi di sini perlu disadari bahwa informasi ini sebenarnya hanya untuk pembaca. Yusuf tidak tahu kalau Maria mengandung “dari Roh Kudus”. Yang ia tahu adalah bahwa Maria hamil. Persoalan hukum yang langsung muncul ke permukaan adalah yang tercantum dalam Ul 22,20-21:

20 Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, 21 maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati -- sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Lalu bagaimana kira-kira reaksi Yusuf? Apa yang ia pikirkan? Mungkin Yusuf marah. Kalau Maria ternyata sudah hamil dan mereka belum tinggal bersama, maka kesimpulan yang paling logis adalah bahwa Maria mungkin telah berbuat selingkuh (bdk. Ul 22,23-24) atau diperkosa (bdk. Ul 22,25-27). Dengan latar belakang ini kiranya perlu dipahami ay. 19 “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”

Sebagai seorang yang tulis hati (atau orang benar), Yusuf tidak bisa mengambil Maria sebagai istrinya, karena dengan demikian ia membiarkan yang jahat itu berada di tengah-tengahnya. Menurut Ul 22,21 perempuan yang kedapatan tidak perawan harus dihukum dengan dilempari dengan batu sehingga mati. Dalam bentuk yang lebih ringan, usaha untuk “menghapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu” bisa dipenuhi dengan cara menceraikan sang istri. Menurut pendapat beberapa ahli, pada abad pertama Masehi praktik hukum rajam tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Dalam kasus ini, Yusuf sebenarnya mempunyai dua pilihan, menceraikan Maria secara publik atau secara diam-diam. Tetapi karena Yusuf tidak mau “mencemarkan nama istrinya di depan umum”, maka yang ia pilih adalah menceraikan Maria secara diam-diam. Menceraikan secara diam-diam berarti hanya di hadapan dua orang saksi, dan bukan di hadapan umum. Dengan demikian, proses ini tidak terlalu mempermalukan Maria.

Tetapi rencana Yusuf ini ternyata tinggal rencana. Tengah dia merenung-renung, tiba-tiba datang veto dari Allah sendiri melalui Malaekat-Nya (ay. 20) yang hadir dalam mimpi.Persis pada waktu itu disampaikan oleh Malaekat Tuhan apa yang sedang terjadi dalam diri Maria dan siapa ada di dalam kandungannya. Maria tidak seperti yang difikirkan oleh Yusuf. Ia tidak melakukan yang tidak benar, karena anak yang ada di kandungannya adalah dari Roh Kudus.

Dengan veto malaikat ini, tidak ada lagi alasan bagi Yusuf untuk menceraikan Maria. Kehidupan pasangan yang bertunangan ini bisa terus berjalan sebagaimana sudah direncanakan. Dan dengan demikian, Yusuf mendapatkan tempatnya seperti sudah tercantum dalam silsilah Yesus. “Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus” (Mat 1,16). Dengan (tetap) menikahi Maria, Yusuf mendapatkan hak untuk menjadi ayah secara hukum dari bayi Yesus. Ini berarti menempatkan Yesus dalam garis keturunan Daud. Dengan memberi nama kepada sang bayi (“engkau akan menamakan Dia Yesus” – ay. 21), Yusuf menegaskan secara publik bahwa bayi Yesus adalah anaknya. Dalam tradisi rabinik, seorang yang menyatakan sebuah pengakuan: “Si-X ini adalah anak saya”, maka pernyataan ini mesti dipercaya (mBaba Batra 8,6).

Malaikat kemudian melanjutkan dengan menyingkap latar belakang peristiwa ini. “Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi” (ay. 22). Kelahiran Yesus dipandang sebagai pemenuhan nubuat lama, yang pernah diucapkan oleh nabi Yesaya sekitar delapan abad yang lalu. “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Mat 1,23). Di sini pembaca mungkin bertanya: lho, kok “memanggil nama” lagi? Bukankahh pada ayat sebelumnya dikatakan bahwa Yusuf sebagai ayah menurut hukum sudah memberi nama sang bayi kecil ini? Yang patut dicatat adalah bahwa di sini, subjek yang memberi nama adalah mereka. Siapa yang dimaksud dengan mereka ini? Tampaknya mereka di sini mewakili jemaat Matius atau orang-orang Kristen, atau orang-orang yang percaya kepada Kristus. Dengan demikian, Imanuel yang kemudian diberi penjelasan sebagai “Allah menyertai kita”, kiranya lebih baik tidak diartikan sebagai nama diri, tetapi semacam gelar Yesus. Bukankah nama diri sudah diberikan oleh yang lebih berhak, yaitu Yusuf ayahnya secara hukum?

Mereka yang pernah mempelajari Injil Matius mengetahui bahwa gagasan Allah yang menyertai jemaat-Nya adalah gagasan yang sentral. Ada tiga ayat kunci dalam Injil Matius yang membangun struktur injil pertama ini.

Mat 1,23             : dan mereka akan menamakan Dia Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)
Mat 18,20          : Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Mat 28,20         : Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman."           

Dengan cara ini penginjil mau mewartakan siapakah Yesus ini. Dia adalah Firman yang menjadi daging, Allah yang menyertai manusia sepanjang segala masa. Juga ketika kita mewartakan Kabar Sukacita pada zaman sekarang ini, Tuhan Yesus tetap menyertai kita.         

***

Kisah seputar kehamilan Maria ini sengaja dipilih untuk permenungan pada Minggu kedua ini tidak untuk menekankan mukjizat perkandungan Yesus, atau soal keperawanan Maria. Yang mau digarisbawahi adalah satu hal yang lebih mendasar, yaitu soal inkarnasi, Firman yang menjadi daging. Inkarnasi adalah salah satu ajaran pokok dalam kekristenan. Kalau Allah memutuskan untuk berinkarnasi, maka mau tidak mau Ia yang tidak terbatas ini mesti berinkarnasi dalam sebuah konteks yang amat terbatas. Paulus merumuskannya dengan sangat indah, Yesus Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2,6-7).

Di satu pihak inkarnasi adalah sebuah pengosongan diri; Allah yang turun; tetapi di lain pihak, inkarnasi juga berarti sebuah pemuliaan; kodrat manusia diangkat. Inkarnasi menunjukkan bahwa Allah menilai tinggi budaya manusia. Gagasan ini menjadi penting bagi kita dalam merenungkan tempat budaya-budaya lokal di mana Gereja berada. Inkarnasi ini menjadi dasar bagi inkulturasi yang memainkan peranan penting dalam tugas evangelisasi Gereja kini dan di sini. Bukan kebetulan kalau almarhum Paus St. Yohanes Paulus II gemar dengan istilah inkulturasi, yang baru mulai populer sekitar tahun 70-an, justru karena mempunyai kemiripan dengan istilah inkarnasi, baik dari segi isi maupun istilah.

Tema minggu II ini adalah mewartakan Kabar Gembira dalam kemajemukan budaya. Dokumen FABC tahun 1974 mengatakan bahwa “untuk mewartakan Injil di Asia masa kini hendaklah kita sungguh mendarah-dagingkan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan perihidup bangsa-bangsa kita. Titik berat utama tugas kita mewartakan Inji, pada saat sejarah kita sekarang, ialah membangun Gereja setempat yang sejati (FABC, 9). Sebab Gereja setempat ialah perwujudan dan pengejawantahan Tubuh Kristus dalam bangsa tertentu, di tempat tertentu, pada waktu tertentu (FABC, 10). Gereja setempat ialah Gereja yang berinkarnasi dalam suatu bangsa, Gereja yang pribumi dan berinkulturasi (FABC, 12). Dengan kata lain, para uskup Asia menghendaki agar Gereja sungguh-sungguh menjadi Gereja Asia dan bukan gereja di Asia.

Harus diakui bahwa perjalanan sejarah misi di masa lalu tidak terlalu bersahabat dengan kultur setempat. Pada waktu itu perbedaan antara agama dengan kultur tidak tampak. Keyakinan para misionaris bahwa mereka membawa agama yang unggul secara tidak disadari juga menghasilkan perasaan lebih unggul dalam bidang kultural. Sebaliknya, juga keunggulan dalam bidang budaya, terutama sejak zaman Pencerahan, membawa juga anggapan keunggulan dalam bidang religius. Para misionaris datang ke tanah misi dengan anggapan tidak hanya mewartakan Kabar Sukacita Injil, tetapi juga membawa kultur barat yang unggul. Salah satu teks misioner pada waktu itu adalah kata-kata Yesus yang terdapat dalam Yoh 10,10 “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dengan berlimpah-limpah.”Dan ungkapan “Hidup yang berlimpah-limpah” diartikan sebagai berlimpahnya hal-hal modern untuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian masyarakat yang terbelakang di dunia ini[5]. Akibat dari penalaran yang seperti ini, kultur setempat tidak pernah mendapat tempat yang selayaknya.

Situasi seperti inilah yang mesti perlahan-lahan mesti diubah. Agama harus bisa dibedakan dari unsur budayanya. Dengan demikian, agama bisa bersikap kritis terhadap kultur yang membawanya; dan pada saat yang bersamaan, agama bisa lebih mengapresiasi kultur yang lain, dan dengan demikian bisa diperkaya juga olehnya. Inkulturasi mempunyai gerakan ganda. Di satu pihak, ada inkulturasi iman Kristen; dan di lain pihak, ada kristenisasi kultur setempat[6]. Dalam konteks ini perlu diperhatikan catatan dari Paus St. Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979);

...kekuatan Injil di mana pun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau diluruskan olehnya (CT 53)

Kekayaan budaya yang dikandung oleh tanah air kita, Indonesia ini sungguh luar biasa mengagumkan. Di banyak tempat, sudah banyak dipikirkan bagaimana kekayaan budaya ini sungguh-sungguh bisa dimanfaatkan untuk penyebaran dan perkembangan iman umat. Dengan demikian, masalah inkulturasi sudah menjadi bahan pemikiran dan diskusi dengan melihatkan banyak pihak yang berkompeten. Tentu saja mesti diakui bahwa di masing-masing tempat, perkembangan soal inkulturasi ini juga melewati tahap-tahap yang berbeda. Di beberapa tempat, masalah inkulturasi ini berada pada ranah liturgi: bagaimana kekayaan budaya, seperti lagu-lagu, tata busana serta tarian yang merupakan ekspresi batin sebuah budaya tertentu, bisa menyumbang bagi ibadat Gereja. Di tempat lain, mulai dicari dan dipikirkan juga titik temu antara gagasan dan pengharapan yang terungkap dalam aneka macam ungkapan dan simbol yang terdapat dalam budaya setempat dengan pengharapan yang ditawarkan oleh kekristenan.

Menjadi Gereja Asia, dan bukan menjadi Gereja di Asia, kiranya memang sudah menjadi concern kita sudah sejak lama. Pertemuan-pertemuan dalam rangka BKSN mungkin bisa mendalami kembali pengalaman inkulturasi yang sudah ada, tetapi bisa saja menemukan sesuatu yang baru. Membaca dan mendalami Kitab Suci dari perspektif sebuah budaya tertentu mungkin bisa menjadi sebuah usaha yang menarik untuk dicoba? Apakah ada konsep-konsep budaya tertentu bisa membantu kita untuk memahami satu konsep teologis/alkitabiah tertentu?




Minggu III       
Dialog dengan Agama Lain                     
Kis 17,16-34

16 Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.17 Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ.18 Juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa berdebat dengan dia dan ada yang berkata, "Apa yang hendak dikatakan si pembual ini?" Tetapi yang lain berkata, "Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya.
19 Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan mengatakan, "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini?20 Sebab engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang asing. Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu."
21 Adapun semua orang Atena dan orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.22 Paulus berdiri di hadapan sidang Areopagus dan berkata, "Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.23 Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.24 Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak tinggal dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,25 dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang.26 Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,27 supaya mereka mencari Allah dan mudah-mudahan mencari-cari dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.28 Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini keturunan-Nya juga.29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir bahwa keadaan ilahi serupa dengan emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.30 Tanpa memandang lagi zaman kebodohan, sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana saja untuk bertobat.31 Karena Ia telah menetapkan suatu hari ketika Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu jaminan tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati."
32 Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata, "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."33 Lalu Paulus meninggalkan mereka.34 Tetapi beberapa orang menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka.


Pendalaman Teks

Kis 17,16-34 yang diberi judul Paulus di Atena, kiranya menawarkan inspirasi segar mengenai bagaimana pewartaan kepada bangsa-bangsa lain bisa dilaksanakan. Seperti dikatakan dalam judul, perikop ini berkisah tentang Paulus yang mewartakan Kristus di Atena. Atena boleh dibilang adalah pusat kebudayaan Yunani. Oleh karena itu, karya pewartaan Paulus di Atena sungguh merupakan sesuatu yang amat penting. Karya Paulus di Atena adalah puncak karya kerasulannya di dunia non-Yahudi. Saat dia berada di Areopagus, kita merasakan ketegangan bagaimana alam fikir Yunani bertemu dengan kebijaksanaan dari timur, dari Yerusalem, yaitu berita gembira tentang seorang bernama Yesus yang mati dan bangkit lagi.

Kisah Paulus di Atena dibuka dengan sebuah pernyataan yang khas, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala” (Kis 17,16). Karakteristik kota Atena sudah ditampilkan pada awal kisah: kota ini penuh dengan berhala. Tetapi sekaligus ditunjukkan bahwa itulah konteks yang harus dihadapi Paulus dalam mewartakan

Kabar Sukacita tentang Yesus.

Kemudian digambarkan bagaimana Paulus menjalankan karya pewartaannya. Sebenarnya, saat di Atena pun, Paulus memainkan strategi klasik pewartaannya, yaitu mengunjungi sinagoga Yahudi dan bersoal jawab dengan orang-orang Yahudi dan ‘mereka yang takut akan Allah. Mungkin ini terjadi pada hari Sabat. Selain itu ia juga mengunjungi pasar (agora) dan berdiskusi dengan setiap orang yang dijumpainya di sana (Kis 17,17). Hanya saja, di Atena ini pewartaan di sinagoga tidak mendapat sorotan sama sekali; hanya disebut sepintas saja, tidak seperti yang terjadi di Tesalonika atau di Berea dan beberapa tempat lainnya. Karena memang yang menjadi pusat kali ini adalah pewartaan ke dunia non-Yahudi yang diwakili oleh Atena. Hal ini menjadi jelas karena oposisi atau komentar yang muncul tidak berasal dari kelompok Yahudi, tetapi dari para filosof yang disebut golongan Epikuros dan Stoa (17,18). Di Atena Paulus tidak berhadapan dengan orang-orang yang siap menanggapinya secara teologis, tetapi dengan orang-orang yang akan menyanggahnya dari segi filosofis. Mereka adalah orang-orang yang “tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru” (Kis 17,21). Di sini argumen-argumen biblis-teologis tidak akan berjalan karena tidak ada titik berangkat yang sama.

Ini kelihatan kalau kita mendengar komentar mereka, “Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya” (Kis 17,18). Paulus dianggap mau mewartakan dan menambahkan dewa-dewa asing yang baru ke dalam khazanah dewa-dewi Atena, yaitu “Yesus dan kebangkitan-Nya.” Menarik memperhatikan salah paham yang terjadi di sini. Kata “kebangkitan” dalam bahasa Yunani adalah he anastasis yang bergenus feminin. Rupanya orang Atena tidak memahami kata tersebut sebagai kata benda, tetapi sebagai nama diri atau nama seorang dewi yang menjadi pasangan dewa yang bernama Yesus. Karena kesalahpahaman ini, maka Paulus dianggap mewartakan “dewa-dewa asing” (plural), yaitu Yesus dan “Anastasis.” Yesus mungkin mereka kenal, tetapi “kebangkitan” tampaknya benar-benar asing bagi mereka. Situasi ini menggambarkan dengan amat jelas situasi macam apa yang dihadapi oleh Paulus.

Pewartaan Paulus tampaknya sungguh-sungguh membingungkan mereka yang mendengarnya. Mereka menyebutnya “perkara-perkara aneh.” Akhirnya mereka membawanya ke hadapan sidang Areopagus. Areopagus tampaknya berasal dari kata Areios + pagus yang berarti “bukit Ares” yaitu Dewa Perang Yunani. Areopagus bisa berarti sebuah tempat terbuka di mana orang bisa berbicara dengan tenang; tetapi juga bisa berarti semacam dewan yang mengambil nama bukit itu sebagai nama. Tidak amat jelas apa fungsi dewan ini dan mengapa Paulus harus dibawa ke sidang tersebut. Apakah ini suatu acara tukar pendapat dalam suasana yang cukup bersahabat mengingat orang-orang Atena mempunyai keingintahuan yang tinggi? Atau sebuah pengadilan? Sulit untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh Lukas. Biarkan saja demikian. Bagi kita juga tidak terlalu penting apa yang sebenarnya dimaksudkan. Isi dari pidato Paulus itu yang jauh lebih penting bagi kita. Setidaknya, ada dua poin yang bisa kita teliti sehubungan dengan pidato Paulus.

1.       “Kepada Allah yang tidak dikenal”

Paulus mengawali pidatonya dengan kata-kata yang menarik, seperti berikut ini, “Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa” (Kis 17,22). Dengan kata-kata ini, Paulus menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada penduduk Atena yang dianggapnya amat religius (“sangat beribadah kepada dewa-dewa”). Kemudian ia melanjutkan, “Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis 17,23). Bagian ini merupakan bagian yang paling penting. Di antara patung-patung dan hal-hal lain di kota Atena, secara khusus Paulus menyebut sebuah mezbah yang bertuliskan “Kepada Allah yang tidak dikenal.”

Dalam agama Yunani kuno, selain dua belas dewa utama dan sejumlah dewa-dewa yang lebih rendah tingkatannya, rupanya masih ada tempat juga bagi satu ilah yang disebut “Allah yang tidak dikenal.” Mungkin ada ketakutan kalau-kalau masih ada dewa yang terlewatkan tidak dihormati sehingga tidak mendapatkan persembahan, dan ini bisa berbahaya. Maka untuk menanggulangi masalah ini, dibuatlah suatu mezbah untuk “Allah” yang merangkum segalanya, yaitu “Allah yang tidak dikenal.” Di sini tidak perlu didiskusikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan ungkapan seperti itu. Mungkin bisa dipikirkan demikian: Di satu pihak, diyakini bahwa masih ada dewa lain selain yang sudah dikenal; tetapi di lain pihak, nama atau karakternya belum dinyatakan kepada orang-orang Atena, sehingga mereka tidak mengenalnya.

Pokok ini merupakan celah masuk bagi Paulus. Dan dengan brilian Paulus memanfaatkannya untuk mewartakan injilnya. “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.” Paulus membuat identifikasi dengan memanfaatkan “ketidaktahuan” mereka. Kami tahu yang kalian tidak tahu! Kami punya yang sebenarnya kalian cari tanpa tahu kemana harus mencari! Dengan demikian menjadi jelas bahwa sebenarnya Paulus tidak mewartakan sesuatu yang sama sekali baru, yang asing bagi pendengarnya. Dia hanya memberi nama pada, atau boleh juga memaknai, kerinduan atau pengharapan yang sudah ada dalam diri masing-masing orang Atena. Titik tolak pewartaan Paulus adalah kesalehan orang-orang Atena sendiri, bukan sesuatu yang berasal dari luar, tetapi dari dalam diri mereka.

Bisa dibayangkan bahwa pembukaan seperti ini menjadi sesuatu yang menarik dan menimbulkan keingintahuan bagi orang-orang Atena: bagaimana kelanjutan pembicaraan Paulus ini? Pembukaan ini menjadi semacam tema yang kemudian diuraikan secara panjang lebar pada bagian berikutnya.

2.      Kisah Alkitab yang Tersembunyi

Untuk bagian ini, silakan memperhatikan dengan teliti bagian khotbah Paulus yang terdapat dalam ay. 23-31. Seperti bisa dilihat,khotbah yang disampaikan Paulus sebenarnya adalah gambaran lebih lanjut tentang “Allah yang tidak dikenal” itu. Tanpa masuk pada detil-detil analisis teks, bisa dikatakan bahwa setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang menarik untuk diperhatikan.

Pertama, di sini Paulus menyampaikan inti pewartaannya dalam bahasa yang khas. Dari teks di atas, tampak bahwa tidak ada rujukan secara eksplisit dari Perjanjian Lama sebagai teks yang otoritatif. Mengapa demikian? Karena sekarang ini Paulus sedang berhadapan dengan orang-orang Atena yang tidak menerima otoritas teks suci Ibrani. Hal ini berbeda saat Paulus berhadapan dengan orang-orang Yahudi. Dengan orang-orang Atena tidak ada gunanya menggunakan argumen alkitabiah.

Kendati demikian, walaupun Paulus tidak secara eksplisit merujuk pada Perjanjian Lama, kita bisa merasakan bahwa pewartaan Paulus ini sebenarnya berlatar belakang teologi Perjanjian Lama. Pada ay. 24 kita mendengar gema dari kisah penciptaan seperti yang terdapat dalam Kej 1-2. Ay. 26 mungkin berlatar belakang janji TUHAN kepada Abraham yang akan memberikan keturunan kepadanya (bdk. Kej 12,1-3 passim). Gagasan bahwa Allah membuat manusia mendiami seluruh muka bumi serta menentukan batas-batas kediaman mereka (ay. 25-26), rasanya mirip dengan yang terdapat dalam Ul 32,8 “Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.” Allah yang tidak tinggal di dalam kuil-kuil buatan tangan manusia dan tidak dilayani oleh tangan manusia (ay. 24-25) tampaknya berlatar belakang 1Raj 8,27 atau Yes 42,5 atau Yes 66,1-2. Ay. 31 yang berbicara tentang seseorang yang akan diutus Allah untuk mengadili dunia mungkin berlatar belakang Dan 7,13-14 yaitu Anak Manusia yang memperoleh kuasa atas dunia.

Dengan demikian rasanya tidak perlu diragukan bahwa Paulus memang sedang mewartakan sejarah keselamatan seperti ditemukan di dalam teks suci Ibrani, yaitu Perjanjian Lama kita. Menariknya adalah bahwa dalam pemaparan ini tidak satupun Paulus menyebut secara eksplisit teks dari kitab sucinya. Alkitab Ibrani tetap tersembunyi di balik kata-kata Paulus, tetapi tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Di Atena ini Paulus sedang mewartakan kisah alkitab yang tersembunyi.

Kedua. Paulus tidak menyinggung secara eksplisit teks suci Ibrani, tetapi sebaliknya dia bahkan secara eksplisit mengutip ungkapan seorang pujangga Yunani. Pada ay. 28 “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:  Sebab kita ini keturunan-Nya juga.” Kutipan ini berasal dari kata-kata seorang penyair dari aliran Stoa yang bernama Aratus (lahir di Kilikia tahun 315 SM) yang terdapat dalam karyanya Phaenomena, 5. Orang juga berpikir bahwa seorang filosof Stoa yang lain, Cleanthes juga mengutarakan gagasannya dengan rumusan yang hampir sama (Hymn to Zeus, 4).

Ini strategi hebat dari Paulus. Tampaknya Paulus cukup mengetahui kekayaan tradisi filsafat Yunani dan bisa memanfaatkannya dengan baik dengan menjadikannya dasar pewartaannya. Dengan demikian ia mau menunjukkan bahwa pesan yang dia bawa sebenarnya - sekali lagi - tidak asing atau bertentangan dengan tradisi orang-orang Atena yang kaya.

Memang harus diakui bahwa pidato Paulus di hadapan Areopagus masih belum sampai pada inti kekristenan, yaitu salib dan kebangkitan Kristus. Pada ayat terakhir pidatonya (ay. 31) Paulus memang mencoba berbicara tentang Allah yang membangkitkan Yesus dari orang mati. Dan begitu sampai pada kata “kebangkitan orang mati”, hadirin langsung berkomentar, “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17,32). (Tetapi perhatikanlah bahwa di akhir kisah diceritakan bahwa beberapa orang menjadi percaya juga; bdk. ay 34). Sekali lagi, gagasan tentang kebangkitan orang mati tampaknya asing bagi orang-orang Atena. Beberapa abad sebelumnya, seorang penyair tragedi bernama Aeschylus pernah mengatakan lewat tokohnya Apollo, “Ketika debu menyerap habis darah seseorang, maka sekali dia mati, tak ada lagi kebangkitan” (Eumenides, 647-648). Untuk dunia Yunani, mungkin gagasan “kebakaan jiwa” lebih cocok, tetapi bukan kebangkitan dari antara orang mati.

Kendati tidak lengkap, rasanya pewartaan Paulus sudah menunjukkan suatu strategi yang amat lihai. Persoalan salib dan kebangkitan memang merupakan soal yang paling sulit dalam tradisi kekristenan. Paulus sendiri sudah mengatakan bahwa salib “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1,23).

Kita tidak tahu pasti bagaimana hasil karya misi Paulus di Atena. Kita tidak mempunyai surat Paulus kepada jemaat di Atena. Tetapi yang penting bagi kita adalah strategi Paulus ketika berhadapan dengan orang-orang Atena yang menjadi, katakanlah, pusat dunia non-Yahudi. Paulus mencoba mewartakan Kristus sebagai jawaban atas kerinduan dan pengharapan orang-orang Atena.

***

Dalam hal religius, Asia merupakan locusyang istimewa. Asia boleh dibilang sebagai rahim agama-agama besar di dunia. Kekristenan sendiri lahir di Asia, tetapi kemudian seiring dengan pergerakan misionaris-misionaris pertama, kekristenan bergerak ke arah barat dan mendapatkan Roma sebagai pusat. Baru setelah berabad-abad berlalu, kekristenan kembali lagi ke Asia, dengan wajah yang tentu saja sudah berbeda. Berkaitan dengan ini ada dua catatan yang patut dipertimbangkan saat kita merenungkan karya pewartaan Injil di Asia.

Yang pertama, perjalanan misi ke Asia dalam banyak kasus terjadi dengan membonceng kaum kolonial Eropa, seperti misalnya Spanyol, Portugal, Inggris, dan Belanda. Akibatnya, kekristenan sendiri seringkali dicurigai sebagai agama kaum penjajah. Kedua, negara-negara besar praktis sudah dikuasai oleh beberapa agama besar, misalnya Hindu di India, Muslim di Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan; Buddha di Kambodia, Hongkong, Laos, Mongolia, Myanmar, Singapura, Korea Selatan. Hanya di Filipina kekristenan menjadi mayoritas. Situasi ini menjadi tantangan khusus bagi Gereja dalam tugas perutusannya mewartakan Injil.

Fakta ini perlahan-lahan menyadarkan Gereja bahwa secara manusiawi tidak masuk akal mengharapkan bahwa pernah seluruh bangsa dan masyarakat di bumi akan masuk ke dalam Gereja. rasanya Gereja akan tetap menjadi “kawanan kecil” saja (Luk 12,32). Kesadaran baru ini pelan-pelan mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, Tidak mungkin agama-agama itu – yang terbesar di antaranya adalah agama Islam, Buddha, Hindu, dan Kongfutsu - dianggap sebagai semacam sisa umat manusia yang belum kristiani[7].

Dalam situasi seperti ini, dialog antaragama merupakan salah satu alternatif niscaya yang tersedia. Orang tidak bisa hidup tanpa berdialog dan kerja sama dengan orang lain. Tugas utama orang Kristen adalah mewartakan dan memberi kesaksian akan Kerajaan Allah, sebagaimana dibuat oleh Yesus Kristus dalam karya publik-Nya, dan bukan pertama-tama memperluas keanggotaan dan pengaruh melalui pembaptisan baru[8]. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa dalam dialog dengan agama-agama tersebut ditemukan benih-benih Sabda (FABC 1974, no. 16) melalui pengharapan atau keprihatinan yang terdapat dalam tradisi-tradisi religius yang ditemui.

Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, pada tahun 1984 Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-agamamengeluarkan sebuah dokumen tentang refleksi dan orientasi atas Dialogue and Mission. Dalam dokumen tersebut, disebutkan empat model dialog antar-agama:

1.      Dialog Kehidupan (Dialogue of Life)
Dialog dipahami sebagai sebuah gaya hidup yang mencakup sikap perhatian, penghargaan, serta hospitalitas orang lain. Sikap seperti inilah yang mesti dibawa oleh setiap orang Katolik dalam hidup kesehariannya, entah sebagai minoritas atau mayoritas.
2.     Dialog Karya (Dialogue of Deeds)
Dialog dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi yang terarah pada kemajuan dan pembebasan manusia.
3.     Dialog Para Spesialis (Dialogue of Specialist)
Sesuai dengan namanya, dialog model ini melibatkan para ahli dalam bidang tertentu, dari agama masing-masing. Mereka berusaha mendalami dan pengertian untuk mencapai pemahaman dan saling penghargaan bersama akan warisan rohani dan budaya dari masing-masing tradisi religius.
4.    Dialog Pengalaman Religius (Dialogue of Religious Experience)
Pada level ini masing-masing yang sudah terakar kuat pada tradisi religiusnya mampu membagikan pengalaman mereka dalam doa, iman, serta ungkapan iman mereka.

Dari empat model dialog di atas, dialog model kedua, yaitu dialog karya, yang rasanya mempunyai kesempatan cukup luas untuk dilaksanakan pada konteks zaman sekarang ini.








Minggu IV       
Dialog dengan Gereja Lain                      
Yoh 17,20-23

20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa,
tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;
21 supaya mereka semua menjadi satu,
sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,
agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.
22 Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,
supaya mereka menjadi satu,
sama seperti Kita adalah satu:
23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.

24 Bapa, Aku ingin supaya mereka, yang Bapa berikan kepada-Ku, ada bersama-Ku di tempat Aku berada, supaya mereka melihat keagungan-Ku; yaitu keagungan yang Bapa berikan kepada-Ku, karena Bapa mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.
25 Bapa yang adil! Dunia tidak mengenal Bapa, tetapi Aku mengenal Bapa; dan orang-orang ini tahu bahwa Bapa mengutus Aku.
26 Aku sudah menyatakan nama Bapa kepada mereka; dan Aku akan terus berbuat begitu, supaya kasih Bapa kepada-Ku tetap di dalam hati mereka dan Aku bersatu dengan mereka."


Pendalaman Teks

Bagian yang digunakan sebagai bahan permenungan pada minggu ini adalah sebagian saja dari bagian lebih besar Yoh 17,1-26 yang biasa disebut dengan Doa Yesus untuk murid-murid-Nya. Orang biasa mengatakan bahwa Yoh 14-17 membentuk satu unit teks yang disebut Pidato Perpisahan (Farewell Discourse). Bagian ini adalah bagian khas dari Injil Yohanes. Dalam bagian ini Yesus berhadapan hanya dengan murid-murid-Nya. Sebagai sebuah jenis sastra, Pidato Perpisahan merupakan hal yang biasa ditemukan dalam karya sastra baik Yunani maupun Israel. Juga di dalam Alkitab sendiri kita bisa temukan, misalnya dalam, Ul 31-33 yang merupakan Pidato Perpisahan Musa atau Kis 20,17-38 yang adalah Pidato Perpisahan Paulus di hadapan para penatua Efesus. Yesus menyampaikan pidato perpisahan-Nya karena Ia akan segera meninggalkan murid-murid-Nya (Yoh 13,33).

Menurut Yoh 13,  Yesus makan bersama dengan para murid-Nya. Ada dua hal yang terjadi pada waktu mereka mengadakan perjamuan: Yesus membasuh kaki para murid (Yoh 13,1-20) dan perginya Yudas (Yoh 13,21-30). Setelah Yudas berangkat, mulai Yoh 13,31 praktis Yesus yang berbicara terus sampai pada Yoh 16. Macam-macam tema dibicarakan di sini. Dan akhirnya, pidato perpisahan ini diakhiri dengan sebuah doa panjang dalam Yoh 17 sebagai doa perpisahan. Secara khusus, Yoh 17 ini seringkali, terutama di masa lalu, disebut sebagai “doa Yesus sebagai imam agung.” Secara tradisional, gagasan ini dianggap berasal dari seorang teolog  Protestan, David Chytraeus (1530-1600), tetapi akarnya sudah muncul dari seorang Klemens dari Aleksandria. Ini didukung, misalnya kalau kita memperhatikan permohonan Yesus untuk Gereja yang akan datang (ay. 9.20) dan pada kurban yang dirujuk Yesus dalam ay. 17 dan 19.

Yoh 17 adalah sebuah doa? Begitu bagian ini sering disebut. Tetapi jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya kita bisa bertanya apakah memang bagian ini sebuah doa? Yesus tidak berada dalam situasi darurat dan membutuhkan pertolongan. Yesus juga tidak berada dalam jarak tertentu dari Allah sehingga bisa disebut iman. Yang justru tampak jelas di sini adalah relasi istimewa antara Yesus dengan Bapa-Nya. Meskipun bisa diragukan apakah Yoh 17 ini memang sebuah doa, tetapi untuk mudahnya, biarlah kita tetap gunakan saja istilah tersebut.

Kalau kita perhatikan dengan teliti, Yoh 17 ini mempunyai unsur-unsur tertentu yang selalu berulang. Kita lihat satu per satu:

1.        Ada enam permohonan Yesus: dua adalah permohonan agar Bapa memuliakan Anak (ay. 1 dan 5) dan empat permohonan untuk para pengikut-Nya. Permohonan ini terdapat pada ay. 11. 17. 20 (= Aku berdoa) dan 24 (= Aku mau).
2.       Ada enam sapaan kepada Allah: Allah disebut sebagai Bapa (ay. 1b. 5. 21b. 24), sebagai Bapa yang kudus (ay. 11b), dan Bapa yang adil (ay. 25).
3.       Ada sembilan ayat yang meninjau kembali apa yang sudah dibuat Yesus: ay. 4 (2x). 6. 8. 12 (x2). 14. 22. dan 26.
4.       Permohonan dan penegasan tentang apa yang dibuat Yesus itu tersusun secara rapi satu sesudah yang lain sehingga bisa membentuk struktur dari Yoh 17 ini seperti di bawah ini:




I
Ay. 1-2b
Ay. 4
Ay. 5
Ay. 6-8
Permohonan: Muliakanlah Anak-Mu
Tinjauan : Aku telah menyelesaikan pekerjaan
Permohonan: Muliakanlah Aku
Tinjauan: Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang
II
Ay. 9-11
Ay. 12-14
Ay. 16-17
Ay. 18-19
Permohonan: Peliharalah mereka dalam nama-Mu
Tinjauan: Aku memelihara mereka
Permohonan: kuduskanlah mereka dalam nama-Mu
Tinjauan : Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia
III
Ay. 20-21
Ay. 22-23

Ay. 24

Ay. 25-26
Permohonan: supaya mereka semua menjadi satu
Tinjauan : Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku
Permohonan: supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku
Tinjauan: Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka

Sesuai dengan bahan kita, maka yang akan kita lihat secara lebih mendetil adalah bagian III, atau bagian terakhir.

Dari permohonan yang diungkapkan, secara tersamar bisa tergambar situasi jemaat pada waktu itu. Jika kita memperhatikan ay. 20, kiranya tampak bahwa di sini komunitas Yohanes sudah mulai berkembang. Di sini Yesus tidak hanya berdoa untuk mereka, artinya para murid yang pada waktu bersama-sama Yesus, yang boleh kita sebut sebagai para murid generasi pertama, tetapi juga para pengikut-Nya dari generasi kedua, yang merupakan buah dari karya pewartaan yang dikerjakan oleh para murid Yesus yang pertama.

Berbeda dengan para murid generasi yang pertama, murid generasi kedua tidak lagi mempunyai akses kepada Murid yang Dikasihi Tuhan yang menjadi sumber kesaksian komunitas Yohanes. Antara kedua generasi ini bisa dan tampaknya memang terjadi ketegangan. Generasi terdahulu mempunyai kekhasan tak tergantikan karena mereka mempunyai jalan masuk kepada sumber tradisi Komunitas Yohanes; sementara generasi kedua tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Generasi pertama tahu bahwa mereka akan segera berlalu dalam kebanggaan, dan mereka tidak tergantikan. Tetapi  tampaknya mereka masih belum rela bahwa generasi berdua, yang tidak mempunyai pengalaman otentik bersama pendiri komunitas, kemudian memegang peran penting bagi keutuhan dan perjuangan komunitas di masa depan. Situasi ini tampaknya menimbulkan ketegangan di dalam komunitas. Bagaimana identitas komunitas selanjutnya mau dibentuk?  Apakah mereka cukup mendalam dalam memahami seluk-beluk iman komunitas yang khas?  

Komunitas generasi pertama, hampir bisa dipastikan terdiri dari orang-orang Yahudi. Sementara generasi kedua, bisa dibayangkan bahwa orang-orang non-Yahudi mulai berdatangan juga masuk ke dalam komunitas karena pemberitaan firman. Meskipun Komunitas Yohanes bukan sebuah komunitas yang ditentukan atau dibatasi oleh pertimbangan etnik, perbedaan etnik yang mulai tampak pada generasi kedua dan seterusnya, rasanya juga menimbulkan ketegangan meskipun mungkin tidak terlalu berpengaruh.

Demikianlah, sudah pada generasi pertama, komunitas Yohanes harus mengalami ancaman perpecahan di antara jemaat. Bahkan Roh Kudus yang pernah dijanjikan Yesus ternyata berpotensi menambah ruwetnya situasi. Sebelumnya, Yesus memang pernah menjanjikan, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14,25-26 lihat juga 16,13). Sebetulnya, Yesus menjanjikan Roh Kudus yang menjadi pembimbing setiap orang Kristen. Penulis surat Yohanes juga mengatakan, “Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari Dia. Karena itu, kamu tidak perlu diajar oleh orang lain” (1Yoh 2,27). Penegasan seperti ini tampaknya memang bagus, tetapi apakah memang demikian?

Jika masing-masing orang Kristen dibimbing dan hanya cukup mengandalkan Roh Kudus – dan tidak perlu diajar oleh orang lain – lalu apa jadinya? Jelas bahwa masing-masing bisa mengklim diri dibimbing oleh Roh Kudus dan menafsirkan ajaran Tuhan semau-maunya. Dan inilah yang rupanya terjadi dengan komunitas Yohanes di kemudian hari, sebagaimana terungkap dalam surat 1Yoh.

Ketika kesatuan terancam, maka perlu dicari kekuatan lain untuk mencegahnya. Dua kali dalam bagian ini Yesus menyampaikan pengharapan-Nya, yaitu “supaya mereka semua menjadi satu” (ay. 21 dan 22). Kesejajaran tematis seperti bisa lihat di bawah ini menunjukkan pentingnya tema ini dalam seluruh Doa Yesus kepada Bapa-Nya ini.

Yoh 17,20-21
Yoh 17,22-23
20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa,
tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;

21 supaya mereka semua menjadi satu,

sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,

agar mereka juga di dalam Kita,

supaya dunia percaya

bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.
22 Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,


supaya mereka menjadi satu,

sama seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku

supaya mereka menjadi satu dengan sempurna,

agar dunia tahu

bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kesatuan para murid Kristus ini mesti didasarkan pada kesatuan Bapa dan Putera, Bapa “di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (ay. 21). Dan yang kedua, kesatuan Bapa dan Putera ini dirumuskan dengan kata “di dalam”: Bapa di dalam Putra, Putera di dalam Bapa. Menarik memperhatikan bahwa dalam doa Yesus ini, rumusan seperti ini muncul cukup sering: Yesus berdoa juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku (ay. 21); Ia juga memohon agar kasih yang diberikan kepada-Nya “ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (ay. 26). Hubungan antara Bapa dengan Yesus dan para murid dirumuskan demikian: Bapa di dalam Yesus (ay. 21.23), Yesus di dalam Bapa (ay. 21). Yesus di dalam para murid (ay. 23.26), sementara para murid dikatakan berada di dalam Yesus dan di dalam Dia dan Bapa (ay. 21).

Kesatuan Bapa – Putera yang dirumuskan dengan menggunakan ungkapan yang unik, “di dalam”. Bapa di dalam Putera; Putera di dalam Bapa. Rumusan semacam ini adalah rumusan khas Yohanes, walaupun sulit dipahami apa yang sebenarnya mau dikatakan dengan rumusan tersebut. Salah satu kemungkinan untuk memahami rumusan tersebut adalah demikian. Dengan mengatakan “Bapa di dalam Putera” (atau sebaliknya) mau ditunjukkan di satu pihak, kesatuan yang amat kuat antara keduanya, tetapi di lain pihak, keduanya tetap berbeda. Mengatakan Bapa di dalam Putera tidak sama dengan mengatakan Bapa adalah Putera, dan sebaliknya. Dalam kesatuan erat ini, identitas masing-masing tidak lebur dan menjadi sesuatu yang lain.

Lalu apa kandungan makna ungkapan “di dalam” (en) ini? Ungkapan ini tampaknya mau menunjukkan unsur kedekatan antara pihak-pihak yang terlibat (Bapa di dalam Putera, Putera di dalam Bapa, Yesus di dalam para murid, dsb). Dalam relasi ini, mereka berbagi hidup, kasih, dalam kehendak, dalam kemuliaan, dan juga dalam kebahagiaan.

Dalam konteks ini, kesatuan para murid Kristus mesti bercermin pada kesatuan atau relasi “tinggal di dalam” yang dihidupi oleh Bapa dan Putera. Dengan kata lain, kesatuan para murid Kristus sebenarnya tetap mau mempertahankan, di satu pihak, kesatuan atau kedekatan mereka, tetapi di lain pihak, juga identitas masing-masing yang khas. Kesatuan para murid Kristus, sebagai mana juga kesatuan Bapa dan Putera, tidak menuntut kesatuan di mana identitas dan kekhasan masing-masing lenyap melebur menjadi satu.

Sampai saat ini kita bicara tentang “tinggal di dalam”. Tetapi silakan diperhatikan bahwa “tinggal di dalam” ini hanya terjadi antara Bapa dan Putera di satu pihak, dengan para pengikut Yesus di lain pihak. Artinya, dalam bagian ini, tidak pernah dikatakan bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain. Meskipun sebenarnya bisa diandaikan bahwa jika para murid tinggal di dalam Bapa atau Putera, maka di antara mereka pun, sebenarnya terjalin sebuah kesatuan. Bapa dan Putera menjadi titik yang mempersatukan mereka semua. Tetapi kita tahu bahwa dalam doa ini, tidak dikatakan secara eksplisit bahwa murid yang satu tinggal di dalam murid yang lain.

Satu poin lain perlu juga mendapat perhatian. Dalam dua pengharapan agar mereka menjadi satu, Yesus menyatakan bahwa tujuannya adalah “supaya dunia percaya” bahwa Bapa lah yang telah  mengutus Diri-Nya (ay. 21 dan 23). Dengan demikian, kesatuan para murid Kristus sebenarnya mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi kemartiran, yaitu memberikan kesaksian bagi dunia. Lalu, kesaksian apa? Dunia mesti tahu bahwa Allah telah mengutus Yesus dan Allah mengasihi para pengikut Yesus sebagaimana Ia mengasihi Yesus. Itu berarti bahwa di dalam komunitas para murid Kristus terungkap kuasa yang lebih besar, yaitu kuasa Allah sendiri. Komunitas murid Kristus tidak tiba-tiba muncul dengan kekuatannya sendiri.

***

Menjadi jelas bahwa dalam konteks Gereja Indonesia, Kabar Sukacita mesti diwartakan dalam pluralitas gereja-gereja. Seperti sudah disinggung pada awal, kalau orang sempat mengunjungi Gereja Makam Suci (Church of the Holy Sepulcher) di Yerusalem akan terasakan sesuatu yang amat ironis. Di tempat di mana Sang Penebus menjalankan karya penyelamatan Allah dengan menyerahkan diri-Nya di kayu salib, di tempat itulah perpecahan umat kristiani amat kentara. Sejak tahun 1862, pemeliharaan Gereja Makam Suci ini menjadi tanggungjawab tidak kurang dari enam denominasi Kristen, yaitu Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Katolik Roma, Gereja Koptik, Gereja Etiopia, dan Gereja Ortodoks Siria. Gereja yang luar biasa ini dibagi sangat ketat menjadi enam area. Pelanggaran batas ini bisa menimbulkan konflik berdarah di antara orang Kristen sendiri. Begitu gentingnya suasana sampai-sampai kunci pintu Gereja Makam Suci ini sejak berabad-abad justru dipercayakan kepada dua keluarga Muslim untuk menjaga kenetralannya. Konsili Vatikan II dengan tegas menggambarkan situasi ini sebagai perpecahan yang "terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk" (UR 1).

Dekrit tentang ekumenisme dibuka dengan kalimat “Mendukung pemulihan kesatuan antara segenap umat Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II” (UR 1). Dengan demikian menjadi jelas arah perjalanan Gereja selanjutnya khususnya dalam relasi dengan gereja-gereja lain. Dirasakan bahwa sampai saat ini, arahan Konsili Vatikan II ini berjalan dengan baik: sikap polemik di masa lalu perlahan-lahan mulai ditinggalkan, keinginan umat beriman untuk mengetahui gereja atau denominasi lain mulai tumbuh, dan beberapa inisiatif bersama. Tentu saja masih banyak persoalan yang mesti diselesaikan, dari hal-hal yang bersifat praktis sampai dengan yang dogmatis. Tetapi kiranya kita tidak perlu menantikan semuanya selesai terlebih dahulu baru kita memulai sesuatu. Dengan memulai sesuatu, mungkin kita justru menjejakkan langkah awal untuk sesuatu yang lebih baik.

Harus diakui bahwa berhadapan dengan pluralisme denominasi kristen seperti ini, tugas pewartaan Injil menjadi sangat unik dan peka, dan sekaligus memprihatinkan. Semuanya merasa mendapatkan perutusan dari Amanat Agung (Mat 28,18-20) untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus. Yang diwartakan adalah Yesus Kristus yang sama yang dikisahkan dalam Injil yang sama. Kalau boleh kita gunakan kata “pasar”; maka “pasar” ke mana Kabar Sukacita itu ditawarkan, sebenarnya ya itu itu saja. Tidak mengherankan dan memang tidak bisa terhindarkan bahwa pewartaan tentang Yesus Kristus ini seringkali akhirnya juga disampaikan kepada mereka yang sudah beriman kepada Yesus Kristus. Istilah yang seringkali muncul adalah “memancing di kolam orang”. Dalam situasi demikian, maka tidak jarang perbedaan, yang seringkali diartikan sebagai kelebihan yang satu dibandingkan dengan denominasi yang lain, semakin ditonjolkan dan ditampakkan, bahkan kadang-kadang dimanfaatkan sebagai sarana persuasif dan provokatif.

Dalam kesempatan ini, rasanya tidak mungkin kita berdiskusi panjang lebar lagi tentang relasi Gereja Katolik dengan gereja-gereja lain. Pada level umat beriman yang tidak banyak berurusan dengan hal-hal yang berbau teologis-dogmatis, mungkin pembicaraan dalam pertemuan akan lebih efektif jika diarahkan pada hal-hal konkret yang bisa dikerjakan bersama dengan saudara-saudara dari Gereja lain supaya bisa terbangun bonum commune atau kebaikan bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada baiklah dikesampingkan terlebih dulu untuk memberi tempat pada persamaan yang menghasilkan buah untuk melindungi kepentingan bersama.


                         



[1]Kaisarea Maritima adalah sebuah kota di tepi laut yang didirikan oleh Herodes Agung pada tahun 22 sM. Pada zaman Romawi, kota ini menjadi ibukota provinsi Roma di Palestina. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di sana banyak tinggal para pembesar Romawi.
[2] Peter C. Phan, Christianities in Asia (Wiley-Blackwell, Chichester 2011) 2.
[3] Ecclesia in Asia adalah anjuran apostolik dari Paus Yohanes Paulus II tentang pewartaan Injil di Asia. Rangkuman dan kesimpulan dari hasil Sinode Istimewa para Uskup Asia di Roma yang diadakan pada tanggal 18 April – 14 Mei 1998. Secara resmi EA dipromulgasikan di New Delhi pada tanggal 6 Nopember 1999.
[4] John Prior, “Indonesia” dalam Phan, Christianities in Asia, 61-62.
[5] David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission (Orbis Book, New York 2011) 256.
[6] Bosch, Transforming Mission, 385.
[7] Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus (Obor, Jakarta 2004) 124.
[8] Phan, Christianities in Asia, 257.