BULAN
KITAB SUCI NASIONAL 2013
KELUARGA
BERSEKUTU DALAM SABDA
“Oleh
karena berkat-Mu keluarga hamba-Mu ini diberkati untuk selama-lamanya” (2 Sam
7:29)
GAGASAN
PENDUKUNG
Oleh
: Paskalis Edwin Nyoman Paska (Lembaga Biblika Indonesia)
Paus Benediktus XVI melalui Surat
Apostolik Porta Fidei (Pintu kepada
Iman) mengabdikan tahun 2013 sebagai Tahun
Iman. Sang Gembala Gereja Semesta mengajak segenap umat Kristen untuk
merefleksikan imannya dan sekaligus mengambil langkah kreatif untuk membangun
iman dalam ziarah sepanjang tahun 2013.
Dalam rangka membangun iman yang solid,
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengajak umat Katolik Indonesia mendalami
dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sebagai dasar pijak yang kokoh untuk terus
bertumbuh dalam iman akan Kristus, Sang Penyelamat. Para Bapa Uskup serentak
pula mengajak umat untuk menghayati iman dalam respek dan tanggung jawab kepada
alam sekitar.
Menanggapi seruan itu, Lembaga Biblika
Indonesia (LBI) dalam kiprah gerakan Kerasulan Kitab Suci di Indonesia menjadikan
keluarga sebagai locus yang ideal
bagi pewartaan iman perdana. Melalui Pertemuan Nasional Kitab Suci yang
dilaksanakan di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur, 1-5 Agustus 2012, segenap
delegatus Kitab Suci sekeuskupan di Indonesia sepakat mengusung tema
"Kitab Suci dalam Keluarga" sebagai fokus kerasulan Kitab Suci selama
empat tahun (2013-2016). Melalui tema ini diharapkan setiap keluarga bisa
bertumbuh dalam iman berkat permenungan dan penghayatan akan Sabda Allah yang
tertulis dalam Kitab Suci.
Tahun 2013 merupakan tahun perdana
ziarah keluarga Katolik Indonesia dalam tema "Kitab Suci dalam
Keluarga". Selain Buku Ibadat Keluarga yang sudah beredar sejak bulan
Januari 2013, LBI juga menyiapkan bahan pertemuan dalam kelompok selama bulan September
2013. Dalam sub tema: "Keluarga Bersekutu dalam Sabda", segenap umat
Katolik, baik anak-anak, para remaja, orang muda, maupun para orang tua, diajak
untuk mengadakan sharing iman di tingkat kelompok guna membangun iman yang
solid, matang, dan kreatif. Melalui perjumpaan dengan tokoh-tokoh biblis, baik
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, setiap peserta diharapkan merefleksikan
imannya dan menemukan cara yang memadai untuk menumbuhkan imannya dalam dunia
yang sekuler, yang penuh dengan tantangan dan kesulitan.
Kami menghimbau segenap umat Katolik
Indonesia untuk memiliki dan memberikan apresiasi atas buku panduan ini sebagai
salah satu wujud nyata untuk memberi makna kepada Tahun Iman. Dan lebih dari itu. kami mengajak segenap umat Katolik,
di manapun berada, untuk menghadiri pertemuan kelompok sebagai momen saling
berbagi iman dalam aneka pengalaman kecemasan dan kedukaan, juga dalam aneka
pengalaman kegembiraan dan kebahagiaan. Saling berbagi dalam aneka pengalaman
hidup adalah sebuah praksis iman yang paling konkret dan nyata sebagaimana dihayati
jemaat perdana.
Akhirnya saya mengucapkan limpah terima
kasih untuk Bapak Dr. Paskalis Edwin Nyoman Paska yang telah menyiapkan gagasan
dasar untuk buku panduan ini. Tak lupa, respek dan ucapan terima kasih yang
mendalam buat para Delegatus Kitab Suci yang telah menyusun bahan pertemuan
kelompok, serta semua rekan kerja di LBI yang telah bekerja keras untuk membuat
buku panduan ini siap dan pantas digunakan dalam reksa pastoral dalam
lingkungan Gereja Katolik Indonesia. Selamat menggunakan buku ini dan semoga
ziarah iman kita sungguh berbuah limpah.
P.
Yosef Masan Toron, SVD
Ketua
Lembaga Biblika Indonesia
1.
KELUARGA
YANG BERIMAN : KELUARGA ABRAHAM DAN SARA (Kej 12:1-6)
Abraham sering disebut bapa kaum beriman
(Rm. 4:16) tentu karena ia telah menunjukkan dirinya sebagai orang beriman
(Gal. 3:9). Iman ini pertama-tama ditunjukkan oleh Abraham dengan
kesiapsediaannya melaksanakan perintah Tuhan untuk meninggalkan negeri
kelahiran dan sanak saudaranya (Kej. 12:1-6). Apa yang bisa kita pelajari
perihal iman dari kisah panggilan Abraham ini?
Susunan Teks
Perikop Kej. 12:1-6 merupakan bagian
dari kisah panggilan Abraham (Kej. 12:1-9). Perikop ini berisi
pengulangan-pengulangan yang memberi informasi tambahan atau agak berbeda.
Misalnya, dalam ayat 4a dikatakan Abraham pergi bersama Lot seperti yang
difirmankan TUHAN, lalu ayat 5 diulang lagi dengan mengatakan bahwa Abraham pergi
juga bersama Sarai, istrinya. Bahkan ada pengulangan yang sepertinya
bertentangan. Misalnya, ayat 1 mengatakan Abraham diminta pergi oleh TUHAN ke
negeri yang akan ditunjukkan kepadanya, namun dalam ayat 5 Abraham sepertinya
sudah tahu ke mana ia harus pergi, yakni Kanaan. Adanya pengulangan-pengulangan
seperti itu mendorong banyak penafsir untuk melihat Kej. 12:1-9 sebagai teks
yang berasal dari dua sumber yang berbeda: tradisi Yahwis (ayat l-4a,6-9) dan
tradisi Imamat (ayat 4b-5). Namun, pembagian itu tidak perlu terlalu membuat
kita memisahkan perikop ini dalam dua tradisi, melainkan tetap melihatnya
sebagai satu kesatuan yang utuh sebagaimana adanya.
Kej. 12:1-9 tersusun dari tiga bagian,
yakni perintah untuk meninggalkan negeri (ayat 1), janji berkat (ayat 2-3), dan
berita perjalanan Abraham (ayat 4-9).
Perintah untuk
Meninggalkan Negeri (Kej. 12:1)
Tuhan memerintahkan Abraham untuk
meninggalkan "negerinya, sanak saudaranya, dan rumah bapanya" (Kej.
12:1). Negeri mana yang harus Abraham tinggalkan?
Berdasarkan konteksnya, negeri yang
dimaksud di sini tentu Haran, karena di sinilah Abraham menerima panggilan
Tuhan. Haran adalah kota di Mesopotamia Utara yang menjadi salah satu pusat perdagangan
yang penting dalam rute perjalanan antara Niniwe dan Damaskus. Namun, bila kita
melihat konteksnya yang lebih luas, negeri ini bisa mengacu ke Ur Kasdim,
Mesopotamia Selatan. Sebelum kisah panggilan ini, dikatakan bahwa Terah, ayah
Abraham, berasal dari Ur Kasdim (Kej. 11:28). Atas kemauannya sendiri, Terah
berangkat meninggalkan negerinya bersama Abraham, anaknya, dan Sarai, istri Abraham,
serta Lot, cucunya, menuju Kanaan (Kej. 11:31).
Keluarga besar Abraham tampaknya suku
semi-nomaden yang hidup di negara-kota Mari, dekat Sungai Efrat, antara abad
ke-20 SM hingga abad ke-14 SM. Mereka mempunyai banyak ternak. Untuk memperoleh
padang penggembalaan yang subur dan untuk kelangsungan hidup mereka, sering
kali mereka berpindah-pindah sebagai imigran ke daerah Bulan Sabit yang subur.
Mungkin karena alasan itu pulalah Terah pergi menuju Kanaan. Namun, sebelum
mencapai Kanaan, mereka sepertinya mengubah rencana dan tujuan perjalanan mereka.
Mereka berhenti dan menetap di Haran (Kej. 11:31). Berdasarkan latar belakang
ini, negeri yang harus Abraham tinggalkan tampaknya Ur Kasdim (Kasdim = Babel),
negeri asal-usulnya.
Jadi, negeri yang harus Abraham tinggalkan
ialah baik Ur Kasdim maupun Haran. Mengingat tujuan awal perjalanan Terah meninggalkan
Ur Kasdim ialah Kanaan (Kej. 11:31), apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepada
Abraham dalam arti tertentu adalah melanjutkan dan menggenapi perjalanan yang
sudah dimulai oleh ayahnya.
Siapa sanak saudaranya yang harus
ditinggalkan oleh Abraham? Kata sanak saudara (Ibrani: moledet) mengacu pada kaum kerabat, mereka yang bersaudara karena
hubungan darah atau perkawinan. Beberapa sanak saudara Abraham yang disebut
dengan namanya dalam Alkitab adalah Terah (ayahnya), Nahor dan Haran (saudara kandungnya),
dan Milka (istri Nahor).
Ungkapan "rumah bapamu"
(Ibrani: bet ‘abika) tidak dipakai dalam
arti harfiah "rumah milik bapamu" atau "rumah di mana bapamu
tinggal", melainkan "orang-orang yang masih ada hubungan saudara
dengan engkau", "keluarga besarmu", atau "klanmu".
Mungkin lebih kasarnya bisa disebut "orang sekampungmu". Speiser yang
menganggap kata "negeri" dan "sanak saudara" merupakan hendiyadys (dua kata untuk mengungkapkan
satu ide), dan harus dimengerti sebagai ungkapan "tanah kelahiran",
mengartikan ungkapan "rumah bapamu" dengan "semua mereka yang
tinggal dengan ayahmu".
Singkatnya, Abraham diminta pergi
meninggalkan akar hidupnya, dasar yang menopang hidupnya, yang memberi dia rasa
aman, yakni tanahnya, masyarakatnya, dan keluarga dekatnya.
Janji Berkat (Kej.
12:2-3)
Alasan Tuhan memanggil Abraham ialah
karena Ia mempunyai rencana besar yang hendak Ia wujudkan melalui Abraham.
Rencana besar itu ialah: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar,
dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi
berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk
orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat
berkat" (Kej. 12:2-3). Rencana besar ini berupa janji berkat bagi Abraham
dan semua orang yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang.
Berkat
bagi Abraham
"Aku
akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta
membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat" (ayat
2).
Pertama,
Abraham akan dibuat menjadi bangsa (goy)
yang besar (ayat 2a). Bahasa Ibrani mengenal dua istilah untuk kata "bangsa",
yakni 'am dan goy. Kata 'am mengacu
pada bangsa dalam arti kelompok manusia yang anggotanya disatukan oleh hubungan
darah. Semuanya berasal dari orangtua atau nenek moyang yang sama. Sedangkan goy mengacu ke bangsa (Inggris: nation) yang mengandung konotasi politis
(mempunyai bentuk pemerintahan yang merdeka), administratif, geografis
(mempunyai wilayah), dan identitas kultur yang membedakan komunitas tertentu
dengan kelompok yang lain. Yang dijanjikan kepada Abraham ialah menjadi goy yang besar, menjadi suatu kekuatan
politis yang besar, yang mengandaikan jumlah penduduk yang banyak, wilayah
geografis yang luas, dan merdeka (tidak ada di bawah kekuatan bangsa lain).
Kedua,
"membuat namamu masyhur". Janji ini bertentangan dengan apa yang
terjadi pada peristiwa Menara Babel (Kej. 11:1-9). Manusia ingin mencari nama
("marilah kita cari nama", Kej. 11:4) dengan mendirikan Menara Babel,
namun mereka tidak mendapatkannya. Abraham tidak mencari nama, namun ia akan mendapat
dari Allah sendiri "nama" yang mashyur, yang begitu didambakan oleh
umat manusia. Kemasyhuran juga mengandung nuansa politis, sebab dulu
kemasyhuran sering dicapai dengan mengalahkan bangsa-bangsa lain (bdk. 2Sam.
8:13). Sekarang pun orang sering meraih kemashyuran dengan terlibat dalam
politik praktis.
Ketiga, "dan
engkau akan menjadi berkat”. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa ayat yang menunjukkan
bahwa seseorang atau suatu bangsa dapat menjadi berkat bagi bangsa lain. Misalnya,
Za. 8:13, "Dan kalau dahulu kamu telah menjadi kutuk di antara
bangsa-bangsa, hai kaum Yehuda dan kaum Israel, maka sekarang Aku akan menyelamatkan
kamu, sehingga kamu menjadi berkat. Janganlah takut, kuatkanlah hatimu!"
(lih. juga Yes. 19:24). Namun, tidak begitu gampang memahami apa sebenarnya
arti "menjadi berkat". Ada yang mengartikannya dalam arti pasif,
"Engkau akan diberkati", artinya, "Engkau akan menjadi
perwujudan berkat". Ada pula yang mengartikannya dalam arti aktif,
"Engkau akan menjadi sumber berkat bagi orang lain". Barangkali
pengertian "menjadi berkat" di sini harus dimengerti dalam arti
aktif, menjadi "sumber berkat" dalam kaitannya dengan ayat 3 di bawah
ini.
Berkat
bagi semua orang
"Aku
akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang
yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat
berkat" (ayat 3).
Abraham akan menjadi
sumber berkat, sehingga nasib seseorang tergantung dari hubungannya dengan
Abraham. Mereka yang memberkati Abraham akan diberkati, sedangkan yang mengutuknya
akan dikutuk. Mengutuk ialah mengucapkan kata-kata yang mengandung kuat kuasa
untuk memisahkan sesuatu atau seseorang dari dunia Tuhan, yakni dari hidup
maupun dari lingkungannya (keluarga, suku, kota, dan sebagainya). Mengutuk bertentangan
dengan memberkati. Berkat dimaksudkan untuk berkembang biak, untuk
mengembangkan kehidupan, sebaliknya kutukan untuk menghancurkan kehidupan.
Mereka yang memberkati Abraham artinya mereka yang berhubungan baik dengan
Abraham, mau membuat hidup Abraham berkembang menjadi besar, dengan mengakui
berkat yang diberikan Tuhan kepadanya (bdk. Kej. 14:19). Orang yang demikian
ini akan diberkati, artinya akan memiliki banyak keturunan, berhasil, dan
makmur.
Kata "olehmu"
(Ibrani: beka) dalam janji
"olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" sulit dipahami.
Kata Ibrani beka di sini biasanya
diterjemahkan dengan "olehmu", "oleh karena engkau". Namun,
kata ini juga bisa diterjemahkan dengan "dalam engkau": semua bangsa
di bumi "akan diberkati dalam engkau" atau "menemukan berkat
dalam engkau". Betapapun juga, kedua terjemaban ini mengandung makna
adanya janji berkat bagi segala bangsa melalui Abraham. Misalnya, ketika Israel
mengalami berkat kemakmuran besar pada zaman Daud dan Salomo, bangsa-bangsa di
sekitarnya pun menikmatinya. Mereka dapat ambil bagian dalam berkat yang diberikan
kepada Israel.
Abraham Melaksanakan
Perintah Tuhan (Kej. 12:4-6)
Abraham tidak melakukan tawar-menawar
dengan Tuhan. Dia langsung melaksanakan perintah Tuhan, "Lalu pergilah
Abraham seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya" (ayat 4a). Dia pergi meninggalkan
Haran menuju Kanaan bersama Sarai, istrinya, dan Lot, anak Haran, saudaranya.
Mengapa ia tidak mengajak Terah, ayahnya, ikut serta? Bukankah Kanaan merupakan
tujuan utama keberangkatan Terah dan Ur Kasdim (Kej. 11:31)? Apakah karena
ayahnya sudah meninggal atau tidak kuat jalan karena sudah tua?
Abraham lahir ketika Terah, ayahnya,
berumur 70 tahun (Kej. 11:26). Ketika berangkat dari Haran ke Kanaan Abraham
berusia 75 tahun (Kej. 12:5), sedangkan Terah berusia 145 tahun (70+75=145). Menurut
Kej. 11:32 Terah meninggal pada usia 250 tahun, artinya masih hidup ketika
Abraham berangkat meninggalkan Haran. Ia pun kemungkinan masih kuat, karena
masih hidup 105 tahun lagi (250-145=105). Kenyataan bahwa Terah tidak diajak
mungkin merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah TUHAN untuk meninggalkan
sanak "saudaramu".
Ayat 5-6 melukiskan perjalanan Abraham
dari Haran sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni di pohon tarbantin di
More. Sikhem adalah sebuah kota yang terletak sekitar 65 kilometer di sebelah utara
Yerusalem, antara Gunung Ebal dan Gunung Gerizim. Dekat Sikhem, ada pohon
tarbantin, pohon besar yang dianggap keramat. More sebenarnya mempunyai makna
dasar "peramal". Peramal bisa mengacu ke orang atau ke tempat yang
dipakai oleh Yang Ilahi untuk menyampaikan pengetahuan tersembunyi. Oleh karena
itu, beberapa terjemahan menyebut "pohon tarbantin di More",
sedangkan yang lain menyebutnya "pohon tarbantin milik More" (RSV,
NIV). Tempat yang dimaksud mungkin tempat suci orang Sikhem. Kelak, Tuhan pun menampakkan
diri kepada Abraham di tempat ini (Kej. 18:1).
Refleksi
Apa yang bisa kita pelajari tentang iman
Abraham yang disebut bapa kaum beriman (Rm. 4:16)? Perikop yang kita baca tidak
mengungkapkan secara eksplisit iman Abraham, namun secara implisit ia sudah
menunjukkan awal kehidupan beriman.
Iman diawali oleh kemampuan mendengarkan
firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Keberangkatan Abraham dari Haran
dapat saja merupakan suatu keharusan baginya karena tuntutan hidup, seperti
yang dialami Terah, ayahnya, yang harus meninggalkan Ur Kasdim. Namun, di mata
Abraham, keberangkatan ini adalah jawabannya atas perintah Tuhan. Jawaban
itulah ungkapan imannya.
Perbedaan antara orang beriman dan tidak
beriman kadang kala sangat tipis. Ketika orang tidak beriman lulus ujian, ia
berkata, "Saya lulus karena saya rajin belajar". Tetapi, orang
beriman mengatakan, "Semua itu karena anugerah Tuhan". Dia pun lalu
bersyukur kepada Tuhan dan tidak menyombongkan dirinya. Apakah saya melihat peristiwa
hidup sehari-hari semata-mata sebagai sesuatu yang alami ataukah merupakan
campur tangan Allah dalam hidup saya?
Iman merupakan jawaban atas firman atau
panggilan Tuhan. Inisiatifnya selalu dari Tuhan. Asal-usul Abraham menunjukkan kepada
kita bahwa panggilan dari Tuhan tidak menuntut prasyarat tertentu, entah itu
latar belakang keluarga yang baik, kekayaan, iman, ataupun kesalehan yang
istimewa. Abraham hidup dalam lingkungan kafir. Dia tidak mengenal hukum Tuhan,
dan oleh karenanya ia juga tidak pernah menunjukkan secara eksplisit
kesetiaannya kepada perintah Tuhan. Namun, Tuhan memanggil dia. Dengan kata
lain, panggilan dan berkat Tuhan diberikan menurut kehendak bebas Tuhan.
Panggilan itu benar-benar rahmat yang diberikan secara cuma-cuma. Jika Tuhan
menghendaki, orang setua Abraham pun (75 tahun) bisa menapaki perjalanan yang
dikehendaki-Nya.
Menjawab panggilan Tuhan dalam iman
berarti berani meninggalkan zona aman dalam hidup kita, seperti Abraham yang meninggalkan
negeri kelahiran dan sanak saudaranya yang memberi rasa aman kepadanya. Meninggalkan
zona aman berarti juga siap memasuki zona gelap, wilayah yang tidak jelas,
seperti Abraham yang siap pergi ke tempat "yang akan ditunjukkan"
(berarti belum ditunjukkan). Abraham belum tahu atau tidak tahu persis ke mana ia
harus pergi. Namun, karena iman, karena percaya sepenuhnya kepada Tuhan,
Abraham siap berjalan dalam kegelapan, dalam ketidakjelasan. Kej. 15:6
mengatakan, "Lalu percayalah Abraham kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan
hal itu kepadanya sebagai kebenaran".
Kata iman diambil dari kata Ibrani aman yang berarti percaya. Namun, makna
dasarnya sebenarnya "mengokohkan" atau "mendukung", yang
mengacu kepada suatu perbuatan memukul patok utama dengan palu untuk mendirikan
sebuah tenda. Patok utama ini sangat penting karena sangat menentukan tegak
atau robohnya tenda itu. Dalam arti ini, beriman tiada lain dari menancapkan
patok utama sebuah tenda, yakni hidup kita, di batu karang yang kuat, yang bagi
kita orang Kristen tiada lain dari Kristus. Beriman berarti menerima Allah
sebagai tempat pertama dalam hidup kita, mempercayakan diri sepenuhnya
kepada-Nya, bersandar pada-Nya, dan mengakui-Nya sebagai penopang, tonggak di
mana kita membangun hidup kita.
Perjalanan sejarah hidupnya kemudian menunjukkan
bagaimana dia bergumul dalam wilayah yang tidak jelas itu. Tidak jarang
keraguan menyelimuti hati dan pikirannya sampai-sampai ia mebkukan tindakan
bodoh karena meragukan kemahakuasaan Tuhan dan kesetiaan Tuhan pada janji-Nya.
Misalnya, ia menyebut Sarai sebagai saudaranya, bukan istrinya (Kej. 12:10-20;
20:1-2), dan mengawini Hagar, hambanya (Kej. 16:1-6). Namun, berkat penyertaan Tuhan,
dia berhasil taat sampai akhir. Bagaimana kita bergulat, jatuh bangun dalam
iman kita? Meski kita sudah beriman, kita perlu memiliki kerendahan hati untuk
mengakui bahwa iman kita masih terlalu kecil. Seperti ayah seorang yang bisu
dalam Injil, kita pun patut berkata, "Aku percaya, tolonglah aku yang
tidak percaya ini" (Mrk. 9:24).
Kita ingin disebut keturunan Abraham
yang akan mewarisi berkat Abraham. Menurut Paulus, unsur yang paling menentukan
untuk menjadi keturunan Abraham bukanlah hubungan darah, melainkan iman yang
diungkapkan dalam perbuatan dan kesetiaan. "Jadi kamu lihat, bahwa mereka
yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham. Dan Kitab Suci, yang
sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh
karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: 'Olehmu
segala bangsa akan diberkati'. Jadi mereka yang hidup dari iman, merekalah yang
diberkati bersama-sama dengan Abraham yang beriman itu" (Gal. 3:7-9; bdk.
Kej. 15:6).
Semoga iman Abraham mewarnai kehidupan
keluarga kita, dan kita semua pantas disebut anak-anak Abraham.***
2. KELUARGA
YANG BERAKAR PADA SABDA ALLAH : KELUARGA ZAKHARIA DAN ELISABET (Luk 1:57-66)
Setiap keluarga Kristen diharapkan hidup
berdasarkan firman Tuhan. Namun, firman Tuhan sering kali tidak begitu jelas
dan sering dikaburkan oleh suara-suara lainnya. Sebagai pegangan untuk hidup,
firman Tuhan bersaing dengan norma-norma dan aturan-aturan atau tradisi yang
berlaku dalam masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika banyak keluarga Kristen
melanggar firman Tuhan tetapi tidak menyadarinya.
Pengalaman hidup Zakharia, pergumulannya
dalam mempercayai firman Tuhan dan mau melaksanakannya, memberi inspirasi serta
dorongan bagi kita untuk mengutamakan firman Tuhan di atas yang lainnya. Salah
satu peristiwa yang sangat inspiratif ialah kelahiran Yohanes Pembaptis dan
upacara sunat yang dilaksanakan oleh keluarga ini. Kisah yang dituangkan dalam
Luk. 1:57-66 ini dapat dibagi dalam tiga tema pokok: kelahiran Yohanes (ayat
57-58), sunat dan pemberian nama (ayat 59-63), serta tanggapan Zakharia dan
orang banyak terhadap karya agung Allah berupa pujian dan keheranan (ayat
64-66).
Kelahiran Yohanes (Luk.
1:57-58)
Tidak memiliki anak merupakan suatu aib
bagi wanita Israel di zaman dulu, dan beberapa orang menganggap mandul sebagai kutukan
atau hukuman dari Tuhan. Maka, tidak jarang ketika tidak mempunyai keturunan
seorang wanita sangat sedih karena merasa tidak berguna. Sebaliknya, melahirkan
anak mereka yakini sebagai tanda Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada dia yang
dikasihi-Nya. Dalam latar belakang budaya seperti ini, bisa dibayangkan betapa besar
sukacita seorang wanita Yahudi ketika melahirkan seorang anak, apalagi kalau
yang dilahirkan itu anak lagi-laki.
Apa yang dialami Elisabet benar-benar
mendatangkan sukacita yang besar. Dia bukan saja melahirkan anak dan anak itu
anak laki-laki, melainkan juga karena ia mendapatkannya pada usia yang lanjut dan
setelah bertahun-tahun dinyatakan mandul (Luk. 1:7). Alkitab, khususnya
Perjanjian Lama, menyajikan banyak kisah tentang wanita yang semula dianggap
mandul kemudian melahirkan anak berkat kemurahan Tuhan. Bahkan wanita-wanita
itu adalah istri dari tokoh-tokoh besar atau ibu dari tokoh penting dalam
sejarah keselamatan. Selain Elisabet, beberapa nama yang patut diingat ialah
Sarai, istri Abraham (Kej. 11:30); Ribka, istri Ishak (Kej. 25:21); Rahel, istri
Yakub (Kej. 30:22); istri Manoah atau ibu Simson (Hak. 13:2-3); serta Hana, istri
Elkana dan ibu Samuel (1Sam. 1:5).
Dari sekian banyak cerita tentang wanita
mandul tetapi kemudian melahirkan, ada beberapa hal yang menarik. Pertama, mereka sangat rindu memiliki
anak, serta sangat sedih dan menderita karena belum memilikinya. Kedua, mereka tiada hentinya memohon kepada
Tuhan dengan penuh harapan dan setia kepada-Nya. Ketiga, mereka harus menunggu begitu lama, sehingga beberapa di
antara mereka akhirnya merasa mustahil akan mendapat anak karena usia yang
sudah lanjut. Namun, Tuhan berjanji akan mengabulkan doa mereka (Luk. 1:13) dan
menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya (Kej. 18:14; Luk. 1:37).
Wanita yang mandul itu pun melahirkan anak. Sarai misalnya, mempunyai anak
setelah berusia 90 tahun. Selanjutnya, anak yang diperoleh dengan penantian
yang lama dan perjuangan iman yang berat itu akhirnya menjadi tokoh yang luar
biasa dan berjasa bagi umat manusia.
Lahirnya seorang anak dari seorang yang
dianggap mandul menandaskan bahwa anak itu benar-benar anugerah Tuhan dan Tuhan
mempunyai rencana yang indah untuknya. Kegembiraan atas anugerah ini begitu
besar, sehingga tidak cukup dirayakan oleh Elisabet dan Zakharia, melainkan
juga oleh tetangga-tetangga dan sanak saudaranya (ayat 58). Rasa syukur dan
sukacita atas begitu besarnya rahmat yang Tuhan tunjukkan memang harus dibagi
bersama, bukan untuk dinikmati sendiri. Tetapi apakah orang lain mau diajak
berbagi?
Reaksi para tetangga dan sanak saudaranya
sangat positif, mereka mau diajak berbagi sukacita. Mereka tidak iri hati
melainkan seperti yang dikatakan Paulus "bersukacita dengan orang yang
bersukacita" (bdk. Rm. 12:15). Demikianlah mereka bersukacita
bersama-sama.
Sunat dan Pemberian
Nama (Luk. 1:59-63)
Sunat
Di kalangan banyak bangsa
di dunia ini, sunat dikaitkan dengan masalah sosial, yakni tanda seorang anak
memasuki jenjang dewasa, dan masalah kesehatan. Dalam tradisi Yahudi, sunat
dikaitkan dengan perjanjiar Allah dengan Abraham (Kej. 17:7). Sunat dibuat
dengan memotong kulit khatan atau kulup kelamin laki-laki, dan menjadi tanda
perjanjian Israel dengan Tuhan yang diikat dalam daging. Israel mengimani bahwa
Tuhan mengadakan perjanjian bukan dengan Abraham sebagai perorangan melainkan sebagai
kepala keluarga, bapa bangsa yang besar. Perjanjian Tuhan berlaku untuk
keturunan Abraham sampai selama-lamanya, "Antara Aku dengan kamu serta keturunanmu
turun-temurun" (Kej. 17:7-11). Sunat lalu dijadikan sebagai tanda lahiriah
seseorang menjadi anggota umat perjanjian. Itulah sebabnya mengapa seorang anak
laki-laki Yahudi disunat bukan ketika ia menginjak remaja, melainkan ketika ia
masih kecil, tepatnya ketika berusia delapan hari. Yesus pun disunat tepat
ketika berusia delapan hari (Luk. 2:21).
Ada yang mengatakan
bahwa vitamin K dan prothrombin yang sangat
dibutuhkan untuk membekukan darah mencapai puncaknya pada usia delapan tahun.
Karena itu, sunat paling ideal dilakukan pada hari kedelapan karena akan sangat
aman dan lukanya cepat sembuh. Namun, sunat dilakukan pada hari kedelapan
bukanlah karena hal itu, melainkan karena anak harus segera dimasukkan dalam
anggota umat perjanjian, menjadi ciptaan baru. Hari kedelapan merupakan hari
baru setelah tujuh hari penciptaan. Inilah hari yang tepat untuk menunjukkan
bahwa anak yang disunat lahir sebagai manusia baru.
Pemberian
nama
Upacara penyunatan
biasanya disertai dengan pemberian nama. Nama sangat penting karena merupakan
pembeda identitas. Nama memungkinkan kita membedakan sesuatu dengan yang lainnya,
anjing dengan kucing, juga Setiawan dengan Budiman. Sebuah nama diharapkan
mencerminkan identitas seseorang. Dalam budaya Israel, nama bersifat
deskriptif, menggambarkan identitas orang yang memakainya. Misalnya, manusia
pertama diberi nama Adam karena ia dibuat dari tanah (Ibrani: adamah), sedangkan istrinya disebut Hawa
(Ibrani: hayah, artinya
"hidup"), yang berarti "ibu semua yang hidup" (Kej. 3:20).
Pemimpin yang mengantar Israel ke tanah terjanji bernama Yosua,.yang berarti
"TUHAN menyelamatkan" atau "TUHAN adalah juruselamat". Nabi
Hosea yang menikah dengan Gomer, perempuan sundal, menamai anak-anaknya Yizreel
(artinya "Tuhan menabur"), Lo-Ruhama (artinya "tidak
disayangi", Hos. 1:6), dan Lo-Ami (artinya "bukan umat-Ku", Hos.
1:9) untuk menggambarkan relasi Tuhan dengan Israel. Adik Esau disebut Yakub
(Ibrani 'akeb = tumit) karena ketika
lahir ia memegang tumit Esau (Kej. 25:26).
Biasanya kalau mereka
kesulitan menemukan nama yang mendeskripsikan sesuatu yang khas, mereka memberi
nama orangtuanya atau nenek moyangnya. Anak laki-laki pertama biasanya diberi
nama sesuai nama ayahnya. Maka, tidaklah mengherankan bahwa para tetangga dan
sanak saudara Elisabet hendak menamai anak yang baru lahir itu Zakharia, sesuai
nama ayahnya (ayat 59). Tetapi, Elisabet tidak menyetujuinya dan mengatakan
bahwa ia harus diberi nama Yohanes (ayat 60). Nama ini sesuai dengan apa yang
dipesankan oleh malaikat kepada suaminya (Luk. 1:13). Orang-orang itu sulit
menerima penolakan Elisabet karena bertentangan dengan tradisi (ayat 61).
Mereka lalu menanyakannya kepada Zakharia. Karena Zakharia bisu dan
kelihatannya juga tuli, mereka bertanya kepadanya dengan bahasa isyarat (ayat
62). Zakharia meminta batu tulis, semacam lempengan tanah liat yang dipakai
untuk membuat catatan sementara, lalu menulis, "Namanya adalah
Yohanes" (ayat 63). Yohanes merupakan transliterasi dalam bentuk singkat
dari kata Ibrani Iehochanan, artinya
"Allah adalah rahim". Nama orang-orang yang kelahirannya telah
dinubuatkan biasanya mempunyai makna tertentu yang berkaitan dengan panggilan
khusus yang direncanakan Tuhan baginya. Yohanes dipanggil untuk menyerukan
pertobatan agar orang menerima kerahiman Allah dan Sang Penebus. Menyaksikan semua
itu tentu saja orang banyak heran karena tidak sesuai dengan apa yang lazim
atau tradisi mereka (ayat 63b).
Zakharia Memuji Allah
(Luk. 1:64-66)
Ayat 64-66 berisi reaksi Zakharia dan
orang-orang di sekitarnya terhadap karya agung Allah. Pertama kita melihat
reaksi Zakharia. Dengan mulutnya, Zakharia telah menunjukkan
ketidakpercayaannya kepada Tuhan, sehingga mulut itu terkutuk dan tidak bisa
berbicara (Luk. 1:11-23). Kini, ketaatan Zakharia kepada firman Tuhan, yang
membuktikan bahwa dia benar-benar percaya kepada Allah, menghapus kutuk yang
dia terima. Mulutnya terbuka dan ia mulai berbicara kembali (ayat 64a). Hukuman
bisunya berakhir dan sebagai tanggapan atas karya Allah ini Zakharia memuji-Nya
(ayat 64b).
Bahasa Ibrani kuno mengenal beberapa
kata untuk istilah memuji (Yunani: eulogeo).
Pertama, halal artinya "memuji", misalnya seruan haleluya (pujilah Tuhan) yang merupakan
gabungan dua kata Ibrani halelu
(pujilah) dan Yah (singkatan nama
Tuhan, YHWH; bdk. Mzm. 111:1;112:1;113:1,9;150:1;dll.). Kedua, yadah artinya "mengucap
syukur" dalam arti mengakui dan memuji kebaikan hati seseorang. Ketiga, barak artinya "memberkati" dalam arti mengakui dan memuji
kebaikan Allah (lih. Kej. 24:27). Kata memuji memiliki makna yang hampir tidak
terpisahkan dengan bersyukur. Zakharia memuji Allah, artinya ia bersyukur kepada
Allah dengan mengakui dan memuji kebaikan hati-Nya.
Israel memuji Allah bukan pertama-tama
dengan mempersembahkan kurban kepada-Nya, melainkan terutama dengan mengakui di
depan umum apa yang diperbuat-Nya. Itulah yang dilakukan oleh Zakharia. Zakharia
memuji dan bersyukur kepada Allah karena ia mengalami kasih Allah yang
mengikutsertakan umat manusia dalam mengungkapkan kasih dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan
dan mengatasi pikiran manusia. Sebetulnya inilah salah satu kekhasan
kekristenan. Orang Kristen mengakui keselamatan sebagai anugerah Allah, karena
itu mereka selalu bersyukur kepada Tuhan seperti dinasihatkan oleh Paulus,
"Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus
Kristus kepada Allah dan Bapa kita" (lih. Ef. 5:20; Kol. 3:17; Flp. 4:6).
Kedua, kita melihat reaksi orang-orang
di sekitar Zakharia. Mereka ketakutan bukan ketakutan dalam arti harfiah,
melainkan hormat dan kagum, seperti sikap seorang anak terhadap orangtuanya (ayat
65). Karena kekaguman itu, mereka pun membicarakannya di mana-mana sehingga
berita tentang hal ini semakin tersebar luas, bahkan sampai ke telinga Lukas,
pengarang Injil ini. Semua orang yang mendengarnya "merenungkannya".
Bahasa Yunaninya berbunyi "ethento
... en te kardia auton" yang secara harfiah berarti "menempatkannya
dalam hatinya". Maksudnya mungkin bukan pertama-tama merenungkannya atau
menyimpan dalam hati seperti Maria, nielainkan lebih berarti
"mengaguminya" atau "heran" penuh tanda tanya. Mereka heran
dan berkata, "Menjadi apakah anak ini nanti?" (ayat 66a). Di dalam
keheranannya, mereka bertanya-tanya soal masa depan, soal rencana Tuhan
terhadap anak ini. Mereka yakin bahwa Tuhan menyertai anak ini dan mempunyai
rencana besar di inasa depan untuknya (ayat 66b).
Refleksi
Beberapa pokok-pokok refleksi yang bisa
kita buat berdasarkan ulasan teks di atas:
Menghargai anak
Sabda Tuhan menunjukkan
kepada kita pentingnya seorang anak. Apakah sebagai suami-istri, kita
benar-benar mendambakan dan menghargai anak sebagai anugerah istimewa dari
Tuhan? Bagaimana pandangan kita dengan sikap orang yang menikah tctapi tidak
mau mempunyai anak? Bagaimana sikap kita terhadap aborsi, terhadap kasus bayi
yang dibuang begitu saja olgh-orang yang melahirkannya?
Bagaimana sikap kita
terhadap orang yang mandul? Apa yang kita buat bila sebagai suami-istri kita
belum juga dikaruniai keturunan? Usaha-usaha apa saja yang kita buat dan apakah
usaha itu sesuai dengan iman dan kesetiaan kita kepada Tuhan? Bila sudah begitu
lama kita menantikannya, masih beranikah kita berharap dan percaya bahwa
"tiada yang mustahil bagi Tuhan"?
Sunat
Sunat dalam Perjanjian
Lama pertama-tama merupakan tanda lahiriah perjanjian Israel dengan Allah.
Namun, sunat tidak boleh terbatas sebagai tanda lahiriah, melainkan juga tanda
rohani. Sunat berkaitan erat dengan ketaatan, menjadi tanda jawaban manusia
atas kasih karunia Allah yang memilih dan menandai umat milik-Nya. Jawaban itu
berupa penyerahan diri kepada Allah dan kesetiaan dalam menaati hukum-Nya.
"Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela". Darah yang tumpah
dalam sunat menunjukkan tuntutan yang mahal yang harus dibayar oleh manusia
yang hidup dalam perjanjian dengan Tuhan.
Perjanjian Lama
sebenarnya sudah menekankan pentingnya sunat hati, sunat rohani. "Sebab
itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk" (Ul. 10:16);
"Allahmu, akan menyunatkan hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau
mengasihi TUHAN" (Ul. 30:6). Yeremia mengajak orang Yehuda bertobat dengan
berkata, "Sunatlah dirimu bagi TUHAN, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu"
(Yer. 4:4). Namun, Perjanjian Baru lebih tegas lagi dalam menandaskan
pentingnya sunat rohani, terutama ketika hukum sunat hendak dijadikan sebagai
syarat untuk keselamatan. Paulus dengan keras menentang kewajiban sunat jasmani,
"Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah
menaati hukum-hukum Allah" (1Kor. 7:19); "Sebab bagi orang-orang yang
ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai
sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Keselamatan
diperoleh bukan karena sunat, melainkan karena Kristus, "Jadi siapa yang
ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu,
sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17).
Sunat dalam Perjanjian Baru
bukan lagi sunat lahiriah, melainkan sunat dalam Kristus, yaitu terpisah, putus
hubungan dengan dosa. "Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang
dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari
penanggalan akan tubuh yang berdosa" (Kol. 2:11). Sunat yang sejati adalah
sunat "di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah" (Rm.
2:29). Seperti alat kelamin laki-laki, hati dalam arti tertentu juga merupakan
tempat bertumbuhnya benih, baik benih-benih kasih maupun benih-benih kejahatan.
Pembungkus hati yang menodai hati kita harus dibuang agar kita terbuka dan
bersih, bebas dari perbuatan-perbuatan daging: percabulan, kecemaran, hawa nafsu,
penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, kemarahan,
kepentingan diri sendiri, percekcokan, perpecahan, kedengkian,
bermabuk-mabukan, pesta pora, dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Sunat baru yang
menandai kita masuk menjadi umat perjanjian ialah sakramen baptis. Dengan
dibaptis kita dibersihkan dari dosa-dosa kita oleh Kristus dan mulai menjalani
hidup baru yang dipimpin Roh.
Bagaimana sikap saya
terhadap sunat dan baptis? Apakah saya inelihatnya hanya sebagai upacara
formal, lahiriah, ataukah sudah saya hayati nilai-nilai rohaninya dengan hidup
dalam kekudusan?
Hidup
dalam janji
Kelahiran anak
laki-lakinya dan berakhirnya kebisuan menunjukkan kepada Zakharia bahwa Allah
pasti menepati janji-Nya dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37). Dia harus
membayar mahal ketidakpercayaannya, namun ketidakpercayaannya itu sendiri tidak
dapat menghalangi Allah dalam melaksanakan rencana-Nya.
Kita pun umat
perjanjian, umat yang hidup dalam janji. Hidup dalam janji tidaklah mudah
apalagi kalau apa yang dijanjikan itu seakan mustahil dan lama tidak terpenuhi.
Pengalaman Zakharia menyadarkan kita bahwa Allah tidak pernah melupakan janji-Nya.
Janji Allah bisa dipercaya dan kita tidak perlu meragukannya karena Allah tidak
mungkin berdusta (Ibr. 6:18). Tapi, bagaimana dengan janji kita yang menyebut
diri anak-anak Allah? Masih pantaskah kita disebut anak Allah bila janji kita
tidak bisa dipercaya lagi?
Ketaatan
pada firman mendatangkan berkat
Belajar dari
pengalaman, Zakharia dan Elisabet berusaha sebisa mungkin menaati firman Tuhan.
Mereka menyunatkan anak mereka pada hari kedelapan dan menamainya Yohanes.
Dalam memberi nama ini, mereka lebih memilih taat kepada firman Tuhan daripada kepada
tradisi yang berlaku. Akibatnya, mereka menjadi orang yang terberkati dan Allah
menyertai anak mereka. Betapa banyak Iradisi dan peraturan-peraturan duniawi
yang sepertinya kurang scsuai bahkan bertentangan dengan firman Tuhan.
Bagaimana kita mcnyikapinya?
Nama
menunjukkan identitas diri
Nama merupakan pembeda
identitas dan menggambarkan siapa saya, juga apa yang Tuhan dan orang lain
harapkan dari saya. Betapa sering kita memilih nama secara sembarangan, atau
menyebut nama orang lain secara tidak benar. Nama atau sebutan yang diberikan kepada
kita menunjukkan dan menggambarkan identitas kita. Sebuah pepatah Cina
berbunyi, "Awal kebijaksanaan adalah memanggil sesuatu dengan namanya yang
benar". Apakah kita menghargai nama? Ataukah kita menyepelekannya seperti
Shakespeare, pujangga besar Inggris, yang mengatakan, "Apalah arti sebuah
nama? Setangkai mawar tetap harum entah ia bernama rose atau rosa"?
Memuji
Ketika bisa berbicara
kembali seperti sediakala, hal pertama yang dilakukan oleh Zakharia ialah
memuji Allah (ayat 64b). Apakah kita termasuk orang yang bisu seperti Zakharia
yang sedang menjalani hukuman, ataukah orang yang memujiTuhan? Berapa lama kita
membisu? Apakah kita sedang menunggu karya ajaib supaya bisa melepaskan kebisuan
kita? Ataukah kita sudah dijiwai oleh pesan Paulus untuk selalu memuji dan
bersyukur kepada Allah dalam situasi apapun?***
3.
KELUARGA
YANG BERSEKUTU : KELUARGA KUDUS NAZARET (Luk 2:41-52)
Keluarga Kristiani sering disebut Ecclesia Domestica artinya Gereja
Domestik atau Gereja Rumah Tangga. Maksudnya, keluarga kristiani diharapkan
menjadi perwujudan Gereja, persekutuan hidup dalam iman akan Yesus Kristus yang
menghadirkan nilai-nilai Injili. Nilai-nilai itu terutama kasih dan ketaatan
kepada Allah dan sesama, serta kerendanan hati.
Tiga pilar ini menjadi tiang utama
penyangga persatuan hidup berkeluarga. Keluarga dipanggil untuk melayani hal-hal
jasmani dan sekaligus juga hal-hal rohani. Hal ini dapat kita pelajari dari
Keluarga Kudus Nazaret, khususnya dari kisah tentang Yesus yang ditemukan di
Bait Allah dalam Luk. 2:41-52. Maria dan Yusuf yang setiap tahun pergi ke
Yerusalem untuk merayakan Paskah menjadi teladan bagi kita dalam kesetiaan
melayani Allah dan menaati hukum-hukum-Nya.
Kisah dalam Luk. 2:41-52 dapat dibagi
dalam tiga bagian, yakni Yesus yang berusia dua belas tahun diajak orangtuanya
pergi ke Yerusalem (ayat 41-42), Yesus tertinggal di Yerusalem (ayat 43-50), dan
Yesus kembali ke Nazaret (ayat 51-52).
Yesus yang Berusia Dua
Belas Tahun Diajak ke Yerusalem (Luk. 2:41-42)
Kisah Yesus ditemukan di Bait Allah
diawali dengan pernyataan bahwa "tiap-tiap tahun orangtuaYesus pergi ke
Yerusalem pada hari raya Paskah" (ayat 41). Sebenarnya yang diwajibkan
pergi ke Yerusalem tiga kali setahun untuk merayakan Paskah, Pentakosta, dan
Pondok Daun hanyalah orang laki-laki Yahudi dewasa (Kel. 23:14-17;34:23; Ul.
16:16). Namun, tidak sedikit perempuan-perempuan saleh, seperti Hana misalnya (1Sam.
1:7), juga pergi ke Yerusalem. Maria sadar bahwa kebersamaan itu perlu dibangun
bukan saja dalam hidup keseharian, waktu makan minum dan bermain bersama,
melainkan juga dalam ibadah bersama. Persekutuan dalam hidup keluarga belum sempurna
tanpa persekutuan dalam ibadah bersama. Oleh karena itu, Maria selalu menemani
Yusuf pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah.
Kali ini perjalanan mereka ke Yerusalem
sangat istimewa, karena Yesus sudah berusia dua belas tahun (ayat 42). Pada
usia ini, anak laki-laki Yahudi dinyatakan secara resmi sebagai anggota masyarakat
dewasa melalui upacara inisiasi yang disebut Bar Mitzvah. Istilah ini berasal dari bahasa Aram dan berarti
"anak ajaran Taurat", maksudnya anak yang hidupnya diarahkan untuk
menaati Taurat. Setelah menerima upacara inisiasi itu, seorang anak bisa
berperan penuh dalam jemaat, ambil bagian secara penuh dalam perayaan Paskah
atau ibadat lainnya. Mereka bertanggung jawab penuh dalam menaati hukum Taurat,
oleh karena itu, agar memahami Taurat dengan baik, mereka pun mulai diterima
dalam sekolah Taurat. Ketika bayi hingga disapih, ia diasuh oleh ibunya,
kemudian oleh ayahnya, dan setelah berusia dua belas tahun, ia memperoleh guru
baru lagi, yakni Taurat itu sendiri.
Menyadari pentingnya masa setelah usia
dua belas tahun, Yusuf mempersiapkan Yesus sebaik-baiknya agar benar-benar
dewasa secara fisik maupun rohani. Ia memahami bahwa dalam memelihara dan
mendidik anak, yang perlu diperhatikan bukan saja segi fisik (perkembangan dan
kesehatan tubuh), melainkan juga kecerdasan (otak), pengolahan batin (perasaan
atau emosi), rasa religius (agama), dan segi sosial. Itulah sebabnya Yusuf
tidak hanya mengajari Yesus hukum Taurat, melainkan juga melatih-Nya berpuasa,
mengajak-Nya ikut dalam perayaan-perayaan bersama sebagaimana lazimnya dilakukan
oleh orangtua Yahudi pada waktu itu.
Mengajak Yesus pergi ke Yerusalem bukan
saja memberi Yesus pengalaman pertama merayakan Paskah, melainkan juga mengembangkan-Nya
di bidang kehidupan sosial. Pengalaman pertama ini pasti sangat menyenangkan.
Suasana hati Yesus tersirat dalam Mzm. 122:1, "Aku bersukacita, ketika
dikatakan orang kepadaku: 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN”. Sebab, Dia pasti
sudah lama merindukannya, "Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair,
demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah" (Mzm. 42:1).
Jarak dari Nazaret ke Yerusalem cukup
jauh, sekitar 150 km, atau empat hari perjalanan. Biasanya, dalam melakukan
ziarah suci, penduduk sebuah desa atau distrik pergi bersama-sama dalam suatu
rombongan. Rombongan anak-anak paling depan, kemudian rombongan perempuan,
disusul dengan rombongan laki-laki. Mereka akan bertemu di suatu tempat
perhentian atau penginapan yang mereka sepakati. Berjalan dalam rombongan
seperti ini sangat berguna bukan saja untuk perlindungan atau keamanan,
melainkan juga memberi kenyamanan karena adanya teman seperjalanan dan teman
ngobrol yang membuat perjalanan jauh yang berat dan meletihkan menjadi kurang
terasa. Terlebih bagi anak-anak, perjalanan ini merupakan kesempatan bagi
mereka untuk bermain bersama, bersosialisasi, beradaptasi dengan lingkungan dan
teman-teman seperjalanan. Mereka belajar bagaimana menghargai teman, melepaskan
ego, peduli pada teman, dan memperlakukan orang lain secara benar.
Kita tidak tahu apakah Yesus menerima
upacara Bar Mitzvah di Bait Suci
sebelum perayaan Paskah atau tidak, sebab tidak diceritakan. Yang dikatakan
Lukas hanyalah bahwa Ia sudah bisa mengikuti upacara Paskah dan mendengarkan
pengajaran Taurat yang disampaikan para rabi.
Yesus Tertinggal di
Yerusalem (Luk. 2:43-50)
Perayaan Paskah biasanya berlangsung
selama tujuh hari, meski tidak semua peziarah wajib merayakannya dalam tujuh
hari. Seusai perayaan itu, Yusuf dan Maria kembali ke Nazaret, tetapi Yesus
tinggal di Yerusalem tanpa sepengetahuan mereka (ayat 43). Manusia mempunyai
dua kewajiban: berdoa dan bekerja. Ada waktu untuk berdoa, ada waktu untuk
bekerja. Ada waktu untuk pergi ke Yerusalem, ada waktu untuk kembali dan
melaksanakan kegiatan sehari-hari di Nazaret. Perlu ada keseimbangan: yang satu
dibuat, yang lain jangan diabaikan. Menyadari hal itu, Yusuf dan Maria kembali ke
Nazaret bersama peziarah lainnya.
Mereka kembali dalam rombongan
masing-masing: Yusuf di rombongan laki-laki, sedang Maria dengan rombongan
perempuan. Ada banyak rombongan peziarah. Pada umumnya mereka yang berada dalam
rombongan-rombongan itu saling mengenal, bahkan ada hubungan saudara. Itulah
sebabnya Yusuf dan Maria kurang mencemaskan Yesus. Mereka yakin Yesus "ada
di antara orang-orang seperjalanan mereka" (ayat 44). Yusuf mungkin
mengira Yesus di rombongan anak-anak atau rombongan ibunya, sebaliknya Maria mungkin
mengira Yesus dengan Yusuf, sehingga mereka tenang-tenang saja. Setelah
berjalan sehari perjalanan jauhnya. mereka mulai mencari Yesus, namun tidak
menemukan-Nya (ayat 45a). Mereka pun panik, gelisah, dan cemas, takut
kehilangan anak. Kegelisahan dan kecemasan ini merupakan bukti betapa dalamnya
cinta mereka terhadap anak. Mereka mencari-Nya di antara rombongan lain, rombongan
sanak saudara dan kenalan mereka. Karena tetap tidak menemukan Dia,
"kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia" (ayat 45b).
Inilah salah satu contoh yang
menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam keluarga. Tiadanya komunikasi
dapat mengakibatkan salah pengertian yang berujung pada malapetaka. Yusuf
mengira Yesus bersama Maria, sedang Maria mengira Yesus bersama Yusuf. Keduanya
tidak cepat-cepat berkomunikasi memastikannya. Orangtua mengandaikan anak mereka
sudah ikut pulang, sementara si anak ternyata tetap tinggal di Yerusalem (ayat
43). Memberi keleluasaan kepada anak memang baik asalkan dibarengi dengan
komunikasi yang baik agar si anak tidak lepas kendali. Keleluasaan memungkinkan
Yesus bisa menikmati pengalaman pertama di rumah Bapa-Nya. Cinta-Nya pada rumah
Bapa-Nya begitu besar, "TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada
tempat kemuliaan-Mu bersemayam" (Mzm. 26:8). Ia asyik mengikuti sekolah
Taurat yang untuk pertama kalinya boleh Ia masuki. Apalagi ada banyak kelompok sekolah
Taurat di pelataran Bait Allah, sehingga Ia bisa berpindah-pindah dari satu
kelompok ke kelompok yang lain. Begitu asyiknya Dia menikmati semua itu,
sampai-sampai Ia lupa pulang dan tidak menyadari orangtua-Nya sudah berangkat
kembali ke Nazaret.
Sesudah tiga hari pencarian yang
melelahkan, Yusuf dan Maria yang sangat cemas dan gelisah akhirnya menemukan
Yesus di Bait Allah. "Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan
mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka" (ayat 46).
Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada hari
raya dan hari Sabat, Mahkamah Agama dan para alim ulama, yakni para rabi, memberi
pelajaran di Bait Allah tentang hal-hal keagamaan, tentang Taurat, kepada para
peziarah. Metode pengajaran yang dipakai umumnya dialog: para peziarah bertanya
dan mereka menjawab. Yang mengagumkan orang banyak ialah bahwa Yesus bukan
sekadar berada di antara para peziarah untuk mendengarkan, melainkan aktif
mengajukan pertanyaan-pertanyaan bahkan juga memberikan jawaban yang cerdas (ayat
47).
Kemampuan Yesus memberi jawaban tentulah
karena keistimewaan-Nya. Yang dibahas para rabi umumnya teks-teks Kitab Suci
yang menunjukkan kehendak dan rencana Allah. Yesus datang ke dunia untuk
melaksanakan kehendak Allah, oleh sebab itu Ia tentu tahu apa yang menjadi
kehendak Allah. Namun, kita tidak bisa mengabaikan pendidikan yang diberikan
oleh Yusuf yang telah membuat Keluarga Kudus menjadi tempat persemaian cinta
kepada Allah dan sesama. Dalam keluarga ini, sabda Allah dan hal-hal yang berhubungan
dengan Allah dibicarakan, diperdalam, dan dihayati. Pendidikan ini tentu
membuat Yesus makin terbuka dan mudah memahami kehendak Bapa-Nya.
Yesus tidak menganut budaya instan. Ia menjalani hidup-Nya tahap
demi tahap secara alami. Ia tidak pernah mendahului bila saatnya belum tiba.
Sebelum menjadi pengkhotbah, Ia menjadi pendengar yang baik. Sebelum menjadi
pengajar, Ia menjadi murid yang belajar penuh minat. Sebelum menyampaikan hukum
Allah, Ia menjadi murid yang benar-benar mencintai hukum Allah, seperti kata pemazmur,
"Hancur jiwaku karena rindu kepada hukum-hukum-Mu setiap waktu" (Mzm.
119:20). Tetapi, lebih dari semua itu, yang mengagumkan ialah, bahwa meskipun
tahu, Yesus tidak sok tahu.
Mengapa
Engkau berbuat demikian terhadap kami?
Ketika menemukan Dia,
orangtua-Nya tercengang (ayat 48). Maria lalu berkata, "Nak, mengapa
Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari
Engkau" (ayat 49). Panggilan "nak" (Yunani: technon) secara harnah berarti "anak" atau juga
"anak muda". Pertanyaan "mengapa Engkau berbuat demikian terhadap
kami" merupakan sebuah teguran, teguran seorang ibu yang kecewa dan marah,
tetapi bercampur gembira karena telah menemukan anak yang begitu dicemaskannya.
Alasan teguran itu
ialah karena "bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau". Maria
menganggap apa yang Yesus perbuat tidak benar karena telah membuat mereka cemas
dan susah payah mencari-Nya. Seharusnya Yesus pulang bersama mereka, tidak
tetap tinggal di Bait Allah. Kata-katanya itu juga menunjukkan betapa mereka
mencintai Yesus dan peduli pada-Nya. Namun, secara tidak langsung, ia juga
mengingatkan Yesus akan kewajiban-Nya terhadap orangtua.
'
'
Mengapa
kamu mencari Aku?
Jawaban Yesus
benar-benar mengejutkan, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu,
bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (ayat 49). Sepintas
jawaban Yesus mencerminkan jawaban khas anak muda yang cerdas namun kurang
berpikir panjang. Mereka tenggelam dalam kesibukannya sendiri, begitu
menikmatinya sehingga tidak peduli atau tidak sempat memikirkan akibat-akibat yang
mungkin menimpa orang lain, khususnya orangtuanya. Mereka pikir orangtua tidak
perlu repot-repot memikirkan dia. Namun, bila disimak lebih dalam, jawaban
Yesus sebenarnya sangat teologis. Dia mempertentangkan urusan bapa duniawi-Nya
dengan Bapa surgawi, "Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam
rumah Bapa-Ku?". Ketika Maria mengingatkan Dia akan kewajiban-Nya terhadap
Yusuf, bapa-Nya, Yesus mengingatkan Maria akan kewajiban-Nya terhadap
"Bapa-Ku", yakni Allah.
Yesus merasa,
seharusnya Maria tahu bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya. Dalam
bahasa aslinya (Yunani) frasa "di dalam rumah Bapa-Ku" berbunyi
"en tois tou patros mou",
yang secara harfiah berarti "dalam hal-hal Bapa-Ku", maksudnya
"dalam urusan Bapa-Ku". Yesus bermaksud mengatakan bahwa Dia harus
terserap dalam urusan-urusan Bapa-Nya, menyibukkan diri dengan perkara-perkara
Bapa-Nya. Dia harus mengutamakan kewajiban-Nya terhadap Allah daripada terhadap
orangtuanya. Kata "harus" menandaskan bahwa hal itu sudah menjadi
kehendak Allah.
Apa yang dikatakan
Yesus ini sulit dipahami. Kedua orangtua-Nya tidak mengerti (ayat 50). Hal ini
termasuk dalam misteri keputraan ilahi Yesus. Banyak orang tidak mengerti
ketika berhadapan dengan keputraan Yesus. Bahkan para murid yang bergaul
sehari-hari dengan Yesus pun tidak mengerti ketika Yesus memberitahukan kepada mereka
bahwa Ia harus menderita dan disalibkan (Luk. 9:45; 18:34). Ketidakmengertian
ini biasa dialami oleh manusia ketika berhadapan dengan misteri keputraan ilahi
Yesus.
Yesus Kembali ke
Nazaret (Luk. 2:51-52)
Akhirnya Yesus pulang bersama kedua
orangtua-Nya ke Nazaret (ayat 51a). Sungguh mengejutkan. Yesus yang pada ayat sebelumnya
sepertinya bandel, kini tampak manis. Ketika tampil sebagai Putra Bapa, Anak
Allah, Ia sering bersikap dan melakukan hal-hal yang mengherankan dan sulit
dipahami. Namun, sebagai anak Yusuf, ia selalu tampil sebagai anak yang
penurut, taat, setia, serta menghormati orangtua-Nya. "Ia tetap hidup
dalam asuhan mereka" (ayat 51b), terjemahan harfiahnya, "Ia
terus-menerus ditundukkan (hipotassomenos)
kepada mereka". Ini berarti Yesus senantiasa taat dan patuh kepada
orangtua-Nya.
Maria
menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya
Menyimpan dalam hati
bukan berarti merahasiakan, melainkan malah sebaliknya: menceritakannya kepada
orang lain, sehingga Lukas bisa mengetahui hal itu dan menuliskannya
untuk kita. Menyimpan dalam hati tidak identik dengan menerima begitu saja
karena tidak mau repot atau susah-susah, melainkan mencoba makin memahami misteri
itu. Menyimpan dalam hati merupakan ungkapan yang berarti memikirkannya
berulang-ulang, dan setiap kali memikirkannya, ia menemukan arti yang makin
dalam dari apa yang dipikirkannya itu. Maria belum memahami apa yang dilakukan
dan dikatakan Yesus. Pandangannya sepertinya berbeda dengan pandangan Yesus,
bahkan dalam pengertiannya, sikap Yesus kadang keliru dan sulit diterima. Namun,
Maria cukup rendah hati untuk mengakui bahwa banyak hal tentang Putranya,
khususnya tentang keputraan ilahi-Nya, tidak mudah dipahami. Dulu, ketika
diberitahu oleh para gembala tentang apa yang dikatakan malaikat tentang Putranya,
ia pun menyimpannya dalam hati (Luk. 2:19). Maria tidak berhenti pada apa yang
terjadi, melainkan terarah ke masa depan karena ia sadar bahwa tidak segala sesuatu
bisa dipahami serta merta. Maria bergumul dengan misteri itu, sehingga hari
demi hari ia makin memahaminya dan bisa menghargai perbedaan dan keunikan
putranya.
Yesus
makin dikasihi Allah dan manusia
Sebagai penutup kisah
ini, Lukas mengatakan secara ringkas bahwa "Yesus makin bertambah besar
dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan
manusia" (ayat 52). Yesus bukan hanya bertambah besar secara fisik dan
cerdas secara intelektual, melainkan juga "bertambah hikmat-Nya".
Hikmat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan secara tepat. Berkat
hikmat-Nya, Yesus tahu apa dan siapa yang menjadi prioritas hidup-Nya. Hikmat
membuat-Nya semakin peka dalam melihat dan memahami kebutuhan orang lain serta
solider dengan sesama manusia. Taurat pun menjadi sesuatu yang hidup, bukan
ajaran mati atau kewajiban yang kaku, melainkan hidup yang dianugerahkan Bapa
kepada manusia. Hikmat ini diperoleh-Nya bukan saja dari pengalaman hidup
sehari-hari, melainkan terutama karena keakraban-Nya dengan Tuhan, sumber
hikmat.
Demikianlah, pembinaan
yang dilakukan oleh Yusuf sejak dini, secara bertahap, menyeluruh, dan
berkesinambungan menghasilkan buah yang menggembirakan. Hidup dalam kehangatan
kasih sayang di tengah keluarga yang saleh, membuat Yesus bertumbuh menjadi
orang yang penuh perasaan, peka terhadap orang lain. Hati-Nya penuh dengan
belas kasihan, sehingga tidak mengherankan kalau Lukas mengatakan bahwa Yesus
"makin dikasihi oleh Allah dan manusia". Itu berarti Yesus bertumbuh
secara utuh dan menjadi berkat. Ia hidup bagi kepentingan Tuhan dan manusia. Ia
menyadari bahwa hidup-Nya dibaktikan demi urusan-urusan Bapa-Nya. Ia
berkomitmen untuk terus melakukan ini hingga di atas salib, ketika Ia
menyerahkan diri-Nya kepada Bapa (Luk. 23:46). Namun, di sisi lain, Dia tidak mengabaikan
manusia. Yesus benar-benar telah bertumbuh secara fisik, pikiran, perasaan, dan
kerohanian-Nya hingga menjadi pribadi yang utuh dan dewasa.
Refleksi
Beberapa
pertanyaan refleksi:
- Maria dan Yusuf sangat patuh pada peraturan peribadatan. Mereka membangun keluarganya berpusat pada ibadah dan berusaha menjaga keseimbangan antara melayani Tuhan dan bekerja untuk hidup sehari-hari. Bagaimana dengan keluarga kita? Apakah liturgi, khususnya Ekaristi, sudah menjadi puncak dan sumber kehidupan kita? Bagaimana dengan ibadat keluarga di rumah?
- Yusuf dan Maria cemas mencari Yesus karena mereka merasa kehilangan Dia. Pernahkah keluarga kita merasa kehilangan Yesus, merasa sepertinya Yesus tidak hadir dalam keluarga kita? Apakah kita bersusah payah mencari-Nya? Ke mana? Sebenarnya Yesus tidak pernah hilang karena Ia ada dalam Bait Allah, dan seperti Paulus katakan, "Kamu adalah bait Allah" (1Kor. 3:16). Paulus katakan "kamu" (jamak) bukan “engkau", artinya kita bersama dalam persekutuan, keluarga domestik, merupakan bait Allah. Kita merasa kehilangan mungkin karena kita kurang peduli dengan Dia atau terlalu menyepelekan Dia.
- Jika seandainya kita kehilangan anak, ke mana kita akan mencarinya? Mungkinkah kita akan menemukannya di gereja, ataukah di tempat-tempat hiburan dan permainan? Mengapa anak-anak kita merasa lebih nyaman di diskotek atau tempat hiburan daripada di gereja?
- Jawaban Yesus kepada Maria, "Mengapa kamu mencari Aku?" menyadarkan kita bahwa Yesus bukanlah pertama-tama milik Maria dan Yusuf, melainkan milik Allah. Pernahkah kita berpikir bahwa anak itu bukan obyek yang harus kita miliki, melainkan subyek yang dipercayakan kepada kita? Apakah kita termasuk orangtua yang terlalu mau mengontrol anak, mengatur, dan mengarahkannya sesuai dengan kemauan kita tanpa mempedulikan keinginannya? Apakah kita kurang memberi keleluasan kepada anak? Terkadang anak melangkah tidak sesuai dengan harapan kita, tetapi apa yang dilakukannya itu bisa jadi merupakan langkah untuk berada lebih dekat dengan Bapa di surga.
- Maria dan Yusuf menunjukkan kepada kita pentingnya pembinaan iman sejak usia dini. Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan berdoa, beribadat, dan membaca Kitab Suci, baik itu melalui pembinaan di rumah maupun kegiatan bersama dalam komunitas. Bagaimana dengan pendidikan anak kita? Apakah kita hanya mementingkan pendidikan intelektualnya, dan kurang memperhatikan segi spiritual dan sosialnya, sehingga anak-anak kita tidak bisa dewasa secara menyeluruh dan dikasihi Tuhan dan sesama?***
4.
KELUARGA
SEBAGAI SARANA MENUJU KESUCIAN (Ef 5:21-6:4)
Perintah “Kuduslah kamu, sebab Aku,
TUHAN, Allahmu, kudus”, berlaku bukan hanya bagi Israel, namun juga umat
Kristen dewasa ini. Tempat pertama yang diharapkan membantu manusia mencapai
kekudusan ialah keluarga. Relasi yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Tuhan
di antara anggota keluarga merupakan jalan menuju kekudusan. Salah satu teks
yang sangat membantu kita dalam hal ini ialah Ef 5:21-6:4.
Ef. 5:21-6:4 berisi ajaran yang kaya
sekali tentang perkawinan kristiani. Di dalamnya bisa kita temukan dasar biblis
pemahaman Gerej tentang perkawinan sebagai sakramen dan hubungan cinta suami-istri
yang menyerupai hubungan kasih antara Yesus Kristus dengan jemaat-Nya. Mungkin
benar sebagaimana diperkirakan oleh banyakrang, Paulus mengambil pengajarannya
ini dari tata relasi keluarga besar (suami, istri, anak, dan budak) yang
dipakai oleh budaya-budaya sekitarnya pada abad pertama. Namun, harus kita akui
bahwa Paulus telah memberi warna baru terhadap relasi itu dengan menempatkan
kasih Kristus sebagai modelnya.
Perikop ini terdiri dari nasihat kepada
istri (5:22-24), kepada suami (5:25-32), kepada suami-istri (5:3), dan nasihat
kepada anak-anak (6:1-4) tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam membangun
keluarga kristiani yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Nasihat ini
sebenarnya dilanjutkan dengan nasihat untuk budak dan tuan (6:5-9), namun tidak
kita bahas karena dewasa ini keluarga biasanya terbatas pada suami, istri, dan
anak. Nasihat ini diawali dengan nasihat yang berlaku untuk semua anggota
komunitas agar saling merendahkan diri (5:21) yang harus mendasari setiap relasi
antarmanusia.
Nasihat kepada Setiap
Orang agar Merendahkan Diri (Ef. 5:21)
"Dan
rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus."
Seluruh anggota komunitas diminta oleh
Paulus untuk saling merendahkan diri (Yunani: hypotassomai). Secara harfiah, hypotasso
berarti "menaruh di bawah", sedangkan hypotassomai berarti "menempatkan diri di bawah" atau
"tunduk". Dari konteksnya jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah
takluk atau tunduk secara sukarela. Merendahkan diri tidak sama dengan menjadi
rendah diri, melainkan rendah hati seperti yang dinasihatkan Paulus dalam Ef. 4:2,
"Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar," meskipun
kata yang dipakai di sini bukan hypotassomai
melainkan tapeinofrosune.
Kata Yunani tapeinos yang biasa diterjemahkan dengan rendah hati, dapat berarti
rendah, miskin, tertindas, lembut (2Kor. 7:6; 10:1). Dalam Perjanjian Lama ada
tiga kata yang sering dipakai untuk kerendahan hati yakni anaw (miskin, menderita, rendah hati, lemah lembut), kana (malu, hormat), dan hapar (malu). Ketiga kata ini mengandung
makna dasar "tunduk" atau "takluk". Orang tunduk karena ada
kekuatan lain yang memaksanya, atau karena ada kuasa yang keluar dari diri
orang itu sendiri (merendahkan diri), atau karena kemiskinan. Kemiskinan bisa
mengakibatkan seseorang ditaklukkan oleh orang yang mampu. Jadi, makna dasar
kerendahan hati ialah meletakkan diri di bawah orang lain, tunduk.
Bagi Paulus, kerendahan hati sangat
penting dalam membangun relasi yang harmonis. Ia menganjurkan agar orang rendah
hati seperti Yesus yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia. Inti kerendahan
hati tiada lain menganggap yang lain lebih utama daripada diri sendiri dan
peduli akan kepentingan orang lain (Flp. 2:3-8).
Alasan untuk tunduk atau merendahkan
diri tersirat dari kata-kata yang menyusulnya, "di dalam takut akan
Kristus". Kata "takut" di sini merupakan terjemahan kata Yunani phobos yang sepadan dengan kata Ibrani yirah atau kata kerja yare. Dalam Perjanjian Lama, makna istilah
"takut akan Tuhan" berkembang dari pengertian harfiah ke pengertian
sakral atau religius dan moral. Aslinya kata phobeomai berarti "takut" dalam pengertian biasa, takut
terhadap TUHAN yang kudus, dahsyat, dan misterius. Namun, dalam
perkembangannya, kata phobeomai
banyak dipakai dalam arti devosi religius, ungkapan kesalehan, dan penyembahan.
Demikian orang kafir yang masuk agama Yahudi disebut phoboumenoi ton theon,
artinya orang-orang yang takut akan Allah, yakni orang yang menyembah Allah
(Kis. 13:16,26). Peralihan ini bisa dimengerti mengingat keagungan dan
kekudusan Allah menimbulkan rasa kagum yang mengantar manusia kepada kerendahan
hati dan selanjutnya mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah serta
menyembah-Nya.
Selain itu, takut akan Tuhan juga sering
dikaitkan dengan tingkah laku moral: hormat dan taat kepada hukum Tuhan yang bergandengan
dengan hormat terhadap hak dan kebebasan orang lain (Kej. 20:11; Yer. 5:24-25).
Pemakaiannya dalam arti ini banyak kita jumpai dalam teks-teks kebijaksanaan,
misalnya "takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan" (lih. Ams.
1:7,29;2:5;9:10;15:33; Ayb. 28:28; bdk. Mzm. 111:10; Yes. 11:2; 33:6).
Dalam ayat ini, kata "takut akan
Tuhan" tentu tidak dipakai dalam arti harfiah, melainkan religius. Setiap
anggota komunitas diminta saling merendahkan diri, melihat kepentingan orang
lain lebih utama daripada kepentingannya sendiri, terdorong oleh rasa hormat, kagum,
dan cinta kepada Kristus. Cinta yang mengantarnya kepada kesatuan dengan
Kristus membuatnya melihat saudara-saudarinya sebagai bagian dari tubuh Kristus
(4:25; 5:30). Dia menghayati apa yang pernah Yesus katakan, "Sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat. 25:40).
Nasihat dalam ayat 21 ini dipakai untuk
membantu dan mendasari pemahaman kita tentang tata relasi yang disebutkari
dalam 5:22-6:4.
Nasihat untuk Istri
agar Tunduk kepada Suami (Ef. 5:22-24)
Paulus menunjukkan apa yang harus
dilakukan istri (ayat 22a) dan bagaimana melakukannya (ayat 22a-24). Dalam teks
aslinya (Yunani), ayat 22 tidak mempunyai kata kerja. Namun, dari konteksnya orang
tahu bahwa kata kerja yang diharapkan di sini ialah hypotassein artinya tunduk (bdk. ayat 21), karena ayat 24 berbunyi,
"Sebagaimana jemaat tunduk
kepada Kristus." Jadi yang harus dilakukan oleh istri ialah tunduk kepada
suami, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu..." (ayat 22a).
Bagaimana istri harus tunduk kepada
suaminya disebutkan dalam kalimat yang menyusulnya, "Seperti kepada
Tuhan" (ayat 22b), artinya "Sebagaimana mereka tunduk kepada
Tuhan." Cara istri tunduk kepada suami harus analog atau serupa dengan
cara dia tunduk kepada Kristus, yakni secara tulus. Selain itu, tunduknya istri
kepada suami haruslah merupakan ungkapan tunduknya dia kepada Kristus.
Alasan mengapa istri tunduk kepada suami
seperti kepada Tuhan dijelaskan dalam ayat 23-24. Pertama-tama dikatakan "karena
suami adalah kepala istri". Metafor "kepala" dimaksudkan untuk
menempatkan suami di atas istri. Dalam tata hubungan keluarga besar zaman
Paulus, posisi suami sebagai kepala dianggap sebagai hukum kodrat. Budaya yang
lebih luas pada masa itu pun mengandaikan istri harus tunduk kepada suami.
Misalnya, Aristoteles mengatakan, "Hukum keluarga besar adalah monarki,
karena setiap rumah ada di bawah satu kepala" (Pol. 1.1255b; 1254ab).
Dionisius dari Halicarnassus memuji relasi keluarga besar Romawi karena menekankan
ketaatan istri, anak, dan budak (Ant. Rom. 2.24.3-2.27.4). Karena posisi suami
di atas istri dalam tata hubungan di keluarga besar, maka Paulus menasihati
para istri untuk menempatkan diri mereka di bawah suami mereka. Bagaimana suami
menjadi kepala tidak dijelaskan. Namun, yang jelas kita tidak bisa mempersempit
makna "kepala" di sini ke "mempunyai otoritas atas"
sebagaimana nanti jelas dalam ayat 28-31.
Tata urutan suami di atas istri diambil
Paulus dari kisah penciptaan (Kej. 2) yang menyatakan bahwa laki-laki
diciptakan pertama, lalu perempuan dari rusuknya (1Kor. 11:3,8-9; 1Tim.
2:12-13). Paulus tidak melihat tata urutan ini bertentangan dengan kisah penciptaan
dalam Kej. 1:27 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan
menurut gambar Allah, sama-sama luhur, sederajat.
Yang mengejutkan ialah pernyataan
Paulus, "Seperti Kristus adalah kepala jemaat" (bdk. Ef. 4:15).
Bagaimana sesuatu yang transenden (hubungan Kristus dan jemaat) bisa
dibandingkan dengan sesuatu yang manusiawi (relasi suami-istri)? Membandingkan sesuatu
tidak sama dengan menyamakan sesuatu. Sebuah analogi atau perbandingan selalu
mengandung kesamaan, tetapi sekaligus juga perbedaan. Paulus menyadarkan kita
bahwa ada perbedaan di antara suami sebagai kepala istri dan Kristus sebagai
kepala jemaat. Perbedaan itu terletak dalam pernyataan, "Dialah yang
menyelamatkan tubuh" (ayat 23c). Peran Yesus dalam relasi-Nya dengan
jemaat lebih besar daripada peran suami terhadap istri. Yesus bukan saja menjadi
kepala, melainkan juga penyelamat. Meskipun ada perbedaan itu, Paulus tetap
membandingkan tunduknya jemaat kepada Kristus dengan tunduknya istri kepada
suami. "Tetapi sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus demikian jugalah
istri (harus tunduk) kepada suami dalam segala sesuatu" (ayat 24).
Dapatkah kita menyamakan istri dengan
anak dan budak yang dituntut untuk tunduk? Kata hypotassein mempunyai makna "tunduk", "takluk".
Dalam Tit. 2:9 dan 1Ptr. 2:18 hypotassein
dipakai baik untuk budak maupun untuk istri. Selain itu, 1Ptr. 3:1,5-6 memakai kata
"tunduk" dan "taat" secara bergantian. Peralihan dari
"tunduk" ke "taat" dalam Ef. 5-6 hanyalah gaya. Istri
diminta melakukan hal yang sama seperti anak dan budak, yakni tunduk dan taat.
Tunduk di sini bukanlah tunduk yang pasif karena suatu kewajiban, melainkan tunduk
secara sukarela dan tulus sebagai jawaban cinta.
Istri diminta tunduk kepada suami
"dalam segala hal", bukan dalam arti mutlak tanpa kecuali, melainkan
sebagai pernyataan prinsip. Buktinya, ketika Paulus berbicara tentang kewajiban
suami terhadap istrinya, ia mengatakah, "Istri tidak berkuasa atas
tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas
tubuhnya sendiri, tetapi istrinya" (IKor. 7:4). Jika suami meminta
melakukan sesuatu dan si istri tahu bahwa hal itu dosa maka ia tidak perlu menaatinya.
Seperti dikatakan oleh Paus Pius XI, "Ketertundukan di sini tidak
menyangkal atau mengambil kebebasan yang sepenuhnya menjadi milik perempuan
karena keluhurannya sebagai pribadi manusiawi... istri juga tidak terikat untuk
menaati setiap permintaan suaminya jika hal itu tidak sesuai dengan alasan yang
benar atau keluhurannya sebagai istri..." (Casti connubii, 27).
Paulus memang mengambil tata hubungan
suami-istri yang dianut paham tradisional, namun pendekatannya terhadap
perkawinan berbeda dengan apa yang dianut masyarakat sekelilingnya. Tunduknya istri
kepada Kristus dalam Gereja merupakan model untuk tunduknya istri kepada suami
dalam keluarga besar. Di sinilah perbedaan etika Kristen dan etika dalam budaya
pada umumnya.
Perintah kepada Suami:
Kasihilah Istrimu Sebagaimana Kristus Telah Mengasihi Jemaat (Ef. 5:25-32)
Ef. 5:25-32 berbicara tentang apa yang
harus dilakukan suami terhadap istrinya dan bagaimana melakukannya. Berdasarkan
dua perintah dalam ayat 25 dan 28 yang menunjukkan apa yang harus dilakukan
oleh suami, perikop ini bisa kita bagi dalam dua bagian: ayat 25-27 dan ayat
28-32, yang masing-masing memberikan model yang menggambarkan bagaimana suami
harus mencintai istri.
Model
pertama: kasih Kristus terhadap Gereja yang diungkapkan dengan pengurbanan diri
(ayat 25-27)
Yang harus dilakukan
suami adalah mengasihi istrinya (ayat 25a). Bagaimana? Sebagaimana Kristus
telah mengasihi, yakni memberikan diri-Nya untuk jemaat (ayat 25b).
"Mengasihi" di sini bukan soal cinta yang romantis atau erotis,
melainkan agape. Cinta yang romantis
itu cinta yang berlandaskan keinginan yang muncul secara alami dan diungkapkan
dengan keintiman hubungan suami-istri, sedangkan agape itu cinta yang lahir dari pilihan kehendak dan tidak
tergantung pada layak tidaknya seseorang ataupun jawaban orang yang dicintai. Meskipun
lahir dari kehendak, agape melibatkan
seluruh keberadaan manusia, termasuk emosinya. Jadi, perintah "cintailah
istrimu" dapat dikalimatkan dengan, "Suami-suami, pasanglah hatimu
pada istrimu: hormati, hargai, dan peliharalah mereka. Bersikap mesralah terhadapnya
dan carilah kebaikan-kebaikannya".
Paulus tidak memberikan
detail atau hal-hal praktis bagaimana
suami harus memperlakukan istrinya, melainkan teladan yang harus ditiru dalam
mengasihi: sebagaimana Kristus telah mengasihi, yakni memberikan diri-Nya untuk
jemaat (ayat 25b). Seperti Yesus yang rela mati di salib, demikian hendaknya
para suami rela menyerahkan hidup bagi istri mereka. Mati secara harfiah bagi
istri mungkin jarang dilakukan oleh suami, namun mati bagi istri dalam
pengertian mati terhadap diri sendiri dengan mengutamakan kepentingan istri
bisa dilakukan setiap hari. Suami diminta menyangkal diri seperti ia meminta
istri menyangkal diri mereka dengan menundukkan diri di bawah suami mereka (Ef.
5:22,24).
Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru sering membandingkan hubungan Tuhan dan umat-Nya (Israel atau
Gereja) seperti hubungan perkawinan (Yes. 54:4-8;62:4-5; Yeh. 16; Hos.
2:16-20). Dalam hubungan ini mempelai laki-laki surgawi mengurbankan diri-Nya untuk
tiga tujuan yang saling berkaitan.
Pertama,
untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air
dan firman (ayat 26). Menguduskan berarti memisahkan seseorang atau sesuatu
dari apa yang profan dan mengkualifikasi
orang atau objek itu untuk Allah. Cara yang dipakai ialah melalui baptisan
("dibenamkan dalam air", Kis. 22:16; 1Kor. 6:11; Tit. 3:5) dan
"firman", maksudnya dengan pesan injil (Ef. 1:13; Yoh. 15:3; 17:17; 1Kor.
6:11; Ibr. 10:22), pengakuan iman yang dibuat oleh para baptisan baru (Rm.
10:9-10) atau rumusan yang dipakai dalam pembaptisan. Singkatnya, Yesus
mengurbankan hidup-Nya supaya melalui sabda Allah dan pembaptisan kita dapat
menjadi umat yang kudus, yang pantas bagi Allah.
Kedua,
untuk "menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat
atau kerut atau yang serupa itu" (ayat 27a). Menurut kebiasaan kuno di
Timur Dekat, dan kini masih dipraktikkan di beberapa tempat, upacara perkawinan
dibuat dalam dua tahap. Pertama,
pertunangan. Pada saat itu kontrak ditandatangani dan sejak itu laki-Iaki dan
perempuan sah secara hukum sebagai suami-istri. Kedua, saat ketika mempelai perempuan dibawa ke rumah mempelai laki-laki
dan diserahkan kepadanya. Sejak itu mereka mulai hidup bersama sebagai
suami-istri. Setelah upacara persiapan itu barulah perayaan pokoknya dimulai.
Pada tahap kedua itu,
ada upacara memandikan mempelai perempuan dengan minyak wangi agar ia bersih
sebersih muhgkin dan cantik secantik mungkin (lihat Yeh. 16:8-14). Paulus
membandingkan upacara mandi yang mempersiapkan mempelai wanita bersatu dengan
mempelai laki-Iaki itu dengan upacara pembersihan umat Allah melalui baptis dan
firman. Namun, ada yang istimewa di sini. Yang memandikan mempelai wanita
bukanlah pelayannya atau keluarganya, seperti yang lazim waktu itu, melainkan
mempelai laki-laki itu sendiri. Dengan perbuatannya itu, mempelai laki-laki,
yakni Kristus, menempatkan dirinya di posisi yang lebih rendah (bdk. Flp.
2:6-8). Selain itu, kalau dalam 2Kor. 11:2 bapa mempelai wanita berperan menampilkan
jemaat kepada Kristus, di sini Kristus sendiri menampilkan mempelai wanita
kepada diri-Nya, mempelai laki-Iaki. Yesus membersihkan mempelai-Nya (jemaat),
sehingga mereka bisa hadir di hadapan-Nya sebagai yang mulia, yang tidak
memiliki noda atau cacat atau kerut sehingga ia menjadi kudus dan tak bercela.
Gambaran yang diberikan
Paulus ini mengingatkan kita akan peristiwa Yesus membasuh kaki para murid-Nya
(Yoh. 13:1-7). Dengan menampilkan kerendahan hati dan cinta Yesus, Paulus
menunjukkan kepada para suami bagaimana "tunduk" (5:21) dan melayani
istri.
Menurut Gereja,
perayaan inti perkawinan setelah upacara persiapan di atas akan terjadi di masa
yang akan datang, ketika Kristus kembali untuk menyatakan mempelai-Nya sebagai
milik-Nya, dan umat-Nya akan ambil bagian dalam "pesta pernikahan Anak Domba"
(Why. 9:9). Meskipun pemenuhannya terjadi di masa depan, Kristus sudah merawat
mempelai-Nya dengan sakramen-sakramen dan karunia Roh (5:29). Pengurbanan Yesus
di salib, yang buahnya kita terima melalui baptis, menyucikan kita, dan karunia
Roh-Nya menghiasi kita dengan semarak-Nya (bdk. Yeh. 16:14).
Ketiga,
"supaya jemaat kudus dan tidak bercela" (ayat 27b; bdk. 1:4). Tujuan
ini mengulang tujuan pertama (menguduskan jemaat), namun di sini tekanannya ada
pada kekudusan sebagai privilese jemaat. Setiap mempelai perempuan ingin tampil
secantik mungkin pada hari pernikahannya. Yesus sudah mempersiapkan
mempelai-Nya untuk bisa menghias dirinya dengan keindahan kekudusan, dengan
tingkah laku dan sifat yang akan menjadi dandanan dan hiasannya dalam pesta perkawinan
Anak Domba (lihat Why. 19:7-8). Yesus memberikan diri-Nya sebagai kurban baik untuk
membersihkan kita maupun untuk memberi kita kuasa agar dapat menghidupi
kekudusan.
Model
kedua: mengasihi istri sama seperti tubuh sendiri (ayat 28-30)
Model kedua perihal
cara suami mengasihi istri ialah "memelihara istrinya seperti memelihara
tubuhnya sendiri (ayat 28a). Orang yang normal tidak akan membenci tubuhnya
sendiri, melainkan mengasuhnya dan merawatnya (ayat 29). Suami-suami hendaknya sebanyak
mungkin memikirkan kebaikan istrinya sebagaimana ia memikirkan kebaikan
dirinya. Sesungguhnya, "Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya
sendiri" (ayat 28b). Dalam hal ini pun suami harus meneladani Yesus,
"Sama seperti Kristus terhadap jemaat" (ayat 29b). Jemaat yang
dimaksud oleh Paulus di sini adalah "kita", yakni kumpulan umat yang
percaya yang membentuk satu tubuh, tubuh milik Kristus (ayat 30).
Bagaimana Yesus
mengasuh dan merawat jemaat-Nya? Kata Yunani ‘ektrefoi yang diterjemahkan dengan "mengasuh",
sebenarnya secara harfiah berarti "memberi makan". Kristus memberi
kita makan dengan sabda Allah dan tubuh-Nya sendiri daiam Ekaristi (Mat. 4:4; Yoh.
6:51-58). Kata Yunani thalfo
mempunyai arti "memelihara", "merawat';
"menghangatkan" Kedua kata ini mengandung makna emosional,
mengungkapkan kelembutan hati dan perhatian, seperti perbuatan seorang ibu
terhadap anaknya (bdk. 1Tes. 2:7). Kristus memelihara kita dengan menyediakan
kebutuhan-kebutuhan kita, mendengarkan doa-doa kita, dan tetap dekat dengan
kita (Mat. 28:20).
Kesatuan Suami dan
Istri, Kristus dan Gereja (Ef. 5:31-32)
"Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat."
Paulus mengutip Kej. 2:24, ayat yang menjelaskan
asal dan arti perkawinan. Kej. 2:24 dan Ef 5:31 mengajarkan bahwa perkawinan, yang
disempurnakan dalam hubungan seksual, menyatukan suami dan istri menjadi satu
entitas, satu daging, satu tubuh. Meskipun mereka tetap dua pribadi yang
berbeda, keduanya kini berbagi satu hidup, membentuk satu keluarga. Allah
membuat mereka menjadi satu (Mrk. 10:9). Karena itu, sudah sepantasnya pula
suami mencintai istri "seperti tubuhnya sendiri".
Pernyataan bahwa suami adalah
"kepala istri" (5:23) kini menjadi jelas. Kata "kepala"
tidak boleh dipersempit dalam arti memiliki "otoritas atas", seperti
dalam istilah "kepala pemerintahan" misalnya. Sebaliknya, karena "kepala"
dikaitkan dengan "tubuh'; maka yang ditekankan di sini adalah kesatuan
keduanya dan hubungan ketersalingan mereka. Apa yang menguntungkan seseorang,
akan menguntungkan yang lain. Apa yang merusak yang satu, juga akan merusak yang
lain. Kepala tidak dapat bermngsi tanpa tubuh, demikian juga sebaliknya. Jadi,
harus ada kerja. sama. Ikatan perkawinan juga tidak terpisahkan, karena seperti
memisahkan kepala dengan tubuh yang berarti mengakhiri hidup. "Karena itu,
apa yang disatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia" (Mat.
19:6).
"Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat" (ayat 32). Maksud perkataan
ini, perkawinan manusia yang ditetapkan dalam kisah penciptaan kini menunjuk ke
realitas yang lebih besar, yakni perkawinan Kristus dengan jemaat. Keduanya
menjadi satu tubuh.
Nasihat Penutup (Ef.
5:33)
"Bagaimanapun
juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri
dan istri hendaklah menghormati suaminya".
Ayat ini meringkas apa yang sudah
disampaikan sebelumnya. Pertama-tama Paulus menyampaikan nasihatnya kepada
setiap suami ("kamu masing-masing") bahwa mereka harus mengasihi
istri mereka seperti diri mereka sendiri (ayat 33). Perintah ini menggemakan perintah
Yesus untuk mencintai sesama seperti diri sendiri (Mat. 22:39; bdk. Im. 19:18).
Kemudian kepada istri-istri, Paulus tidak mendesak mereka untuk
"tunduk" melainkan untuk "menghormati suaminya". Kata
menghormati di sini secara harfiah sebenarnya berarti "takut", namun
takut dalam arti hormat dan mengagumi orang yang berada di atas kita (Luk.
1:50; Rm. 13:7; 1Ptr. 2:17).
Nasihat untuk Anak-anak
dan Orangtua (Ef. 6:1-4)
Anak-anak dinasihati untuk menaati
orangtuanya "di dalam Tuhan, karena haruslah demikian". Menaati
merupakan bentuk takluk yang mencakup baik mendengarkan pengajaran maupun
mengikuti perintah. Mereka harus menaatinya "di dalam Tuhan" artinya
sebagai ungkapan relasi mereka dengan Yesus. "Karena haruslah
demikian" artinya karena hal itu sesuai dengan kehendak Allah, seperti
tertulis dalam hukum Musa, "Hormatilah ayahmu dan ibumu" (Kel. 20:12;
Ul. 5:16).
Perintah ini penting karena inilah
perintah pertama yang disertai dengan janji, "Supaya kamu berbahagia dan
panjang umurmu di bumi". Banyak pengalaman telah membuktikan bahwa menghormati
orangtua memberikan kepada seseorang umur panjang dan kese)ahteraan. Semua
janji Allah ini akan menemukan pemenuhannya dalam Yesus (2Kor. 1:20). Mereka
yang menghormati orangtuanya di dalam Tuhan, tetapi ternyata mati muda atau
sangat menderita dalam hidupnya, tidak dianggap bertentangan dengan hukum ini.
"Umur panjang di bumi" dimengerti sebagai bentuk hidup abadi dalam
Kerajaan Allah (Mat. 5:5; Rm. 4:13).
Bagaimana tanggung jawab ayah terhadap
anak-anaknya? Mereka diminta untuk tidak "membangkitkan amarah di dalam hati
anak-anakmu" (6:4a). Misalnya, mungkin dengan menerapkan otoritasnya secara
kasar, kurang menyenangkan, atau mungkin terlalu menuntut si anak. Sebaliknya,
mereka diminta untuk mendidik "di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".
Inilah tanggung )awab terbesar orangtua: mendidik anak-anak sebagai murid
Yesus. Mendidik di sini dipakai dalam arti seluruh proses pendidikan dan
pembentukan dalam hidup. Mereka wajib mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anak
mereka (Ams. 13:24;19:18) dan mengajarkan firman Tuhan kepada mereka (Ul.
6:4-9,24).
Refleksi
Sama
dan tunduk
Nasihat Paulus agar istri
tunduk kepada suami sepertinya tidak relevan bahkan bertentangan dengan gagasan
kesetaraan yang didengung-dengungkan dewasa ini dan oleh Paulus sendiri dalam
Gal. 3:28. Namun, bila disimak lebih dalam, kesamaan dan kesetaraan yang diwartakan
oleh Paulus dalam Gal. 3:28 tidak bermaksud menyangkal perbedaan gender, etnis,
maupun sosial, melainkan menekankan kesatuan dan kesamaan orang Yahudi dan
non-Yahudi di hadapan Allah. Semuanya memperoleh pembenaran dan keanggotaan
yang penuh dalam umat Allah melalui iman akan Kristus. Kesatuan dan kesamaan
keluhuran kita dalam Kristus tidak menghapus perbedaan. Sebaliknya perbedaan
perlu untuk saling melengkapi (1Kor. 12:12-28).
Bila kita baca teks Ef.
5:2-10:32 secara keseluruhan, tentu tidak sulit menerima perintah
"tunduk" kepada suami, karena konteksnya suami mengasihi istri.
Selain itu, suami juga harus merendahkan diri dan melayani istri, bukan bersikap
main kuasa. Apalagi dalam ayat 21 dianjurkan agar setiap orang saling
merendahkan diri. Tapi bagaimana kita bisa menghubungkan kesamaan dan tunduk?
Gagasan kesamaan dan
tunduk perlu dilihat dalam terang relasi yang terdapat dalam pribadi-pribadi
Allah Tritunggal, khususnya antara Bapa (Allah) dan Putra (Kristus). Dalam 1Kor.
11:3, Paulus menggambarkan hubungan perempuan dan laki-Iaki seperti hubungan Kristus
dan Allah, "Kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus
ialah Allah". Gambaran kepala di sini jelas menunjukkan tunduknya Kristus
pada Allah, seperti nyata pula dalam 1Kor. 15:28, "Tetapi kalau segala
sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan
menaklukkan diri-Nya di bawah Dia". Tunduknya Kristus pada Allah hanyalah
untuk menunjukkan perbedaan peranan yang terdapat dalam Allah Tritunggal dan perbedaan
relasi di antara mereka, sedangkan masing-masing pribadi itu memiliki kodrat
yang sama. Perbedaan, bahkan takluk-Nya Putra kepada Bapa, sama sekali tidak
meniadakan kesamaan fundamental mereka. Oleh karena itu, persekutuan Allah
Tritunggal patut menjadi model persekutuan semua anggota Gereja, khususnya
persekutuan antara suami dan istri dalam perkawinan. Suami dan istri tetap sama
dan sederajat, meskipun suami adalah kepala istri.
Perbedaan
istri dan suami
Paulus meminta istri
untuk tunduk (ayat 21) dan hormat (ayat 33) kepada suami, sedangkan para suami
diminta untuk mengasuh (memberi makan) dan merawat istri (ayat 29). Mengapa ada
perbedaan seperti itu, apakah tidak cukup bahwa relasi mereka dibangun atas dasar
saling merendahkan diri? Perbedaan ini mungkin merefleksikan perbedaan
kebutuhan laki-Iaki dan perempuan. Laki-laki lebih membutuhkan hormat,
sedangkan perempuan lebih membutuhkan perhatian dan kehangatan. Suami merasa
nyaman dan bahagia ketika istrinya menunjukkan rasa hormat kepadanya, percaya
dan mengandalkan dia. Sebaliknya istri merasa bahagia ketika suaminya menempatkan
kebutuhannya sendiri sesudah kebutuhan istrinya. Apakah memang demikian?
Kewajiban
dan bukan hak
Ketika membahas
hubungan suami-istri, Paulus hanya menunjukkan tanggung jawab masing-masing
pihak dan bukan hak-hak mereka. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak peduli
dengan hak masing-masing pasangan. Yang mau dia tekankan ialah agar masing-masing
pihak melakukan tanggung jawabnya masing-masing tanpa syarat. Dia tidak meminta
suami mencintai istrinya jika si istri menghormati dan tunduk kepadanya. Ia
juga tidak menyuruh istri-istri untuk tunduk kepada suami mereka jika suami
mereka mengasihi dan mengurbankan dirinya untuk mereka. Bagaimana dengan relasi
dalam keluarga kita? Apakah masing-masing pihak lebih memikirkan kewajiban
orang lain daripada tanggung jawabnya sendiri? Menuntut orang lain berubah, dan
bukan dirinya sendiri?
Kuasa
dan kerendahan hati
Dalam keluarga perlu
ada tata susunan relasi. Ada yang menjadi kepala dan ada yang menjadi tubuh.
Tidak bisa semuanya menjadi kepala. Namun, meskipun ada perbedaan itu, pusat
perhatian masing-masing anggota keluarga, khususnya suami, bukanlah menunjukkan
otoritasnya, melainkan merendahkan diri, melihat kepentingan orang lain lebih
dari kepentingannya sendiri.
Kewajiban orangtua mendidik anak
Perubahan-perubahan
nilai dalam budaya modern cenderung mendorong anak kurang menghargai dan
menghormati orangtuanya. Selain itu, tanggung jawab orangtua untuk mendidik
anak di dalam Tuhan juga menjadi tugas yang sulit dijalankan, padahal itu
sangat vital. Ketika dunia dan media massa menawarkan nilai-nilai yang berbeda
bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kristiani, orangtua diharapkan mampu
memberi pengarahan agar anak tidak bingung dalam memilih jalannya. Adanya
sekolah Katolik dan katekese di paroki tidak menggantikan peran orangtua
sebagai yang pertama mendidik anak-anaknya dalam hal keagamaan.
Banyak orangtua telah
menyadari tanggung jawab mereka memperkenalkan liturgi, sakramen, katekismus, dan
rosario kepada anak-anaknya, tetapi mengapa begitu sedikit yang sudah
memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anaknya? Orangtua dapat belajar berbicara
tentang firman Tuhan dengan anak-anak mereka dan membangun keluarga yang mempunyai
kebiasaan mengakui pentingnya dan kudusnya Kitab Suci, misalnya dengan membiasakan
diri membuat ibadat keluarga memakai buku yang sudah diterbitkan oleh LBI.
Orangtua dapat memakai kesempatan-kesempatan atau perayaan-perayaan khusus,
seperti Natal, Paskah, dan Pentakosta untuk menerangkan iman Katolik dari Kitab
Suci.***
BIBLIOGRAFI
Barclay,
William, The Daily Bible Study: The
Gospel of Luke, terj. A.A. Yewangoe, Jakarta, Gunung Mulia 1996.
Best,
Ernest, A Critical and Exegetical
Commentary on Ephesians, T&T Clark, London 1998.
Fretheim,
T.E., The Book of Genesis: Introduction,
Commentary, and Reflections, NIB I (1994), 320-674.
Leks,
Stefan, Tafsir Injil Lukas, Kanisius,
Yogyakarta 2002.
Pareira,
B.A., Abraham: Imigran Tuhan dan Bapa
Bangsa-bangsa, Dioma, Malang 2004.
Riyadi,
St. Eko, Lukas, "Sungguh, Orang Ini
adalah Orang Benar!", Kanisius, Yogyakarta, 2011.
Scnackenburg,
Rudolf, The Epistle to the Ephesians,
T&T Clark, Edinburgh 1991.
Sembiring,
M.K., Injil Lukas, Diadaptasi dari A
Handbook on the Gospel of Luke karya J. Reiling dan J.L. Swellengrebel, dan
A Translator's Guide to the Gospel of
Luke karya Robert Bratcher, Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan
Kartidaya, Jakarta 2005.
Ska,
J.L., The Abraham Cycle: Synchronic and
Diachronic Analysis, PIB, Rome 1996.
Stuhlmueller,
Carroll, New Testament Reading Guide, The
Gospel of St. Luke, terj. LBI, Kanisius, Yogyakarta 1981.
Talbert,
Charles H., Ephesians and Colossians,
Baker Academic, Grand Rapids 2007.
Wenham,
G.J., Genesis 1-15, WBC 1, Word Books
Publisher, Waco 1987.
Westermann,
C, Genesis 12-36, SPCK, London 1985.
Williamson,
P.S., Ephesians, Baker Academic,
Grand Rapids 2009.