Social Icons

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2017 (GAGASAN PENDUKUNG)



GAGASAN PENDUKUNG
oleh Alfonsus Jehadut
 
Bulan Kitab Suci Nasional
LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA
20176


Arus zaman dunia modern melanda seluruh bangsa manusia termasuk Gereja. Banyak hal positif yang dihasilkannya. Arus aman teknologi, misalnya, membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Informasi dan komunikasi menjadi lebih mudah dan cepat. Kemudahan dan kecepatannya menjadikan dunia bagaikan satu desa kecil. Itulah sebabnya, Gereja dianjurkan juga untuk menggemakan Sabda Allah tidak hanya melalui media cetak, tetapi juga melalui bentuk-bentuk komunikasi yang lain terutama internet.

Namun, tidak sedikit pula hal negatif yang dimunculkan oleh arus zaman modern sehingga perlu diteliti secara cermat agar bisa diperbaiki. Hal ini disebut oleh Paus Fransiskus dalam himbauan apostoliknya, Evangelii Gaudium, suka cita injil. Dalam himbauan apostolik tersebut dilukiskan masalah besar yang melanda dunia modern yang akhirnya ikut melanda Gereja juga. Masalah-masalah besar itu terkait dengan mentalitas negatif budaya modern seperti konsumerisme, hedonisme, sekularisme, individualisme, kesenjangan sosial, dan fundamentalisme agama. Maka, Paus Fransiskus menyerukan kepada semua komunitas untuk selalu meneliti dengan cermat tanda-tanda zaman dan menanggapinya secara efektif.


Dalam konteks meneliti dan menanggapi tantangan yang dihadapi oleh dunia modern yang akhirnya juga ikut melanda Gereja, Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2017 mengambil tema, “Kabar Gembira Di Tengah Gaya Hidup Modern.” Tema ini dijabarkan dalam empat sub tema. Pertama, arus zaman teknologi dan nilai-nilai injili dalam kisah menara Babel (Kej. 11:1-9). Kedua, arus zaman materialisme dan nilai-nilai injili dalam perumpamaan orang kaya yang bodoh (Luk. 12:13-21). Ketiga, arus zaman individualisme dan nilai-nilai injili dalam kisah cara hidup jemaat perdana (Kis. 2:41-47). Keempat, arus zaman hedonisme dan nilai-nilai injili dalam nasihat Yakobus tentang hikmat dan hawa nafsu (Yak. 3:14-4:3). Melalui keempat sub tema ini diharapkan umat kristiani tidak terseret dan terhanyut oleh arus zaman modern dengan terus berpegang pada nilai-nilai injili.
7
1 ARUS ZAMAN TEKNOLOGI DAN NILAI-NILAI INJILI
Dewasa ini teknologi berkembang begitu cepat. Perkembangan dan kemajuannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Banyak hal positif yang dihasilkannya. Pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Informasi dan komunikasi menjadi lebih mudah dan cepat. Kemudahan dan kecepatannya menjadikan dunia bagaikan satu desa kecil.

Akan tetapi, perkembangan dan kemajuan teknologi itu membawa banyak dampak negatif bagi manusia dan lingkungannya. Teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, telah membuat banyak orang, terutama kaum muda, kehilangan arah karena tidak bisa menggunakannya secara bijak. Jika Informasi dan nilai-nilai hidup yang ditawarkannya tidak dapat dipilah-pilah, banyak masalah sosial yang akan timbul. Keretakan dalam hubungan keluarga, lingkungan, dan Tuhan muncul akibat pemakaian alat komunikasi secara tidak bijak.

Bagaimana Kitab Suci berbicara tentang perkembangan dan kemajuan teknologi? Kitab Suci tidak banyak bicara atau relatif diam. Hal ini tentu saja tidak terlalu mengherankan. Budaya zaman penulis Kitab Suci berbeda dengan zaman kita yang ditandai dengan pesatnya kemajuan alat-alat teknologi komunikasi. Maka, kita tidak akan menemukan komentar langsung tentang perkembangan dan kemajuan teknologi di dalam Kitab Suci. Kita juga tidak akan menemukan di dalamnya pembicaraan tentang dampaknya secara langsung. Namun, kita dapat mengangkat kisah menara Babel untuk merefleksikan dampaknya (Kej. 11:1-9).

KISAH MENARA BABEL (Kej. 11:1-9)

1Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. 2Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. 3Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik.” Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan tér galagala sebagai tanah liat. 4Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” 5Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, 6dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. 7Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” 8Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. 9Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.

Sama seperti kisah air bah, kisah pembangunan kota dengan menara pencakar langit di Babel merupakan salah satu kisah familiar meski tidak mudah pula untuk menangkap makna dan pesan utamanya. Kisah ini tampaknya disusun dalam dua bagian. Pertama, menampilkan manusia yang bertindak dan berbicara (ay. 1-4). Kedua, menampilkan Allah yang bertindak dan berbicara (ay. 5-9).

Manusia bertindak dan berbicara (ay. 1-4)

Bagian pertama kisah ini diawali dengan sebuah pernyataan - “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya” (ay. 1) - yang segera memunculkan soal. Sebab, sebelumnya telah dikatakan bahwa daftar keturunan anak-anak Nuh memakai bahasanya sendiri. Bangsa-bangsa keturunan Sem, Ham, dan Yafet memakai dan mengembangkan bahasanya sendiri-sendiri. Setiap bangsa dan suku dari keturunan Sem, Yafet, dan Ham tinggal di negerinya masing-masing dan mempunyai bahasanya sendiri (Kej. 10:5, 20, 31).

Satu bahasa dan satu logatnya

Bagaimana kita menjelaskan pernyataan “seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya?” Beberapa penafsir menjelaskannya dengan mengatakan bahwa daftar bangsa-bangsa keturunan Sem, Ham, dan Yafet (Kej. 10) dan menara Babel (Kej. 11) seharusnya tukar tempat. Daftar bangsa-bangsa (Kej. 10) seharusnya ditempatkan setelah kisah menara Babel (Kej. 11). Penjelasan ini memang lebih logis bagi para pembaca modern. Namun, penempatan kedua kisah itu dilakukan oleh para editor terakhir. Mereka tidak terganggu dengan apa yang dianggap kurang logis dan teratur oleh pembaca modern sehingga tidak terlalu mengherankan jika ada banyak contoh kisah yang penempatannya kurang diatur secara logis dan bahkan bertentangan.

Beberapa penafsir lain berpendapat bahwa penempatan kisah menara Babel setelah daftar bangsa-bangsa itu cocok dengan pola yang muncul secara berulang dalam kisah sejarah purba (Kej. 1-11). Pola kebaikan Allah diikuti dengan pemberontakan dari pihak manusia dan pemberontakan mendatangkan hukuman dari pihak Allah. Pemberontakan yang mendatangkan hukuman itu diikuti lagi dengan kebaikan Allah. Dengan menampilkan pola berulang - kebaikan diikuti dengan pemberontakan dan pemberontakan diikuti dengan kebaikan - tercipta sebuah ketegangan untuk mempersiapkan pembaca dengan kisah panggilan Abram (Kej. 12:1-9).

Beberapa penafsir lain lagi berpendapat bahwa pernyataan satu bahasa dan satu logat itu mengacu pada bahasa pengantar atau bahasa pergaulan (Latin: lingua franca) yang harus digunakan oleh semua orang dalam berkomunikasi di dunia kuno. Jika artinya benar demikian, satu bahasa dan satu logat itu sangat mungkin mengacu pada bahasa orang Babel karena posisinya pada waktu itu sebagai penguasa dunia. Kesatuan bahasa dan logat ditekankan sebagai sindiran bagi penguasa Babel yang mewajibkan dan memaksakan penggunaan bahasa Babel.

Motivasi mendirikan kota dengan menara sampai ke langit

Manusia merencanakan untuk membangun sebuah kota dengan menaranya sampai ke langit. Kota dengan menara pencakar langit itu mau dibangun dengan batu bata kering yang dilekatkan dengan ter. Konstruksi bangunan semacam ini biasa di Mesopotamia kuno. Hal ini mengingatkan kita pada ziggurat, sebuah monumen yang berbentuk piramida untuk pemujaan dan penyembahan dewa-dewi. Bagi Bergant, gagasan membangun kuil untuk pemujaan dan penyembahan dewa Babel – Maduk atau Bel - ada dibalik kisah pembangunan kota dengan menara pencakar langit dalam kitab Kejadian.

Rencana pembangunan itu pada dirinya sendiri bukanlah sebuah pelanggaran atau dosa. Namun, motivasi di balik rencana itu dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran atau dosa melawan petunjuk Allah sendiri. Apa motivasi pembangunan kota dengan menaranya sampai ke langit ini? “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi” (ay. 4). Dari pernyataan ini terlihat dua motivasi. Pertama, “marilah kita cari nama.” Mereka ingin mencari kemuliaan, kebesaran, dan keagungan bagi nama mereka sendiri. Karya monumental tangan mereka sendiri dibangun bukan untuk memuliakan dan mengabadikan nama Allah, melainkan mengabadikan nama mereka sendiri. Mereka cenderung mengabadikan diri dalam bangunan. Jadi, ambisi dan kesombongan untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Allah bagi mereka menjadi motivasi untuk membangun sebuah kota dengan menaranya sampai ke langit. Teknologi dapat menjadi ekspresi kesombongan mereka yang tidak mau menerima keterbatasan mereka.

Kedua, “kita jangan terserak ke seluruh bumi.” Mereka tidak ingin memenuhi seluruh bumi seperti yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka (Kej. 1:28; 9:1). Perintah Allah untuk memenuhi seluruh muka bumi tampaknya mereka pandang sebagai ancaman karena mereka akan terpisah dan tidak ada lagi kesatuan bahasa yang mengikat satu sama lain. Dengan Itulah sebabnya, mereka membangun kota dengan menara pencakar langitnya untuk mempertahankan kesatuan bahasa dan tempat tinggal mereka padahal keanekaragaman bahasa dan penyebaran umat manusia ke seluruh muka bumi merupakan rencana asali Allah untuk memenuhi seluruh bumi.

Allah bertindak dan berbicara (ay. 5-9)

Allah bertindak dengan turun dari surga untuk melihat pembangunan sebuah kota dengan menara pencakar langit yang telah direncanakan dan mulai dilaksanakan oleh manusia. Setelah melihat karya monumental tangan anak-anak manusia, Allah menanggapinya dengan pertama-tama berefleksi tentang situasi hidup dan rencana anak-anak manusia. “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana” (ay. 6).

Refleksi atas situasi itu menjadi dasar dari keputusan Allah untuk campur tangan. Tindakan campur tangan Allah tidak diperlihatkan-Nya dengan membinasakan mereka yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan kota dengan menara pencakar langitnya itu, tetapi dengan membuat mereka terserak ke seluruh muka bumi. Bahasa mereka dikacaukan-Nya dengan cara menyerakkan mereka ke seluruh muka bumi. Dengan mengacaukan bahasa, mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing. Dengan menyerakkan mereka ke seluruh muka bumi, mereka tidak lagi bisa menyelesaikan rencana pembangunan sebuah kota dengan menara pencakar langit yang memperlihatkan ambisi dan kesombongan mereka.

Keputusan dan tindakan Allah untuk mengacaukan bahasa itulah yang menjadi asal-usul dari nama kota Babel sampai sekarang. Dinamakan kota Babel karena di situlah bahasa seluruh bumi dikacaubalaukan oleh Allah dan dari situlah mereka diserakkan oleh Allah ke seluruh bumi. Nama kota Babel berasal dari kata kerja Ibrani “balal” yang artinya “mengacaukan.” Allah mengacaukan (ay. 7, 9) bahasa sehingga kemungkinan untuk berkomunikasi verbal di antara para pembangun tidak terbangun dan terjalin kembali. Nama kota Babel menjadi saksi tindakan Allah mengacaukan bahasa. Inilah yang disebut dengan sejarah etiologis sebab nama sebuah tempat sering dijelaskan dengan sebuah peristiwa historis.
12
Visi positif dalam keputusan dan tindakan Allah

Keputusan dan tindakan Allah mengacaukan bahasa dan menyerakkan anak-anak manusia ke seluruh muka bumi menawarkan sebuah visi positif. Sebab, keinginan untuk mengontrol orang lain dengan cara menyeragamkan cara berbicara, berpikir dan memahami dikacaukan dan diruntuhkan-Nya. Dominasi satu bahasa, satu cara berbicara, dan satu pola dalam memahami sesama dikacaubalaukan-Nya ketika mereka diserakkan ke seluruh muka bumi. Dengan diserakkan-Nya ke seluruh bumi, mereka akan menjadi kaum migran atau pengungsi yang tidak lagi memahami bahasa dan budaya setempat. Namun, mereka akan mendengar, mempelajari, dan berjumpa dengan Allah secara baru ketika mereka terbuka untuk menerima keanekaragaman bahasa dan budaya dalam beriman dan memuji Allah.

Kita dapat mengatakan bahwa keputusan dan tindakan Allah mengacaukan bahasa dan menyerakkan anak-anak manusia bertujuan untuk menjelaskan pluralitas bahasa. Inilah refleksi zaman dulu yang muncul dari rasa ingin tahu tentang pluralitas bahasa. Bagaimana asal-usul keanekaragaman bahasa dan budaya yang tidak bisa dipahami dengan mudah oleh satu sama lain? Keputusan dan tindakan Allah dalam kisah menara Babel memberikan jawaban atau penjelasan terhadap fakta keanekaragaman bahasa dan budaya yang tidak dapat dipahami oleh satu sama lain. Akan tetapi, keputusan dan tindakan Allah ini pula dapat dilihat sebagai hukuman Allah atas kesombongan dan keangkuhan manusia yang berupaya melanggar tapal batas antara Allah dan manusia dan antara langit dan bumi dengan membangun menara sampai ke langit. Kesombongan dan keangkuhan semacam inilah menjadi salah satu akar masalah utama dalam sejarah hidup manusia.

Teknologi dan nilai-nilai injili dalam kisah menara Babel

Dari ulasan di atas, kita bisa menggarisbawahi beberapa nilai injili yang ditawarkan oleh kisah menara Babel terkait dengan perkembangan dan kemajuan teknologi dalam dunia dewasa ini. Pertama, melalui kisah menara Babel kita diajarkan untuk tidak membangun dan menggunakan teknologi untuk mencari nama bagi diri sendiri. Teknologi harus dibangun dan dipakai untuk memuji dan memuliakan nama Allah, bukan untuk memuji dan memuliakan nama sendiri. Allah dapat dipuji dan dimuliakan melalui teknologi informasi dan komunikasi hasil karya tangan manusia ketika digunakan sebagai sarana pewartaan injil dan penggembalaan umat dan bukan hanya untuk menampilkan dan menyebarkan foto dan aktivitas diri apalagi untuk menyebarkan gosip, fitnah, dan kebencian.

Kedua, teknologi yang dibangun dan digunakan untuk memperlihatkan arogansi manusia atau untuk menjadi sama seperti Allah akan dikacaubalaukan-Nya. Allah akan turun tangan untuk mengacaukan sikap dan tindakan arogansi manusia yang muncul dari pendewaan terhadap teknologi. Kita sebenarnya tidak berhak untuk bersikap arogan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi sebab pencapaian itu tidak melulu karena usaha kita sendiri, tetapi karena anugerah Allah. Dengan memandangnya sebagai anugerah Allah, kita akan memuji dan memuliakan Allah ketika menyaksikan kemampuan kita dalam mengembangkan dan memajukan teknologi.

Ketiga, teknologi informasi dan komunikasi semakin menyadarkan kita akan keanekaragaman bahasa, budaya, dan domisili. Kesadaran ini diperlihatkan pula dalam kisah menara Babel. Diperlihatkan bahwa akar dari keanekaragaman itu lahir dari keputusan dan tindakan Allah sendiri. Allah mengacaukan dominasi satu bahasa dengan logat yang sama dan menyerakkan anak-anak manusia ke seluruh muka bumi sehingga muncullah keanekaragaman bahasa, budaya, dan domisili yang telah menjadi bagian dari rencana Allah sejak awal. Maka, kita harus terbuka untuk menerima dan menghargai keanekaragaman dan perbedaan dalam berpikir, berbicara, dan bertindak, termasuk dalam hal beriman dan memuji Allah. 14


2. ARUS ZAMAN MATERIALISME DAN NILAI-NILAI INJILI
Dunia kita kini berada dalam budaya materialisme dan konsumerisme. Sadar atau tidak sadar, dasar identitas dan relasi kita dengan orang lain kini dibentuk dan dibangun oleh materi yang kita miliki dan yang kita konsumsi. Rumah yang kita diami, makanan yang kita konsumsi, pakaian yang kita pakai, perhiasan yang kita gunakan, kendaraan yang kita kemudi, musik yang kita dengarkan, handphone yang kita pakai, dan sebagainya membentuk dasar identitas diri dan relasi kita dengan orang lain. Kritik terhadap materialisme dan konsumerisme biasanya berfokus pada bahaya penyembahan berhala - godaan untuk menjadikan materi sebagai pusat kehidupan dan bukan Tuhan. Namun, sesungguhnya ada ancaman yang lebih nyata dan serius. Pola kerja kita kini sangat ditentukan oleh materi yang kita dapatkan karena dipahami sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup. Pola konsumsi juga tidak lagi berorientasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi untuk mengikuti gaya hidup modern. Dalam konteks inilah kita perlu menawarkan nilai-nilai injili. Tentu saja ada banyak nilai-nilai injili yang dapat ditawarkan. Akan tetapi, kita di sini hanya menawarkannya dari perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Luk. 12:13-21).

ORANG KAYA YANG BODOH (Luk. 12:13-21)

13Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” 14Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” 15Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjagajagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” 16Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 18Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbunglumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 19Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! 20Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? 21Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.

“Orang kaya yang bodoh” merupakan perumpamaan pertama dari tiga perumpamaan yang berbicara mengenai kekayaan dalam injil Lukas (Luk. 12:13-21; 16:1-13; 16:19-31). Perumpamaan pertama ini dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, permintaan kepada Yesus untuk menjadi hakim dan tanggapan-Nya yang berpuncak pada peringatan untuk bersikap waspada terhadap segala ketamakan (ay. 13-15). Kedua, perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh berfungsi untuk menjelaskan ketamakan dan mengapa disebut bodoh (ay. 16-21).

Permintaan untuk menjadi hakim dan tanggapan Yesus (ay. 13-15)

Salah seorang dari antara orang banyak menyapa Yesus sebagai Guru atau Rabbi (bdk. Luk. 7:40). Dengan menyapa sebagai guru atau rabi, dia meminta Yesus bertindak sebagai hakim dalam perkara pembagian harta warisan dengan saudaranya. Pembagian harta warisan sebenarnya telah diatur dalam hukum Taurat. Diatur bahwa anak laki-laki sulung berhak mendapatkan dua bagian dari harta warisan ayahnya (Ul. 21:16-17) karena dialah yang empunya hak kesulungan. Anak laki-laki sulung juga menerima berkat khusus dari ayahnya, menggantikan ayahnya sebagai kepala rumah tangga, memegang otoritas atas anggota-anggota rumah tangga lainnya.
Apa tanggapan Yesus atas permintaan untuk menjadi hakim dalam perkara pembagian harta warisan di antara dua saudara? Dia menolak peran sebagai hakim dalam perkara warisan di antara dua saudara. “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” (ay. 14). Di balik penolakan untuk menjadi hakim dalam perkara harta warisan tersirat peran Yesus yang lebih urgen, yakni mewartakan kerajaan Allah, bukan mengurusi perkara-perkara kecil yang dapat dengan mudah ditangani oleh seorang rabi. Di sini Yesus tentu saja tidak menolak peran-Nya sebagai hakim atas orang yang hidup dan yang mati (2Tim. 4:1).
16
Bagi penafsir lain, penolakan untuk berperan sebagai hakim dalam perkara pembagian harta warisan itu justru karena Yesus mempersoalkan motivasi di balik permintaan tersebut. Motivasinya bukan untuk mendapatkan keadilan dalam pembagian harta warisan, melainkan untuk mendapatkan kekayaan bagi diri sendiri. Orang itu berani memerintah dan mengatakan kepada Yesus apa yang harus dilakukan-Nya untuk memenuhi keinginannya mendapatkan kekayaan bagi dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Yesus memberi peringatan kepada muridmurid-Nya untuk berjaga-jaga dan waspada terhadap segala bentuk ketamakan. Ketamakan (Yun. pleonexia) dipahami sebagai hasrat atau nafsu yang sangat kuat dan tak terkendali untuk memiliki harta secara berlebihan tanpa memperhatikan situasi hidup orang lain.

Peringatan untuk melawan segala bentuk ketamakan itu disusul dengan memberikan sebuah alasan yang masuk akal. Bagi Yesus, hidup kita tidak tergantung pada harta kekayaan betapa pun melimpahnya. “Sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu” (ay. 15b; bdk. Luk. 4:4). Hidup kita bergantung pada Allah. Kata-kata Yesus ini sungguh-sungguh radikal dan kontras dengan cara hidup, berpikir, dan menilai dalam hidup kita yang sering mengukur kesuksesan hidup dari harta kekayaan yang melimpah.

Perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (ay. 16-21)

Yesus menekankan kembali apa yang diperingatkan dan diajarkan-Nya melalui sebuah perumpamaan. Ditampilkan bahwa ada seorang yang kaya karena hasil tanahnya berlimpah. Orang kaya ini kiranya mengacu pada tuan tanah di Palestina pada abad pertama. Hasil panen melimpah sehingga dia merombak lumbungnya dan membangun kembali yang jauh lebih besar untuk bisa menampung hasil panennya dan menjamin masa depannya selama bertahun-tahun.

Setelah hasil panen yang melimpah disimpannya di lumbung-lumbung yang jauh lebih besar, orang kaya itu berkata kepada dirinya sendiri: “Beristirahatlah, makanlah, dan bersenang-senanglah” (ay. 19). Dalam kata-kata ini tidak sedikit pun ruang baginya untuk bersyukur kepada Allah dan berbagi dengan orang lain. Ia juga tidak menyadari dirinya sebagai makhluk ciptaan karena berpikir dan bertindak seolah-olah tuan yang mengontrol jalan hidupnya sendiri.

Itulah sebabnya, orang kaya itu disebut oleh Yesus sebagai orang bodoh. “Hai engkau orang bodoh” (ay. 20a). Kata bodoh (Yun. aphrōn) di sini dan yang juga muncul sebelumnya (Luk. 11:40) mengacu pada orang-orang yang tidak bijaksana (bdk. Mat. 25:1-13) dan yang tidak menyadari bahwa hidupnya tidak tergantung pada harta kekayaannya yang melimpah. Kebodohan orang kaya itu tidak hanya terletak pada ketamakannya, tetapi juga pada perhatiannya yang hanya berorientasi pada dirinya sendiri. Kebodohannya bisa juga terletak pada kegagalannya untuk mengakui bahwa hidupnya hanyalah sementara (bdk. Mzm 39:5-8; 90:12); pada kegagalannya untuk mempersiapkan hidupnya setelah kematian; pada kegagalannya untuk bersandar pada Allah (bdk. Yak. 4:13-5:6).

Orang kaya yang bodoh itu tidak menyadari bahwa hasil panennya yang melimpah sebagai suatu kesempatan untuk membantu orangorang yang membutuhkan makanan (bdk. Luk. 16:19-25). Dia egois ketika menimbun dan bersenang-senang sendiri dengan hartanya tanpa merisaukan kebutuhan hidup sesamanya dan hidupnya sendiri di dunia akhirat. Dia berpikir bahwa penimbunan harta kekayaan itu cukup untuk membawa keamanan dan kebahagiaannya bagi jiwanya. Dia merasa jiwanya aman dan bahagia dengan hartanya yang melimpah. Dia meyakini harta kekayaannya yang melimpah akan mengatasi berbagai kesulitan hidupnya di akhirat. Hidupnya bergantung pada kekayaan yang melimpah, bukan kepada Allah.

Bagi orang kaya yang bodoh itulah Yesus memperlihatkan firman Allah yang menunjukkan campur tangan-Nya secara tidak terduga. “Pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu”(ay. 20b). Melalui firman Allah orang kaya itu diperingatkan bahwa hidupnya tidak berada di tangannya sendiri, tetapi di tangan Allah; bahwa ia tidak tahu masa depannya sendiri; bahwa ia bukanlah tuan atas hidupnya sendiri; bahwa hidupnya bisa diambil kapan saja pada saat yang tidak terduga; bahwa kekayaannya tidak menjamin kebahagiaannya setelah ia meninggal; bahwa setelah kematian, ia akan diadili dan dihakimi; bahwa jika hidupnya hanya berorientasi pada kekayaan dan kesenangannya sendiri, ia akan menyesal dalam terang pengadilan dan penghakiman Allah di akhir zaman.

Penimbunan harta kekayaan bagi kesenangan diri sendiri itu sia-sia. Hal ini ditekankan oleh Yesus dalam sebuah pertanyaan, “apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (ay. 20c-21). Walau bisa menikmati kesenangan dengan harta kekayaannya ketika masih hidup, namun orang pasti tidak dapat menikmatinya lagi setelah kematiannya. Karena setelah mati akan ada pengadilan dan penghakiman terakhir, orang akan menyadari bahwa penumpukan harta kekayaan bagi diri sendiri dengan tidak mempedulikan Allah dan sesama itu tidak dibenarkan di hadapan Allah. Jika seorang menumpuk kekayaan bagi kesenangannya sendiri dan tidak mempedulikan sesama dan lingkungan, ia tidak kaya di hadapan Allah.

Nilai-nilai injili berhadapan dengan budaya materialisme dan konsumerisme

Dari perumpamaan orang yang kaya bodoh, ada beberapa nilai injili yang dapat kita tawarkan berhadapan dengan budaya zaman materialisme dan konsumerisme. Pertama, kita tidak boleh berpikir dan bertindak seperti orang kaya yang bodoh yang menimbun kekayaannya bagi kesenangan sendiri dan jaminan bagi keamanan dan kebahagiaan jiwanya sendiri tanpa sedikit pun memikirkan Allah, sesama, pengadilan, dan penghakiman di akhir zaman.

Kedua, hidup kita sama sekali tidak bisa dijamin oleh harta kekayaan. Kelimpahan harta kekayaan tidak menjamin keamanan, kebahagiaan, dan kepuasan hidup. Penumpukan kekayaan bagi kesenangan sendiri tidak memberi jaminan keamanan dan kebahagiaan apa pun. Sebab, jaminan keamanan dan kebahagiaan itu ada pada Allah. Hidup bersama Allah dan melakukan hal-hal baik bagi sesama dan lingkungan itulah yang sesungguhnya memberi jaminan keamanan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup kita.

Ketiga, harta kekayaan itu anugerah Allah yang tidak boleh ditimbun hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk sesama. Kita diminta untuk berhenti menumpuk kekayaan hanya demi kesenangan hidup sendiri tanpa mempedulikan sesama dan lingkungan. Sebaliknya, kita diminta untuk terus mengumpulkan harta di hadapan Allah dengan menghindarkan diri dari ketamakan, keserakahan, dan keegoisan. Kita diminta untuk terus menerus mencari harta sejati yang tidak dapat binasa dengan mempercayakan hidup kita kepada Allah dan berbagi dengan orang miskin. Kita diminta untuk terus menerus mengubah dan menata kembali hidup kita sebelum terlambat.

Keempat, kita diminta menimbun harta di surga. Harta itu tidak dapat diambil orang, tidak dapat diambil oleh pencuri, dan tidak dapat dirusak oleh ngengat sehingga tidak akan pernah hilang. Hal ini berbeda dengan harta kekayaan yang disimpan di dunia karena dapat saja dicuri, dapat dirusak oleh ngengat sehingga kita cemas dan kuatir sebab di mana harta kita berada, di situ juga hati kita berada. Hati di sini berkaitan dengan perasaan, pikiran, perhatian, dan minat seseorang. Jika harta surgawi yang kita cari dan timbun, perasaan, pikiran, perhatian, dan minat kita diarahkan kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Sebaliknya, jika hanya harta duniawi yang dicari dan ditimbun, perasaan, pikiran, perhatian, dan minat kita terikat dan melekat padanya sehingga tidak lagi diarahkan kepada Tuhan dan kehendak-Nya.

Kelima, gaya hidup materialistis dan konsumeristis biasanya didorong oleh salah sangka bahwa nilai hidup kita tergantung pada apa yang kita miliki dan apa yang dikonsumsi. Nilai hidup kita tidak tergantung sama sekali dengan rumah yang kita diami, makanan yang kita konsumsi, pakaian yang kita pakai, perhiasan yang kita pakai, kendaraan yang kita kemudi, musik yang kita dengarkan, handphone yang kita gunakan, dan lain sebagainya. Nilai hidup kita tidak tergantung pada kekayaan betapa pun melimpahnya. Jaminan keamanan dan kebahagiaan hidup kita bergantung pada Allah. Harta kekayaan tidak membawa keamanan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi hidup di akhirat.
20

3. ARUS ZAMAN INDIVIDUALISME DAN NILAI-NILAI INJILI
Kita kini berada dalam arus zaman individualism, yang menganggap diri sendiri lebih penting daripada orang lain. Sebab, perhatian kita difokuskan hanya pada diri sendiri. Kita menjalani hidup semata-mata  untuk diri sendiri. Kita hanya berpikir apa yang terbaik bagi diri sendiri dan tidak peduli akan orang lain. Kita juga tidak lagi peduli akan apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Kita bahkan tidak lagi merasa perlu mengenal dan bergaul dengan tetangga.

Nilai-nilai injili apa yang dapat ditawarkan untuk menghadapi gaya hidup masyarakat modern yang semakin mementingkan diri sendiri atau semakin egois itu? Cara dan gaya hidup jemaat perdana dapat ditawarkan untuk menghadapinya. Cara dan gaya hidup mereka dilukiskan sebanyak tiga kali dalam Kisah Para Rasul, yakni Kis. 2:42-47; 4:32-35; 5:11-16. Ketiganya menampilkan contoh atau teladan bagi kita sekalian pada masa sekarang ini.

Dari tiga perikop yang melukiskan cara dan gaya hidup jemaat perdana, fokus perhatian kita hanya diarahkan pada yang pertama (Kis. 2:42-47). Sebab, cara dan gaya hidup dalam gambaran pertama menekankan persekutuan dan kebersamaan di antara anggota jemaat. Persekutuan dan kebersamaan itu tampaknya cocok diangkat untuk menghadapi gaya hidup masyarakat modern yang semakin individualis.

CARA HIDUP JEMAAT PERDANA (Kis. 2:42-47)

42Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. 43Lalu ketakutan melanda semua orang, sebab rasul-rasul itu mengadakan banyak mukjizat dan tanda ajaib. 44Semua orang yang percaya tetap bersatu, dan semua milik mereka adalah milik bersama, 45dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. 46Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, 47sambil memuji Allah dan mereka disukai semua orang. Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.

Kis. 2:42-47 dapat diikuti dengan alur kisah sebagai berikut. Karakter kehidupan jemaat perdana dilukiskan (ay. 42) dan disusul dengan dampaknya bagi orang luar (ay. 43). Karakter kehidupan jemaat perdana lagi-lagi ditampilkan (ay. 44-47a) dan disusul dengan dampaknya bagi orang luar (ay. 47b-c).

Bertekun dalam pengajaran para rasul dan persekutuan (ay. 42)

Lukas menampilkan dua karakter kehidupan jemaat perdana. Pertama, mereka bertekun dalam pengajaran para rasul (ay. 42). Bertekun dalam pengajaran berarti mendengarkan dengan tekun dan melaksanakan dengan giat apa yang diajarkan para rasul. Pengajaran di sini lebih dari pewartaan seputar kematian, kebangkitan, dan maknanya bagi kehidupan kristiani. Pengajaran mereka mencakup pula penafsiran kitab suci, segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus selama hidup di dunia, dan pewahyuan yang diberikan-Nya kepada para rasul dari surga. Pengajaran mereka disertai dengan banyak tanda dan mukjizat yang menegaskan kebenaran pengajaran mereka sama seperti pengajaran Yesus sendiri (Kis. 2:22).

Kedua, mereka bertekun dalam persekutuan atau kebersamaan (Yun. koinonia) dengan satu sama lain. Persekutuan atau kebersamaan di antara anggota jemaat diungkapkan secara khusus dalam aktivitas memecahkan roti. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti yang dikaitkan dengan perayaan Ekaristi (1Kor. 10:16; 11:24; Luk. 22: 19) dan makan bersama dalam perjamuan sehari-hari (bdk. Luk. 24:30, 35; Kis. 20:11; 27:35). Melalui persekutuan dan kebersamaan dalam kegiatan memecahkan roti, mereka mengenang perjamuan suka cita bersama Yesus sebelum dan sesudah Paskah.

Persekutuan atau kebersamaan di antara anggota jemaat itu diungkapkan pula dalam kegiatan doa bersama. Mereka selalu berkumpul untuk berdoa bersama. Dengan sehati, mereka semua bertekun dalam doa bersama (Kis. 1:14; 2:42; 46; 6:4; 11:5; 12:12). Mereka berdoa tampaknya bersama dengan orang Yahudi lainnya di Bait Allah. Fungsi dan peran bait Allah sebagai rumah doa memang ditekankan oleh penginjil Lukas (bdk. Luk. 1:8-23; 2:27-32; 36-38; 18:10-14; 19;46; 24:53). Fungsi dan peran ini diperlihatkan juga dalam Kisah Para Rasul (bdk. Kis. 2:47; 3:1; 21:20-26; 22:17-21). Namun, tidak ada alasan untuk membatasi tempat mereka berdoa hanya di Bait Allah, sebab rumah juga disebut pusat kegiatan mereka (Kis. 4:24-30).

Takut terhadap banyaknya mukjizat dan tanda ajaib (ay. 43)

Orang-orang di luar jemaat perdana ketakutan ketika menyaksikan para rasul mengadakan banyak mukjizat dan tanda ajaib. Apa persisnya mukjizat dan tanda ajaib yang dilakukan oleh para rasul tidak disebutkan di sini. Mukjizat dan tanda ajaib itu baru disebutkan ketika menceritakan mukjizat dan tanda ajaib yang dilakukan oleh rasul Petrus (Kis. 3:1-11; 5:1-11; 9:32-42).

Kata “takut” (Yun. phobos) biasanya digunakan oleh Lukas untuk mengungkapkan reaksi manusia terhadap campur tangan Allah yang melampaui daya tangkapnya (Luk. 1:12, 65; 2:9; 8:37; 21:26; Kis. 5:5, 11; 9:31). Kata ini juga kadang digunakannya untuk mengungkapkan perasaan kagum atas kehadiran dan kuasa Allah (Luk. 5:26; 7:16; Kis. 19:17). Jadi, reaksi “takut” dipahami dalam arti kekaguman atau keterpesonaan atas kehadiran dan tindakan Allah yang penuh kuasa dalam karya mukjizat dan tanda ajaib yang dilakukan oleh para murid.
23
Karya mukjizat dan tanda ajaib yang dilakukan oleh Yesus berlangsung terus melalui para rasul dan para murid-Nya walau Ia telah diangkat ke surga. Bukan hanya Yesus melakukan karya mukjizat dan tanda ajaib (Kis. 2:22 dan 10:38), melainkan juga para rasul-Nya dan para murid-Nya. Banyak mukjizat dan tanda ajaib yang dilakukan oleh para rasul dan para murid Yesus, baik di Yerusalem (Kis. 2:43; 3:1-10; 5:12-16), maupun di tempat lain (Kis. 8:6-7; 19:11-12; 28:8-9) setelah wafat dan kebangkitan-Nya.

Kesatuan dan kerelaan untuk berbagi (ay. 44-47a)

Karakter lain dari cara dan gaya hidup jemaat perdana adalah hidup dalam semangat kesatuan. Kesatuan di antara mereka diungkapkan secara konkrit dalam semangat saling berbagi secara suka rela. “Semua milik mereka adalah milik bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (ay. 44-45).

Beberapa anggota jemaat yang kaya menjual harta milik mereka secara suka rela dan membagi-bagikannya kepada orang miskin sesuai dengan keperluan masing-masing seperti yang dilakukan oleh Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas (Kis. 4:36-37). Jemaat di Antiokhia Siria juga mengumpulkan sumbangan sesuai dengan kemampuan mereka masingmasing untuk membantu orang-orang miskin yang tinggal di Yudea (Kis. 11:27-30).

Semangat berbagi itu tidak hanya mengungkapkan kesadaran mereka akan fungsi sosial dari harta milik, tetapi juga memperlihatkan dimensi sosial dalam persekutuan atau kebersamaan. Sebab, tidak ada persekutuan atau kebersamaan tanpa adanya kerelaan dan semangat untuk berbagi. Semangat berbagi itu dipandang pula sebagai mandat dan simbol dari iman. Kita harus berbagi dengan sesama karena kita telah diberikan secara oleh cuma-cuma oleh Allah. Berbagi dengan sesama merupakan suatu bentuk ucapan syukur kita kepada Allah atas apa yang telah kita terima (bdk. 2Kor. 9:12).

Kesatuan di antara anggota jemaat diungkapkan itu juga dalam semangat berkumpul bersama tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka mengambil bagian dalam doa, kurban, dan perayaan religius-kultis Yahudi. Mereka mungkin juga berkumpul di bait Allah untuk mewartakan injil tentang Yesus Kristus (bdk. 3:11; 5:12).

Tidak hanya berkumpul bersama di Bait Allah, mereka juga berkumpul di rumah-rumah anggota jemaat secara bergiliran untuk merayakan Ekaristi dan makan bersama dengan gembira serta tulus hati. Sebelum gedung gereja dibangun, mereka merayakan Ekaristi di rumah-rumah anggota jemaat yang disertai dengan makan bersama. Hal inilah yang membedakan mereka dari orang-orang Yahudi bukan kristiani.

Disukai semua orang (ay. 47bc)

Semangat kesatuan dan saling berbagi di antara anggota jemaat menyebabkan mereka disukai oleh semua orang. Cara dan gaya hidup mereka memberi kontribusi bagi penambahan jumlah anggota jemaat. Kesaksian melalui cara dan gaya hidup memiliki kekuatan pewartaan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya berkata-kata. Walau kesaksian melalui cara dan gaya hidup diakui memiliki daya pewartaan, namun penambahan jumlah anggota dilihat juga oleh Lukas sebagai hasil karya Allah. “Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (ay. 4).

Nilai-nilai injili dan individualisme

Dari beberapa ciri dari cara dan gaya hidup jemaat perdana di atas, kita bisa menarik beberapa nilai injili yang bisa ditawarkan untuk menghadapi dan menentang cara dan gaya hidup modern yang semakin individualistis ini. Pertama, cara dan gaya hidup individualistis tidak pernah dikembangkan oleh para penulis Kitab Suci. Sebab, mereka lebih suka berfokus pada individu-individu sebagai bagian dari sebuah komunitas. Mereka juga lebih menekankan relasi antara individu dan komunitas dalam persekutuan atau kebersamaan dengan tubuh Kristus atau Gereja secara keseluruhan.

Kedua, cara dan gaya hidup jemaat perdana memberikan contoh hidup dalam persekutuan dan kebersamaan yang erat antara satu dengan yang lain. Persekutuan dan kebersamaan itu diungkapkan dalam kegiatan berkumpul bersama untuk merayakan Ekaristi, berdoa bersama, makan bersama, dan berbagi dengan orang yang berkekurangan. Melalui contoh cara dan gaya hidup jemaat perdana, kita diajarkan untuk terlibat aktif dalam hidup menggereja dan bermasyarakat dengan rela berbagi waktu dan harta milik dengan sesama.

Ketiga, cara dan gaya hidup jemaat perdana harus dihidupkan kembali oleh gereja masa kini. Sebab, kesaksian hidup mereka memiliki daya kekuatan pewartaan yang luar biasa dibandingkan dengan kesaksian hanya melalui kata-kata. Dengan kesaksian hidup inilah Gereja masih memiliki daya pikat bagi banyak orang sehingga mereka mau bergabung. Maka, marilah kita mengikuti contoh cara dan gaya hidup jemaat perdana dengan tekun supaya Tuhan menambahkan jumlah anggota jemaat baru.
25

4. ARUS ZAMAN HEDONISME DAN NILAI-NILAI INJILI
Kata hedonisme berasal dari akar kata Yunani kuno hēdonē yang secara umum berarti kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu. Di sini kata hedonisme dipakai untuk menunjuk pada pandangan dan gaya hidup yang menempatkan kesenangan dan kenikmatan hidup sebagai prioritas tertinggi dalam hidup. Kesenangan dan kenikmatan itu dianggap sebagai kebaikan tertinggi sehingga dijadikan sebagai tujuan utama dalam hidup. Bagi kaum hedonis, tidak ada sesuatu yang lebih pantas dilakukan dan diperjuangkan, selain kesenangan dan kenikmatan hidup bagi diri mereka sendiri. Mereka menjadikan kesenangan dan kenikmatan hidup sebagai tolok ukur untuk menilai apa yang baik dan yang buruk.

Kesenangan dan kenikmatan hidup itu memang pada dirinya sendiri baik sebab termasuk bagian dari ciptaan yang TUHAN sendiri nilai baik (Kej. 1:31). Pemahaman positif semacam ini juga dicatat oleh Pengkhotbah. “Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah” (Pkh. 2:24). Namun, tidak semua yang nikmat atau menyenangkan itu baik secara moral dan sesuai dengan kehendak Allah. Pandangan dan gaya hidup yang menempatkan kesenangan dan kenikmatan sebagai prioritas hidup dipandang tidak baik secara moral dan juga tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Itulah sebabnya, kita perlu menggali dan menawarkan nilai-nilai injili untuk menghadapi dan menentang pandangan dan gaya hidup kau hedonis. Ada banyak perikop dalam Alkitab yang dapat digali dan ditawarkan. Namun, kami di sini hanya menawarkan nasihat Yakobus tentang hikmat dan hawa nafsu (Yak. 3:14-4:3).

HIKMAT DAN HAWA NAFSU (Yak. 3:14-4:3)

14Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran! 15Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. 16Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. 17Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya suka damai, lembut, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.18Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. 1Dari mana datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? 2Kamu mengingini sesuatu, tetapi tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. 3Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.

Perikop yang berbicara tentang hikmat dan hawa nafsu (Yak. 3:14-4:3) terdiri dari dua bagian. Pertama, Yakobus berbicara tentang dua jenis hikmat dengan ciri-ciri dan dampaknya masing-masing (ay. 14-18). Kedua, celaan bagi sikap dan tindakan digerakkan oleh kesenangan, kenikmatan, dan hawa nafsu yang melahirkan sengketa, pertengkaran, dan pembunuhan (ay. 1-3).

Hikmat dari bawah dan hikmat dari atas (ay. 14-18)

Yakobus menampilkan dua jenis hikmat untuk mengilustrasikan dua bentuk gaya hidup. Pertama, hikmat yang datang dari bawah, dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. Ciri-cirinya adalah iri hati, mementingkan diri sendiri, memegahkan diri, dan berdusta. Dampak yang dihasilkannya adalah kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Ciri dan dampaknya ini mirip dengan apa yang digambarkan oleh Paulus sebagai perbuatan daging (Gal. 5:19-21).

Kedua, hikmat yang datangnya dari atas, dari surga, dari Allah yang murah hati. Ciri-cirinya adalah murni, suka damai, lembut, penurut, penuh belas kasihan, tidak memihak, dan tidak munafik. Dampak yang dihasilkannya adalah orang bertindak secara bijak, sesuai dengan kehendak Allah, dan berelasi baik dengan Allah dan sesama sehingga orang hidup dalam damai. Ciri dan dampaknya ini mirip dengan apa yang dilukiskan oleh Paulus sebagai perbuatan Roh atau buah-buah Roh (Gal. 5:22-23). Itulah sebabnya, ada penafsir yang berpendapat bahwa dua jenis hikmat yang dilukiskan dalam surat Yakobus mirip dengan lukisan tentang perbuatan daging dan perbuatan Roh dalam surat Paulus.
27
Gagasan tentang hikmat yang datang dari atas tampaknya diwariskan oleh Yakobus dari tradisi hikmat Yahudi. Dalam tradisi hikmat Yahudi, Allah diakui sebagai satu-satunya sumber hikmat. Hikmat yang dimiliki manusia diperoleh dari karunia-Nya (Am. 2:6; 8:21-31; Sir. 1:1-4; 24:1-12; Keb. 7:24-27; 9:4, 6). Karena diperoleh dari karunia Allah, manusia tidak dapat memperoleh hikmat, kebajikan, dan kearifan melalui usahanya sendiri. Manusia tidak akan dapat memperolehnya jika tidak dianugerahkan oleh Allah. Satu-satunya cara untuk memperolehnya adalah memohonkannya kepada Allah dalam doa. Salomo telah memberikan contohnya kepada kita ketika berdoa kepada Allah untuk memohon pengertian agar bisa memutuskan perkara secara adil dan benar (1Raj. 3:5-15).

Tema hikmat diakhiri oleh Yakobus dengan berbicara tentang kebenaran. “Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (ay. 18). Di sini kebenaran dipandang sebagai ganjaran bagi orang yang membawa damai. Pada saat yang sama, orang yang membawa damai mendapatkan ganjaran kebenaran. Namun, orang hanya bisa membawa damai, jika sikap dan tindakannya tidak digerakkan oleh hikmat yang berasal dari bawah, dari dunia, dari nafsu manusia, dan dari setan-setan, tetapi oleh hikmat yang datangnya dari atas, dari surga, dari Allah.

Hidup tidak boleh digerakkan oleh hēdonē (ay. 1-3)

Yakobus di sini berbicara tentang munculnya sengketa dan pertengkaran. Pembicaraan ini sangat mungkin terkait erat dengan situasi jemaatnya yang bersengketa dan bertengkar satu sama lain. Bagi Yakobus, sengketa dan pertengkaran itu tidak disebabkan oleh kekuatan dari luar, tetapi dari dalam diri mereka sendiri karena banyak di antara mereka yang hidupnya digerakkan oleh hēdonē. Kata Yunani hēdonēdi sini secara umum dipahami dalam arti kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu. Kata ini digunakan sebanyak 5 kali dalam Perjanjian Baru dan semuanya berbicara tentang keinginan yang jahat (Luk. 8:14; Tit. 3:3; Yak. 4:3; 2Ptr 2:13).

Sikap dan tindakan yang digerakkan oleh kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu melahirkan dua bentuk konflik yang saling terkait. Pertama, konflik internal yang datangnya dari hawa nafsu yang saling berjuang di dalam diri kita sendiri (ay. 1). Kedua, konflik eksternal dengan sesama. Konflik internal melahirkan konflik eksternal, yakni sengketa, pertengkaran, dan pembunuhan. Jadi, ada suatu konsekuensi serius yang ditimbulkan, jika sikap dan tindakan kita digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan memuaskan hawa nafsu.

Yakobus lalu menampilkan alasan mengapa kita tidak dapat memperoleh apa yang kita inginkan. Baginya, kita tidak memperoleh apa yang diinginkan karena kita tidak berdoa (ay. 2). Di sini kata-kata Yesus tentang doa tampaknya dikenalnya. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan” (Mat. 7:7-8//Luk. 11:9-10//Yoh. 16:24).

Kita juga tidak memperoleh apa yang kita inginkan karena salah berdoa. Kalau pun kita memintanya dalam doa, kita salah berdoa, sebab apa yang kita minta dimaksudkan untuk memenuhi kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu sendiri. Itulah sebabnya, ada penafsir yang berkomentar bahwa janji dikabulkannya doa permohonan itu ada syaratnya, bukan tanpa syarat. Jika syarat yang diberikan-Nya tidak dipenuhi, janji tidak berlaku. Meski Allah mendorong kita untuk berdoa dan berjanji untuk mendengarkan dan mengabulkan doa-doa kita, namun ada syarat yang diberikan-Nya, yakni motivasi doa permohonan kita harus sesuai dengan kehendak-Nya.

Persoalan tidak terkabulnya apa yang diinginkan itu tidak selalu sederhana seperti yang dibayangkan. Apa yang diinginkan tidak selalu didapatkan sekalipun telah diminta secara berulang kali dalam doa. Bagi Yakobus, apa yang kita minta itu tidak selalu dikabulkan karena kita salah meminta. Kita memintanya untuk memuaskan hēdonē, kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu. Motivasi doa semacam ini dapat dikatakan menghujat Allah karena Allah hanya dijadikan sebagai penyedia jasa kesenangan diri, kenikmatan hidup, hawa nafsu egois, dan bukan sebagai yang berkuasa. Allah hanya menjawab doa-doa kita yang sesuai dengan kehendak-Nya (bdk. Yak. 1:6b-8).

Maka, kita diminta oleh Yakobus untuk memohon hikmat dari Allah supaya kita bijak dan arif dalam meminta kepada-Nya. “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah” (1:5). Kita juga diperintahkannya untuk “memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya” (Yak. 1:6-8).
29
Nilai-nilai injili dan Hedonisme

Dari uraian di atas kiranya kita dapat menawarkan beberapa nilai injili berhadapan dengan pandangan dan gaya hidup kaum hedonis. Pertama, Yakobus menampilkan dua bentuk hikmat, yakni hikmat yang datang dari dunia dan yang datang dari atas. Hikmat yang datang dari dunia mendatangkan kekacauan dan segala macam perbuatan jahat karena bersumber dari iblis, sementara hikmat yang datang dari atas mendatangkan damai karena bersumber dari Allah. Maka, kita diminta untuk memohon hikmat yang berasal dari atas untuk bisa secara arif menikmati anugerah materi yang diberikan oleh Allah.

Kedua, Yakobus memandang sikap dan tindakan yang digerakkan oleh hēdonē- kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu – sebagai akar dari segala bentuk sengketa, pertengkaran, dan pembunuhan. Jika sikap dan tindakan kita digerakkan oleh semangat hidup kaum hedonis, kita tidak akan pernah memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam hidup. Hubungan baik dengan Allah, sesama, dan lingkungan menjadi rusak.

Ketiga, kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan menjadi ancaman serius bagi kehidupan. Ketika tiap-tiap orang berjuang untuk mendapatkannya, kehidupan menjadi ajang persaingan. Segala macam cara dilakukan untuk memenangkannya, termasuk menghabisi lawan-lawannya. Maka, hidup kita tidak boleh digerakkan oleh pandangan dan gaya hidup kaum hedonis, yang mementingkan kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu mereka sendiri tanpa memperhitungkan dan memperhatikan orang lain.

Keempat, kita harus selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh sekarang. Kita harus mensyukuri apa yang kita peroleh karena diyakini sebagai anugerah Allah. Jika kita bersyukur, kita akan semakin memperoleh kesenangan, kebahagiaan, dan kedamaian dalam hidup. Sebaliknya, jika kita tidak bersyukur, kita akan terus mengejar kesenangan diri, kenikmatan hidup, dan hawa nafsu sendiri tanpa henti. Jika kita terus mengejarnya, hidup kita semakin tidak bisa dinikmati karena kepuasan duniawi tidak ada batasnya sehingga kita tidak akan memperoleh kedamaian dalam hidup.30


Daftar Pustaka

Atkinson, David. The Message of Genesis 1-11. Leicester: Inter-Varsity Press, 1990.
Bergant, Dianne. Genesis: In the Beginning. Collegeville: Liturgical Press, 2013.
Barrett, C. K. A Critical and Exegetical Commentary on the Acts of the Apostles. The Edinburgh: T. & T. Clark,          1994.
Berky, Marian Osborne “Individual, Individualism” dalam Katharine Doob Sakenfeld (eds.), The New         Interpreter’s Dictionary of the Bible, Vol. 3. Nashville: Abingdon Press, 2008.
Bowie, Walter Russell. The Book of Genesis. Nashville: Abingdon Press, 1980
Dodd, Michael. “Consumerism” dalam Michael Downey (ed.), The New Dictionary of Catholic Spirituality.                  Collegeville: The Liturgical Press, 1993.
Fitzmyer. Joseph A. The Gospel According to Luke. Garden City: Doubleday,1985.
_________The Acts of the Apostles: A New Translation with Introduction and Commentary. Doubleday: New             York, 1998.
Gowan, Donald E. From Eden to Babel: Genesis 1-11. Grand Rapids: Eerdmans,1988.
Green, Joel B. (eds). Dictionary of Scripture and Ethics. Grand Rapids: Baker Academic, 2011
_________“Persevering Together in Prayer: the Significance of Prayer in the Acts of the Apostles” dalam     Richard N. Longenecker (ed.), Into God’s Presence: Prayer in the New Testament. Grand Rapids:         Eerdmans, 2001
Johnson, Luke Timothy. Brother of Jesus, friend of God: Studies in the letter of`James. Grand Rapids:            Eerdmans, 2004.
_________Sharing Possessions: What Faith Demands. Grand Rapids: Eerdmans, 2011.
Krodel, Gerhard A. Acts. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1986.
Kurz, William S. Acts of the Apostles. Grand Rapids: Baker Academic, 2013.
Lawson, Steven J. “The priority of Biblical Preaching: An Expository Study of Acts 2:42-47” dalam               Bibliotheca Sacra (April-Juni 2001): 198-217.
Michaels, J. Ramsey “Finding Yourself an Intercessor: New Testament Prayer from Hebrews to Jude”,       dalam Richard N. Longenecker (ed.), Into God’s Presence: Prayer in the New Testament. Grand   Rapids: Eerdmans, 2001.
Nolland, John. Luke 9:21-18:34. Dallas, Texas: Word Books, 1993.
Haenchen, Ernst. Acts of the Apostles. Philadelphia: Westminster, 1971.
Hanson, K. C. and Oakman, Douglas E. Palestine in the time of Jesus: social structures and social conflicts.                  Minneapolis: Fortress Press, 1998.
Hartin, Patrick J. A Spirituality of Perfection: Faith in Action in the Letter of James. Collegeville: The            Liturgical Press, 1999.
O’Connor, Kathleen M. “Let All the People Praise You: Biblical Studies and a Hermeneutics of Hunger”        dalam The Catholic Biblical Quarterly, 72 (2010):1-14