Social Icons

RELIKWI

Berasal dari kata Latin reliquuiae, yang berarti sebuah benda, bagian dari tubuh, pakaian dan barang lain, peninggalan yang pernah melekat pada orang suci (santo/santa, beato/beata) yang sudah meninggal. Penghormatan pada relikwi ini merupakan praktek yang sangat primordial, dan memiliki banyak kemiripan dengan praktik religius berbagai agama di dunia. Untuk menyebut satu contoh, di Kota Athena, Yunani, peninggalan yang dipercaya dan Oedipus dan Theseus dihormati oleh masyarakat di sana. Di sana-sini praktik ini juga dijumpai dalam agama Buddha.


Ada tiga kategori relikwi. Pertama, peninggalan yang berhubungan langsung dengan peristiwa dalam kehidupan Yesus Kristus atau peninggalan bagian tubuh orang suci (tulang, rambut, atau anggota badan lainnya). Biasanya relikwi yang berupa tubuh atau bagian tubuh yang tidak hancur akan mendapat penghormatan yang lebih tinggi. Bagian tubuh yang paling dihormati, biasanya bagian tubuh yang paling berharga dalam karya dan kehidupan orang kudus itu. Misalnya, lengan kanan Santo Stephen dari Hongaria sangat penting karena statusnya sebagai penguasa. Relikwi Santo Yohanes Bosco termasuk dalam tingkat pertama ini. Kedua, relikwi berupa barang orang kudus yang kerap dipakai, seperti baju, sarung tangan, atau yang lain. Termasuk di dalam kategori ini barang-barang yang sering mereka gunakan, misalnya buku, salib, rosario, dan lain-lain. Semakin penting barang itu dalam kehidupan orang, makin tinggi nilainya. Ketiga, relikwi yang merupakan bagian dari relikwi tingkat pertama atau kedua. Relikwi tingkat ketiga ini sebagian besar berupa potongan-potongan kain baju yang pernah dikenakan orang kudus.


Dalam agama Katolik, penghormatan pada relikwi, sudah ditulis dan didiskusikan di Konsili Trente (1545-63). Konsili ini menginstruksikan agar para uskup dan imam mengajak umatnya untuk menghormati tubuh para martir kudus dan para kudus lainnya yang sekarang menikmati keabadian dengan Kristus. Kita mencintai dan menghormati para orang kudus yang sangat dekat dengan Tuhan. Maka, kita pun menghormati apa yang menjadi milik diri mereka, khususnya tubuh mereka. Tubuh mereka adalah 'bait Roh Kudus' (1Kor 6:19).

Praktik penghormatan terhadap relikwi di lingkungan Kristen yang paling awal barangkali berlangsung pada tahun 156, yang menandai wafatnya Santo Polikarpus sebagai seorang martir. Dia dibakar hidup-hidup. Para pengikut setianya ingin membawa sisa-sisa tubuhnya. "Kami menyimpan tulangnya yang lebih bernilai dari batu yang paling indah, dan lebih mahal dari emas yang paling murni. Kami akan meletakkannya di mana sekiranya Tuhan akan merestui kami berkumpul dalam kegembiraan untuk memuliakan kemartirannya". Sebuah praktik yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Berbagai mukjizat yang ditimbulkan oleh relikwi memberikan konfirmasi pada praktik ini.

Sebagaimana penghormatan terhadap relikwi sangat didukung karena memberikan banyak buah rohani, praktik ini juga diperingatkan oleh Konsili Trente jangan sampai jatuh menjadi praktik takhyul. Penghormatan ini jangan dilakukan seperti orang mabuk. Segala hal dahsyat dan - terkadang secara murahan - dikatakan sebagai mukjizat selalu harus dikonfirmasikan kepada pejabat Gereja.

Para pemikir ajaran yang sehat dalam Gereja, pada umumnya menganggap relikwi itu hendaknya 'dihormati', dan tidak lebih dari itu. Praktik adorasi, penyembahan atau devosi dianggap tidak tepat. Meski yang ada di depan mata kita adalah material berupa tulang, abu, potongan kain, dan sebagainya dari para orang kudus, kita hendaknya melampaui objek-objek itu sendiri, dan berpaling serta fokus pada teladan perkataan dan perbuatan orang kudus yang sedang kita kenangkan.

Tidak usah disangkal bahwa dalam praktik penghormatan relikwi ini di sana-sini berlangsung 'kekonyolan' dan penyalahgunaan. Beberapa bahkan merupakan kekeliruan yang serius. Awal abad empat, Santo Agustinus mengecam pemalsuan benda-benda relikwi. Para rahib culas dan serakah berkeliling menjual benda-benda relikwi tiruan untuk keuntungan mereka. Praktik penjualan benda-benda relikwi dilarang dalam tradisi Katolik. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kan 1190 disebut, bahwa dilarang dengan keras untuk menjual relikwi-relikwi suci. Relikwi-relikwi istimewa dan juga relikwi lainnya, yang biasa dihormati oleh banyak umat, tidak bisa dengan sah dialih-milikkan, dengan cara apa pun, atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin Takhta Apostolik.

Praktik lain yang bersifat. kekanak-kanakan adaah persaingan antara berbagai kelompok religius. Mereka berlomba untuk mengklaim sebagai pemilik yang sah atas relikwi tertentu dengan popularitas yang tinggi, dan dengan demikian, menghasilkan banyak uang. Casianus, pada abad kelima, menceritakan sekelompok rahib yang menggunakan kekerasan bersenjata, merebut sisa-sisa tubuh para martir. Mereka menolak anjuran dan otoritas uskup. Kejadian semacam ini secara sporadis terus berlangsung pada abad-abad berikutnya.
Bagaimana kita sekarang ini? Kita tidak usah cemas dengan berbagai penyimpangan yang sudah disebutkan di atas. Penyimpangan-penyimpangan dalam sejarah itu tidak usah membawa kita untiuk membuat keputusan membuang praktik ini. Tugas kita adalah berdialog terus-menerus dengan para pemangku ajaran sehat dan mohon petunjuk Roh Kudus agar nama-Nya lebih dimuliakan lewat praktik ini.

Peninggalan dan sisa jenazah orang-orang kudus merupakan kenangan yang harus dipertahankan dengan penuh hormat. Ini bukan berarti bahwa relikwi itu memiliki daya magis. Relikwi justru mengingatkan umat Katolik akan kesaksian para orang kudus dan menguatkan iman akan Kristus.