Menurut tradisi,
seorang Paus diperbolehkan mempunyai lambang dan semboyan (coat of arms)
kepausannya yang baru. Terakhir kali yang melaksanakan tradisi ini
adalah Albino Kardinal Luciano pada 1978 saat terpilih menjadi Paus
Yohanes Paulus I. Penggantinya Karol Kardinal Wojtyla, yang setelah terpilih menjadi Paus mengambil nama Paus
Yohanes Paulus II, tetap menggunakan lambang saat ia menjadi Uskup Agung
Krakow, Polandia yaitu huruf M yang melambangkan Maria. Semboyannya
pun tetap, yaitu kata-kata Maria 'Totus Tuus" (= semuanya bagi-Mu).
Paus Benediktus XVI, yang bernama asli Joseph Ratzinger, meski dengan
sedikit perubahan, tetap menggunakan lambangnya saat menjadi Uskup Agung
Muenchen, Jerman. Lambangnya berbentuk perisai. Di kiri atas perisai
itu terlukis seorang Moor atau orang berkulit hitam yang mengenakan
mahkota. Lambang ini diambil dari lambang para Uskup Preising, tempat
Paus kelahiran Marktl Am Inn, Jerman ini belajar filsafat dan teologi
antara 1946-1951. Lambang itu mau mengungkapkan keterbukaan Gereja. Melalui lambang itu, Paus Benediktus XVI
berharap Gereja Katolik sungguh bisa menjadi komunitas yang tak mengenal
kelas maupun ras yang membedakan, karena semuanya satu dalam Kristus.
Di pojok kanan atas perisai ini tergambar beruang yang sedang membawa
tas beban. Gambar ini mau mengenangkan sebuah kisah klasik tentang Santo
Korbinianus. Dikisahkan bahwa santo yang diyakini sebagai pendiri
Keuskupan Freising ini suatu ketika dalam perjalanan menuju Kota Roma.
Di tengah perjalanan ia melihat seekor kuda yang sedang membawa tas
beban di punggungnya. Kuda itu terlihat kepayahan karena selain tas
beban itu berat, ada seekor beruang yang mengganggunya. Tas beban itu
bahkan akhirnya dirusak si beruang. Melihat peristiwa ini Santo
Korbinianus sangat marah pada beruang itu. Dihardiknya beruang tersebut.
Beruang pun takut dan menjadi jinak. Sebagai hukuman atas perbuatannya
itu, si beruang diperintahkan Santo Korbinianus membawa tas beban itu
sampai ke Kota Roma.
Dengan mengambil lambang tersebut, Paus
Benediktus XVI tak hendak menjajarkan diri dengan sang orang kudus.
Sebaliknya, mantan pengajar Teologi Dogmatik di Universitas Bonn,
Muenster, dan Tubingen, Jerman ini justru memahami dirinya sebagai si
beruang. "Seperti beruang itu, saya membawa tas beban menuju Kota Roma.
Kini setelah bertahun-tahun, dengan beban yang berupa tugas dan tanggung
jawab ini, saya bukan saja sedang menuju Roma, melainkan sedang
berziarah ke Kota Abadi", ungkap pria bermata elang yang sudah tinggal
di Roma sejak Paus Yohanes Paulus II pada 25 November 1981 mengangkatnya
menjadi Prefek Kongregasi Ajaran Iman.
Di tengah-tengah
perisai itu, terdapat gambar kerang. Lambang ini pun mau mengangkat
suatu kisah. Yang diangkat adalah kisah Santo Agustinus dari Hippo.
Dikisahkan Santo Agustinus suatu ketika berjumpa dengan seekor anak
domba berwajah seorang anak di pantai. Anak domba ini sedang sibuk
menuangkan air laut ke dalam sebuah kerang melalui sebuah lubang kecil.
Saat ditanya, anak domba ini mengatakan bahwa ia ingin memasukkan
seluruh air laut ke dalam kerang ini. Sang bijak dari Tagaste langsung
tertawa karena tahu itu mustahil. Mendengar tawa Agustinus, si anak
domba lalu menjelaskan bahwa demikianlah tingkah laku manusia yang
selalu ingin memahami seluruh misteri Tuhan dengan otaknya yang kecil.
Itu merupakan sesuatu yang mustahil. Santo Agustinus pun tertegun
sekaligus tertegur.
Kisah ini memang kerap diperdengarkan guna
merangsang pemahaman akan misteri Tuhan, terutama Trinitas.
Ajaran-ajaran Santo Agustinus memang menjadi salah satu pegangan Paus
Benediktus XVI yang disertasinya pada usia 26 tahun membahas eklesiologi
atau pemahaman tentang Gereja menurut Santo Agustinus ini. Dengan
lambang ini, Paus Benediktus XVI ingin menjelaskan perlunya keseimbangan
antara rasionalitas atau pemahaman melalui pikiran dengan iman yang
datang dari pertemuan dengan Tuhan secara pribadi maupun bersama.