Social Icons

FUNDAMENTALISME ALKITAB

Kata “fundamentalisme” terdiri dari dua unsur, yaitu “fundamental” dan “isme”. Kata “fundamental” mengacu pada kata “fundamen”, yaitu dasar/asas/alas/pondasi. Jadi “fundamental” searti dengan bersifat dasar/pokok, mendasar.  Sedangkan “isme” dapat diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan mutlak berdasarkan apa saja (misal : politik, keagamaan, sosial).

Yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah fundamentalisme agama. Kelemahan utama fundamentalisme agama adalah perhatian yang berlebih-lebihan pada sistem ajaran keagamaan ciptaannya sendiri. Kaum fundamentalis begitu sibuk dengan ajaran religiusnya sehingga ajaran itu dijadikan tujuan akhir perjuangan mereka, padahal seharusnya ajaran apa saja hanyalah merupakan sarana belaka untuk mencapai tujuan yang lebih mulia.


Siapakah yang termasuk kaum fundamentalis ? Ternyata kaum fundamentalis ada dalam semua agama, termasuk agama Kristen. Karena pada dasarnya fundamentalisme bukanlah merupakan suatu ajaran (seperti agama) melainkan suatu cara memandang ajaran (agama) tertentu. Memang agak sulit mencari benang merah yang membedakan antara fundamentalis dan bukan fundamentalis. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan demikian : Bila seorang Kristen berkeyakinan bahwa semua orang komunis tidak berbeda dengan setan sehingga harus cepat-cepat dimusnahkan, orang Kristen tersebut tergolong fundamentalis. Sebab menurut pandangannya, semua yang memusuhi agamanya, dengan sendirinya menolak dan memusuhi Yesus sehingga layak masuk neraka.

Sebagai gerakan di bidang agama Kristen, fundamentalisme lahir di Amerika Serikat pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Pada waktu itu dunia “diguncang” oleh sejumlah gagasan/paham/ajaran yang dianggap berbahaya bagi iman Kristen, misalnya : pahan dan ajaran dari Darwin (tentang evolusi yang tampaknya bertentangan total dengan Kitab Suci), Freud (teori psikoanalisis yang tampaknya membebasan manusia dari tanggung jawab moral), Nietsche (yang menumbangkan segala wibawa), Marx (yang ingin menciptakan firdaus di bumi melalui pertentangan kelas). Sejumlah orang Kristen dan Katolik yang sudah bosan dengan kekristenan yang serba tradisional menilai ajaran-ajaran tersebut sebagai oase di tengah padang pasir. Mereka disebut modernis. Akan tetapi para modernis Katolik cepat “disadarkan” oleh Vatikan untuk tidak mencoba mengawinkan iman Kristen dengan segala aliran/paham baru itu sehingga modernisme mereka tidak terlalu berkembang. Sedangkan para modernis Protestan tidak menghadapi larangan apapun.

Fundamentalisme lahir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisme di kalangan Protestan. Nama fundamentalisme diambil dari berbagai publikasi antara tahun 1909 dan 1915 yang diberi judul umum, The Fundamentals : A Testimony to the Truth. Isi semua buku itu (yang diterbitkan dan diedarkan secara gratis) bertujuan menyadarkan umat Kristen tentang bahaya yang mengancam mereka bila mereka melepaskan diri dari ajaran Kitab Suci. Menurut kaum fundamentalis, umat Kristen harus berpegang teguh pada Kitab Suci, sebab isinya terjamin benar. Kitab Suci adalah satu-satunya otoritas di bidang agama Kristen sehingga apa yang tertulis di dalamnya adalah sabda Tuhan yang tidak mungkin keliru.

Secara umum, kaum fundamentalis memiliki kecenderungan pemikiran bahwa Kitab Suci dipandang sebagai wahyu Allah satu-satunya yang terjadi tanpa campur tangan manusia dan budayanya sehingga dalam segala hal tidak dapat salah. Tidak ada agama yang datang dari Allah selain agama Kristen. Mereka sesungguhnya bersifat antidialog antar agama/anti ekumene. Secara sadar ataupun tak sadar mereka menjadikan diri mereka suatu umat pilihan dan mengembangkan doktrin sendiri yang mereka perjuangkan secara fanatik. Para fundamentalis memandang dan menggunakan Kitab Suci sebagai semacam kitab hukum dan peraturan sebab menurut mereka Allah berbicara kepada manusia melalui Kitab Suci secara langsung. Apa yang tertulis dalam Kitab Suci adalah hasil dikte/imla Allah (padahal Kitab Suci merupakan sabda Allah yang diinspirasikan/diilhamkan). Maka Kitab Suci mereka anggap benar secara mutlak dalam segala hal, termasuk bidang ilmu yang sesungguhnya bukan perhatian dari Kitab Suci itu sendiri. Hasilnya adalah doktrin yang penuh larangan. Pikiran mereka diteror oleh paham ketat tentang perlunya kesucian pribadi dan dengan paham itu mereka menteror orang lain pula. Sebagai contoh, para fundamentalis sering berkata bahwa kami berdoa agar anda menemukan Yesus. Padahal bukan kita yang menemukan Yesus, melainkan Yesuslah yang menemukan kita. Yesus datang kepada kita bukan hanya melalui sabda-Nya yang tercantum dalam Kitab Suci melainkan terutama dalam kehidupan sehari-hari! Namun para fundamentalis tidak mau tahu jalan yang biasa itu.

Menurut Stefan Leks, ada beberapa kecenderungan khas fundamentalisme. Pertama, cinta akan rumus sejati. Umumnya kaum fundamentalis sangat mencintai rumus-rumus tertentu. Rumus itu mudah dihafalkan dan dibawakan pada berbagai kesempatan. Oleh karena itu tidak mengherankan banyak orang Kristen mudah tergoda untuk menganut fundamentalisme. Padahal kehidupan Yesus, rahmat-Nya, kehendak Allah bukan “sesuatu” yang dapat didefinisikan. Semuanya di luar pengertian manusia. Bukan ilmu pasti yang cukup dipelajari sekali lalu dikuasainya untuk selamanya. Allah adalah misteri, sehingga bila manusia terperangkap dalam keyakinan bahwa ia mengenal Allah, bahkan memiliki-Nya maka ia pasti menjadikan Allah menurut citra dan imajinasinya sendiri.

Kedua, sikap tidak peduli mengenai sejarah Kitab Suci. Padahal Kitab Suci tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari dari sejarah terjadinya. Bukan Kitab Suci yang menciptakan Gereja, melainkan Gerejalah yang menciptakan Kitab Suci. Kitab Suci adalah made in Gereja . Produk itu tidak pernah jatuh dari surga lalu dipungut orang dan isinya diperkenalkan. Yesus tidak pernah berkeliling memegang kitab-kitab Injil dan Santo Paulus tidak pernah keliling dari jemaat yang satu ke jemaat yang lain sambil menawarkan surat-suratnya untuk dibaca dan dipelajari. Gereja Perdana tidak pernah mendasarkan hidupnya atas sejumlah tulisan tertentu (yang muncul tahap demi tahap), dan yang kini diakui sebagai Kitab Suci. Gereja Perdana mendasarkan imannya pada pemberitaan lisan para rasul dan para pembantu serta penggantinya. Baru kemudian peranan sejumlah tulisan yang diakui kebenarannya mulai menonjol. Jadi, para uskup bersama umatnyalah yang menetapkan tulisan-tulisan manakah yang diinspirasikan oleh Allah dan perlu diakui sebagai kitab suci. Gereja dan apa saja yang ada di dalamnya, termasuk Kitab Suci, tidak dapat dilepaskan dari sejarah. Terjadinya Kitab Suci meliputi kurang lebih 2000 tahun lamanya, sedangkan Gereja tidak terbentuk dalam sehari ataupun setahun seperti dipikirkan oleh para fundamentalis.

Ketiga, bersikap negatif terhadap ilmu apa saja. Para fundamentalis sangat bangga dengan imannya sehingga orang-orang berilmu yang sudah dipengaruhi oleh mereka mulai meragukan segi-segi positif ilmunya. Sekilas, sikap anti ilmu tersebut masuk akal. Lihatlah, apa yang dihasilkan oleh berbagai ilmu (pengguguran kandungan, nilai suci perkawinan mulai runtuh, dunia terancam bahaya perang nuklir, seksualisme yang tak terkendali, materialisme merajalela di mana-mana). Semakin berkembang ilmu pengetahuan, semakin banyak orang miskin. Dunia dikuasai roh jahat. Justru inilah kesempatan fundamentalisme berkembang. Fundamentalisme menawarkan pemecahan masalah yang serba instan. Ketidakpastian dan kekhawatiran yang ditimbulkan perkembangan ilmu pengetahuan cukup dinyatakan secara sederhana oleh para fundamentalis, misalnya : Terimalah Yesus! Biarkan dirimu diselamatkan!. Mereka biasanya membicarakan tentang dunia jahat dan tentang penghakiman Allah yang semakin mendekat. Memang benar bahwa sejumlah penemuan ilmiah menyengsarakan bahkan membinasakan manusia, namun demikian bukan berarti ilmu itu sendiri harus dibenci. Masalahnya ada di dalam diri manusia, bukan di luar manusia. Tidak usah menghindari dunia ilmu. Apa yang ada di dunia justru harus diintegrasikan dalam karya pemberitaan kabar baik. Yesus sendiri tidak pernah lari dari dunia yang jahat. Hal inilah yang tidak dipahami para fundamentalis.

Keempat, menganut doketisme. Doketisme adalah suatu ajaran sebuah sekte pada abad ke-2 yang berpendapat bahwa Yesus hanya “tampak” sebagai manusia. Para fundamentalis memang jarang bicara tentang Yesus yang bergaul dengan para pendosa dan mencintai mereka. Bagi para fundamentalis, Yesus tidak menyelamatkan orang-orang berdosa melainkan jiwa-jiwa saja. Padahal Yesus adalah juru selamat keseluruhan hidup manusiawi dan dunia, bukan hanya jiwa.

Kelima, gerakan yang bersifat individualistis. Karena sikap negatif mereka terhadap dunia maka para fundamentalis mementingkan keselamatan dan  kesucian pribadi. Doa, ibadah dan teologi mereka terpusatkan aku bukan kita. Oleh karena itu Gereja hampir tidak berperanan bagi mereka. Yang penting mereka mempunyai gagasan bagaimana sampai kepada Yesus. Padahal untuk sampai kepada Yesus, manusia harus terlebih dahulu mencapai Gereja, dan melalui Gerejalah manusia sampai kepada Yesus. Itulah sebabnya kaum fundamentalis suka sekali mengadakan ibadat di tempat-tempat yang tidak berarsitektur gerejawi. Ibadah bagi mereka bukan partisipasi melainkan sejenis pertunjukan.

Bagaimana menghadapi kaum fundamentalis ? John J. Boucher, direktur pusat pelatihan Charism,  dalam karangannya yang berjudul Reaching out to Fundamentalists mengemukakan 10 butir nasihat nyata yang mungkin dapat membantu, yaitu :
  1. Semua penganut fundamentalis adalah anak-anak Allah, bukan makhluk dari planet lain atau musuh. Umat Katolik harus benar-benar Kristen terhadap mereka, yaitu mengasihi mereka. Untuk mengasihi seseorang tidak perlu menerima pendapatnya. Yesus juga tidak setuju dengan pendapat orang tertentu, tetapi Ia mengasihi semua orang tanpa terkecuali.
  2. Umat Katolik harus berani menanggung luka-luka yang dialami kaum fundamentalis dari pihak sejumlah pimpinan atau warga Gereja. Sebab cukup banyak dari mereka meninggalkan Gereja karena terputusnya hubungan dengan pastor/biarawan/biarawati maupun dengan sanak saudaranya yang terdekat. Umat Katolik harus memiliki hati yang penuh pengampunan dan siap berekonsliasi.
  3. Para fundamentalis hendaknya diundang untuk mengikuti kursus-kursus sederhana yang bertemakan doa berdasarkan Kitab Suci dan yang berpusatkan sharing doa bersama. Kursus-kursus doa alkitabiah itu harus terpusatkan pada iman akan Yesus Kristus serta usaha memperkuat relasi timbal balik.
  4. Para guru Kitab Suci Katolik harus dilatih untuk mengisi pengajaran mereka dengan contoh-contoh pribadi tentang bagaimana Tuhan dalam Kitab Suci menyentuh hati mereka serta mengubah hidup mereka sebab kaum fundamentalis selalu mau tahu bagaimana menerapkan Kitab Suci dalam hidup sehari-hari. Tentu saja paham mereka tentang “menerapkan” sabda Tuhan terlalu kekanak-kanakan.
  5. Tidak ada gunanya menyerang kaum fundamentalis secara frontal. Yang jauh lebih baik dan berguna adalah menjelaskan betapa banyaknya cara untuk mendekati dan memahami sabda Tuhan dalam Kitab Suci.
  6. Dalam menyampaikan hasil penyelidikan ilmiah terhadap Kitab Suci, para pengajar maupun pemimpin kelompok Kitab Suci harus menghindari istilah-istilah ilmiah  dan teknis.
  7. Hasil studi ilmiah yang ditemukan dalam berbagai buku jangan diperkenalkan sebagai ajaran resmi Gereja Katolik mengenai Kitab Suci. Sebab sangat sedikit pernyataan resmi Gereja Katolik sehubungan dengan mengartikan teks-teks Kitab Suci tertentu. Gereja memberi kebebasan yang sangat besar dalam mengartikan sabda Tuhan.
  8. Yang terpenting dalam merenungkan suatu teks Kitab Suci adalah perhatian pada arti dan maknanya. Waktu merenungkan teks, umat perlu diajak berpikir tentang apa yang mau dikatakan penulis kepada pembacanya sehingga dapat diterapkan dalam hidup kita sekarang.
  9. Perlu diadakan kursus-kursus mengenai cara menggunakan buku-buku ilmiah Katolik (kamus, komentar, konkordansi, dan lain-lain) dalam penelitian teks-teks Kitab Suci secara pribadi. Kursus ini sebaiknya diberikan kepada orang yang berpendidikan SLTA ke atas.
  10. Para fundamentalis hendaknya diikutsertakan dalam kelompok-kelompok Kitab Suci sehingga pelan tapi pasti mereka akan semakin memahami sabda Tuhan.
Apa hikmah yang dapat kita ambil sehubungan dengan fundamentalisme ? Fundamentalisme seharusnya menyadarkan umat akan pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan Gereja serta meningkatkan keseriusan niat umat terhadap isinya. Perlu diakui, kebanyakan umat Katolik sangat kurang mengenal Kitab Suci, malah amat bingung bila berhadapan dengan teks Kitab Suci. Memang benar bahwa isi Kitab Suci bukan suatu hidangan spiritual yang serba gampang “ditelan”. Justru di sinilah masalahnya. Umat Katolik harus mengusahakan paham yang tepat mengenai arti ungkapan sabda Tuhan dan mengerti secara benar proses pembentukan Kitab Suci sehingga umat Katolik akan mengerti bahwa Kitab Suci dan Gereja saling berhubungan dan tak terpisahkan.

Selain itu kita disadarkan perlunya pewartaan (kotbah, renungan dan lainnya) serta pengajaran keagamaan (terutama di sekolah) menggunakan Kitab Suci. Anak-anak sekolah pasti diajarkan cukup banyak hal berdasarkan Kitab Suci, namun mereka jarang sekali diajak untuk merenungkan teks-teks Kitab Suci secara langsung. Akibatnya mereka tahu banyak hal yang tidak pernah dipastikan oleh Kitab Suci, bahkan menghafal data yang tidak pernah dipastikan dalam Kitab Suci (misal : menghafal daftar para rasul padahal ke-4 daftar para rasul dalam Perjanjian Baru tidak cocok satu sama lain! Gereja Perdana tahu bahwa ada 12 rasul tetapi ternyata tidak cukup ingat nama-nama mereka ataupun hafal urutannya).

Alangkah baiknya umat secara langsung membaca, mempelajari dan merenungkan teks-teks Kitab Suci secara bersama-sama. Pembacaan dan perenungan bersama akan menjadi hambatan bagi perkembangan fundamentalisme dan sekaligus menumbuhkembangkan persekutuan dan persatuan umat. Kita termasuk yang mana ? Hanya kita yang bisa menjawabnya dan/atau mengubahnya dengan pertolongan rahmat Tuhan.