Social Icons

ALKITAB DAN EVANGELISASI BARU



1.       PENDAHULUAN
"Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion "Allahmu itu Raja" (Yes 52:7). Begitulah kitab Deutero-Yesaya melukiskan kedatangan bentara Allah yang mewartakan kabar baik bahwa Allah Israel berkenan meraja. Kedatangan pembawa kabar itu kelihatan indah dan menyenangkan sebab yang dibawanya adalah kabar baik tentang kedatangan Kerajaan Allah, suatu kerajaan di mana hanya ada sukacita, damai dan keselamatan. Adapun kata kerja "mewartakan kabar baik" yang dipakai dalam teks Ibrani Yes 52:7 adalah bisser. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunaninya (LXX), kata bisser itu diterjemahkan dengan kata kerja euaggelizomai.
Apa yang dilukiskan dalam Yes 52 ini melambangkan sekaligus mempersiapkan kedatangan Yesus Kristus, Sang Pembawa Kabar Gembira yang sempurna. Kata kerja "membawa kabar baik" (= euaggelizomai) juga dipakai oleh para penginjil untuk merumuskan misi Yesus di dunia ini. Dialah utusan Allah yang dipenuhi dengan Roh Tuhan untuk "menyampaikan kabar baik (= euaggelizomai) kepada orang-orang miskin..." (Luk 4:18-19). Ketika Yohanes Pembaptis mengutus para muridnya untuk menanyakan apakah Yesus itu Dia yang dinanti-nantikan bangsa Israel, Yesus memberi jawaban demikian: "Pergilah dan beritakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik" (Mat 11:4-5). Jadi, adalah tugas Yesus membawa sukacita kepada mereka yang menyaksikan dan menerima karya dan perkataan-Nya; reaksi normal orang yang mengalami atau melihat karya Yesus adalah memuliakan Allah (bdk. Luk 5:25-26; 7:16; dll).
Demikian tugas Yesus, demikian pula seharusnya tugas para pewarta Injil yang diutus-Nya. Mereka tidak diutus untuk mewartakan diri sendiri. Mereka tidak diutus untuk mewartakan kabar baik dengan cara yang jauh berbeda dengan cara Yesus. Isi, ciri-ciri dan metode pewartaan-Nya harus menjadi model bagi setiap pewarta Sabda di segala tempat dan di sepanjang jaman, kalau mereka memang mau setia kepada tugas perutusan yang dipercayakan Yesus kepada mereka. Akan tetapi sayang, dalam kenyataannya halnya tidak selalu demikian. Antara apa yang ideal dan yang ada dalam kenyataan sering terdapat perbedaan. Berikut ini akan kita lihat dan kita renungkan beberapa contoh suram tentang kurang berhasilnya pewartaan Injil di kalangan beberapa suku asli (Indian) di Amerika Latin. Contoh-contoh ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempersalahkan para pewarta Injil dahulu atau mengurangi jasa-jasa dan pengorbanan mereka, tetapi untuk kita renungkan hikmatnya.
Seorang penulis suku Indian Maya dalam teks yang terkenal dengan nama buku “Chilem-Balam dari Chumayel" (yang berasal dari abad XVI) menulis "anti-injil" sebagai berikut: "Aduhai, marilah kita bersedih hati, karena mereka telah datang. Mereka telah datang untuk mengkristenkan kita..."Orang-orang kristen" itu datang kemari dengan membawa Allah yang benar, tetapi itulah awal kesengsaraan kita, awal upeti, awal dana, penyebab kekacauan yang tersamar, awal pertempuran dengan api, awal kebohongan... Mereka telah mengajarkan ketakutan kepada kita; mereka datang untuk membuat bunga-bunga kita layu. Untuk melestarikan bunga mereka, mereka telah menghisap dan menelan bunga kita.."
Contoh lain yang perlu kita renungkan dalam rangka Evangelisasi Baru adalah peristiwa menyedihkan yang senada dengan "anti-injil" di atas. Pada waktu Sri Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Peru pada 1985 yang lalu, ada tiga orang wakil suku Indian (dari suku Aymara dan Kechua) menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Dalam surat itu mereka menulis: "Kami, orang-orang Indian Andes dan Amerika, telah bertekad memanfaatkan kunjungan Yohanes Paulus II untuk mengembalikan Alkitabnya, sebab selama 5 abad Alkitab itu tidak memberi kami kasih maupun damai ataupun keadilan. Silahkan menerima kembali Alkitab Anda dan mengembalikannya kepada para pemeras (penjajah) karena mereka lebih membutuhkan perintah-perintah susila yang terkandung di dalamnya. Sesungguhnya, dengan kedatangan Christopher Colombus, di Amerika dipaksakan suatu kebudayaan, suatu bahasa dan suatu agama dan nilai-nilai yang cocok untuk Eropa saja."
Dengan kurang suksesnya atau bahkan dalam arti tertentu kegagalan evangelisasi di kalangan banyak orang Indian ini, tentu saja dibutuhkan suatu Evangelisasi Baru. Dan dalam arti tertentu apa yang berlaku untuk Amerika Latin berlaku juga untuk banyak tempat di dunia ini. Sebelum kita melihat lebih lanjut isi dan aspek-aspek Evangelisasi Baru itu, marilah kita melihat lebih dahulu terminologi dan sejarah singkatnya.

2.      ARTI ISTILAH DAN LATAR BELAKANGNYA
Sudah sejak sepuluh tahun yang lalu istilah "Evangelisasi Baru" dikenal orang, lebih-lebih di Amerika Latin dan Eropa. Hampir setiap majalah teologi membicarakannya. Namun istilah tersebut masih cukup asing bagi telinga banyak orang di antara kita, umat Katolik di Indonesia. Oleh karena itu baiklah kita jernihkan lebih dahulu pengertian istilah Evangelisasi Baru itu.
A.     Evangelisasi
Istilah "Evangelisasi" ini sebenarnya belum begitu lama masuk ke dalam kosa-kata teologi Katolik. Sebelum Perang Dunia II istilah tersebut hampir tidak pernah dipakai; kalaupun dipakai, istilah itu mendapat arti sempit yang praktis sama dengan istilah "misi", yakni penyebaran agama kristen keluar lingkup Gereja atau pendirian Gereja di tempat-tempat yang belum mengenal Yesus Kristus. Dengan demikian orang mendapat kesan bahwa karya misi dahulu terlalu menekankan usaha membaptis orang dan bukan pertama-tama mewartakan Kabar Gembira. Namun sesudah Perang Dunia II, karena pengaruh teolog Protestan Karl Barth dan atas jasa teolog Katolik Leo Kardinal Suenens, istilah "evangelisasi" mulai dipakai juga oleh Gereja Katolik. Jika Konsili Vatikan I hanya satu kali memakai istilah "injil" (Latin: evangelium), maka dokumen-dokumen Konsili Vatikan II memakainya sebanyak 157 kali, belum terhitung kata kerja "mewartakan injil" (= evangelizare) dan kata benda dari kata kerja tersebut "evangelisasi" (evangelizatio) yang masing-masing muncul 18 dan 31 kali. Dalam dokumen-dokumen tersebut istilah "evangelisasi" biasanya berarti pewartaan amanat dasar Injil kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus; dengan kata lain evangelisasi merupakan pewartaan Injil tahap pertama. Namun perlu kita perhatikan juga kebaruan yang diberikan Konsili Vatikan II kepadanya, yakni unsur evangelikal Gereja. Yang dimaksud dengan "evangelikal" di sini adalah unsur pewartaan Kabar Gembira dan bukan pertama-tama usaha membaptis orang begitu saja. Sebagai perkembangan paling akhir dari istilah "evangelisasi" itu, Paus Paulus VI dalam Anjuran Apostoliknya Evangelii Nuntiandi (tahun 1975) menggunakan istilah tadi dalam arti seluas-luasnya sehingga istilah itu praktis berarti segala usaha untuk menawarkan, memperkenalkan dan meresapkan kabar gembira tentang Yesus Kristus dan nilai-nilai Injil kepada umat manusia dalam semua aspeknya (termasuk hati nuraninya, kegiatan-kegiatannya, kebudayaannya dan lingkungan hidupnya, bdk. Evangelii Nuntiandi 14;18).
B.     Evangelisasi Baru - Di Mana Letak Kebaruannya?
Paus Yohanes Paulus II, dalam kata sambutannya kepada Sidang Paripurna ke-19 Konferensi Para Uskup Amerika Latin (= CELAM) di Port au Prince, Haiti, 9 Maret 1983 yang lalu, mengingatkan para uskup Amerika Latin bahwa tak lama lagi mereka akan merayakan 5 abad penemuan benua Amerika (yang ditemukan oleh Christopher Colombus pada 1492) dan bersamaan dengan itu peringatan 5 abad kedatangan Injil untuk pertama kalinya di benua itu. Dalam rangka memperingati peristiwa besar itu, Sri Paus berpesan: “Peringatan 500 tahun evangelisasi hanya akan mempunyai makna yang sepenuhnya, apabila perayaan tersebut disertai dengan komitmen Anda, para Uskup, bersama dengan kaum klerus dan awam, suatu komitmen bukan kepada evangelisasi kembali (re-evangelisasi) melainkan kepada suatu evangelisasi baru: baru dalam semangatnya, dalam metodenya, dan dalam ungkapan-ungkapannya”.
Sayang, dalam pidatonya itu Bapa Suci tidak menguraikan lebih lanjut secara jelas dan eksplisit masing-masing unsur yang harus diperbaharui itu. Akibatnya, para penulis mengenai Evangelisasi Baru tidak selalu sepakat dalam menafsirkan apa yang dimaksud Bapa Suci dengan semangat baru, metode baru dan ungkapan baru itu.
Sejak pidatonya di Haiti itu Sri Paus dalam audiensi atau dalam perjalanan-perjalanan apostoliknya sering menghimbau seluruh Gereja untuk mengadakan Evangelisasi Baru. Himbauan yang semula ditujukan kepada Gereja lokal Amerika Latin dan dihubungkan dengan peringatan 5 abad pewartaan Injil di benua Amerika itu, kini diperluas menjadi himbauan kepada seluruh Gereja dan dihubungkan dengan peringatan 2000 tahun kedatangan Yesus di dunia. Dengan tidak mengenal lelah Bapa Suci mendorong agar semua orang berperan serta dalam tugas evangelisasi menurut kemampuan masing-masing, sebab tanpa semangat semacam itu Gereja dapat dibandingkan dengan tubuh tanpa banyak daya dan vitalitas. Kepada para Uskup Granada dan Sevilla (14 Nopember 1986), misalnya, beliau berkata, "Kita tidak dapat mengharapkan suatu Gereja yang lebih hidup dan berpotensi jika kita tidak meningkatkan Evangelisasi Baru kita”.
Di manakah letak kebaruan gagasan Yohanes Paulus II? Lepas dari kebaruan istilahnya sejauh merupakan istilah, sebenarnya tidak ada suatu unsur yang sama sekali baru dalam gagasan beliau. Sehubungan dengan ciri pertama Evangelisasi Baru, yakni SEMANGAT baru, sebenarnya sejak dahulu orang sudah menyadari bahwa orang harus selalu membaharui semangatnya untuk mewartakan kabar gembira. Sejak dahulu hingga sekarang pun sebenarnya ada banyak misionaris yang bersemangat baja untuk menghantar sebanyak mungkin orang ke dalam keselamatan yang ditawarkan Yesus Kristus. Perlunya selalu membaharui semangat berevangelisasi sudah dicanangkan berulangkali oleh Paus Paulus VI, meskipun dengan cara atau ungkapan yang berbeda dengan istilah yang dipakai Yohanes Paulus II. Bahkan, hubungan antara mendesaknya tugas evangelisasi dan peringatan 2000 tahun kedatangan Yesus atau kedatangan ribuan tahun (= millenium) yang ketiga itupun sudah disinggung oleh Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi 81. Begitu juga halnya dengan ciri kedua dan ketiga Evangelisasi Baru, yakni METODE dan UNGKAPAN baru. Orang sebenarnya sudah lama menyadari bahwa metode dan ungkapan evangelisasi seharusnya selalu baru, artinya harus selalu disesuaikan dengan kebu tuhan jaman dan kebudayaan lokal. Usaha Matteo Ricci (1552-1610) dahulu untuk mewartakan Injil dalam dialog dengan kebudayaan Cina merupakan satu contoh klasik. Imam Yesuit yang seorang ilmuwan terkenal itu sudah lama berusaha membuat agama Kristen terasa dekat pada hati orang-orang Cina. Karena itu ia tidak segan-segan mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan sosial Tiongkok (termasuk penghormatan kepada leluhur) menjadi bagian dari penghayatan hidup Kristen. Bagi dia, segala sesuatu yang tidak terang-terangan bertentangan dengan iman dan susila Kristen bisa diterima dan dimurnikan menjadi ritus Kristen. Apa yang diusahakan Matteo Ricci sering disebut inkulturasi. Dan dalam hal ini, sebagaimana yang akan kita lihat nanti, sesungguhnya Alkitab sendiri telah memberikan teladan yang cukup gamblang. Sabda Allah memang harus disampaikan menurut metode dan ungkapan yang sesuai dengan situasi jaman. Ini semua berdasarkan keyakinan teologis berikut ini. Allah itu mahakaya; Ia tidak pernah akan membosankan bagi manusia; wajah-Nya selalu baru bagi manusia dalam situasi dan kondisinya manapun juga. Kekayaan Kristus dan Injil-Nya selalu mengandung "surprise" bagi setiap jaman. Tidak mungkin Injil terkuras habis kekayaan isinya atau ketinggalan jaman. Maka dari itu Allah dapat bahkan seharusnya berbicara sesuai keadaan dan kebudayaan si pendengar.
Kalau ketiga unsur yang disebut-sebut dalam himbauan Yohanes Paulus II sebenarnya bukan hal baru, sekali lagi perlu kita tanyakan, di manakah letak kebaruan gagasan beliau? Mungkin unsur kebaruannya terletak pada penyadaran kembali seluruh Gereja akan pentingnya berevangelisasi dengan semangat, metode dan ungkapan baru sedemikian rupa sehingga usaha tersebut diangkat menjadi program pastoral Gereja secara serentak di seluruh dunia.
3.      Sasaran Evangelisasi Baru
Mengamati ucapan ataupun dokuman Yohanes Paulus II, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Evangelisasi Baru mempunyai sasaran maupun nuansa yang sedikit berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Dahulu pengertian evangelisasi disempitkan pada misi kepada orang-orang non-Kristen. Tetapi kini evangelisasi kita mengerti sebagai pewartaan Kabar Gembira dalam arti seluas-luasnya. Dalam arti demikian evangelisasi harus ditujukan pertama-tama kepada Gereja sendiri. Mengapa? Sebab evangelisasi pertama-tama adalah kesaksian iman tentang Allah yang mengasihi dan menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu sebelum menjadi pewarta Kabar Gembira dan pembawa keselamatan, Gereja sendiri harus lebih dahulu menjadi pendengar Sabda yang baik dan menikmati keselamatan itu sendiri. Tepatlah rumusan Konsili Vatikan dalam konstitusi Dei Verbum no 1, "Sambil mendengarkan SABDA ALLAH dengan khidmat dan mewartakannya dengan penuh kepercayaan, Konsili suci mau mematuhi amanat Santo Yohanes: "Kami mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: Yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu ... (1Yoh 1:2-3)." Sikap menjadi pendengar yang baik sebelum menjadi pewarta yang baik ini nampak secara lebih jelas dalam Yes 50:4-5. Di sana digambarkan bagaimana si Hamba Allah menjadi pewarta Kabar Baik (= mempunyai lidah seorang murid) sehingga ia dapat menghibur dan memberi semangat baru kepada mereka yang letih lesu. Akan tetapi sebelum ia dapat memiliki lidah yang fasik semacam itu, ia harus lebih dahulu memiliki telinga seorang murid. Setiap pagi Allah mempertajam telinganya agar ia mendengarkan Sabda-Nya. Bahkan Tuhan Allah perlu membuka telinganya. Perlu dicatat di sini bahwa ungkapan "membuka telinga" itu mungkin sekali mengacu pada upacara penindikan daun telinga seorang budak pada daun pintu sebagai tanda bahwa ia dengan secara suka rela ingin menjadi hamba tuannya seumur hidup (lihat Ul 15:16-17). Jadi ungkapan "membuka telinga" mengacu kepada ketaatan total.
Mengikuti Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II menekankan kesaksian hidup sebagai bentuk pertama pewartaan Injil. Beliau menggarisbawahi fakta bahwa dewasa ini orang lebih percaya pada perbuatan, kesaksian hidup dan pengalaman nyata daripada pada doktrin-doktrin atau pengajaran-pengajaran belaka (Redemptoris Missio 42). Dalam hal ini Yesus Kristus harus menjadi model setiap pewarta Injil: dengan tindakan yang disertai kata-kata Ia menjadi Saksi yang istimewa (bdk Why 1:5; 3:14). Aspek kesaksian hidup semacam inilah yang cukup sering diteriakkan para pejuang keadilan sosial di Amerika Latin; slogan mereka “prims opere, postea verbo", artinya lebih dahulu [mewartakan Injil] dengan karya-karya, baru kemudian dengan kata-kata.
Sasaran pertama dan utama Evangelisasi Baru tentu saja adalah para pewarta Sabda yang resmi (lebih-lebih uskup dan imam). Konsili Vatikan II dengan jelas memberikan tempat amat penting kepada tugas pewartaan Sabda dalam pelayanan para Uskup (LG 25) dan para imam (PO 4). Jadi merekalah yang pertama-tama harus diresapi oleh Sabda Allah agar mereka tidak mewartakan diri sendiri melainkan Sabda Allah. Dalam anjuran apostoliknya yang paling baru tentang pendidikan imam di dunia modern ini, Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), Yohanes Paulus II berkali-kali menekankan pentingnya peranan para imam sebagai pewarta Sabda dalam era Evangelisasi Baru ini. Dalam bab pengantar dan bab I saja beliau memakai kata "Evangelisasi Baru" sebanyak 3 kali (no 2, 9, 10), belum terhitung ungkapan serupa lainnya, seperti kata "evangelisasi" (tanpa embel-embel "baru"), pelayanan injil, dsb. Tentang pendidikan calon imam beliau menekankan bahwa pembinaan integral calon imam yang up to date merupakan "salah satu tugas yang paling mendesak dan penting bagi masa depan evangelisasi para bangsa" (no 2) dan bahwa Evangelisasi Baru mutlak memerlukan imam-imam sebagai "evangelisator-evangelisator baru" (no 2). Sasaran lain Evangelisasi Baru adalah kaum religius. Kepada suratnya kepada para religius di Brasil (11 Juli 1989) beliau menyerukan agar kekuatan-kekuatan besar yang ada pada setiap individu maupun komunitas hidup religius dikerahkan untuk men-sukseskan Evangelisasi Baru. Begitu juga setiap orang Kristen. Dari sakramen baptis mereka menerima tugas untuk menjadi imam, raja dan nabi seperti Kristus. Maka dari itu merekapun dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Injil yang dapat memberi jawaban tuntas terhadap masalah-masalah manusia. Singkat kata, seluruh Gereja sejauh merupakan pelaksana evangelisasi adalah sekaligus sasaran pertama evangelisasi. Akhirnya, masyarakat atau negara kristen tetapi yang sudah kehilangan semangat dan nilai-nilai kristen merupakan sasaran Evangelisasi Baru juga.
Jika Gereja atau masyarakat Kristen perlu mendapat evangelisasi kembali (re-evangelisasi), maka mereka yang belum mengenal Kristus perlu mendapat evangelisasi pertama. Namun perlu dicatat di sini bahwa evangelisasi tidak identik dengan pengkristenan dalam arti sempit atau dengan fanatisme yang membabi-buta.

4.      Nuansa Evangelisasi Baru
Istilah yang sama dapat mempunyai arti dan nuansa yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Begitu juga pemakaian istilah "Evangelisasi Baru":
  • Untuk Afrika istilah itu perlu lebih menekankan pentingnya inkulturasi, hak azazi manusia, martabat wanita dan keadilan sosial.
  • Untuk Asia istilah itu perlu lebih menekankan pentingnya dialog dengan agama-agama non-kristen, keadilan sosial, dsb.
  • Untuk negara-negara maju Amerika Utara dan Eropa, istilah itu perlu lebih menekankan re-evangelisasi dunia yang dahulu mayori¬tas masyarakatnya beragama/bermental Kristen tetapi yang kini sudah kehilangan banyak nilai kekristenan mereka.
  • Untuk Amerika Latin Evangelisasi Baru perlu lebih banyak dihubungkan dengan perjuangan melawan ketidakadilan sosial (sehingga istilah Evangelisasi Baru dekat hubungan dengan gagasan Teologi Pembebasan).

5.      Semangat baru
A.     Tekad dan kesiapsediaan baru
Apakah yang dimaksud dengan "semangat baru"? Dari pidato Yohanes Paulus II di Haiti orang bisa mendapat kesan bahwa yang dimaksud Sri Paus dengan "semangat baru" adalah dorongan atau tekad yang diperbaharui untuk mewartakan Kabar Gembira. Tekad itu tentu saja harus disertai dengan kerelaan dan kesiapsediaan orang untuk menjadi pewarta Injil. Tekad itu mengandaikan juga usaha-usaha serius untuk menggalakkan panggilan menjadi pewarta Sabda. Begitu misalnya penafsiran Mgr. J.E. Bifet ("Church Renewal for a New Evangelization", dalam Toward a "New Evangelization,", Roma: UISC, no 83, 1990, hal 5). Yang dimaksudkan dengan pewarta Sabda tidak terbatas pada para uskup, imam atau biarawan saja melainkan juga kaum awam. Menurut hemat kami tafsiran Mgr J.E. Bifet ini tepat sebab tafsiran semacam itu diperkuat oleh pidato Yohanes Paulus II di Santo Domingo (11 dan 12 Oktober 1984) yang menghimbau agar Gereja mengusahakan secara lebih serius mobilisasi tenaga-tenaga rohani untuk mewujudkan pertobatan hati melalui Evangelisasi Baru. Begitu juga kepada para religius di Brasil (surat tertanggal 11 Juli 1989) beliau menyerukan agar kekuatan-kekuatan besar yang ada pada setiap individu maupun komunitas hidup religius dikerahkan untuk mensukseskan Evangelisasi Baru. Alasan utama untuk pembaharuan semangat evangelisasi adalah kenyataan berikut ini: setelah hampir dua ribu tahun Yesus Kristus mengutus Gereja untuk mewartakan Injil kepada semua bangsa (Mat 28:19-20), ternyata masih dua pertiga dari penduduk dunia belum mengenal dan menyerahkan diri kepada kasih Yesus Kristus (bdk. Pesan Sri Paus Yohanes Paulus II pada "Hari Minggu Misi Sedunia" 1992). Padahal mereka semua juga ditebus oleh Yesus Kristus dan dipanggil untuk memiliki kepenuhan atau kelimpahan hidup ilahi yang Dia bawa ke dunia (Yoh 10:10). Sebagai gambaran saja, berikut ini kami sajikan statistik: umat Kristen/Katolik di dunia saat ini (kami kutip dari Dr. Piet Go (ed.), Evangelisasi Baru: Sumbangan Karisma Karmel [Dioma, 1991] hal iv):



DATA UMAT MENURUT AGAMA
Benua
Penduduk
Katolik +Kristen (aneka denomin)
Afrika
470.976.000
58.509.000
Amerika
605.782.000
370.922.000
Asia
2.510.741.000
65.824.000
Eropa
751.258.000
270.861.000
Oceania
22.376.000
5.547.000
Total
4.361.133.000
771.663.000

Menilik jumlah penduduk dunia yang disebut di atas, nampaknya statistik tersebut sedikit ketinggalan jaman, bukan hasil sensus yang paling mutakhir. Namun angka-angka di atas cukup menggambarkan keadaan dunia saat ini. Masih banyaknya orang yang belum mengenal Kristus seharusnya mendorong kita semua, baik kaum berjubah maupun awam biasa, untuk membaharui semangat berevangelisasi. Itulah sebabnya setiap tahun dirayakan Hari Minggu Misi yang bertujuan mendorong terus usaha tersebut. Semua orang, lebih-lebih para pewarta Sabda resmi (mulai dari Uskup hingga pemuka jemaat yang awam), dipanggil untuk bersemangat seperti rasul Paulus. Rasul yang dipanggil untuk menjadi rasul agung bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi itu menghabiskan hidupnya untuk mewartakan Injil. Ia sendiri berkata, "Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil" (1 Kor 9:16). Dengan segenap hati ia melayani Allah dalam pemberitaan Injil Yesus Kristus (Rm 1:9), supaya ia dapat menuntun semua bangsa kepada iman kepercayaan dan ketaatan kepada namaNya (Rm 1:5). Karena itu dengan tidak mengenal lelah Paulus mengadakan perjalanan-perjalanan apostolik sepanjang hampir 16.000 km, dengan menempuh segala macam kesulitan dan bahaya. Sungguh suatu perjalanan yang panjang, lebih-lebih bila kita ingat betapa sederhananya alat-alat transportasi waktu itu! Tetapi itu semua dilakukan Paulus agar semua orang mengenal kasih Yesus Kristus. Semua orang, seperti Paulus, biarpun dalam taraf berbeda-beda, dipanggil untuk menjadi saksi Yesus Kristus dengan kata-kata dan tindak-tanduknya. Semua orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dunia dan terang dunia (Mat 5:13-16). Kaum awam harus sadar bahwa daya jangkau mereka di dunia dalam rangka pewartaan Injil itu luar biasa, sebab merekalah yang sungguh-sungguh hidup di dalam masyarakat dan justru melalui merekalah banyak orang dapat mengenal agama Kristen. Mereka harus sadar bahwa agama Kristen adalah agama cinta kasih dan cinta kasih itu pada hakekatnya menuntut agar ia menular dan berkembang hingga menjangkau sebanyak mungkin orang. Semakin kasih itu mencapai banyak orang, semakin sempurna juga kebahagiaan dan sukacita si pewarta kasih itu, seperti yang dikatakan oleh Yohanes, "Semuanya ini kami tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna" (1Yoh 1:4). Memang tepat bunyi pepatah ini: "Kebahagiaan akan semakin bertambah bila dibagikan kepada orang lain. Sebaliknya, kesusahan akan menjadi semakin kecil bila dibagikan kepada sesama." Inilah salah satu motivasi yang mendorong kita untuk mewartakan Injil kepada sebanyak mungkin orang.
Semua pewarta Sabda resmi, tetapi dalam arti tertentu juga kaum awam biasa, dipanggil untuk rela diutus Tuhan mewartakan Sabda-Nya seperti nabi Yesaya. Ketika mendengar pertanyaan Tuhan dalam dewan surgawi, "Siapakah yang akan Kuutus?" Yesaya segera menjawab, "Ini aku, utuslah aku." (Yes 6:8). Begitu juga setiap pewarta Sabda dipanggil untuk menjadi seperti nabi Yehezkiel yang, atas perintah Tuhan, rela membuka mulutnya dan melahap gulungan kitab, mencernakannya dalam perut, mengintegrasikannya dalam tubuhnya, lalu menjadi pewarta Sabda yang setia (Yeh 2:35-3:15). Tetapi model terbesar dan sempurna untuk seorang pewarta Sabda adalah Yesus sendiri. Dia sendiri bersabda, "Aku tidak berbuat apa-apa dari diriKu sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal sebagaimana diajarkan Bapa kepadaKu" (Yoh 8:28; bdk 7:16 dll.). Setia mendengarkan Sabda Bapanya, dengan tidak mengenal lelah Yesus berkeliling dari kota-ke kota, dari desa yang satu ke dewa yang lain sambil mewartakan Injil Kerajaan Allah (lih. mis. Mrk 1:35-39). Orang mendapat kesan dari Injil Markus bahwa Yesus tergesa-gesa karena tugas evangelisasi itu begitu penting dan mendesak. Hal ini disarankan oleh seringnya dipakai keterangan "segera" untuk perbuatan Yesus (Mrk 1:10; 12:20, dll yang sayang tidak selalu nampak dalam terjemahan LAI). Kadang-kadang Ia bahkan tidak sempat makan (Mrk 6:31).
B.     Spiritualitas baru
Selain tafsiran di atas, ada juga tafsiran lain yang menghubungkan "semangat baru" itu dengan sikap dan mentalitas baru. Dengan kata lain Yohanes Paulus II berbicara tentang suatu spiritualitas baru dalam berevangelisasi. Camilo Maccise, Romo Jenderal Karmelit Teresian, misalnya, berbicara tentang beberapa ciri utama spiritualitas Evangelisasi Baru, antara lain: spiritualitas inkarnasi (penjelmaan), spiritualitas kenabian (pewartaan dan kritik sosial), spiritualitas hidup bersama dalam persaudaraan dan pelayanan.
·         Spiritualitas Inkarnasi
Mungkin yang dimaksud Maccise dengan spiritualitas inkarnasi adalah spiritualitas Yesus Kristus sendiri. Dia yang biarpun setara dengan Allah rela meninggalkan kemuliaan keallahan-Nya untuk bersatu dengan manusia yang hina (Flp 2:6-8) dan ikut merasakan kelemahan-kelemahan kita, hanya saja Ia tidak sampai berdosa (Ibr 4:15). Dengan spiritualitas semacam itu diharapkan agar para pewarta Sabda berani hidup dekat dengan umat dan ikut melihat dan mengalami apa yang dialami umat yang mereka layani. Hanya bila tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara si pewarta Sabda dan si penerima Sabda, maka Evangelisasi Baru akan berhasil. Sebaliknya, bila ada perbedaan kebudayaan maupun perbedaan tingkat ekonomi dan sosial yang terlalu besar antara si pewarta Sabda dan para pendengarnya, maka ada bahaya evangelisasi itu gagal. Semangat inkarnasi semacam ini menjadi jelas dalam diri Paulus yang berkata, "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi... Bagi orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah... Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil..." (1 Kor 9:20-23).
·         Spiritualitas kenabian
Dengan spiritualitas kenabian dimaksudkan sikap dan semangat para nabi Allah yang mampu membaca dan menafsirkan tanda-tanda jaman dalam terang Sabda Allah serta berani mengecam keadaan yang tidak sesuai dengan rencana ilahi. Seorang nabi mampu mengecam ketidakadilan sosial (Amos 5:7-13; 8:14-18; Hos 4:1-10; Yes 5:8-24.dll), penyembahan berhala dan segala bentuk ketidaksetiaan lain yang ada pada bangsa pilihan (Yes 1:2-9; 5:1-7; Hos 4:11-19). Sambil mengecam, para nabi mewartakan juga ancaman hukuman dari Tuhan. Allah berseru melalui nabi Amos, "Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu" (Am 3:2). Hosea menubuatkan kehancuran Samaria, ibu kota kerajaan Israel (Hos 8:1-4), ia juga menubuatkan hukuman untuk para imam yang melalaikan tugas pewar-taan Sabda dan bimbingan umat (Hos 4:4-6), padahal pengajaran Sabda (= Torah) merupakan tugas utama mereka (lebih-lebih sebelum jaman pembuangan). Nabi Amos meramalkan keruntuhan Yehuda (Am 2:4-5), keruntuhan Israel (2:6-16), dsb. Tentu saja semua kecaman-kecaman itu tidak enak didengar di telinga para pendengar. Mereka lebih suka mendengar nubuat yang manis dan baik (Am 7:16-17). Tetapi seorang nabi diutus bukan untuk mewartakan diri atau sabdanya sendiri melainkan sabda Tuhan. "Tuhan Allah telah ber¬firman, siapakah yang tidak berfirman?" (Am 3:8). Oleh karena itu sungguh tidak mudah menjadi seorang nabi yang sejati. Seorang nabi sering mengalami nasib malang: ditolak, dicemooh, bahkan dikejar-kejar dan dianiaya (bdk. nasib nabi Elia, 1 Raj 18-19; Yer 26:1-24) atau bahkan dibunuh. Yesus sendiri adalah model sempurna seorang nabi Allah. Ia mengecam apa saja yang tidak beres dalam masyarakat Yahudi waktu itu; Ia mengecam orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (bdk Mat 23:36; Mrk 7:1-16), Ia mengecam umat Yahudi yang serbarewel seperti anak kecil yang menuntut orang lain mengikuti kehendak mereka sendiri (Luk 7:31-35), ia mengecam keserakahan akan uang (Luk 12:13-21), dan seba¬gainya. Keterusterangan Yesus dalam mengecam para pemimpin dan keberanian-Nya berselisih paham dengan para pemimpin Yahudi inilah yang membuat Yesus harus dibunuh seperti banyak nabi lainnya (Mat 23:34-35).
·         Spiritualitas hidup bersama
Dengan spiritualitas hidup bersama dimaksudkan suatu hidup bersama yang diresapi kasih persaudaraan sebagai tempat ideal untuk mendengarkan Sabda Allah secara bersama sebagai satu keluarga Allah. Sesungguhnyalah Sabda Allah akan menjadi semakin hidup bila dibaca dan dihayati bersama. Praktek membaca Alkitab secara bersama itu sudah ribuan tahun usianya. Ketika bangsa Yahudi berada di pembuangan Babilon (abad 6 SM) mereka kehilangan sega¬la-galanya, termasuk kehilangan tanah, Bait Suci, dan raja yang selama ini mereka banggakan dan mereka anggap sebagai bukti kasih Allah terhadap mereka. Jadi mereka kehilangan segala sesuatu yang mereka anggap termasuk jati diri umat pilihan Yahwe. Kini dalam keadaan hancur semacam itu mereka sering berkumpul bersama di tepi sungai-sungai Babel (Mazmur 137) untuk saling menghibur, berdoa bersama dan yang paling penting: membaca dan merenungkan bersama-sama Sabda Allah. Justru pada waktu yang sulit semcam itu Sabda Allah menghimpun umat-Nya sehingga timbullah harapan baru. Sabda Allah yang dibaca bersama memberi visi baru terhadap keadaan yang sekarang ini, yakni sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka sendiri (Yes 140:1-2). Hal ini menimbulkan harapan baru pula: keadaan mereka akan dipulihkan asalkan mereka mau bertobat kepada Allah. Allah bersedia menolong mereka; Ia mengampuni segala dosa mereka (Yes 43:25: 44:22) dan memanggil mereka untuk bertobat dan kembali kepada-Nya (Yes 44:22) dan memberi mereka harapan akan masa depan baru yang cerah (Yes 48). Demikianlah umat Israel sampai pada visi iman yang baru berkat pembacaan kitab-kitab suci mereka secara bersama. Perlu kita ketahui bahwa sebagian besar kitab Taurat dan kitab-kitab yang bersifat 'sejarah' justru dikumpulkan atau ditulis pada masa pembuangan ini atau segera sesudahnya.

Nilai pembacaan Sabda Allah dalam kelompok nampak juga dalam praktek persekutuan umat Kristen awali. Mereka sering berkumpul bersama, antara lain untuk "bertekun dalam pengajaran rasul-rasul" (Kis 2:42). Membaca dan merenungkan Sabda Allah secara bersama ini mereka warisi dari agama Yahudi yang memiliki lembaga sinagoga. setiap hari Sabtu umat Yahudi berkumpul untuk memuji Allah dan mendengarkan SabdaNya. Dalam bimbingan Roh Kudus dan para rasul mereka menafsirkan kitab Perjanjian Lama dalam terang wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.

Sebagaimana umat Yahudi dan jemaat Kristen awali mendengarkan Sabda Allah secara bersama-sama dan menafsirkan tanda-tanda jaman secara bersama juga, begitu juga dalam rangka Evangelisasi Baru kita diundang untuk membaca dan menafsirkan Sabda Allah secara bersama-sama, lebih-lebih dalam komunitas dasar/basis.

6.      Metode baru
Seperti halnya dengan istilah "semangat baru", begitu pula istilah "metode baru" mendapat beberapa tafsiran yang berbeda dari penulis yang satu ke penulis yang lain. Di bawah ini kami hanya berusaha menyajikan beberapa kemungkinan tafsiran.
A.     Pendekatan baru: bertitik tolak dari kaum kecil
Berbicara tentang "metode baru" dalam rangka Evangelisasi Baru, beberapa penulis (a.l. Leonardo Boff, C. Maccise) langsung menghubungkannya dengan pewartaan Kabar Gembira kepada dan oleh kaum miskin. Dasar yang terdalam penggunaan metode ini adalah karena Yesus Kristus sendiri memakainya. Ia mewartakan Injil sebagai orang miskin dan kepada orang miskin. Yesus datang untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Tugas itu Ia jalankan bukan dengan menjadi seorang Mesias yang penuh dengan kemuliaan duniawi dan kekuasaan politis, bukan dengan harta benda yang melimpah, bukan dengan pakaian yang bergemerlapan, bukan dengan berkendaraan kereta perang dan kuda-kuda yang gagah perkasa, melainkan dengan "mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:7). Ia lahir dalam kandang yang hina, menjadi anak tukang kayu, hidup dan bekerja sebagai orang miskin. Dan ketika Ia tampil ke depan umum Ia sendiri menyatakan bahwa nubuat Yes 61:1-2 terpenuhi dalam diri-Nya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19).
Itulah program kerja Yesus sebagai Mesias! Memang Yesus tidak mengucil orang-orang kaya dari Kerajaan Allah. Sahabat dan orang-orang yang mendukung karya-Nya termasuk orang-orang yang cukup kaya juga (misalnya wanita-wanita yang mampu "membiayai" rombongan Yesus, Lukas 8:2-3). Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa Injil Lukas menampilkan Yesus terutama sebagai pembebas orang kecil dan tertindas. Mengapa orang kecil? Sebab orang-orang kecil dan tertindas semacam itulah yang biasanya lebih terbuka bagi karya Allah. Dalam kemiskinan atau keadaan tak berdaya secara materiil maupun rohani, mereka tidak mampu menyombongkan diri; mereka tidak bisa menggantungkan diri pada kekuatan sendiri. Karena itu mereka lebih terbuka untuk menerima tawaran keselamatan dari Allah; dengan kata lain, mereka lebih mudah menyerahkan diri secara total kepadaNya. Maria dan si mandul Elisabeth merupakan contoh kaum kecil (anawim) yang mengalami karya-karya besar yang dikerjakan Allah. Maria dapat berseru, "Ia menurunkan orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa" (Luk 1:52-53). Allah semacam itulah yang kini berkarya dalam diri Yesus dari Nazaret. dengan kata-kata dan tindakan konkret Yesus menampakkan Allah yang diwartakan Maria dalam kidungnya tadi sebagai Allah kaum kecil dan hina-dina. Orang banyak mengakui bahwa Yesus membuat segala-galanya baik: yang tuli dijadikannya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya mendengar (Mrk 7:37), dan sebagainya. Pendek kata lewat karya dan perkataan Yesus Allah menggenapi nubuat-Nya, "Lihat, aku menjadikan semuanya baru" (Yesaya 43:19; Wahyu 21:5).
Leonardo Boff, tokoh kontroversial karena teologi Pembebasannya, menulis sebuah buku yang dalam terjemahan Italianya berjudul Nuova Evangelizatione (terj. Bruno Pistocchi, terbitan Cittadella Editrice, Asisi, 1991). Dalam bukunya itu ia menekankan betapa pentingnya mewujudkan evangelisasi dengan metode baru. Yang dia maksudkan dengan "metode baru" adalah titik tolak baru. Baginya Evangelisasi Baru harus meruntuhkan tembok pemisah antara si evangelisator dan mereka yang menerima evangelisasi. Bagi Boff Evangelisasi Baru adalah baru karena titik tolaknya baru, cara pendekatannya baru. Evangelisasi Baru akan berhasil jika bertitik tolak dari keadaan kaum kecil yang tertindas, dihisap namun sekaligus amat religius. Pewartaan Injil harus ditujukan pertama-tama kepada mereka dan bertujuan untuk membebaskan mereka dari segala bentuk kemiskinan yang membelenggu manusia dewasa ini di Amerika Latin. Bahkan Boff berbicara tentang hutang negara-negara Amerika Latin yang perlu diberi keringanan atau potongan. Seorang teolog pembebasan lainnya, Gustavo Gutierrez bahkan mengusulkan penghapusan semua hutang negara-negara Amerika Latin yang tak terpikulkan itu. Ia berkata, "Banyak orang di antara kami berpendapat bahwa salah satu cara yang baik untuk merayakan 500 [tahun penemuan Amerika] ini adalah dengan meminta penghapusan hutang lahiriah [= ekonomis], misalnya. Ini amat konkret dan kami mempun¬yai alasan historis untuk meminta hal ini apabila kami hari ini mengingat-ingat emas yang diambil dari orang-orang Indian, dari benua ini" (dikutip dari Norbert Greinacher, "Conversion Through conquest" Theology Digest 39:2 [Summer, 1992] hlm 124-125].
Memang harus kita akui bahwa apa yang diperjuangkan oleh para teolog Pembebasan itu amat bernilai, asalkan orang tidak menjadi terlalu ekstrim kanan. Orang tidak boleh jatuh dalam bahaya membenci kaum kaya atau menimbulkan pertentangan tajam antar golongan atau kelas dalam masyarakat. Pembebasan kaum miskin dan tertindas dari kemiskinan mereka memang merupakan salah satu cara dan isi konkret pewartaan Injil. Perlu juga diingat bahwa pembebasan tersebut harus bersifat mendidik. Itu berarti, usaha pembe¬basan kaum kecil tidak boleh disempitkan pada pemberian-pemberian sumbangan atau pada karya-karya karitatif belaka, melainkan harus mencakup usaha mendewasakan dan memampukan kaum kecil untuk dengan kekuatan sendiri dapat melepaskan diri dari keadaan dan struktur masyarakat yang menjadi penyebab kemiskinan itu. Pembebasan kaum kecil harus mencakup usaha memulihkan harga diri mereka yang diinjak-injak dan mengembalikan apa yang menjadi hak mereka, memberi mereka kesempatan dan kemungkinan konkret untuk berkembang lebih lanjut. Dalam hal ini Ajaran-ajaran Sosial Gereja harus menjadi penuntunnya. Dalam Ajaran-ajaran Sosial Gereja (dari Rerum Novarum Paus Leo XIII [1891] hingga Centesimus Annus dari Yohanes Paulus II [1991]) bisa kita lihat dengan jelas bagaimana Gereja secara konsisten selalu menaruh keprihatinan besar pada keadaan masyarakat, terutama kaum kecil dan tertindas. Gereja ingin membebaskan mereka dari kemiskinan jasmani dengan menyadarkan umat manusia akan martabat manusia yang paling dalam, akan hak setiap manusia untuk hidup secara layak, hak setiap buruh untuk diperlakukan secara manusiawi, dan untuk mendapat upah yang adil, akan bahaya-bahaya sistim-sistim tertentu (komunisme, kapitalisme dll). Ajaran-ajaran Sosial Gereja mau menyadarkan manusia, lebih-lebih para pemimpin dunia dan para majikan, bahwa sumber-sumber alam ini harus dibagi secara adil. Secara singkat melalui ajaran-ajaran tersebut kita diajar untuk mewujudkan suatu "kebudayaan kasih" sebagai ungkapan keselamatan yang datang dari Tuhan. Kebudayaan kasih itulah yang akan melahirkan suatu masyarakat adil dan makmur untuk seluruh anggotanya. [Dalam konteks indonesia, gagasan kebudayaan kasih itu dekat dengan ide Sila V dari Pancasila, yakni usaha menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia] Usaha serius untuk menciptakan kesejahteraan sosial merupakan sarana sekaligus ungkapan pewartaan Kabar Gembira.
B.     Dialog dengan agama-agama lain
Berbicara tentang metode baru dalam Evangelisasi Baru kita dapat juga berbicara tentang perlunya berdialog dengan agama-agama lain. Dalam konteks Asia, Evangelisasi Baru mempunyai nuansa khusus pada dialog antaragama ini. Sudah 5 abad lebih Injil diwartakan kepada bangsa-bangsa di Asia. Namun hasilnya relatif masih sangat kecil. Hal ini nampak dari prosentase umat kristen di Asia. Jumlah penduduk Asia merupakan hampir 60 % dari seluruh populasi dunia. Akan tetapi setelah 5 abad evangelisasi, baru sekitar 1,73 % penduduknya beragama Kristen (sedangkan orang Katolik hanya 0,8 % dari populasi Asia, jika kita tidak menghitung 45 juta orang Katolik di Filipina). Oleh karena itu rasanya evangelisasi paling tidak berhasil di Asia. Mengapa demikian? Kemungkinan besar karena Asia sudah mempunyai tradisi agama-agama yang begitu kuat berakar dalam hati bangsa Asia. Maka dari itu pewartaan Injil tidak dapat berhasil selama Gereja belum berdialog dengan agama-agama lain. Sejarah evangelisasi di kalangan orang-orang Indian dahulu menunjukkan bahwa salah satu sebab utama kegagalan evangelisasi adalah tiadanya inkulturasi. Para misionaris Spanyol ataupun Portugis dahulu memakai metode-metode yang seringkali keliru. Tentang cara menghadapi dan memberantas penyembahan berhala di kalangan orang-orang Indian, misalnya Jose de Acosta (1540-1600) menulis demikian:
·         Tugas atau keprihatinan pertama para imam adalah menyingkirkan berhala-berhala dari hati para pendengar. Cara yang terbaik untuk itu adalah melalui pengajaran dan anjuran. Namun, segala macam cara harus dipakai untuk mengenyahkan berhala-berhala dari mata dan cara hidup mereka.. Tuhan bersabda, "...mezbah-mezbah mereka harus kamu hancurkan dan bakarlah berhala-berhala mereka dengan api" (Ul 7:5; 12:2; Kel 34:13)... bagi mereka yang sudah menjadi Kristen dan telah menerima baptisan, bagaimanapun juga tahayul kafir tidak bisa ditolerir. Setiap bentuk pemujaan berhala di antara mereka harus dihukum...
·         Bila [orang-orang kafir] menghadiri ritus-ritus dan upacara-upacara mereka tanpa mengganggu orang-orang Kristen... biarkan mereka dalam kebutaan mereka sampai mereka diterangi oleh Yang Mahatinggi...Tetapi bila mereka di bawah kuasa seorang majikan Kristen dan mereka mengganggu (= menimbulkan kejengkelan bagi) orang-orang yang sudah bertobat (menjadi orang Kristen) maka mereka tidak bisa ditolerir sama sekali...Konsili Elvira [Spanyol Selatan kira-kira tahun 306] memerintahkan supaya para majikan menghancurkan benda-benda berhala para budak mereka.
·         Jika ritus-ritus dan pemujaan berhala kafir merugikan orang-orang yang baru percaya...maka kekuasaan politis seharusnya bahkan wajib dipakai untuk menyingkirkan halangan-halangan semacam itu...Sebagai ganti ritus-ritus yang memalukan, dan upacara-upacara lain harus diperkenalkan air suci, gambar para kudus, rosario, gandum yang diberkati, lilin dan benda-benda lain yang sering disahkan dan dipakai oleh Gereja kudus adalah berguna bagi orang-orang yang baru percaya....

Sudah sejak dahulu metode evangelisasi semacam itu mendapat banyak kritik sebab seringkali justru bersifat kontra-produktif, artinya justru mengakibatkan penolakan agama risten atau paling banyak menghasilkan pertobatan semu. Orang bisa saja menjadi Kristen tetapi dengan mentalitas dan kepercayaan dari "agama yang dia tinggalkan secara terpaksa. Jadi agama Kristen menjadi semacam pakaian luar saja, sedang hatinya masih manusia lama. Tidak mungkin orang meninggalkan begitu saja kepercayaan dan ritus-ritus agama yang sudah lama dipeluknya. Bila evangelisasi dilakukan secara tergesa-gesa, seorang dapat menerima salib atau patung tetapi itu semua dianggap sekedar pengganti berhala mereka.
Pewartaan Injil yang sampai mengubah hati manusia memang merupa¬kan proses yang memakan waktu lama. Dan dalam proses tersebut orang yang mendapat pewartaan Injil harus diajak berdialog untuk melihat kebenaran agama Kristen secara perlahan-lahan sambil membandingkannya dengan kepercayaan atau agama yang dipeluknya. Dalam dialog itu Gereja harus menghargai juga nilai-nilai rohani dan moral yang terdapat dalam agama lain dan yang sudah membentuk orang sejak kecil. Demikianlah Konsili Vatikan II menghimbau agar kita bergaul akrab dengan agama-agama lain, dan "dengan gembira menemukan benih-benih Sabda Allah yang tersembuni di baliknya" (Ad Gentes 11), menemukan bentuk kehadiran Allah di sana (Ad Gentes 9), melihat cercah atau berkas-berkas kebenaran dalam agama lain (Nostra Aetate 2). Lalu tanpa memanipulasikan dialog itu atau tanpa cara-cara yang licik Gereja harus menawarkan suatu alternatif. Itu berarti, Gereja mewartakan apa yang dia imani sebagai kepenuhan kebenaran, kepenuhan cahaya yang menerangi kehidupan manusia dan kepenuhan keselamatan. Ini berarti, dialog dengan agama-agama sama sekali tidak meniadakan kewajiban kita untuk mewartakan iman kita sendiri. Kita tanpa ragu-ragu harus mewartakan bahwa Yesus Kristuslah "Jalan, Kebenaran dan Kehidupan" (Yoh 14:6) dan bahwa Gerejanya merupakan sarana yang biasa dari keselamatan itu (Bdk Nostra Aetate 1; Redemptoris Missio 55). Dalam arti demikian dialog dengan agama-agama lain merupakan "bagian dari misi penginjilan Gereja". Jika dipahami sebagai metode dan sarana-sarana untuk saling memperkaya dan mengenal, maka dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan kepada para bangsa (Redemptoris Missio 55). Akan tetapi dalam konteks Indonesia perlu ditandaskan bahwa dengan berdialog kita bermaksud baik untuk saling mengenal dan memperkaya, dan bukan untuk memanipulasikan dialog menjadi cara licik untuk kristenisasi. Akan tetapi sekali lagi perlu ditandaskan bahwa melalui dialog dengan agama lain usaha menawarkan kebenaran Injil kepada orang lain dan menghantar dia masuk ke dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal akan menjadi lebih mudah.
Para Uskup Asia secara konsisten menekankan perlunya dialog dengan agama-agama besar di Asia. Mengikuti anjuran Paulus VI, Sidang paripurna pertama FABC (= Federasi Konperensi Para Uskup Asia) di Taipeh 22-27 April 1974 sangat menganjurkan dialog antaragama. Para Uskup Asia bahkan berharap agar Gereja akan semakin memahami iman sendiri dengan lebih baik dalam terang berkas-berkas kebenaran yang ditemukan pada agama lain. Begitu juga kurang lebih semangat para Uskup Asia dalam sidang FABC V.
C.     Teknik dan sarana baru
Akhirnya dalam rangka metode baru, bisa kita sebut juga soal penggunaan sarana, metode/teknik komunikasi yang baik. Pewartaan Sabda yang baik membutuhkan teknik-teknik manusiawi yang cukup menunjang keberhasilan evangelisasi. Teknik dialog atau tanya jawab, misalnya, dapat membuat Alkitab menjadi lebih hidup (bdk Yes 40:12-14; 49:15 dll) karena orang tidak menjadi pendengar yang pasif. Selain itu bahasa dan ungkapan yang cocok harus dipakai: menghadapi umat yang berdosa dan keras kepala seorang pewarta harus tegas dan kuat (bdk kecaman-kecaman para nabi kepada umat terpilih dan kecaman-kecaman Yesus kepada para ahli Taurat dan kaum Farisi, Mat 23 dll); akan tetapi menghadapi umat yang kehilangan iman dan harapannya, orang harus memakai bahasa yang lain. Kepada umat yang putus asa dalam pembuangan, misalnya nabi deutero-Yesaya, tidak memakai bahasa kenabian yang mengecam dan mengancam, melainkan memakai bahasa yang lembut, menyentuh hati dan yang menampilkan sifat-sifat Allah yang pengasih. Itulah salah satu aspek Evangelisasi Baru. Allah ditampilkan secara baru sebagai seorang suami (Yes 54:5; 62:5), bapa (Yes 63:16; 64:7), ibu (Yes 49:15; 46:3), pengembala yang baik bagi umatNya (bdk. Yes 49:14-16; Yeh 34), penolong (Yes 43:1; 44:22) dll.
Selain teknik komunikasi di atas, Evangelisasi Baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana komunikasi yang baru yang lebih sesuai dengan kemajuan jaman (bdk. Mgr. E Bifet hlm 5). Perlu kita catat bahwa dalam hal pemanfaatan media komunikasi massa modern (televisi, video, kaset dll) Gereja Katolik cukup terbelakang. Namun perlu juga dicatat bahwa usaha memanfaatkan media-massa dalam rangka Evangelisasi Baru sudah ada, yakni usaha dari gerakan yang menamakan diri "Lumen 2000".

7.      Ungkapan baru
A.     Masalah inkulturasi
Tidak dapat disangkal bahwa sejarah pewartaan Injil di Amerika Latin mempunyai sisi-sisi yang suram juga. Memang tidak dapat kita boleh kita lupakan pengorbanan sekian banyak misionaris yang dengan penuh cinta kasih dan dedikasi meninggalkan tanah air meeka untuk menjadi pewarta Injil di benua yang baru ditemukan itu. Dan salah satu tujuan Christopher Colombus mencari benua baru adalah untuk menyebarkan iman Kristen. Bersamaan dengan rombongan Colombus ada begitu banyak misionaris baik imam, kaum religius maupun kaum awam saleh yang sungguh mencintai dan ingin menyelamatkan suku-suku asli di dunia baru itu. Namun tidak dapat disangkal pula bahwa injil telah datang ke benua itu bersamaan dengan pedang, yakni bersamaan dengan kaum penjajah yang membawa pedang/perang. Dan tindak-tanduk para penakluk yang Kristen itu seringkali jauh dari tuntutan dan semangat Injil. Banyak sekali suku-suku asli Amerika Latin menjadi korban: emas mereka dirampas, kebudayaan mereka dirusak, dan agama Kristen dalam arti tertentu juga dipaksakakan kepada mereka. Tidak mengherankan jika banyak orang Indian merasa bahwa agama Kristen itu jahat. Selain itu tidak ada perjumpaan positif dan konstruktif antara iman Kristen dan kebudayaan setempat. Yang sebenarnya dibawa oleh para misionaris waktu itu adalah iman Kristen sejauh mendapat bentuk dan pengungkapan yang bersifat Eropa (terutama Spanyol). Dengan kata lain, yang mereka bawa adalah iman Kristen sejauh sudah dijiwai oleh cara berpikir, lambang-lambang, kebiasaan-kebiasaan, lembaga-lembaga yang berasal dari Eropa. Memang ini semua tidak dilakukan oleh para misionaris Spanyol dengan sengaja atau dengan maksud kurang baik. Di samping itu, banyak sekali unsur Eropa yang baik untuk diteladan juga. Akan tetapi secara tidak sadar para misionaris itu kurang memperhatikan satu prinsip penting ini, yakni inkulturasi. Inkulturasi adalah suatu proses mengintegrasikan Injil ke dalam kebudayaan bangsa setempat sejauh unsur-unsur tersebut baik dan tidak bertentangan dengan isi Injil. Dengan dilalaikannya inkulturasi, tidak mengherankan kalau bagi banyak orang Indian agama Kristen itu terasa sebagai agama import, agama penjajah, agama yang asing bagi mereka. Apalagi perlakuan penjajah Kristen di benua tersebut seringkali tidak kristiani. Dengan latar belakang semacam inilah kita dapat memah¬ami seruan Yohanes Paulus II kepada seluruh Gereja Amerika Latin untuk mengadakan Evangelisasi Baru, dan bukan hanya sekedar re-evangelisasi, yakni sekedar mengulangi evangelisasi yang lama dan yang tidak jarang keliru itu.
Iman Kristen itu hanya satu, tetapi dapat dan bahkan harus dihayati oleh manusia konkret dengan kebudayaannya masing-masing. Maka orang bisa berbicara tentang Gereja Indonesia, Gereja India, Gereja Italia, dsb, tetapi tetap Gereja Yesus Kristus. Tentang hal ini Paus Paulus VI sering berbicara. Ajarannya ditandaskan sekali lagi oleh Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio no 52: Proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa adalah suatu proses yang panjang. Proses ini bukan sekedar soal adaptasi luaran semata-mata, sebab inkulturasi "berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia.
Jadi evangelisasi yang benar harus mengambil unsur-unsur yang baik dan otentik dari suatu kebudayaan, meresapi dan menyempurna¬kannya dengan semangat Injil dan mengintegrasikannya dalam penghayatan agama kristen. Hanya dengan demikian orang dapat sungguh-sungguh menghayati Injil sebagai sesuatu yang "tidak asing" baginya. Dalam hal ini Alkitab memberikan teladan yang amat jelas.
Kebudayaan itu adalah segala bentuk kegiatan dan hasil kegiatan manusia dalam hubungannnya dengan Allah, sesama dan dunia. Kepada bangsa Israel yang berkebudayaan tertentu itulah Allah mewahyukan diri-Nya. Jadi Alkitab hanya dapat dipahami dengan tepat, jika kita membacanya dalam konteks kebudayaan Israel pada tempat dan waktu tertentu pula. Mempelajari sejarah agama Israel, menjadi jelas juga bahwa dalam menghayati iman akan Yahwe bangsa Israel di bawah bimbingan Allah sendiri dapat mengambil unsur-unsur kebudayaan bangsa lain. Akan tetapi dalam terang iman akan Yahwe unsur-unsur kebudayaan Timur Tengah itu lebih dahulu disaring, dimurnikan dan diangkat menjadi ungkapan iman mereka kepada Yahwe. Berikut ini kita lihat beberapa contoh penting saja.
·         Dalam Perjanjian Lama
a)      Nama ilahi. Nama "El" atau "Elohim" saja sebenarnya berasal dari nama umum yang dipakai oleh banyak bangsa di Timur Tengah untuk menyebut ilah/dewa mereka. Allah Abraham mengambil alih (tetapi dengan isi baru) nama El Shaddai (=Allah yang Mahakuasa, Kej 17:1; Kel 6:2), El Elyon (Allah Mahatinggi, Mzm 46:5; 47:3) atau nama lain semacam itu. Para ahli sepakat bahwa nama-nama itu aslinya adalah gelar dewa kepala bangsa Kanaan.
b)      Perayaan liturgis. Perlu disebut juga bahwa banyak dari pesta-pesta liturgis dalam Perjanjian lama merupakan semacam adaptasi dari pesta-pesta keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Semit lain¬nya. Pesta Paskah, misalnya, semula adalah pesta para gembala nomadik sebelum mereka membongkar kemah untuk pindah ke tempat lain pada musim semi (lihat a.l. Roland de Vaux, Ancient Israel,. Its Life and Institutions [London: darton, Longman & Todd] hlm 488 dst). Pada pesta itu para gembala mengorbankan anak domba untuk memohon kesuburan ternak. Mereka makan anak domba yang dipanggang, memakannya dengan roti tak beragi (yang masih dipraktekkan suku Baduin hingga hari ini) dan sayur-sayuran pahit. Yang penting sekali dalam pesta itu adalah upacara darah yang dipoleskan pada tiang penyangga kemah sebagai usaha mengusir roh-roh jahat. Dalam perjalanan sejarah upacara semacam itu diberi makna atau isi baru, dimurnikan dan diangkat oleh iman akan Yahwe sehingga menjadi hari raya Paskah untuk memperingati pembunuhan anak-anak sulung Mesir dan pembebasan umat Israel. Begitu juga dengan pesta Roti Tidak Beragi (= makan roti tidak beragi selama 7 hari) yang merupakan peringatan akan pembebasan Israel dari Mesir (Kel 23:14-15) sebenarnya adalah pesta agrikultural Kanaan yang diberi arti religius. Contoh lain, Hari Raya Pondok Daun semula adalah pesta panen yang lazim di kalangan orang Kanaan. Pada masa panen itu mereka mendirikan pondok-pondok dari daun sebagai tempat berteduh selama panen dan pemerasan anggur. Tetapi lama-kelamaan hal itu mereka beri arti religius dan mereka tafsirkan sebagai kenangan pada menetapnya bangsa Israel di kemah-kemah sewaktu Yahwe menuntun mereka keluar dari Mesir (Im 23:33-43). Dalam terang iman kepada Yahwe umat Israel dapat mengambil unsur-unsur kebudayaan Kanaan, merefleksikannya, memurnikannya dan mengangkatnya menjadi ungkapan iman Israel sendiri.
c) Perayaan sabat. Memang harus diakui bahwa asal-usul praktek Sabat masih diperdebatkan. Sementara ahli berpendapat bahwa praktek Sabat berasal dari agama-agama Semit yang menganggap hari ke-7, ke-14 dll sebagai hari naas (dise nefasti) sehingga mereka tidak berani melakukan pekerjaan penting karena takut mendapat mengaruh jahat dari hari naas itu. Di lain sisi, ada juga ahli-ahli yang berpendapat bahwa Sabat itu berasal dari kebiasaan orang Kenit yang pada hari Saturnus (planet hitam) tidak berani menyalakan api (Bdk larangan menyalakan api pada hari Sabat, Kel 35:3; Bil 15:32-36).
d)   Unsur-unsur mitologis dalam Perjanjian Lama. Para ahli sepakat bahwa dalam kisah penciptaan menurut Kej 1:1-2:4a dapat kita temukan banyak unsur mitologis Mesopotamia dan Mesir. Ide dasar bahwa penciptaan berarti pengaturan dunia yang kacau balau (= khaos) menjadi dunia yang teratur (= kosmos) kiranya merupakan pengaruh mite Mesopotamia yang melihat penciptaan sebagai keme-nangan dewa Marduk atas dewi Tiamat (= dewi kekacauan). Kisah selamatnya Nuh dari air bah mirip sekali dengan kisah Atramhasis dalam mitologi Mesopotamia juga. Menurut kisah tersebut, para dewa menciptakan manusia. Namun karena anak manusia itu membuat gaduh, para dewa merasa terganggu tidurnya. Maka mereka memutuskan untuk memusanahkan umat manusia dengan air bah. Hanya Atramhasis langsung mempersembahkan kurban bagi dewa-dewa. Hal ini mirip dengan persembahan Nuh kepada Allah (Kej 8:20).
          Masih banyak unsur mitologis dalam kitab Perjanjian Lama yang bisa kita sebut di sini. Namun apa yang disebut di atas lebih dari cukup untuk menunjukkan proses inkulturasi iman Israel pada kebudayaan Timur Tengah. Memang dalam arti yang sebenarnya mitologi-mitologi itu tidak sesuai dengan iman akan Yahwe, namun dalam terang iman akan Yahwe itu umat Israel mampu memanfaatkan gagasan atau gambaran mitologis sedemikian rupa sehingga mnejadi ungkapan iman mereka sendiri. Tetapi ada kalanya kemiripan dengan mitologi bangsa tetangga itu justru dipakai untuk "menyangkal" dan "mengoreksi" dan "menggantikan" apa yang keliru dalam mitologi kafir.
·         Dalam Perjanjian Baru
a)  Yudaisme rabinis. Pertama-tama perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan Yudaisme rabinis itu adalah paham kepercayaan orang-orang Yahudi (sesudah pembuangan Babilon) sejauh nampak dalam ajaran para rabi. Dengan demikian "Perjanjian Lama" perlu kita bedakan dari Yudaisme, meskipun hubungan antara keduanya erat sekali. Nah, dalam dunia Yudaisme inilah para pengarang Perjanjian Baru hidup. Oleh karena itu mudah kita pahami jika Yudaisme (rabinis) mempunyai pengaruh atas Perjanjian Baru. Gagasan Yesus sebagai Messias yang tersembunyi, yang asal-usulnya tidak diketahui orang (Yoh 7:27-28; 8:19, "Baik Aku maupun BapaKu tidak kamu kenal") merupakan paham Yudaisme. Kemungkinan besar gagasan "Firman" dalam prolog injil Yohanes (1:1-18) berlatarbelakang gagasan "Memra Yahwe" yang banyak terdapat dalam Targum (= terjemahan bebas/saduran Perjanjian Lama ke dalam bahasa Aram). Dalam Targum, Memra Yahwe hampir identik dengan Yahwe sendiri, sebab istilah Memra Yahwe sering dipakai sebagai ganti nama "Yahwe". Dan dalam targum itu Memra Yahwe memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh Sang Firman dalam Injil Yohanes, yaitu: ikut menciptakan alam semesta, memberi wahyu dan menyelamatkan. Dari beberapa contoh ini menjadi jelas bahwa orang tidak bisa mengerti ajaran Perjanjian Baru (lebih-lebih ajaran Injil Yohanes dan Paulus) jika ia tidak mempelajari juga Yudaisme.
b)    Kebudayaan Yunani (Helenis). Para pengarang Perjanjian Baru hidup di dunia Timur Tengah yang waktu itu dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani (dan Romawi). Mereka itu anak jamannya. Maka pengaruh kebudayaan Yunani tidak dapat dihindarkan. Hal pertama yang paling mencolok dalam hal ini adalah penggunaan bahasa Yunani sebagai bahasa Perjanjian baru. Selain bahasa, juga kebudayaan Yunani. Paulus, misalnya dibesarkan di Tarsus, Kilikia (Kis 32:39), tempat kebudayaan Yunani-Romawi dan kebudayaan lain berpadu. Oleh karena itu di Areopagus, Athena, Paulus ingin mempertobatkan orang-orang Athena dengan cara berdialog dengan mereka. Ia bersoal jawab dengan kaum Epikuros dan Stoa. Ia berusaha memakai cara berpikir mereka untuk mewartakan Injil. Pada ayat 28 Paulus berseru kepada mereka, "Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu. Sebab kita ini dari keturunan Allah juga." Ucapan ini mengandaikan pengetahuan Paulus bahwa dalam paham Yunani tertentu manusia sebagai cipataan dewa ambil bagian dalam hakekat dewa, sehingga manusia termasuk ras dewa. Begitu juga mengenai ajaran kristen tentang persamaan derajat semua anak Allah tanpa memandang bulu, warna kulit atau status sosial (Rm 10:12; 1 Kor 7:17-24). Ajaran ini diungkapkan Paulus dengan memakai gagasan para bijak Yunani bahwa yang paling penting adalah kebebasan batin dan hati nurani, sedangkan soal tingkat sosial dan suku tidak berperan.

Sebenarnya masih banyak contoh lain yang bisa kita kemukakan di sini sebagai bukti bagaimana Allah sendiri mewahyukan diri sambil berdialog dnegan kebudayaan manusia. Namun apa yang kita lihat sudah lebih dari cukup. Dengan demikian salah satu tugas penting dalam rangka Evangelisasi Baru adalah mengadakan inkulturasi. Jika tidak, benih Sabda Allah akan jatuh di tanah berbatu yang tidak banyak tanahnya sehingga benih itu segera tumbuh tetapi segera layu karena tidak berakar dalam-dalam (bdk Mrk 4:1-20). Tanpa inkulturasi orang merasa tercerabut dari akar-akar kebudayaan sendiri, merasa bahwa asing terhadap dirinya sendiri sebab nilai-nilai yang selama ini dia hayati terasa ditolak atau dibuang dengan bertobatnya dia menjadi orang kristen.
Inkulturasi hanya mungkin terjadi jika orang mendalami suatu kebudayaan secara serius, hidup bersama dan di dalam kebudayaan tertentu, tetapi tanpa tenggelam sama sekali di dalamnya, tanpa menjadi seorang peserta yang tidak mampu lagi untuk melihat secara kritis kekurangan suatu kebudayaan. Kebutuhan untuk mengadakan inkulturasi ini ditegaskan oleh Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II. Yang kita cita-citakan adalah Gereja yang universal tetapi sekaligus disebut Indonesia. Seorang Kristen yang baik akan dapat berkata: "Saya betul-betul seorang Kristen tetapi juga seorang Indonesia tulen." Inilah tugas yang berat dan serius bagi para teolog dan pewarta Sabda di Indonesia.
B.     Bentuk Baru kehadiran Allah
Jaman senantiasa berubah. Perubahan itu sering membuat orang mengalami krisis iman. Mereka merasa Allah tidak hadir lagi di dunia baru. Pada awal jaman super modern, kira-kira seperempat abad yang lalu, pernah ada slogan: "Allah sudah mati". Itu berarti, orang modern kehilangan Allah; mereka merasa tidak membutuhkan Allah lagi. Hal yang serupa terjadi juga dalam sejarah Israel. Dua contoh dapat diajukan di sini. Yang pertama dari jaman nabi Elia (abad 9 SM) dan jaman nabi Deutero-Yesaya (abad 6 SM). Di bawah terang Sabda Allah kedua nabi tersebut mewartakan kehadiran Tuhan Allah Israel yang satu dan sama dalam situasi baru. Dalam hal ini nabi Elia dan Deutero-Yesaya patut kita teladan.
·         Elia
Ia hidup dalam masa yang sulit ketika bangsa Israel mulai kehilangan iman kepada Yahwe. Perubahan besar dari kehidupan nomadik sebagai gembala di padang menuju ke kehidupan sedenter dengan mata pencaharian bercocok tanam membuat iman Israel goyah. Dalam situasi baru mereka tidak mampu lagi melihat kehadiran Yahwe. Selama ini mereka mengalami Yahwe sebagai Allah yang dulu mewahyukan diri dalam kekuatan-kekuatan alam selama di padang gurun (api, guntur dsb) dan sebagai Allah kaum gembala. Dalam kebingunan semacam itu agama Kanaan menarik perhatian mereka. Baal Tyrus yang disembah orang-orang Kanaan/Fenisia sebagai dewa pemberi hujan, pemberi gandum, pemberi air, minyak dll tentu menarik hati bangsa Israel karena memang cocok dengan kebutuhan mereka sebagai petani. Agama Yahwe terancam punah, lebih-lebih karena ratu Izebel (isteri raja Israel, Ahab) adalah seorang wanita asing, anak seorang imam dewa Baal. Ratu ini berusaha menggantikan agama Yahwe dengan agama Baal. Ia mulai mengimpor imam-imam dan nabi-nabi Baal ke Israel.
Sebaliknya, nabi-nabi Yahwe dibunuh (1 Raj 18:13). dalam situasi kristis itulah tampil nabi Elia. Inti pewartaannya dapat diringkas menjadi kalimat berikut ini: bukan Baal yang memberi hujan, gandum, air, minyak dan kehidupan kepada manusia, melainkan Yahwe Allah Israel. Mukjijat-mukjijat yang diadakan Elia pada hakekatnya mempunyai nada polemik semacam itu. Selain itu Elia sendiri mengalami kehadiran Yahwe tidak melalui gejala-gejala alam yang dahsyat (yang lazim hingga saat itu) melainkan melalui angin sepoi-sepoi basah. Itulah Evangelisasi Baru yang diwartakan Elia. Kehadiran Allah Israel ditemukan dalam keadaan dan situasi baru: dalam dunia "modern" saat Elia (jaman agrikultur) dan dalam penampakan yang memakai cara baru. Yahwe selalu sama tetapi kekayaanNya tidak dapat dibatasi pada satu dua bentuk atau ungkapan saja. Inilah juga yang disebut Evangelisasi Baru.
·         Deutero-Yesaya
Nabi ini berkarya pada jaman menjelang berakhirnya pembuangan Babilon. Waktu itu bangsa pilihan Yahwe merasa putus asa dan kesepian. Mereka mengira Yahwe telah meninggalkan dan melupakan mereka (Yes 49:14; Rat 3:43-45 dll). Mereka mengira bahwa Yahwe sudah berhenti menjadi Yahwe, yang artinya Allah yang selalu ada, selalu peduli akan nasib umat-Nya. Kepada bangsa yang patah semangat inilah seorang nabi diutus Allah untuk mewartakan pembebasan. Tentu saja berita itu seharusnya membawa penghiburan dan pengharapan (bdk Yes 40:1 dst). Nabi ini mewartakan kehadiran dan karya Yahweh dalam masa sulit semacam itu. Munculnya raja Persia, Cyrus (Yes 41:2-5; 45:1-7) diwartakan sebagai hamba yang diutus Tuhan untuk membebaskan umat-Nya. Dengan demikian nabi Deutero-Yesaya melakukan "Evangelisasi Baru", sebab dia mewartakan kehadiran Allah pada situasi baru. Ia mewartakan bahwa Allah Israel itu tetap sama: dahulu, sekarang dan yang akan datang; Ia tetap Yahwe yang selalu hadir dan memperhatikan umat-Nya (Yes 43:8 dst).

8.      Alkitab dan Evangelisasi Baru
Pada akhirnya perlu kita renungkan bagaimana hubungan Alkitab dan Evangelisasi Baru. Dari hakekatnya Evangelisasi Baru adalah pewartaan Kabar Gembira yang menyelamatkan. Memang evangelisasi tidak boleh disempitkan pada pewartaan Sabda Allah dalam arti Ibadat Sabda atau kerasulan Alkitab saja. Evangelisasi mencakup banyak sekali bidang, seperti katekese, liturgi pada umumnya, pastoral, dsb. Namun harus juga diakui bahwa kerasulan Alkitab mempunyai tempat khusus dan penting. Alasannya ialah karena dari hakekatnya evangelisasi adalah pewartaan Sabda Allah dan Sabda Allah itu sudah mendapat bentuk baku dalam Alkitab sebagai norma untuk kehidupan dan tugas pewartaan Gereja. Jika Evangelisasi tidak bersumber dari Alkitab, ia akan kehilangan jiwa dan isi yang semestinya. Tanpa merenungkan Alkitab terus menerus, evangelisasi akan mandul sebab Alkitablah yang memberi dasar, isi, semangat dan model untuk evangelisasi di segala tempat dan jaman (bdk Dei Verbum 21; dokumen Puebla 372).

9.      Kata Penutup
Marilah kita memiliki harapan dan semangat baru. Kehadiran Allah yang kita temukan dalam situasi baru kiranya mendorong kita untuk mewartakan-Nya kepada orang-orang lain yang membutuhkan keselamatan. Untuk semua usaha yang berat itu kita harus ingat akan amanat dan janji Yesus: "Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan KETAHUILAH, AKU MENYERTAI KAMU SENANTIASA SAMPAI KEPADA AKHIR JAMAN" (Mat 28:20). Yesus yang sama itu juga bersabda, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru" (Why 21:5).