1.
PENDAHULUAN
"Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa
berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan
berita selamat dan berkata kepada Sion "Allahmu itu Raja" (Yes
52:7). Begitulah kitab Deutero-Yesaya melukiskan kedatangan bentara Allah yang
mewartakan kabar baik bahwa Allah Israel berkenan meraja. Kedatangan pembawa
kabar itu kelihatan indah dan menyenangkan sebab yang dibawanya adalah kabar
baik tentang kedatangan Kerajaan Allah, suatu kerajaan di mana hanya ada
sukacita, damai dan keselamatan. Adapun kata kerja "mewartakan kabar
baik" yang dipakai dalam teks Ibrani Yes 52:7 adalah bisser. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Yunaninya (LXX), kata bisser itu diterjemahkan dengan kata
kerja euaggelizomai.
Apa yang dilukiskan dalam Yes 52 ini
melambangkan sekaligus mempersiapkan kedatangan Yesus Kristus, Sang Pembawa
Kabar Gembira yang sempurna. Kata kerja "membawa kabar baik" (= euaggelizomai) juga dipakai oleh para
penginjil untuk merumuskan misi Yesus di dunia ini. Dialah utusan Allah yang
dipenuhi dengan Roh Tuhan untuk "menyampaikan kabar baik (= euaggelizomai) kepada orang-orang
miskin..." (Luk 4:18-19). Ketika Yohanes Pembaptis mengutus para muridnya
untuk menanyakan apakah Yesus itu Dia yang dinanti-nantikan bangsa Israel,
Yesus memberi jawaban demikian: "Pergilah dan beritakanlah kepada Yohanes
apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan,
orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan
kepada orang miskin diberitakan kabar baik" (Mat 11:4-5). Jadi, adalah
tugas Yesus membawa sukacita kepada mereka yang menyaksikan dan menerima karya
dan perkataan-Nya; reaksi normal orang yang mengalami atau melihat karya Yesus
adalah memuliakan Allah (bdk. Luk 5:25-26; 7:16; dll).
Demikian tugas Yesus, demikian pula
seharusnya tugas para pewarta Injil yang diutus-Nya. Mereka tidak diutus untuk
mewartakan diri sendiri. Mereka tidak diutus untuk mewartakan kabar baik dengan
cara yang jauh berbeda dengan cara Yesus. Isi, ciri-ciri dan metode
pewartaan-Nya harus menjadi model bagi setiap pewarta Sabda di segala tempat
dan di sepanjang jaman, kalau mereka memang mau setia kepada tugas perutusan
yang dipercayakan Yesus kepada mereka. Akan tetapi sayang, dalam kenyataannya
halnya tidak selalu demikian. Antara apa yang ideal dan yang ada dalam kenyataan
sering terdapat perbedaan. Berikut ini akan kita lihat dan kita renungkan
beberapa contoh suram tentang kurang berhasilnya pewartaan Injil di kalangan
beberapa suku asli (Indian) di Amerika Latin. Contoh-contoh ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk mempersalahkan para pewarta Injil dahulu atau
mengurangi jasa-jasa dan pengorbanan mereka, tetapi untuk kita renungkan hikmatnya.
Seorang penulis suku Indian Maya dalam
teks yang terkenal dengan nama buku “Chilem-Balam dari Chumayel" (yang berasal
dari abad XVI) menulis "anti-injil" sebagai berikut: "Aduhai,
marilah kita bersedih hati, karena mereka telah datang. Mereka telah datang
untuk mengkristenkan kita..."Orang-orang kristen" itu datang kemari
dengan membawa Allah yang benar, tetapi itulah awal kesengsaraan kita, awal
upeti, awal dana, penyebab kekacauan yang tersamar, awal pertempuran dengan
api, awal kebohongan... Mereka telah mengajarkan ketakutan kepada kita; mereka
datang untuk membuat bunga-bunga kita layu. Untuk melestarikan bunga mereka,
mereka telah menghisap dan menelan bunga kita.."
Contoh lain yang perlu kita renungkan
dalam rangka Evangelisasi Baru adalah peristiwa menyedihkan yang senada dengan
"anti-injil" di atas. Pada waktu Sri Paus Yohanes Paulus II
berkunjung ke Peru pada 1985 yang lalu, ada tiga orang wakil suku Indian (dari
suku Aymara dan Kechua) menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Dalam surat itu
mereka menulis: "Kami, orang-orang Indian Andes dan Amerika, telah
bertekad memanfaatkan kunjungan Yohanes Paulus II untuk mengembalikan
Alkitabnya, sebab selama 5 abad Alkitab itu tidak memberi kami kasih maupun
damai ataupun keadilan. Silahkan menerima kembali Alkitab Anda dan
mengembalikannya kepada para pemeras (penjajah) karena mereka lebih membutuhkan
perintah-perintah susila yang terkandung di dalamnya. Sesungguhnya, dengan
kedatangan Christopher Colombus, di Amerika dipaksakan suatu kebudayaan, suatu
bahasa dan suatu agama dan nilai-nilai yang cocok untuk Eropa saja."
Dengan kurang suksesnya atau bahkan
dalam arti tertentu kegagalan evangelisasi di kalangan banyak orang Indian ini,
tentu saja dibutuhkan suatu Evangelisasi Baru. Dan dalam arti tertentu apa yang
berlaku untuk Amerika Latin berlaku juga untuk banyak tempat di dunia ini.
Sebelum kita melihat lebih lanjut isi dan aspek-aspek Evangelisasi Baru itu,
marilah kita melihat lebih dahulu terminologi dan sejarah singkatnya.
2. ARTI ISTILAH DAN LATAR BELAKANGNYA
Sudah sejak sepuluh tahun yang
lalu istilah "Evangelisasi Baru" dikenal orang, lebih-lebih di
Amerika Latin dan Eropa. Hampir setiap majalah teologi membicarakannya. Namun
istilah tersebut masih cukup asing bagi telinga banyak orang di antara kita,
umat Katolik di Indonesia. Oleh karena itu baiklah kita jernihkan lebih dahulu
pengertian istilah Evangelisasi Baru itu.
A. Evangelisasi
Istilah
"Evangelisasi" ini sebenarnya belum begitu lama masuk ke dalam
kosa-kata teologi Katolik. Sebelum Perang Dunia II istilah tersebut hampir
tidak pernah dipakai; kalaupun dipakai, istilah itu mendapat arti sempit yang
praktis sama dengan istilah "misi", yakni penyebaran agama kristen
keluar lingkup Gereja atau pendirian Gereja di tempat-tempat yang belum
mengenal Yesus Kristus. Dengan demikian orang mendapat kesan bahwa karya misi
dahulu terlalu menekankan usaha membaptis orang dan bukan pertama-tama
mewartakan Kabar Gembira. Namun sesudah Perang Dunia II, karena pengaruh teolog
Protestan Karl Barth dan atas jasa teolog Katolik Leo Kardinal Suenens, istilah
"evangelisasi" mulai dipakai juga oleh Gereja Katolik. Jika Konsili
Vatikan I hanya satu kali memakai istilah "injil" (Latin:
evangelium), maka dokumen-dokumen Konsili Vatikan II memakainya sebanyak 157
kali, belum terhitung kata kerja "mewartakan injil" (= evangelizare) dan kata benda dari kata
kerja tersebut "evangelisasi" (evangelizatio)
yang masing-masing muncul 18 dan 31 kali. Dalam dokumen-dokumen tersebut
istilah "evangelisasi" biasanya berarti pewartaan amanat dasar Injil
kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus; dengan kata lain evangelisasi
merupakan pewartaan Injil tahap pertama. Namun perlu kita perhatikan juga
kebaruan yang diberikan Konsili Vatikan II kepadanya, yakni unsur evangelikal
Gereja. Yang dimaksud dengan "evangelikal" di sini adalah unsur
pewartaan Kabar Gembira dan bukan pertama-tama usaha membaptis orang begitu
saja. Sebagai perkembangan paling akhir dari istilah "evangelisasi"
itu, Paus Paulus VI dalam Anjuran Apostoliknya Evangelii Nuntiandi (tahun 1975)
menggunakan istilah tadi dalam arti seluas-luasnya sehingga istilah itu
praktis berarti segala usaha untuk menawarkan, memperkenalkan dan meresapkan
kabar gembira tentang Yesus Kristus dan nilai-nilai Injil kepada umat manusia
dalam semua aspeknya (termasuk hati nuraninya, kegiatan-kegiatannya,
kebudayaannya dan lingkungan hidupnya, bdk. Evangelii Nuntiandi 14;18).
B. Evangelisasi Baru - Di Mana Letak
Kebaruannya?
Paus Yohanes Paulus II, dalam
kata sambutannya kepada Sidang Paripurna ke-19 Konferensi Para Uskup Amerika
Latin (= CELAM) di Port au Prince, Haiti, 9 Maret 1983 yang lalu, mengingatkan
para uskup Amerika Latin bahwa tak lama lagi mereka akan merayakan 5 abad
penemuan benua Amerika (yang ditemukan oleh Christopher Colombus pada 1492) dan
bersamaan dengan itu peringatan 5 abad kedatangan Injil untuk pertama kalinya
di benua itu. Dalam rangka memperingati peristiwa besar itu, Sri Paus berpesan:
“Peringatan 500 tahun evangelisasi hanya akan mempunyai makna yang sepenuhnya,
apabila perayaan tersebut disertai dengan komitmen Anda, para Uskup, bersama
dengan kaum klerus dan awam, suatu komitmen bukan kepada evangelisasi kembali
(re-evangelisasi) melainkan kepada suatu evangelisasi baru: baru dalam
semangatnya, dalam metodenya, dan dalam ungkapan-ungkapannya”.
Sayang, dalam pidatonya itu
Bapa Suci tidak menguraikan lebih lanjut secara jelas dan eksplisit
masing-masing unsur yang harus diperbaharui itu. Akibatnya, para penulis
mengenai Evangelisasi Baru tidak selalu sepakat dalam menafsirkan apa yang
dimaksud Bapa Suci dengan semangat baru, metode baru dan ungkapan baru itu.
Sejak pidatonya di Haiti itu Sri Paus dalam audiensi atau dalam
perjalanan-perjalanan apostoliknya sering menghimbau seluruh Gereja untuk
mengadakan Evangelisasi Baru. Himbauan yang semula ditujukan kepada Gereja
lokal Amerika Latin dan dihubungkan dengan peringatan 5 abad pewartaan Injil di
benua Amerika itu, kini diperluas menjadi himbauan kepada seluruh Gereja dan
dihubungkan dengan peringatan 2000 tahun kedatangan Yesus di dunia. Dengan
tidak mengenal lelah Bapa Suci mendorong agar semua orang berperan serta dalam
tugas evangelisasi menurut kemampuan masing-masing, sebab tanpa semangat
semacam itu Gereja dapat dibandingkan dengan tubuh tanpa banyak daya dan
vitalitas. Kepada para Uskup Granada dan Sevilla (14 Nopember 1986), misalnya,
beliau berkata, "Kita tidak dapat mengharapkan suatu Gereja yang lebih
hidup dan berpotensi jika kita tidak meningkatkan Evangelisasi Baru kita”.
Di manakah letak kebaruan
gagasan Yohanes Paulus II? Lepas dari kebaruan istilahnya sejauh merupakan
istilah, sebenarnya tidak ada suatu unsur yang sama sekali baru dalam gagasan
beliau. Sehubungan dengan ciri pertama Evangelisasi Baru, yakni SEMANGAT baru,
sebenarnya sejak dahulu orang sudah menyadari bahwa orang harus selalu membaharui
semangatnya untuk mewartakan kabar gembira. Sejak dahulu hingga sekarang pun
sebenarnya ada banyak misionaris yang bersemangat baja untuk menghantar
sebanyak mungkin orang ke dalam keselamatan yang ditawarkan Yesus Kristus.
Perlunya selalu membaharui semangat berevangelisasi sudah dicanangkan
berulangkali oleh Paus Paulus VI, meskipun dengan cara atau ungkapan yang
berbeda dengan istilah yang dipakai Yohanes Paulus II. Bahkan, hubungan antara
mendesaknya tugas evangelisasi dan peringatan 2000 tahun kedatangan Yesus atau
kedatangan ribuan tahun (= millenium) yang ketiga itupun sudah disinggung oleh
Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi 81. Begitu juga halnya dengan ciri
kedua dan ketiga Evangelisasi Baru, yakni METODE dan UNGKAPAN baru. Orang
sebenarnya sudah lama menyadari bahwa metode dan ungkapan evangelisasi
seharusnya selalu baru, artinya harus selalu disesuaikan dengan kebu tuhan
jaman dan kebudayaan lokal. Usaha Matteo Ricci (1552-1610) dahulu untuk
mewartakan Injil dalam dialog dengan kebudayaan Cina merupakan satu contoh
klasik. Imam Yesuit yang seorang ilmuwan terkenal itu sudah lama berusaha
membuat agama Kristen terasa dekat pada hati orang-orang Cina. Karena itu ia
tidak segan-segan mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan sosial Tiongkok
(termasuk penghormatan kepada leluhur) menjadi bagian dari penghayatan hidup
Kristen. Bagi dia, segala sesuatu yang tidak terang-terangan bertentangan
dengan iman dan susila Kristen bisa diterima dan dimurnikan menjadi ritus
Kristen. Apa yang diusahakan Matteo Ricci sering disebut inkulturasi. Dan dalam
hal ini, sebagaimana yang akan kita lihat nanti, sesungguhnya Alkitab sendiri
telah memberikan teladan yang cukup gamblang. Sabda Allah memang harus
disampaikan menurut metode dan ungkapan yang sesuai dengan situasi jaman. Ini
semua berdasarkan keyakinan teologis berikut ini. Allah itu mahakaya; Ia tidak
pernah akan membosankan bagi manusia; wajah-Nya selalu baru bagi manusia dalam
situasi dan kondisinya manapun juga. Kekayaan Kristus dan Injil-Nya selalu
mengandung "surprise" bagi setiap jaman. Tidak mungkin Injil terkuras
habis kekayaan isinya atau ketinggalan jaman. Maka dari itu Allah dapat bahkan
seharusnya berbicara sesuai keadaan dan kebudayaan si pendengar.
Kalau ketiga unsur yang
disebut-sebut dalam himbauan Yohanes Paulus II sebenarnya bukan hal baru,
sekali lagi perlu kita tanyakan, di manakah letak kebaruan gagasan beliau?
Mungkin unsur kebaruannya terletak pada penyadaran kembali seluruh Gereja akan
pentingnya berevangelisasi dengan semangat, metode dan ungkapan baru sedemikian
rupa sehingga usaha tersebut diangkat menjadi program pastoral Gereja secara
serentak di seluruh dunia.
3. Sasaran Evangelisasi Baru
Mengamati ucapan ataupun
dokuman Yohanes Paulus II, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Evangelisasi
Baru mempunyai sasaran maupun nuansa yang sedikit berbeda dari satu tempat ke
tempat lain.
Dahulu pengertian evangelisasi
disempitkan pada misi kepada orang-orang non-Kristen. Tetapi kini evangelisasi
kita mengerti sebagai pewartaan Kabar Gembira dalam arti seluas-luasnya. Dalam
arti demikian evangelisasi harus ditujukan pertama-tama kepada Gereja sendiri.
Mengapa? Sebab evangelisasi pertama-tama adalah kesaksian iman tentang Allah
yang mengasihi dan menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Oleh karena itu
sebelum menjadi pewarta Kabar Gembira dan pembawa keselamatan, Gereja sendiri
harus lebih dahulu menjadi pendengar Sabda yang baik dan menikmati keselamatan
itu sendiri. Tepatlah rumusan Konsili Vatikan dalam konstitusi Dei Verbum no 1,
"Sambil mendengarkan SABDA ALLAH dengan khidmat dan mewartakannya dengan
penuh kepercayaan, Konsili suci mau mematuhi amanat Santo Yohanes: "Kami
mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada
kami: Yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu ...
(1Yoh 1:2-3)." Sikap menjadi pendengar yang baik sebelum menjadi pewarta
yang baik ini nampak secara lebih jelas dalam Yes 50:4-5. Di sana digambarkan
bagaimana si Hamba Allah menjadi pewarta Kabar Baik (= mempunyai lidah seorang
murid) sehingga ia dapat menghibur dan memberi semangat baru kepada mereka yang
letih lesu. Akan tetapi sebelum ia dapat memiliki lidah yang fasik semacam itu,
ia harus lebih dahulu memiliki telinga seorang murid. Setiap pagi Allah
mempertajam telinganya agar ia mendengarkan Sabda-Nya. Bahkan Tuhan Allah perlu
membuka telinganya. Perlu dicatat di sini bahwa ungkapan "membuka telinga"
itu mungkin sekali mengacu pada upacara penindikan daun telinga seorang budak
pada daun pintu sebagai tanda bahwa ia dengan secara suka rela ingin menjadi
hamba tuannya seumur hidup (lihat Ul 15:16-17). Jadi ungkapan "membuka
telinga" mengacu kepada ketaatan total.
Mengikuti Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II menekankan kesaksian hidup
sebagai bentuk pertama pewartaan Injil. Beliau menggarisbawahi fakta bahwa
dewasa ini orang lebih percaya pada perbuatan, kesaksian hidup dan pengalaman
nyata daripada pada doktrin-doktrin atau pengajaran-pengajaran belaka
(Redemptoris Missio 42). Dalam hal ini Yesus Kristus harus menjadi model setiap
pewarta Injil: dengan tindakan yang disertai kata-kata Ia menjadi Saksi yang
istimewa (bdk Why 1:5; 3:14). Aspek kesaksian hidup semacam inilah yang cukup
sering diteriakkan para pejuang keadilan sosial di Amerika Latin; slogan mereka
“prims opere, postea verbo", artinya lebih dahulu [mewartakan Injil]
dengan karya-karya, baru kemudian dengan kata-kata.
Sasaran pertama dan utama
Evangelisasi Baru tentu saja adalah para pewarta Sabda yang resmi (lebih-lebih
uskup dan imam). Konsili Vatikan II dengan jelas memberikan tempat amat penting
kepada tugas pewartaan Sabda dalam pelayanan para Uskup (LG 25) dan para imam
(PO 4). Jadi merekalah yang pertama-tama harus diresapi oleh Sabda Allah agar
mereka tidak mewartakan diri sendiri melainkan Sabda Allah. Dalam anjuran
apostoliknya yang paling baru tentang pendidikan imam di dunia modern ini,
Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), Yohanes Paulus II berkali-kali menekankan
pentingnya peranan para imam sebagai pewarta Sabda dalam era Evangelisasi Baru
ini. Dalam bab pengantar dan bab I saja beliau memakai kata "Evangelisasi
Baru" sebanyak 3 kali (no 2, 9, 10), belum terhitung ungkapan serupa
lainnya, seperti kata "evangelisasi" (tanpa embel-embel
"baru"), pelayanan injil, dsb. Tentang pendidikan calon imam beliau
menekankan bahwa pembinaan integral calon imam yang up to date merupakan
"salah satu tugas yang paling mendesak dan penting bagi masa depan
evangelisasi para bangsa" (no 2) dan bahwa Evangelisasi Baru mutlak
memerlukan imam-imam sebagai "evangelisator-evangelisator baru" (no 2).
Sasaran lain Evangelisasi Baru adalah kaum religius. Kepada suratnya kepada
para religius di Brasil (11 Juli 1989) beliau menyerukan agar kekuatan-kekuatan
besar yang ada pada setiap individu maupun komunitas hidup religius dikerahkan
untuk men-sukseskan Evangelisasi Baru. Begitu juga setiap orang Kristen. Dari
sakramen baptis mereka menerima tugas untuk menjadi imam, raja dan nabi seperti
Kristus. Maka dari itu merekapun dipanggil untuk memberi kesaksian tentang
Injil yang dapat memberi jawaban tuntas terhadap masalah-masalah manusia.
Singkat kata, seluruh Gereja sejauh merupakan pelaksana evangelisasi adalah
sekaligus sasaran pertama evangelisasi. Akhirnya, masyarakat atau negara
kristen tetapi yang sudah kehilangan semangat dan nilai-nilai kristen merupakan
sasaran Evangelisasi Baru juga.
Jika Gereja atau masyarakat
Kristen perlu mendapat evangelisasi kembali (re-evangelisasi), maka mereka yang
belum mengenal Kristus perlu mendapat evangelisasi pertama. Namun perlu dicatat
di sini bahwa evangelisasi tidak identik dengan pengkristenan dalam arti sempit
atau dengan fanatisme yang membabi-buta.
4. Nuansa Evangelisasi Baru
Istilah yang sama dapat
mempunyai arti dan nuansa yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Begitu
juga pemakaian istilah "Evangelisasi Baru":
- Untuk Afrika istilah itu perlu lebih menekankan pentingnya inkulturasi, hak azazi manusia, martabat wanita dan keadilan sosial.
- Untuk Asia istilah itu perlu lebih menekankan pentingnya dialog dengan agama-agama non-kristen, keadilan sosial, dsb.
- Untuk negara-negara maju Amerika Utara dan Eropa, istilah itu perlu lebih menekankan re-evangelisasi dunia yang dahulu mayori¬tas masyarakatnya beragama/bermental Kristen tetapi yang kini sudah kehilangan banyak nilai kekristenan mereka.
- Untuk Amerika Latin Evangelisasi Baru perlu lebih banyak dihubungkan dengan perjuangan melawan ketidakadilan sosial (sehingga istilah Evangelisasi Baru dekat hubungan dengan gagasan Teologi Pembebasan).
5. Semangat baru
A. Tekad dan kesiapsediaan baru
Apakah yang dimaksud dengan
"semangat baru"? Dari pidato Yohanes Paulus II di Haiti orang bisa
mendapat kesan bahwa yang dimaksud Sri Paus dengan "semangat baru"
adalah dorongan atau tekad yang diperbaharui untuk mewartakan Kabar Gembira.
Tekad itu tentu saja harus disertai dengan kerelaan dan kesiapsediaan orang
untuk menjadi pewarta Injil. Tekad itu mengandaikan juga usaha-usaha serius
untuk menggalakkan panggilan menjadi pewarta Sabda. Begitu misalnya penafsiran
Mgr. J.E. Bifet ("Church Renewal for a New Evangelization", dalam Toward
a "New Evangelization,", Roma: UISC, no 83, 1990, hal 5). Yang
dimaksudkan dengan pewarta Sabda tidak terbatas pada para uskup, imam atau
biarawan saja melainkan juga kaum awam. Menurut hemat kami tafsiran Mgr J.E.
Bifet ini tepat sebab tafsiran semacam itu diperkuat oleh pidato Yohanes Paulus
II di Santo Domingo (11 dan 12 Oktober 1984) yang menghimbau agar Gereja
mengusahakan secara lebih serius mobilisasi tenaga-tenaga rohani untuk
mewujudkan pertobatan hati melalui Evangelisasi Baru. Begitu juga kepada para
religius di Brasil (surat tertanggal 11 Juli 1989) beliau menyerukan agar
kekuatan-kekuatan besar yang ada pada setiap individu maupun komunitas hidup
religius dikerahkan untuk mensukseskan Evangelisasi Baru. Alasan utama untuk
pembaharuan semangat evangelisasi adalah kenyataan berikut ini: setelah hampir
dua ribu tahun Yesus Kristus mengutus Gereja untuk mewartakan Injil kepada
semua bangsa (Mat 28:19-20), ternyata masih dua pertiga dari penduduk dunia
belum mengenal dan menyerahkan diri kepada kasih Yesus Kristus (bdk. Pesan Sri
Paus Yohanes Paulus II pada "Hari Minggu Misi Sedunia" 1992). Padahal
mereka semua juga ditebus oleh Yesus Kristus dan dipanggil untuk memiliki
kepenuhan atau kelimpahan hidup ilahi yang Dia bawa ke dunia (Yoh 10:10).
Sebagai gambaran saja, berikut ini kami sajikan statistik: umat Kristen/Katolik
di dunia saat ini (kami kutip dari Dr. Piet Go (ed.), Evangelisasi Baru:
Sumbangan Karisma Karmel [Dioma, 1991] hal iv):
DATA UMAT MENURUT AGAMA
Benua
|
Penduduk
|
Katolik +Kristen (aneka denomin)
|
Afrika
|
470.976.000
|
58.509.000
|
Amerika
|
605.782.000
|
370.922.000
|
Asia
|
2.510.741.000
|
65.824.000
|
Eropa
|
751.258.000
|
270.861.000
|
Oceania
|
22.376.000
|
5.547.000
|
Total
|
4.361.133.000
|
771.663.000
|
Menilik jumlah penduduk dunia
yang disebut di atas, nampaknya statistik tersebut sedikit ketinggalan jaman,
bukan hasil sensus yang paling mutakhir. Namun angka-angka di atas cukup
menggambarkan keadaan dunia saat ini. Masih banyaknya orang yang belum mengenal
Kristus seharusnya mendorong kita semua, baik kaum berjubah maupun awam biasa,
untuk membaharui semangat berevangelisasi. Itulah sebabnya setiap tahun
dirayakan Hari Minggu Misi yang bertujuan mendorong terus usaha tersebut. Semua
orang, lebih-lebih para pewarta Sabda resmi (mulai dari Uskup hingga pemuka
jemaat yang awam), dipanggil untuk bersemangat seperti rasul Paulus. Rasul yang
dipanggil untuk menjadi rasul agung bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi itu
menghabiskan hidupnya untuk mewartakan Injil. Ia sendiri berkata,
"Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil" (1 Kor 9:16). Dengan
segenap hati ia melayani Allah dalam pemberitaan Injil Yesus Kristus (Rm 1:9),
supaya ia dapat menuntun semua bangsa kepada iman kepercayaan dan ketaatan
kepada namaNya (Rm 1:5). Karena itu dengan tidak mengenal lelah Paulus
mengadakan perjalanan-perjalanan apostolik sepanjang hampir 16.000 km, dengan
menempuh segala macam kesulitan dan bahaya. Sungguh suatu perjalanan yang
panjang, lebih-lebih bila kita ingat betapa sederhananya alat-alat transportasi
waktu itu! Tetapi itu semua dilakukan Paulus agar semua orang mengenal kasih
Yesus Kristus. Semua orang, seperti Paulus, biarpun dalam taraf berbeda-beda,
dipanggil untuk menjadi saksi Yesus Kristus dengan kata-kata dan
tindak-tanduknya. Semua orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dunia dan
terang dunia (Mat 5:13-16). Kaum awam harus sadar bahwa daya jangkau mereka di
dunia dalam rangka pewartaan Injil itu luar biasa, sebab merekalah yang
sungguh-sungguh hidup di dalam masyarakat dan justru melalui merekalah banyak
orang dapat mengenal agama Kristen. Mereka harus sadar bahwa agama Kristen
adalah agama cinta kasih dan cinta kasih itu pada hakekatnya menuntut agar ia
menular dan berkembang hingga menjangkau sebanyak mungkin orang. Semakin kasih
itu mencapai banyak orang, semakin sempurna juga kebahagiaan dan sukacita si
pewarta kasih itu, seperti yang dikatakan oleh Yohanes, "Semuanya ini kami
tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna" (1Yoh 1:4).
Memang tepat bunyi pepatah ini: "Kebahagiaan akan semakin bertambah bila
dibagikan kepada orang lain. Sebaliknya, kesusahan akan menjadi semakin kecil bila
dibagikan kepada sesama." Inilah salah satu motivasi yang mendorong kita
untuk mewartakan Injil kepada sebanyak mungkin orang.
Semua pewarta Sabda resmi,
tetapi dalam arti tertentu juga kaum awam biasa, dipanggil untuk rela diutus
Tuhan mewartakan Sabda-Nya seperti nabi Yesaya. Ketika mendengar pertanyaan
Tuhan dalam dewan surgawi, "Siapakah yang akan Kuutus?" Yesaya segera
menjawab, "Ini aku, utuslah aku." (Yes 6:8). Begitu juga setiap pewarta
Sabda dipanggil untuk menjadi seperti nabi Yehezkiel yang, atas perintah Tuhan,
rela membuka mulutnya dan melahap gulungan kitab, mencernakannya dalam perut,
mengintegrasikannya dalam tubuhnya, lalu menjadi pewarta Sabda yang setia (Yeh
2:35-3:15). Tetapi model terbesar dan sempurna untuk seorang pewarta Sabda adalah
Yesus sendiri. Dia sendiri bersabda, "Aku tidak berbuat apa-apa dari
diriKu sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal sebagaimana diajarkan Bapa
kepadaKu" (Yoh 8:28; bdk 7:16 dll.). Setia mendengarkan Sabda Bapanya,
dengan tidak mengenal lelah Yesus berkeliling dari kota-ke kota, dari desa yang
satu ke dewa yang lain sambil mewartakan Injil Kerajaan Allah (lih. mis. Mrk
1:35-39). Orang mendapat kesan dari Injil Markus bahwa Yesus tergesa-gesa
karena tugas evangelisasi itu begitu penting dan mendesak. Hal ini disarankan
oleh seringnya dipakai keterangan "segera" untuk perbuatan Yesus (Mrk
1:10; 12:20, dll yang sayang tidak selalu nampak dalam terjemahan LAI).
Kadang-kadang Ia bahkan tidak sempat makan (Mrk 6:31).
B. Spiritualitas baru
Selain tafsiran di atas, ada
juga tafsiran lain yang menghubungkan "semangat baru" itu dengan
sikap dan mentalitas baru. Dengan kata lain Yohanes Paulus II berbicara tentang
suatu spiritualitas baru dalam berevangelisasi. Camilo Maccise, Romo Jenderal
Karmelit Teresian, misalnya, berbicara tentang beberapa ciri utama
spiritualitas Evangelisasi Baru, antara lain: spiritualitas inkarnasi
(penjelmaan), spiritualitas kenabian (pewartaan dan kritik sosial),
spiritualitas hidup bersama dalam persaudaraan dan pelayanan.
·
Spiritualitas
Inkarnasi
Mungkin yang dimaksud Maccise
dengan spiritualitas inkarnasi adalah spiritualitas Yesus Kristus sendiri. Dia
yang biarpun setara dengan Allah rela meninggalkan kemuliaan keallahan-Nya
untuk bersatu dengan manusia yang hina (Flp 2:6-8) dan ikut merasakan
kelemahan-kelemahan kita, hanya saja Ia tidak sampai berdosa (Ibr 4:15). Dengan
spiritualitas semacam itu diharapkan agar para pewarta Sabda berani hidup dekat
dengan umat dan ikut melihat dan mengalami apa yang dialami umat yang mereka
layani. Hanya bila tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara si pewarta
Sabda dan si penerima Sabda, maka Evangelisasi Baru akan berhasil. Sebaliknya,
bila ada perbedaan kebudayaan maupun perbedaan tingkat ekonomi dan sosial yang
terlalu besar antara si pewarta Sabda dan para pendengarnya, maka ada bahaya
evangelisasi itu gagal. Semangat inkarnasi semacam ini menjadi jelas dalam diri
Paulus yang berkata, "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti
orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi... Bagi orang yang
lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan
mereka yang lemah... Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil..." (1
Kor 9:20-23).
·
Spiritualitas
kenabian
Dengan spiritualitas kenabian
dimaksudkan sikap dan semangat para nabi Allah yang mampu membaca dan
menafsirkan tanda-tanda jaman dalam terang Sabda Allah serta berani mengecam
keadaan yang tidak sesuai dengan rencana ilahi. Seorang nabi mampu mengecam
ketidakadilan sosial (Amos 5:7-13; 8:14-18; Hos 4:1-10; Yes 5:8-24.dll),
penyembahan berhala dan segala bentuk ketidaksetiaan lain yang ada pada bangsa
pilihan (Yes 1:2-9; 5:1-7; Hos 4:11-19). Sambil mengecam, para nabi mewartakan
juga ancaman hukuman dari Tuhan. Allah berseru melalui nabi Amos, "Hanya
kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum
kamu karena segala kesalahanmu" (Am 3:2). Hosea menubuatkan kehancuran
Samaria, ibu kota kerajaan Israel (Hos 8:1-4), ia juga menubuatkan hukuman
untuk para imam yang melalaikan tugas pewar-taan Sabda dan bimbingan umat (Hos
4:4-6), padahal pengajaran Sabda (= Torah) merupakan tugas utama mereka
(lebih-lebih sebelum jaman pembuangan). Nabi Amos meramalkan keruntuhan Yehuda
(Am 2:4-5), keruntuhan Israel (2:6-16), dsb. Tentu saja semua kecaman-kecaman
itu tidak enak didengar di telinga para pendengar. Mereka lebih suka mendengar
nubuat yang manis dan baik (Am 7:16-17). Tetapi seorang nabi diutus bukan untuk
mewartakan diri atau sabdanya sendiri melainkan sabda Tuhan. "Tuhan Allah
telah ber¬firman, siapakah yang tidak berfirman?" (Am 3:8). Oleh karena
itu sungguh tidak mudah menjadi seorang nabi yang sejati. Seorang nabi sering
mengalami nasib malang: ditolak, dicemooh, bahkan dikejar-kejar dan dianiaya
(bdk. nasib nabi Elia, 1 Raj 18-19; Yer 26:1-24) atau bahkan dibunuh. Yesus
sendiri adalah model sempurna seorang nabi Allah. Ia mengecam apa saja yang
tidak beres dalam masyarakat Yahudi waktu itu; Ia mengecam orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat (bdk Mat 23:36; Mrk 7:1-16), Ia mengecam umat Yahudi yang
serbarewel seperti anak kecil yang menuntut orang lain mengikuti kehendak
mereka sendiri (Luk 7:31-35), ia mengecam keserakahan akan uang (Luk 12:13-21),
dan seba¬gainya. Keterusterangan Yesus dalam mengecam para pemimpin dan
keberanian-Nya berselisih paham dengan para pemimpin Yahudi inilah yang membuat
Yesus harus dibunuh seperti banyak nabi lainnya (Mat 23:34-35).
·
Spiritualitas
hidup bersama
Dengan spiritualitas hidup
bersama dimaksudkan suatu hidup bersama yang diresapi kasih persaudaraan
sebagai tempat ideal untuk mendengarkan Sabda Allah secara bersama sebagai satu
keluarga Allah. Sesungguhnyalah Sabda Allah akan menjadi semakin hidup bila
dibaca dan dihayati bersama. Praktek membaca Alkitab secara bersama itu sudah
ribuan tahun usianya. Ketika bangsa Yahudi berada di pembuangan Babilon (abad 6
SM) mereka kehilangan sega¬la-galanya, termasuk kehilangan tanah, Bait Suci,
dan raja yang selama ini mereka banggakan dan mereka anggap sebagai bukti kasih
Allah terhadap mereka. Jadi mereka kehilangan segala sesuatu yang mereka anggap
termasuk jati diri umat pilihan Yahwe. Kini dalam keadaan hancur semacam itu
mereka sering berkumpul bersama di tepi sungai-sungai Babel (Mazmur 137) untuk
saling menghibur, berdoa bersama dan yang paling penting: membaca dan
merenungkan bersama-sama Sabda Allah. Justru pada waktu yang sulit semcam itu
Sabda Allah menghimpun umat-Nya sehingga timbullah harapan baru. Sabda Allah
yang dibaca bersama memberi visi baru terhadap keadaan yang sekarang ini, yakni
sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka sendiri (Yes 140:1-2). Hal ini
menimbulkan harapan baru pula: keadaan mereka akan dipulihkan asalkan mereka
mau bertobat kepada Allah. Allah bersedia menolong mereka; Ia mengampuni segala
dosa mereka (Yes 43:25: 44:22) dan memanggil mereka untuk bertobat dan kembali
kepada-Nya (Yes 44:22) dan memberi mereka harapan akan masa depan baru yang
cerah (Yes 48). Demikianlah umat Israel sampai pada visi iman yang baru berkat
pembacaan kitab-kitab suci mereka secara bersama. Perlu kita ketahui bahwa
sebagian besar kitab Taurat dan kitab-kitab yang bersifat 'sejarah' justru
dikumpulkan atau ditulis pada masa pembuangan ini atau segera sesudahnya.
Nilai pembacaan Sabda Allah
dalam kelompok nampak juga dalam praktek persekutuan umat Kristen awali. Mereka
sering berkumpul bersama, antara lain untuk "bertekun dalam pengajaran
rasul-rasul" (Kis 2:42). Membaca dan merenungkan Sabda Allah secara
bersama ini mereka warisi dari agama Yahudi yang memiliki lembaga sinagoga. setiap
hari Sabtu umat Yahudi berkumpul untuk memuji Allah dan mendengarkan SabdaNya.
Dalam bimbingan Roh Kudus dan para rasul mereka menafsirkan kitab Perjanjian
Lama dalam terang wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.
Sebagaimana umat Yahudi dan jemaat Kristen awali mendengarkan Sabda Allah
secara bersama-sama dan menafsirkan tanda-tanda jaman secara bersama juga,
begitu juga dalam rangka Evangelisasi Baru kita diundang untuk membaca dan
menafsirkan Sabda Allah secara bersama-sama, lebih-lebih dalam komunitas dasar/basis.
6. Metode baru
Seperti halnya dengan istilah
"semangat baru", begitu pula istilah "metode baru" mendapat
beberapa tafsiran yang berbeda dari penulis yang satu ke penulis yang lain. Di
bawah ini kami hanya berusaha menyajikan beberapa kemungkinan tafsiran.
A. Pendekatan baru: bertitik tolak dari kaum
kecil
Berbicara tentang "metode
baru" dalam rangka Evangelisasi Baru, beberapa penulis (a.l. Leonardo
Boff, C. Maccise) langsung menghubungkannya dengan pewartaan Kabar Gembira kepada
dan oleh kaum miskin. Dasar yang terdalam penggunaan metode ini adalah karena
Yesus Kristus sendiri memakainya. Ia mewartakan Injil sebagai orang miskin dan
kepada orang miskin. Yesus datang untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat
manusia. Tugas itu Ia jalankan bukan dengan menjadi seorang Mesias yang penuh
dengan kemuliaan duniawi dan kekuasaan politis, bukan dengan harta benda yang
melimpah, bukan dengan pakaian yang bergemerlapan, bukan dengan berkendaraan
kereta perang dan kuda-kuda yang gagah perkasa, melainkan dengan
"mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia" (Flp
2:7). Ia lahir dalam kandang yang hina, menjadi anak tukang kayu, hidup dan
bekerja sebagai orang miskin. Dan ketika Ia tampil ke depan umum Ia sendiri
menyatakan bahwa nubuat Yes 61:1-2 terpenuhi dalam diri-Nya: “Roh Tuhan ada
pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang
tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk
4:18-19).
Itulah program kerja Yesus
sebagai Mesias! Memang Yesus tidak mengucil orang-orang kaya dari Kerajaan
Allah. Sahabat dan orang-orang yang mendukung karya-Nya termasuk orang-orang
yang cukup kaya juga (misalnya wanita-wanita yang mampu "membiayai"
rombongan Yesus, Lukas 8:2-3). Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa
Injil Lukas menampilkan Yesus terutama sebagai pembebas orang kecil dan tertindas.
Mengapa orang kecil? Sebab orang-orang kecil dan tertindas semacam itulah yang
biasanya lebih terbuka bagi karya Allah. Dalam kemiskinan atau keadaan tak
berdaya secara materiil maupun rohani, mereka tidak mampu menyombongkan diri;
mereka tidak bisa menggantungkan diri pada kekuatan sendiri. Karena itu mereka
lebih terbuka untuk menerima tawaran keselamatan dari Allah; dengan kata lain,
mereka lebih mudah menyerahkan diri secara total kepadaNya. Maria dan si mandul
Elisabeth merupakan contoh kaum kecil (anawim) yang mengalami karya-karya besar
yang dikerjakan Allah. Maria dapat berseru, "Ia menurunkan orang yang
berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang rendah; Ia melimpahkan
segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan
tangan hampa" (Luk 1:52-53). Allah semacam itulah yang kini berkarya dalam
diri Yesus dari Nazaret. dengan kata-kata dan tindakan konkret Yesus
menampakkan Allah yang diwartakan Maria dalam kidungnya tadi sebagai Allah kaum
kecil dan hina-dina. Orang banyak mengakui bahwa Yesus membuat segala-galanya
baik: yang tuli dijadikannya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya mendengar (Mrk
7:37), dan sebagainya. Pendek kata lewat karya dan perkataan Yesus Allah
menggenapi nubuat-Nya, "Lihat, aku menjadikan semuanya baru" (Yesaya
43:19; Wahyu 21:5).
Leonardo Boff, tokoh
kontroversial karena teologi Pembebasannya, menulis sebuah buku yang dalam
terjemahan Italianya berjudul Nuova Evangelizatione (terj. Bruno Pistocchi,
terbitan Cittadella Editrice, Asisi, 1991). Dalam bukunya itu ia menekankan
betapa pentingnya mewujudkan evangelisasi dengan metode baru. Yang dia
maksudkan dengan "metode baru" adalah titik tolak baru. Baginya
Evangelisasi Baru harus meruntuhkan tembok pemisah antara si evangelisator dan
mereka yang menerima evangelisasi. Bagi Boff Evangelisasi Baru adalah baru
karena titik tolaknya baru, cara pendekatannya baru. Evangelisasi Baru akan
berhasil jika bertitik tolak dari keadaan kaum kecil yang tertindas, dihisap
namun sekaligus amat religius. Pewartaan Injil harus ditujukan pertama-tama
kepada mereka dan bertujuan untuk membebaskan mereka dari segala bentuk
kemiskinan yang membelenggu manusia dewasa ini di Amerika Latin. Bahkan Boff
berbicara tentang hutang negara-negara Amerika Latin yang perlu diberi
keringanan atau potongan. Seorang teolog pembebasan lainnya, Gustavo Gutierrez
bahkan mengusulkan penghapusan semua hutang negara-negara Amerika Latin yang
tak terpikulkan itu. Ia berkata, "Banyak orang di antara kami berpendapat
bahwa salah satu cara yang baik untuk merayakan 500 [tahun penemuan Amerika]
ini adalah dengan meminta penghapusan hutang lahiriah [= ekonomis], misalnya.
Ini amat konkret dan kami mempun¬yai alasan historis untuk meminta hal ini
apabila kami hari ini mengingat-ingat emas yang diambil dari orang-orang
Indian, dari benua ini" (dikutip dari Norbert Greinacher, "Conversion
Through conquest" Theology Digest 39:2 [Summer, 1992] hlm 124-125].
Memang harus kita akui bahwa
apa yang diperjuangkan oleh para teolog Pembebasan itu amat bernilai, asalkan
orang tidak menjadi terlalu ekstrim kanan. Orang tidak boleh jatuh dalam bahaya
membenci kaum kaya atau menimbulkan pertentangan tajam antar golongan atau
kelas dalam masyarakat. Pembebasan kaum miskin dan tertindas dari kemiskinan mereka
memang merupakan salah satu cara dan isi konkret pewartaan Injil. Perlu juga
diingat bahwa pembebasan tersebut harus bersifat mendidik. Itu berarti, usaha
pembe¬basan kaum kecil tidak boleh disempitkan pada pemberian-pemberian
sumbangan atau pada karya-karya karitatif belaka, melainkan harus mencakup
usaha mendewasakan dan memampukan kaum kecil untuk dengan kekuatan sendiri
dapat melepaskan diri dari keadaan dan struktur masyarakat yang menjadi
penyebab kemiskinan itu. Pembebasan kaum kecil harus mencakup usaha memulihkan
harga diri mereka yang diinjak-injak dan mengembalikan apa yang menjadi hak
mereka, memberi mereka kesempatan dan kemungkinan konkret untuk berkembang
lebih lanjut. Dalam hal ini Ajaran-ajaran Sosial Gereja harus menjadi
penuntunnya. Dalam Ajaran-ajaran Sosial Gereja (dari Rerum Novarum Paus Leo
XIII [1891] hingga Centesimus Annus dari Yohanes Paulus II [1991]) bisa kita
lihat dengan jelas bagaimana Gereja secara konsisten selalu menaruh
keprihatinan besar pada keadaan masyarakat, terutama kaum kecil dan tertindas.
Gereja ingin membebaskan mereka dari kemiskinan jasmani dengan menyadarkan umat
manusia akan martabat manusia yang paling dalam, akan hak setiap manusia untuk
hidup secara layak, hak setiap buruh untuk diperlakukan secara manusiawi, dan
untuk mendapat upah yang adil, akan bahaya-bahaya sistim-sistim tertentu (komunisme,
kapitalisme dll). Ajaran-ajaran Sosial Gereja mau menyadarkan manusia,
lebih-lebih para pemimpin dunia dan para majikan, bahwa sumber-sumber alam ini
harus dibagi secara adil. Secara singkat melalui ajaran-ajaran tersebut kita
diajar untuk mewujudkan suatu "kebudayaan kasih" sebagai ungkapan
keselamatan yang datang dari Tuhan. Kebudayaan kasih itulah yang akan
melahirkan suatu masyarakat adil dan makmur untuk seluruh anggotanya. [Dalam
konteks indonesia, gagasan kebudayaan kasih itu dekat dengan ide Sila V dari
Pancasila, yakni usaha menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia] Usaha serius untuk menciptakan kesejahteraan sosial merupakan sarana
sekaligus ungkapan pewartaan Kabar Gembira.
B. Dialog dengan agama-agama lain
Berbicara tentang metode baru
dalam Evangelisasi Baru kita dapat juga berbicara tentang perlunya berdialog
dengan agama-agama lain. Dalam konteks Asia, Evangelisasi Baru mempunyai nuansa
khusus pada dialog antaragama ini. Sudah 5 abad lebih Injil diwartakan kepada
bangsa-bangsa di Asia. Namun hasilnya relatif masih sangat kecil. Hal ini
nampak dari prosentase umat kristen di Asia. Jumlah penduduk Asia merupakan
hampir 60 % dari seluruh populasi dunia. Akan tetapi setelah 5 abad
evangelisasi, baru sekitar 1,73 % penduduknya beragama Kristen (sedangkan orang
Katolik hanya 0,8 % dari populasi Asia, jika kita tidak menghitung 45 juta
orang Katolik di Filipina). Oleh karena itu rasanya evangelisasi paling tidak
berhasil di Asia. Mengapa demikian? Kemungkinan besar karena Asia sudah
mempunyai tradisi agama-agama yang begitu kuat berakar dalam hati bangsa Asia.
Maka dari itu pewartaan Injil tidak dapat berhasil selama Gereja belum berdialog
dengan agama-agama lain. Sejarah evangelisasi di kalangan orang-orang Indian
dahulu menunjukkan bahwa salah satu sebab utama kegagalan evangelisasi adalah
tiadanya inkulturasi. Para misionaris Spanyol ataupun Portugis dahulu memakai
metode-metode yang seringkali keliru. Tentang cara menghadapi dan memberantas
penyembahan berhala di kalangan orang-orang Indian, misalnya Jose de Acosta
(1540-1600) menulis demikian:
·
Tugas atau keprihatinan pertama para imam
adalah menyingkirkan berhala-berhala dari hati para pendengar. Cara yang
terbaik untuk itu adalah melalui pengajaran dan anjuran. Namun, segala macam
cara harus dipakai untuk mengenyahkan berhala-berhala dari mata dan cara hidup
mereka.. Tuhan bersabda, "...mezbah-mezbah mereka harus kamu hancurkan dan
bakarlah berhala-berhala mereka dengan api" (Ul 7:5; 12:2; Kel 34:13)...
bagi mereka yang sudah menjadi Kristen dan telah menerima baptisan,
bagaimanapun juga tahayul kafir tidak bisa ditolerir. Setiap bentuk pemujaan
berhala di antara mereka harus dihukum...
·
Bila [orang-orang kafir] menghadiri ritus-ritus
dan upacara-upacara mereka tanpa mengganggu orang-orang Kristen... biarkan
mereka dalam kebutaan mereka sampai mereka diterangi oleh Yang
Mahatinggi...Tetapi bila mereka di bawah kuasa seorang majikan Kristen dan
mereka mengganggu (= menimbulkan kejengkelan bagi) orang-orang yang sudah
bertobat (menjadi orang Kristen) maka mereka tidak bisa ditolerir sama
sekali...Konsili Elvira [Spanyol Selatan kira-kira tahun 306] memerintahkan
supaya para majikan menghancurkan benda-benda berhala para budak mereka.
·
Jika ritus-ritus dan pemujaan berhala kafir
merugikan orang-orang yang baru percaya...maka kekuasaan politis seharusnya
bahkan wajib dipakai untuk menyingkirkan halangan-halangan semacam itu...Sebagai
ganti ritus-ritus yang memalukan, dan upacara-upacara lain harus diperkenalkan
air suci, gambar para kudus, rosario, gandum yang diberkati, lilin dan
benda-benda lain yang sering disahkan dan dipakai oleh Gereja kudus adalah
berguna bagi orang-orang yang baru percaya....
Sudah
sejak dahulu metode evangelisasi semacam itu mendapat banyak kritik sebab
seringkali justru bersifat kontra-produktif, artinya justru mengakibatkan
penolakan agama risten atau paling banyak menghasilkan pertobatan semu. Orang
bisa saja menjadi Kristen tetapi dengan mentalitas dan kepercayaan dari
"agama yang dia tinggalkan secara terpaksa. Jadi agama Kristen menjadi
semacam pakaian luar saja, sedang hatinya masih manusia lama. Tidak mungkin
orang meninggalkan begitu saja kepercayaan dan ritus-ritus agama yang sudah
lama dipeluknya. Bila evangelisasi dilakukan secara tergesa-gesa, seorang
dapat menerima salib atau patung tetapi itu semua dianggap sekedar pengganti
berhala mereka.
Pewartaan Injil yang sampai mengubah hati manusia memang merupa¬kan proses yang
memakan waktu lama. Dan dalam proses tersebut orang yang mendapat pewartaan
Injil harus diajak berdialog untuk melihat kebenaran agama Kristen secara
perlahan-lahan sambil membandingkannya dengan kepercayaan atau agama yang dipeluknya.
Dalam dialog itu Gereja harus menghargai juga nilai-nilai rohani dan moral yang
terdapat dalam agama lain dan yang sudah membentuk orang sejak kecil.
Demikianlah Konsili Vatikan II menghimbau agar kita bergaul akrab dengan
agama-agama lain, dan "dengan gembira menemukan benih-benih Sabda Allah
yang tersembuni di baliknya" (Ad Gentes 11), menemukan bentuk kehadiran
Allah di sana (Ad Gentes 9), melihat cercah atau berkas-berkas kebenaran dalam
agama lain (Nostra Aetate 2). Lalu tanpa memanipulasikan dialog itu atau tanpa
cara-cara yang licik Gereja harus menawarkan suatu alternatif. Itu berarti,
Gereja mewartakan apa yang dia imani sebagai kepenuhan kebenaran, kepenuhan
cahaya yang menerangi kehidupan manusia dan kepenuhan keselamatan. Ini berarti,
dialog dengan agama-agama sama sekali tidak meniadakan kewajiban kita untuk
mewartakan iman kita sendiri. Kita tanpa ragu-ragu harus mewartakan bahwa Yesus
Kristuslah "Jalan, Kebenaran dan Kehidupan" (Yoh 14:6) dan bahwa
Gerejanya merupakan sarana yang biasa dari keselamatan itu (Bdk Nostra Aetate
1; Redemptoris Missio 55). Dalam arti demikian dialog dengan agama-agama lain
merupakan "bagian dari misi penginjilan Gereja". Jika dipahami
sebagai metode dan sarana-sarana untuk saling memperkaya dan mengenal, maka
dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan kepada para bangsa
(Redemptoris Missio 55). Akan tetapi dalam konteks Indonesia perlu ditandaskan
bahwa dengan berdialog kita bermaksud baik untuk saling mengenal dan
memperkaya, dan bukan untuk memanipulasikan dialog menjadi cara licik untuk
kristenisasi. Akan tetapi sekali lagi perlu ditandaskan bahwa melalui dialog
dengan agama lain usaha menawarkan kebenaran Injil kepada orang lain dan
menghantar dia masuk ke dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal akan menjadi
lebih mudah.
Para Uskup Asia secara konsisten menekankan perlunya dialog dengan agama-agama
besar di Asia. Mengikuti anjuran Paulus VI, Sidang paripurna pertama FABC (=
Federasi Konperensi Para Uskup Asia) di Taipeh 22-27 April 1974 sangat menganjurkan
dialog antaragama. Para Uskup Asia bahkan berharap agar Gereja akan semakin
memahami iman sendiri dengan lebih baik dalam terang berkas-berkas kebenaran
yang ditemukan pada agama lain. Begitu juga kurang lebih semangat para Uskup
Asia dalam sidang FABC V.
C. Teknik dan sarana baru
Akhirnya
dalam rangka metode baru, bisa kita sebut juga soal penggunaan sarana,
metode/teknik komunikasi yang baik. Pewartaan Sabda yang baik membutuhkan
teknik-teknik manusiawi yang cukup menunjang keberhasilan evangelisasi. Teknik
dialog atau tanya jawab, misalnya, dapat membuat Alkitab menjadi lebih hidup
(bdk Yes 40:12-14; 49:15 dll) karena orang tidak menjadi pendengar yang pasif.
Selain itu bahasa dan ungkapan yang cocok harus dipakai: menghadapi umat yang
berdosa dan keras kepala seorang pewarta harus tegas dan kuat (bdk
kecaman-kecaman para nabi kepada umat terpilih dan kecaman-kecaman Yesus kepada
para ahli Taurat dan kaum Farisi, Mat 23 dll); akan tetapi menghadapi umat yang
kehilangan iman dan harapannya, orang harus memakai bahasa yang lain. Kepada
umat yang putus asa dalam pembuangan, misalnya nabi deutero-Yesaya, tidak
memakai bahasa kenabian yang mengecam dan mengancam, melainkan memakai bahasa
yang lembut, menyentuh hati dan yang menampilkan sifat-sifat Allah yang
pengasih. Itulah salah satu aspek Evangelisasi Baru. Allah ditampilkan secara
baru sebagai seorang suami (Yes 54:5; 62:5), bapa (Yes 63:16; 64:7), ibu (Yes
49:15; 46:3), pengembala yang baik bagi umatNya (bdk. Yes 49:14-16; Yeh 34),
penolong (Yes 43:1; 44:22) dll.
Selain teknik komunikasi di atas, Evangelisasi Baru mendorong juga penggunaan
sarana-sarana komunikasi yang baru yang lebih sesuai dengan kemajuan jaman
(bdk. Mgr. E Bifet hlm 5). Perlu kita catat bahwa dalam hal pemanfaatan media
komunikasi massa modern (televisi, video, kaset dll) Gereja Katolik cukup
terbelakang. Namun perlu juga dicatat bahwa usaha memanfaatkan media-massa
dalam rangka Evangelisasi Baru sudah ada, yakni usaha dari gerakan yang
menamakan diri "Lumen 2000".
7.
Ungkapan baru
A.
Masalah inkulturasi
Tidak dapat disangkal bahwa sejarah
pewartaan Injil di Amerika Latin mempunyai sisi-sisi yang suram juga. Memang
tidak dapat kita boleh kita lupakan pengorbanan sekian banyak misionaris yang
dengan penuh cinta kasih dan dedikasi meninggalkan tanah air meeka untuk
menjadi pewarta Injil di benua yang baru ditemukan itu. Dan salah satu tujuan
Christopher Colombus mencari benua baru adalah untuk menyebarkan iman Kristen.
Bersamaan dengan rombongan Colombus ada begitu banyak misionaris baik imam,
kaum religius maupun kaum awam saleh yang sungguh mencintai dan ingin
menyelamatkan suku-suku asli di dunia baru itu. Namun tidak dapat disangkal
pula bahwa injil telah datang ke benua itu bersamaan dengan pedang, yakni
bersamaan dengan kaum penjajah yang membawa pedang/perang. Dan tindak-tanduk
para penakluk yang Kristen itu seringkali jauh dari tuntutan dan semangat
Injil. Banyak sekali suku-suku asli Amerika Latin menjadi korban: emas mereka
dirampas, kebudayaan mereka dirusak, dan agama Kristen dalam arti tertentu juga
dipaksakakan kepada mereka. Tidak mengherankan jika banyak orang Indian merasa
bahwa agama Kristen itu jahat. Selain itu tidak ada perjumpaan positif dan
konstruktif antara iman Kristen dan kebudayaan setempat. Yang sebenarnya dibawa
oleh para misionaris waktu itu adalah iman Kristen sejauh mendapat bentuk dan
pengungkapan yang bersifat Eropa (terutama Spanyol). Dengan kata lain, yang
mereka bawa adalah iman Kristen sejauh sudah dijiwai oleh cara berpikir,
lambang-lambang, kebiasaan-kebiasaan, lembaga-lembaga yang berasal dari Eropa.
Memang ini semua tidak dilakukan oleh para misionaris Spanyol dengan sengaja
atau dengan maksud kurang baik. Di samping itu, banyak sekali unsur Eropa yang
baik untuk diteladan juga. Akan tetapi secara tidak sadar para misionaris itu
kurang memperhatikan satu prinsip penting ini, yakni inkulturasi. Inkulturasi
adalah suatu proses mengintegrasikan Injil ke dalam kebudayaan bangsa setempat
sejauh unsur-unsur tersebut baik dan tidak bertentangan dengan isi Injil.
Dengan dilalaikannya inkulturasi, tidak mengherankan kalau bagi banyak orang
Indian agama Kristen itu terasa sebagai agama import, agama penjajah, agama
yang asing bagi mereka. Apalagi perlakuan penjajah Kristen di benua tersebut
seringkali tidak kristiani. Dengan latar belakang semacam inilah kita dapat
memah¬ami seruan Yohanes Paulus II kepada seluruh Gereja Amerika Latin untuk
mengadakan Evangelisasi Baru, dan bukan hanya sekedar re-evangelisasi, yakni
sekedar mengulangi evangelisasi yang lama dan yang tidak jarang keliru itu.
Iman Kristen itu hanya satu, tetapi dapat dan bahkan harus dihayati oleh
manusia konkret dengan kebudayaannya masing-masing. Maka orang bisa berbicara
tentang Gereja Indonesia, Gereja India, Gereja Italia, dsb, tetapi tetap Gereja
Yesus Kristus. Tentang hal ini Paus Paulus VI sering berbicara. Ajarannya
ditandaskan sekali lagi oleh Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris
Missio no 52: Proses merasuknya Gereja ke dalam kebudayaan para bangsa adalah
suatu proses yang panjang. Proses ini bukan sekedar soal adaptasi luaran
semata-mata, sebab inkulturasi "berarti suatu transformasi nilai-nilai
kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam
kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat
manusia.
Jadi evangelisasi yang benar harus
mengambil unsur-unsur yang baik dan otentik dari suatu kebudayaan, meresapi dan
menyempurna¬kannya dengan semangat Injil dan mengintegrasikannya dalam
penghayatan agama kristen. Hanya dengan demikian orang dapat sungguh-sungguh
menghayati Injil sebagai sesuatu yang "tidak asing" baginya. Dalam
hal ini Alkitab memberikan teladan yang amat jelas.
Kebudayaan itu adalah segala bentuk
kegiatan dan hasil kegiatan manusia dalam hubungannnya dengan Allah, sesama dan
dunia. Kepada bangsa Israel yang berkebudayaan tertentu itulah Allah mewahyukan
diri-Nya. Jadi Alkitab hanya dapat dipahami dengan tepat, jika kita membacanya
dalam konteks kebudayaan Israel pada tempat dan waktu tertentu pula. Mempelajari
sejarah agama Israel, menjadi jelas juga bahwa dalam menghayati iman akan Yahwe
bangsa Israel di bawah bimbingan Allah sendiri dapat mengambil unsur-unsur
kebudayaan bangsa lain. Akan tetapi dalam terang iman akan Yahwe unsur-unsur
kebudayaan Timur Tengah itu lebih dahulu disaring, dimurnikan dan diangkat
menjadi ungkapan iman mereka kepada Yahwe. Berikut ini kita lihat beberapa
contoh penting saja.
·
Dalam Perjanjian Lama
a) Nama ilahi. Nama "El" atau
"Elohim" saja sebenarnya berasal dari nama umum yang dipakai oleh
banyak bangsa di Timur Tengah untuk menyebut ilah/dewa mereka. Allah Abraham
mengambil alih (tetapi dengan isi baru) nama El Shaddai (=Allah yang Mahakuasa,
Kej 17:1; Kel 6:2), El Elyon (Allah Mahatinggi, Mzm 46:5; 47:3) atau nama lain
semacam itu. Para ahli sepakat bahwa nama-nama itu aslinya adalah gelar dewa
kepala bangsa Kanaan.
b) Perayaan liturgis. Perlu disebut juga
bahwa banyak dari pesta-pesta liturgis dalam Perjanjian lama merupakan semacam
adaptasi dari pesta-pesta keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Semit lain¬nya.
Pesta Paskah, misalnya, semula adalah pesta para gembala nomadik sebelum mereka
membongkar kemah untuk pindah ke tempat lain pada musim semi (lihat a.l. Roland
de Vaux, Ancient Israel,. Its Life and Institutions [London: darton, Longman
& Todd] hlm 488 dst). Pada pesta itu para gembala mengorbankan anak domba
untuk memohon kesuburan ternak. Mereka makan anak domba yang dipanggang,
memakannya dengan roti tak beragi (yang masih dipraktekkan suku Baduin hingga
hari ini) dan sayur-sayuran pahit. Yang penting sekali dalam pesta itu adalah
upacara darah yang dipoleskan pada tiang penyangga kemah sebagai usaha mengusir
roh-roh jahat. Dalam perjalanan sejarah upacara semacam itu diberi makna atau
isi baru, dimurnikan dan diangkat oleh iman akan Yahwe sehingga menjadi hari
raya Paskah untuk memperingati pembunuhan anak-anak sulung Mesir dan pembebasan
umat Israel. Begitu juga dengan pesta Roti Tidak Beragi (= makan roti tidak
beragi selama 7 hari) yang merupakan peringatan akan pembebasan Israel dari
Mesir (Kel 23:14-15) sebenarnya adalah pesta agrikultural Kanaan yang diberi
arti religius. Contoh lain, Hari Raya Pondok Daun semula adalah pesta panen
yang lazim di kalangan orang Kanaan. Pada masa panen itu mereka mendirikan
pondok-pondok dari daun sebagai tempat berteduh selama panen dan pemerasan
anggur. Tetapi lama-kelamaan hal itu mereka beri arti religius dan mereka
tafsirkan sebagai kenangan pada menetapnya bangsa Israel di kemah-kemah sewaktu
Yahwe menuntun mereka keluar dari Mesir (Im 23:33-43). Dalam terang iman kepada
Yahwe umat Israel dapat mengambil unsur-unsur kebudayaan Kanaan,
merefleksikannya, memurnikannya dan mengangkatnya menjadi ungkapan iman Israel
sendiri.
c) Perayaan sabat. Memang harus diakui
bahwa asal-usul praktek Sabat masih diperdebatkan. Sementara ahli berpendapat
bahwa praktek Sabat berasal dari agama-agama Semit yang menganggap hari ke-7,
ke-14 dll sebagai hari naas (dise nefasti) sehingga mereka tidak berani
melakukan pekerjaan penting karena takut mendapat mengaruh jahat dari hari naas
itu. Di lain sisi, ada juga ahli-ahli yang berpendapat bahwa Sabat itu berasal
dari kebiasaan orang Kenit yang pada hari Saturnus (planet hitam) tidak berani
menyalakan api (Bdk larangan menyalakan api pada hari Sabat, Kel 35:3; Bil
15:32-36).
d) Unsur-unsur mitologis dalam Perjanjian
Lama. Para ahli sepakat bahwa dalam kisah penciptaan menurut Kej 1:1-2:4a dapat
kita temukan banyak unsur mitologis Mesopotamia dan Mesir. Ide dasar bahwa
penciptaan berarti pengaturan dunia yang kacau balau (= khaos) menjadi dunia
yang teratur (= kosmos) kiranya merupakan pengaruh mite Mesopotamia yang
melihat penciptaan sebagai keme-nangan dewa Marduk atas dewi Tiamat (= dewi
kekacauan). Kisah selamatnya Nuh dari air bah mirip sekali dengan kisah
Atramhasis dalam mitologi Mesopotamia juga. Menurut kisah tersebut, para dewa
menciptakan manusia. Namun karena anak manusia itu membuat gaduh, para dewa
merasa terganggu tidurnya. Maka mereka memutuskan untuk memusanahkan umat
manusia dengan air bah. Hanya Atramhasis langsung mempersembahkan kurban bagi
dewa-dewa. Hal ini mirip dengan persembahan Nuh kepada Allah (Kej 8:20).
Masih
banyak unsur mitologis dalam kitab Perjanjian Lama yang bisa kita sebut di
sini. Namun apa yang disebut di atas lebih dari cukup untuk menunjukkan proses
inkulturasi iman Israel pada kebudayaan Timur Tengah. Memang dalam arti yang
sebenarnya mitologi-mitologi itu tidak sesuai dengan iman akan Yahwe, namun
dalam terang iman akan Yahwe itu umat Israel mampu memanfaatkan gagasan atau
gambaran mitologis sedemikian rupa sehingga mnejadi ungkapan iman mereka
sendiri. Tetapi ada kalanya kemiripan dengan mitologi bangsa tetangga itu
justru dipakai untuk "menyangkal" dan "mengoreksi" dan
"menggantikan" apa yang keliru dalam mitologi kafir.
·
Dalam
Perjanjian Baru
a) Yudaisme rabinis. Pertama-tama perlu
kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan Yudaisme rabinis itu adalah paham
kepercayaan orang-orang Yahudi (sesudah pembuangan Babilon) sejauh nampak dalam
ajaran para rabi. Dengan demikian "Perjanjian Lama" perlu kita
bedakan dari Yudaisme, meskipun hubungan antara keduanya erat sekali. Nah,
dalam dunia Yudaisme inilah para pengarang Perjanjian Baru hidup. Oleh karena
itu mudah kita pahami jika Yudaisme (rabinis) mempunyai pengaruh atas
Perjanjian Baru. Gagasan Yesus sebagai Messias yang tersembunyi, yang
asal-usulnya tidak diketahui orang (Yoh 7:27-28; 8:19, "Baik Aku maupun
BapaKu tidak kamu kenal") merupakan paham Yudaisme. Kemungkinan besar
gagasan "Firman" dalam prolog injil Yohanes (1:1-18)
berlatarbelakang gagasan "Memra Yahwe" yang banyak terdapat dalam
Targum (= terjemahan bebas/saduran Perjanjian Lama ke dalam bahasa Aram). Dalam
Targum, Memra Yahwe hampir identik dengan Yahwe sendiri, sebab istilah Memra
Yahwe sering dipakai sebagai ganti nama "Yahwe". Dan dalam targum itu
Memra Yahwe memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh Sang Firman dalam
Injil Yohanes, yaitu: ikut menciptakan alam semesta, memberi wahyu dan
menyelamatkan. Dari beberapa contoh ini menjadi jelas bahwa orang tidak bisa
mengerti ajaran Perjanjian Baru (lebih-lebih ajaran Injil Yohanes dan Paulus)
jika ia tidak mempelajari juga Yudaisme.
b) Kebudayaan Yunani (Helenis). Para
pengarang Perjanjian Baru hidup di dunia Timur Tengah yang waktu itu
dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani (dan Romawi). Mereka itu anak jamannya. Maka
pengaruh kebudayaan Yunani tidak dapat dihindarkan. Hal pertama yang paling
mencolok dalam hal ini adalah penggunaan bahasa Yunani sebagai bahasa
Perjanjian baru. Selain bahasa, juga kebudayaan Yunani. Paulus, misalnya
dibesarkan di Tarsus, Kilikia (Kis 32:39), tempat kebudayaan Yunani-Romawi dan
kebudayaan lain berpadu. Oleh karena itu di Areopagus, Athena, Paulus ingin
mempertobatkan orang-orang Athena dengan cara berdialog dengan mereka. Ia
bersoal jawab dengan kaum Epikuros dan Stoa. Ia berusaha memakai cara berpikir
mereka untuk mewartakan Injil. Pada ayat 28 Paulus berseru kepada mereka,
"Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga
dikatakan oleh pujangga-pujanggamu. Sebab kita ini dari keturunan Allah
juga." Ucapan ini mengandaikan pengetahuan Paulus bahwa dalam paham Yunani
tertentu manusia sebagai cipataan dewa ambil bagian dalam hakekat dewa,
sehingga manusia termasuk ras dewa. Begitu juga mengenai ajaran kristen tentang
persamaan derajat semua anak Allah tanpa memandang bulu, warna kulit atau
status sosial (Rm 10:12; 1 Kor 7:17-24). Ajaran ini diungkapkan Paulus dengan
memakai gagasan para bijak Yunani bahwa yang paling penting adalah kebebasan
batin dan hati nurani, sedangkan soal tingkat sosial dan suku tidak berperan.
Sebenarnya masih banyak contoh lain yang
bisa kita kemukakan di sini sebagai bukti bagaimana Allah sendiri mewahyukan
diri sambil berdialog dnegan kebudayaan manusia. Namun apa yang kita lihat
sudah lebih dari cukup. Dengan demikian salah satu tugas penting dalam rangka
Evangelisasi Baru adalah mengadakan inkulturasi. Jika tidak, benih Sabda Allah
akan jatuh di tanah berbatu yang tidak banyak tanahnya sehingga benih itu
segera tumbuh tetapi segera layu karena tidak berakar dalam-dalam (bdk Mrk
4:1-20). Tanpa inkulturasi orang merasa tercerabut dari akar-akar kebudayaan
sendiri, merasa bahwa asing terhadap dirinya sendiri sebab nilai-nilai yang
selama ini dia hayati terasa ditolak atau dibuang dengan bertobatnya dia
menjadi orang kristen.
Inkulturasi hanya mungkin terjadi jika orang mendalami suatu kebudayaan secara
serius, hidup bersama dan di dalam kebudayaan tertentu, tetapi tanpa tenggelam
sama sekali di dalamnya, tanpa menjadi seorang peserta yang tidak mampu lagi
untuk melihat secara kritis kekurangan suatu kebudayaan. Kebutuhan untuk
mengadakan inkulturasi ini ditegaskan oleh Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus
II. Yang kita cita-citakan adalah Gereja yang universal tetapi sekaligus disebut
Indonesia. Seorang Kristen yang baik akan dapat berkata: "Saya betul-betul
seorang Kristen tetapi juga seorang Indonesia tulen." Inilah tugas yang
berat dan serius bagi para teolog dan pewarta Sabda di Indonesia.
B.
Bentuk Baru kehadiran Allah
Jaman senantiasa berubah. Perubahan itu
sering membuat orang mengalami krisis iman. Mereka merasa Allah tidak hadir
lagi di dunia baru. Pada awal jaman super modern, kira-kira seperempat abad
yang lalu, pernah ada slogan: "Allah sudah mati". Itu berarti, orang
modern kehilangan Allah; mereka merasa tidak membutuhkan Allah lagi. Hal yang
serupa terjadi juga dalam sejarah Israel. Dua contoh dapat diajukan di sini.
Yang pertama dari jaman nabi Elia (abad 9 SM) dan jaman nabi Deutero-Yesaya
(abad 6 SM). Di bawah terang Sabda Allah kedua nabi tersebut mewartakan
kehadiran Tuhan Allah Israel yang satu dan sama dalam situasi baru. Dalam hal
ini nabi Elia dan Deutero-Yesaya patut kita teladan.
·
Elia
Ia hidup dalam masa yang sulit ketika
bangsa Israel mulai kehilangan iman kepada Yahwe. Perubahan besar dari
kehidupan nomadik sebagai gembala di padang menuju ke kehidupan sedenter dengan
mata pencaharian bercocok tanam membuat iman Israel goyah. Dalam situasi baru
mereka tidak mampu lagi melihat kehadiran Yahwe. Selama ini mereka mengalami
Yahwe sebagai Allah yang dulu mewahyukan diri dalam kekuatan-kekuatan alam
selama di padang gurun (api, guntur dsb) dan sebagai Allah kaum gembala. Dalam
kebingunan semacam itu agama Kanaan menarik perhatian mereka. Baal Tyrus yang disembah
orang-orang Kanaan/Fenisia sebagai dewa pemberi hujan, pemberi gandum, pemberi
air, minyak dll tentu menarik hati bangsa Israel karena memang cocok dengan
kebutuhan mereka sebagai petani. Agama Yahwe terancam punah, lebih-lebih karena
ratu Izebel (isteri raja Israel, Ahab) adalah seorang wanita asing, anak
seorang imam dewa Baal. Ratu ini berusaha menggantikan agama Yahwe dengan agama
Baal. Ia mulai mengimpor imam-imam dan nabi-nabi Baal ke Israel.
Sebaliknya, nabi-nabi Yahwe dibunuh (1 Raj 18:13). dalam situasi kristis itulah
tampil nabi Elia. Inti pewartaannya dapat diringkas menjadi kalimat berikut
ini: bukan Baal yang memberi hujan, gandum, air, minyak dan kehidupan kepada
manusia, melainkan Yahwe Allah Israel. Mukjijat-mukjijat yang diadakan Elia
pada hakekatnya mempunyai nada polemik semacam itu. Selain itu Elia sendiri
mengalami kehadiran Yahwe tidak melalui gejala-gejala alam yang dahsyat (yang
lazim hingga saat itu) melainkan melalui angin sepoi-sepoi basah. Itulah
Evangelisasi Baru yang diwartakan Elia. Kehadiran Allah Israel ditemukan dalam
keadaan dan situasi baru: dalam dunia "modern" saat Elia (jaman
agrikultur) dan dalam penampakan yang memakai cara baru. Yahwe selalu sama
tetapi kekayaanNya tidak dapat dibatasi pada satu dua bentuk atau ungkapan
saja. Inilah juga yang disebut Evangelisasi Baru.
·
Deutero-Yesaya
Nabi ini berkarya pada jaman menjelang
berakhirnya pembuangan Babilon. Waktu itu bangsa pilihan Yahwe merasa putus asa
dan kesepian. Mereka mengira Yahwe telah meninggalkan dan melupakan mereka (Yes
49:14; Rat 3:43-45 dll). Mereka mengira bahwa Yahwe sudah berhenti menjadi
Yahwe, yang artinya Allah yang selalu ada, selalu peduli akan nasib umat-Nya.
Kepada bangsa yang patah semangat inilah seorang nabi diutus Allah untuk mewartakan
pembebasan. Tentu saja berita itu seharusnya membawa penghiburan dan
pengharapan (bdk Yes 40:1 dst). Nabi ini mewartakan kehadiran dan karya Yahweh
dalam masa sulit semacam itu. Munculnya raja Persia, Cyrus (Yes 41:2-5; 45:1-7)
diwartakan sebagai hamba yang diutus Tuhan untuk membebaskan umat-Nya. Dengan
demikian nabi Deutero-Yesaya melakukan "Evangelisasi Baru", sebab dia
mewartakan kehadiran Allah pada situasi baru. Ia mewartakan bahwa Allah Israel
itu tetap sama: dahulu, sekarang dan yang akan datang; Ia tetap Yahwe yang
selalu hadir dan memperhatikan umat-Nya (Yes 43:8 dst).
8.
Alkitab dan Evangelisasi Baru
Pada akhirnya perlu kita renungkan
bagaimana hubungan Alkitab dan Evangelisasi Baru. Dari hakekatnya Evangelisasi
Baru adalah pewartaan Kabar Gembira yang menyelamatkan. Memang evangelisasi
tidak boleh disempitkan pada pewartaan Sabda Allah dalam arti Ibadat Sabda atau
kerasulan Alkitab saja. Evangelisasi mencakup banyak sekali bidang, seperti
katekese, liturgi pada umumnya, pastoral, dsb. Namun harus juga diakui bahwa
kerasulan Alkitab mempunyai tempat khusus dan penting. Alasannya ialah karena
dari hakekatnya evangelisasi adalah pewartaan Sabda Allah dan Sabda Allah itu
sudah mendapat bentuk baku dalam Alkitab sebagai norma untuk kehidupan dan
tugas pewartaan Gereja. Jika Evangelisasi tidak bersumber dari Alkitab, ia akan
kehilangan jiwa dan isi yang semestinya. Tanpa merenungkan Alkitab terus
menerus, evangelisasi akan mandul sebab Alkitablah yang memberi dasar, isi,
semangat dan model untuk evangelisasi di segala tempat dan jaman (bdk Dei Verbum
21; dokumen Puebla 372).
9.
Kata Penutup
Marilah kita memiliki harapan dan
semangat baru. Kehadiran Allah yang kita temukan dalam situasi baru kiranya
mendorong kita untuk mewartakan-Nya kepada orang-orang lain yang membutuhkan
keselamatan. Untuk semua usaha yang berat itu kita harus ingat akan amanat dan
janji Yesus: "Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan
segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan KETAHUILAH, AKU MENYERTAI KAMU
SENANTIASA SAMPAI KEPADA AKHIR JAMAN" (Mat 28:20). Yesus yang sama itu
juga bersabda, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru" (Why
21:5).