Social Icons

"PERTOBATAN" MACAM APAKAH YANG DIALAMI SANTO PAULUS?


   Tidak dapat dipungkiri sebagian dari antara kita pasti meyakini bahwa Allah itu ada dan selalu hadir dalam hidup kita sehari-hari. Tetapi jika ditanyakan “apa peran nyata Allah dalam hidup Anda”, bisa jadi banyak orang bingung menjawabnya. Apa ya ? Rupanya kebingungan itu terjadi karena bagi sejumlah orang, hubungan antara Allah dan hidup manusia sering kali tidak cukup mudah untuk dirasakan. Kesannya cuma rutinitas dan alamiah. Dengan atau tanpa penyertaan Allah, roda kehidupan tetap berputar. Peran Allah ? Entahlah.
Dalam Kitab Suci, banyak sekali tokoh iman yang mengalami peran Allah dalam hidup. Peran Allah tersebut terutama dialami sebagai titik balik perubahan hidup mereka. Salah satu tokoh iman yang mengalami peran Allah secara dramatis adalah Santo Paulus ketika ia berada dekat Damsyik. Liturgi Gereja pun secara khusus merayakan peristiwa tersebut setiap tanggal 25 Januari dalam Pesta Bertobatnya Santo Paulus, Rasul. Tulisan singkat ini mau mencoba menelusuri pengalaman macam apakah yang dialami Santo Paulus? Apakah yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa di dekat Damsyik tersebut? Benarkah Santo Paulus mengalami pertobatan?


Dalam Kisah Para Rasul, kisah “pertobatan” Santo Paulus dikisahkan tiga kali (Kis 9:1-19a, 22:1-22, dan 26:12-23) yang menandakan peristiwa tersebut penting. Karena penting kisah ini maka kita boleh yakin bahwa ada pesan rohani yang penting juga untuk kita gali dan maknai. Untuk itu marilah kita menggalinya dari Kis 9:1–19a, dengan pertimbangan perikop ini adalah perikop yang lebih rinci mengisahkan peristiwa Paulus tersebut.

Pendalaman Perikop
Dalam ayat 1-2, tokoh Saulus pertama kali diperkenalkan dalam peristiwa kematian Stefanus (Kis 7:58; 8.1.3). Sebagai seorang Yahudi fanatik, Saulus menentang pengikut Kristus. Alasannya : mereka adalah orang Yahudi yang menyeleweng dari ajaran agama Yahudi karena mereka menganggap Yesus sebagai Mesias. Saulus setuju jika orang Yahudi pengikut Yesus harus ditangkap dan diadili menurut hukum agama karena jika orang Kristen dibiarkan berkembang kekudusan bangsa Yahudi sebagai umat Allah akan dilecehkan. Dalam suratnya kepada jemaat Galatia, Paulus kemudian juga menegaskan hal tersebut (Gal 1:13+). Ia dididik sebagai orang Farisi, yang wajib menjaga tradisi leluhur bangsa dengan ketat. Ia menyadari dan meyakininya sebagai panggilan religius mereka. Dalam surat kepada Timotius hal ini disinggung dramatis (bdk. 1Tim 1:12). Begitu berkobar kebencian Saulus terhadap laki-laki atau perempuan pengikut Jalan Tuhan (= sebutan pengikut Yesus yang pertama), sehingga ia tidak segan-segan meminta legitimasi dari Imam Besar Yonatan (putra Anas dan pengganti Kayafas). Ia meminta surat kuasa agar dapat menangkap mereka di kota Damsyik dan membawa mereka ke Yerusalem untuk dihukum menurut Hukum Yahudi (1 Mak 15:21). Gambaran Saulus sebagai penganiaya itu diulang terus-menerus dalam seluruh kisah panggilannya (dari mulut Yesus : ayat 4-5; Ananias : ayat 13-14; orang Damsyik : ayat 21; murid-murid di Yerusalem : ayat 21). Penggambaran situasi ini mau menekankan bahwa menurut perhitungan manusiawi, Saulus tidak mungkin berubah. Jadi kalau sampai Saulus berubah, bukan manusialah yang mengerjakannya..Selain itu untuk menggarisbawahi kebebasan dan kuasa Allah yang memanggil. Jadi, jika seorang yang berambisi memusnahkan pengikut Yesus, akhirnya menjadi seorang pewarta Yesus, maka perubahan sebesar itu hanya mungkin karena campur tangan Allah sendiri.
Dalam ayat 3-9 dikisahkan suatu panggilan bukanlah tugas mudah. Panggilan merupakan pengalaman pribadi yang rohaniah. Lukas, yang mengarang Kisah Para Rasul, mengembangkan cerita itu “secara biblis”. Ia menceritakan peristiwa itu menurut suatu pola yang ia temukan dalam Perjanjian Lama. Ketika Saulus hampir tiba di kota Damsyik (kira-kira sekitar tahun 34; Saulus lahir sekitar tahun 8-10), ia mengalami peristiwa hebat dalam hidupnya. Tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilinginya. Ia rebah ke tanah. Peristiwa itu dilukiskan dengan jelas. Waktunya sekitar tengah hari, ketika Saulus menuju ke Damsyik (Kis 22:6; 26:13). Ada cahaya yang menyilaukan (26:13) dan pengikut Saulus pun mengalami yang sama. Cahaya cemerlang itu tampaknya adalah tanda-tanda ajaib dari Allah (bdk. Luk 2:9; 9:29). Cahaya cemerlang itu adalah tanda kehadiran Allah yang terpancar dan dikenali manusia (chabod). Sebagai orang Israel, Saulus pasti mengenali cahaya terang itu sebagai tanda kehadiran Allah (bdk. Hab 3:3-4). Tetapi Saulus belum mengenali siapa dia yang bersembunyi di balik cahaya tersebut. Sebelum sempat mengerti semua peristiwa itu, terdengar seruan yang memanggil nama : “Saulus, Saulus, mengapa engkau mengejar Aku?” (Dalam Kis 26:14 ditegaskan bahwa suara itu terdengar dalam bahasa Ibrani, bahasa ibu Saulus. Saulus disapa secara pribadi, sebagaimana rasul-rasul yang lain juga mendapatkan sapaan pribadi.) Saulus masih belum mengenali suara siapakah itu. Dia masih berada dalam kebutaan. Baik mata - berkat cahaya cemerlang - dan telinga -berkat pendengaran pribadi - merupakan sarana pangilan dan perutusan Saulus, sebagaimana juga dialami oleh tokoh-tokoh besar dalam Kitab Suci, seperti Musa dan Samuel, yang dipercaya mengemban tugas perutusan Allah. Ia berada kegelapan tentang apa yang terjadi sehingga ia bertanya : “Siapakah Engkau ya Tuhan ?”. Saulus tidak dapat melihat yang berarti ia dibuat untuk fokus pada Yesus. Ia tidak boleh melihat pada masa lalunya.Wow, rupanya tidak mudah bagi Saulus untuk meninggalkan masa lalunya. Ia mengalami pergumulan batin untuk menerima Yesus. Pergumulan batin Saulus ini dilambangkan dengan “tiga hari lamanya ia tidak makan dan tidak minum”. Jawaban yang diterima Saulus adalah jawaban dari Yesus yang bangkit : “Akulah Yesus yang kauaniaya itu”. Saulus memang sedang dalam perjalanan untuk mengejar dan membinasakan pengikut Yesus di Damsyik. Di sinilah Saulus menerima dua hal : Pertama, ia mengenal Yesus sebagai yang mati di kayu salib dan sekarang bangkit. Ia mengenali Yesus lewat wafat dan kebangkitan-Nya, bukan dari karya-karya-Nya. Kedua, ia menerima pewahyuan bahwa Yesus adalah jemaat yang dianiaya. Yesus identik dengan jemaat-Nya. Saulus harus merenungkan kembali tindakannya mengejar-ngejar jemaat pengikut Yesus Dan ia siap untuk memahami perjuangan hidup mereka, bersama Yesus Kristus yang bangkit. Saulus pun akhirnya bersedia menerima apa saja yang akan dipercayakan kepadanya untuk kepentingan jemaat itu.
Dalam ayat 10-12, Ananias, tokoh murid Yesus di Antiokhia ini, dijadikan pengantara pertemuan antara Saulus dengan Yesus Kristus dan jemaat-Nya. Peristiwa pengantaraan dilukiskan dengan rinci. Ananias mendapatkan petunjuk yang rinci pula. Ananias tampaknya sudah lama tinggal di Damsyik. Demikian juga dengan tokoh Yudas yang tinggal di jalan Lurus (jalan ini sampai sekarang masih ada dan tetap memakai nama sama, melintasi kota Damsyik/Damaskus dari arah timur-barat)! Kita memang tidak tahu alamat itu secara jelas, namun tampak bahwa petunjuk Ilahi itu cukup teliti, untuk membantu perkembangan hidup Saulus dalam perubahan hidupnya. Kita menemukan data baru dalam kehidupan Saulus, yang disebut sebagai orang dari Tarsus(tempat kelahiran Saulus). Bahwa Saulus berasal dari daerah perantauan/diaspora, tampaknya diperlukan dalam karya misinya kemudian hari. Ia mengenal betul daerah seperti itu. Kemudian ditunjukkan bahwa Saulus sedang berdoa! Gambaran ini tentu bukan hanya gambaran sepintas. Sebagai orang Yahudi, Saulus mempunyai kebiasaan berdoa. Tetapi bahwa di sini disebut dia sedang berdoa, dalam proses perubahan itu, menunjukkan bahwa kualitas doanya tampaknya juga berubah. Ia tidak hanya berdoa dalam kebiasaan Yahudi, melainkan berdoa untuk mengenali rencana dan kehendak Allah dalam diri Yesus Kristus itu bagi dirinya. Saulus dalam kegelapan hatinya ternyata menemukan penglihatan. Ia melihat Ananias datang dan meletakkan tangan kepadanya. Pertemuan kedua tokoh ini akan menentukan bagi kehidupan jemaat selanjutnya. Saulus menemukan kasih karunia Allah dalam lingkungan jemaat Antiokhia; sedang jemaat menemukan dalam diri Saulus orang yang bisa dipercaya mewartakan pengalaman akan Yesus Kristus yang bangkit bagi orang lain.
Dalam ayat 13-16, dikisahkan bahwa semula Ananias ragu akan perutusan Yesus bagi Paulus. Pasti Ananias pernah mendengar tentang Saulus yang menimbulkan kengerian dalam kehidupan jemaat. Ananias juga tahu bahwa Saulus tidak bersahabat dengan jemaat. Kegentaran namun juga keyakinan bergolak dalam diri Ananias sebagai perantara rahmat Allah. Sejenak Ananias mengalami kejutan mendengar tugas yang diserahkan kepadanya. Ia merasa tugas itu terlalu berat. Dengan penolakannya lalu menjadi nyata apa yang direncanakan oleh Allah bagi perkembangan jemaat selanjutnya. Ananias disadarkan bahwa orang yang dibantunya itu akan menjadi penting bagi perkembangan hidup jemaat tersebut (bdk. Kis 10 : Allah juga menolak keberatan Petrus pergi kepada orang kafir Kornelius). Kemudian Ananias mendapatkan petunjuk untuk membantu Saulus. Alasan dasarnya ialah bahwa Saulus dipilih sebagai alat bagi Allah. Pilihan Allah memang bisa amat mengejutkan seperti kemudian dirumuskan oleh Paulus sendiri (Rm 9:20). Pengalaman rahmat ini bukan sekadar teori, melainkan sungguh suatu pembaruan hidup yang menakjubkan. Saulus akan menjadi alat pilihan Allah. Dalam surat kepada jemaat Galatia, Paulus menegaskan hal ini (Gal l:15+). Allah menentukan pilihan itu untuk mewartakan kasih karunia-Nya bagi semua orang. Kecuali itu juga ditegaskan bahwa Saulus akan sanggup menanggung segala derita untuk karya itu sampai tuntas. Ini bagi Paulus kemudian juga menjadi kebanggaan. Ia menegaskan bahwa salib Yesus Kristus itu adalah kebijaksanaan Allah dalam menampakkan kasih-Nya yang tidak ada bandingannya (bdk. 1Kor 2:1-5).
Dalam ayat 17-19a, Ananias akhirnya melaksanakan perintah itu. Saulus disapa sebagai saudara oleh Ananias. Dengan sapaan itu, Saulus mengenali apa yang dialami dalam penampakan. Ananias adalah orang yang diutus Tuhan. Ananias menyembuhkan penglihatan Saulus, sehingga Saulus mampu melihat segalanya menjadi baru. Kemudian Saulus dibaptis atas nama Yesus Kristus yang selama ini menjadi lawan. Saulus diberi makan dan minum, sehingga kekuatan tubuhnya kembali. Jiwa dan raganya kini diperbarui dalam pertemuan dengan Ananias ini. Ia siap untuk diutus, berkat kekuatan rahmat dan dukungan rekan-rekan seimannya.

Amanat
Apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa di dekat Damsyik ? Benarkah peristiwa itu adalah peristiwa pertobatan Paulus ? Pertobatan berarti suatu proses pergumulan seseorang yang berjuang dalam rasa bersalah yang kemudian berubah menjadi pribadi dengan kesadaran baru berkat pengenalannya akan sebuah pedoman religius baru yang kokoh. Sedangkan dalam peristiwa dekat Damsyik itu, Paulus tidak mengalami rasa bersalah atau berdosa. Ia tidak memahami perubahannya sebagai perubahan dari orang tak beriman menjadi orang beriman. Paulus juga tidak mengubah keyakinan imannya. Allah yang diimaninya, baik sebelum dan sesudah peristiwa itu, adalah Allah yang dikenalnya sebagai Allah nenek moyang bangsa Israel. Paulus juga tidak menganggap tindakannya mengejar dan menganiaya jemaat sebagai dosa karena ia melakukan semua itu untuk mempertahankan inti iman dalam Taurat, yaitu kasih kepada Allah. Jadi, Paulus tidak mengganti Allahnya dengan Allah yang baru. Allah yang disembahnya tetap sama. Teologinya tetap, yang berubah adalah kristologinya (pahamnya tentang Mesias).
Paulus juga tidak pernah menyebut pengalaman Damsyik itu sebagai pertobatan. Paulus mengalami Allah yang memanggilnya dan menyatakan Putera-Nya kepadanya. Atau dengan kata lain, peristiwa dekat Damsyik itu dipahami Paulus sebagai pernyataan Putera oleh Bapa dan peristiwa perutusan Bapa untuk memberitakan Putera-Nya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Jadi, peristiwa tersebut adalah peristiwa pewahyuan dan perutusan di mana rahmat ilahi mengubah hidup Paulus. Rahmat ilahi itu melalui tiga tahapan : pewahyuan, perubahan hidup, dan perutusan.
Peristiwa Damsyik mengungkapkan banyak hal tentang pengalaman hidup. Ada pengalaman ketidakberdayaan. Sebelum berjumpa dengan Yesus yang bangkit, Saulus selalu berada “di atas” untuk mengontrol dan menguasai keadaan. Tetapi sesudah berjumpa dengan Yesus, ia tidak bisa berbuat lain kecuali menerima keadaan yang menyakitkan. Dalam ketidakberdayaan itulah Paulus menerima pewahyuan Yesus yang bangkit. Paulus adalah sosok yang terbuka akan pernyataan diri Allah. Dengan pewahyuan tersebut, Paulus menjadi semakin jelas dengan karya penyelamatan Allah bagi manusia lewat wafat dan kebangkitan Yesus.
Bagaimana Paulus bisa sampai kepada pengenalan akan Yesus yang bangkit ? Pengalaman ketidakberdayaan tentunya bisa membawa keterpurukkan. Tetapi ternyata Paulus mempunyai sahabat-sahabat dalam jemaat yang selalu memotivasi dia. Pengalaman ketidakberdayaan baru bermakna sebagai pembebasan kalau ada dukungan persahabatan. Dukungan jemaat membuatnya tetap tegar dalam menghadapi ketidakberdayaan. Dan dari pengalaman-pengalaman itu berpuncak pada pengalaman akan Allah. Pengalaman akan Allah inilah yang memberi makna pada pengalaman hidup Paulus. Dan pada akhirnya ikut menentukan perjalanan hidup Paulus selanjutnya.
Pengalaman-pengalaman Paulus ternyata juga menjadi pengalaman-pengalaman manusia pada umumnya. Dari sekian pengalamam-pengalaman tersebut, pasti ada pengalaman utama yang bisa membuat manusia berubah total. Pengalaman itu bisa berupa pengalaman hebat, tetapi bisa juga pengalaman sederhana. Tapi yang jelas pengalaman semacam itu pasti mempunyai bekas mendalam dalam hidup manusia yang mengalaminya. Pengalaman itu yang mengubah hidup manusia.
Dalam hidup manusia, Allah berinisiatif mewahyukan diri-Nya dengan mengundang setiap orang. Namun undangan itu tidak selalu terjadi melalui komunikasi langsung. Kadang-kadang Allah menggunakan perantara dan kadang undangan itu datang kepada manusia dalam bentuk suatu panggilan batin atau inspirasi. Panggilan batin itu mungkin disebabkan oleh suatu peristiwa atau pengalaman menarik perhatian manusia dan kemudian manusia menyelidikinya lebih lanjut.
Untuk itu manusia melakukan penyaringan untuk menemukan apakah peristiwa atau pengalaman yang menarik dan memberi inspirasi itu sungguh-sungguh sebuah undangan dari Allah atau hanya sebuah ilusi belaka. Dan manusia kadang-kadang membutuhkan bantuan pembimbing rohani untuk menafsirkannya. Manusia butuh bantuan orang lain yang telah lebih dulu disentuh oleh Allah.
Setelah itu barulah terjadi perubahan radikal. Manusia menjadi terbuka akan sapaan Allah. Manusia akan mengikuti undangan Yesus dan manusia akan masuk ke dalam pola hidup baru, yaitu mewartakan kerajaan Allah kepada dunia.
Yang menjadi masalah : apakah kita mampu menggali makna dari pengalaman hidup kita ? Dengan menyelami pengalaman Paulus, kita diajak untuk dapat memberikan makna kepada pengalaman kita - tentunya pengalaman kita berjumpa dengan Kristus yang bangkit.


Sumber Pustaka
Bergant, D. dan Fragomeni, R., Preaching the New Lectionary, Year B.Collegeville. The Liturgical Press, 1999.
Bergant, D. dan Karris, R.J. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.Yogyakarta.Kanisius,2002.
Darmawijaya, St., Kisah Para Rasul.Yogyakarta.Kanisius,2006.
Flanagan, N.M., Tafsir Perjanjian Baru 5 : Kisah Para Rasul.Yogyakarta.Kanisius,1981.
Harun, M, Kamu akan Menjadi Saksi-Ku. Dua Belas Langkah dalam Kisah Para Rasul.Yogyakarta.Kanisius,1986.
Jacobs, T., Paulus : Hidup, Karya dan Teologinya.Yogyakarta.Kanisius,1983.
Kustono, A.H. Paulus dari Tarsus : 21 Tanya Jawab.Yogyakarta.Kanisius,2008.
Marsunu, Y.M., Paulus Sukacita Rasul Kristus.Yogyakarta.Kanisius,2008.
Riyadi, S.E, Hidup dalam Kristus : Pengalaman Rohani Santo Paulus dalam Peristiwa Damsyik.Yogyakarta.Kanisius,2008.
Suharyo, I., Menjadi Manusia Dewasa : Belajar dari Pengalaman Santo Paulus.Yogyakarta.Kanisius,2008.
Suharyo, I., Paulus Rasul Bangsa-bangsa.Jakarta.Lembaga Biblika Indonesia,2008.