Social Icons

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2015 (GAGASAN PENDUKUNG)



 KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA

Bulan Kitab Suci Nasional
LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA
2015

GAGASAN PENDUKUNG
RD Stefanus Iswadi Prayidno


PENDAHULUAN

Paus Benediktus XVI mengeluarkan Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Iman). Sri Paus merasa prihatin terhadap merosotnya penerusan iman yang sedang melanda Gereja. Bapa Suci mengajak segenap warga Gereja untuk merefleksikan imannya sekaligus mengambil langkah kreatif guna membangun kembali imannya. Untuk itu, lahan penting yang harus digarap adalah keluarga sebagai tempat utama penerusan iman. Keluarga diajak kembali merenungkan Kitab Suci. Harapannya, keluarga kristiani bertumbuh dalam iman berkat permenungan Kitab Suci yang dibaca, direnungkan, dan dihayati dalam keluarga.

Terkait dengan itu, tema BKSN 2015 ini adalah “Keluarga yang Melayani seturut Sabda Allah.” Pelayanan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gereja, bahkan menjadi identitas dirinya. Jika demikian, maka keluarga kristiani sebagai bagian dari Gereja turut serta dipanggil untuk menghayatinya dan mewujudkannya dalam kehidupan seharihari. Keluarga kristiani akan menimba inspirasi untuk melayani dari dalam Kitab Suci.

Permenungan kita akan mulai dengan melihat “Arti Pelayanan”. Di situ kita akan melihat sekilas perkembangan pemahaman tentang pelayanan dalam Kitab Suci: mulai dengan gagasan mengenai pelayan dari orang yang melakukan sesuatu demi orang lain, menuju pemahaman pelayanan sebagai persembahan yang hidup kepada Allah dan solidaritas kepada anggota tubuh Kristus yang sedang menderita.

Pada bagian berikutnya, “Dari Persaudaraan Menuju Perbudakan”, kita akan merenungkan bagaimana umat Israel dalam Perjanjian Lama memahami pelayanan mereka. Pelayanan itu pertamatama adalah pelayanan kepada Allah yang telah membebaskan, tetapi kemudian dinyatakan secara konkret dalam persaudaraan yang harus dibangun. Bagian ini menggarisbawahi bahwa pengalaman indah pembebasan oleh Allah dari perbudakan Mesir sungguh mempengaruhi Israel dalam memperlakukan saudara sebangsa.

Bagian “Melayani karena Kristus” merenungkan secara khusus apa yang dihayati oleh Santo Paulus. Bagi Paulus, Kristus menjadi alasan, motivasi, dan teladan dalam melakukan pelayanan kepada sesama. Jika semuanya dilakukan demi Kristus, maka sesungguhnya pelayanan itu menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah (bdk. Rm 12:12). Lalu, di mana pelayanan yang demikian ini bisa dihayati? Pada tempat pertama, Paulus mengatakan bahwa kehidupan jemaat adalah tempat untuk melayani, untuk menjawab panggilan kasih Allah yang dinyatakan dalam Kristus. Jemaat adalah tubuh Kristus sendiri. Selain itu, seperti Kristus yang melayani tanpa pandang bulu, pada tempat kedua, pelayanan itu menjangkau semua orang yang lain.

Pada bagian “Yesus Sang Pelayan Sejati” kita akan merenungkan kehidupan Yesus sendiri sebagai pedoman utama pelayanan keluarga kita. Yesus membaktikan seluruh hidupNya untuk mengasihi Allah BapaNya dan mencurahkan kasih sehabishabisnya untuk manusia. Dialah Hamba Allah yang menderita itu, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Apa yang dikerjakan Yesus selama hidupNya menjadi seruan bagi para pengikutNya untuk saling melayani.

Akhirnya, seruan Yesus untuk saling melayani berlaku bagi seluruh keluarga kristiani. Dalam bagian “Keluarga Kristiani Mengabdi Tuhan” akan direnungkan bahwa Allah sendiri menjadi alasan bagi keluarga kristiani untuk melayani dan mengasihi. Hal itu dilakukan di antara anggota keluarga sendiri, lalu diperluas di dalam Gereja dan masyarakat. Semuanya itu dikerjakan sebagai cara untuk saling menguduskan, menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah ketika disatukan bersama kurban Kristus di altar dalam Ekaristi.

ARTI PELAYANAN

Orang Katolik begitu akrab dengan kata “pelayanan” (diakonia). Dalam homili hari Minggu, imam kerap mengucapkannya. Dalam banyak kesempatan kata itu juga digunakan, misalnya pelayanan sakramental, pelayanan kesehatan paroki, pelayanan orang sakit, dan sebagainya. Pelayanan lalu menjadi bagian hidup Gereja, menjadi identitasnya, karena pelayanan menjadi salah satu dari panca tugas Gereja. Lalu apa sebenarnya arti pelayanan itu?

Dalam pelayanan, orang melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain. Sesuatu yang baik itu bisa berupa bantuan untuk orang miskin, pelayanan Sabda untuk menghidupkan iman, pelayanan Kabar Baik yang menjadi jalan hidup. Akan tetapi, dalam suratsurat Paulus, pelayanan itu dipahami lebih dalam lagi sebagai persembahan yang hidup kepada Allah dan solidaritas kepada anggota tubuh Kristus yang sedang menderita. Inilah yang secara ringkas akan kita lihat pada bagian ini.

Dalam Perjanjian Lama: Hamba Melayani Majikan
Kata pelayanan (diakonia) berasal dari bahasa Yunani. Kalau mencari akar alkitabiahnya, biasanya orang akan membolakbalik Perjanjian Baru, karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. Akan tetapi, sebenarnya apa yang nanti akan ditemukan dalam Perjanjian Baru itu memiliki asalusulnya juga dalam Perjanjian Lama. Tentu saja Kitab Perjanjian Lama yang dimaksud adalah apa yang sekarang dinamakan Septuaginta (LXX). Septuaginta adalah Kitab Suci orang Yahudi yang tinggal di daerah perantauan dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.

Dalam Perjanjian Lama, digunakan kata “abad” yang artinya melayani, mengabdi. Dari kata “abad”, muncul istilah “ebed”, yang artinya “pelayan”, bahkan “hamba”. Dengan kata “abad”, seseorang bekerja untuk orang lain. Tentu saja orang yang dilayani atau diabdi memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Seorang hamba bekerja pada seorang majikan atau tuan.

Pada kitab Ester, diakonia dikenakan kepada para petugas atau pelayan raja Ahasyweros (1:10; 2:2; 6:3,5). Mereka adalah para sidasida dan para biduanda raja. Dalam 1 Mak 11:58, diakonia terkait dengan pelayanan meja yang diberikan kepada imam agung baru Yonatan. Akan tetapi, kata yang sama bisa digunakan untuk menjelaskan pelayanan yang diberikan kepada Allah sendiri. Dialah yang paling tinggi dari semua yang lain. Dari sana kita mengenal istilah Hamba Tuhan atau abdi Allah (bdk. 2 Raj 1:1011).

Dalam Perjanjian Baru: Aneka Arti Pelayanan
Diakonia. Kata ini merujuk pada pekerjaan rumah, khususnya pekerjaan mempersiapkan makanan (Luk 10:40), pasokan makanan (Kis 6:1), pelayanan kasih (Kis 11:29; 12:25; Rm 15:31; 2 Kor 8:4; 9:1,12,13) di mana rahmat Kristus tampil secara jelas sebagai motivasi dasarnya, pelayanan pewartaan sabda (Kis 6:4; 20:24; 21:19; 2 Kor 11:8), tugastugas dalam jemaat (Ef 4:12); pelayanan “para rasul” dan orang yang terpanggil untuk perutusan (Kis 1:17; Rm 11:13; 2 Kor 3:7; Kol 4:17).

Diakoneo. Kata kerja ini berarti melayani. Kapan saja digunakan? Kata ini digunakan untuk menunjukkan tugas melayani meja (Mrk 1:31 par; Luk 10:40; Yoh 12:2; Luk 17:8; Kis 6:2), membantu seseorang (Mrk 15:41; Luk 8:3; Mat 4:11), membantu komunitas (2 Tim 1:18; Ibr 6:10; 1 Ptr 4:10,11). Akan tetapi, “melayani” memiliki makna baru berkat pribadi Yesus dan injilNya (Mrk 10:45 par). Dikaitkan dengan Yesus, kata ini menyatakan pemberian diriNya bagi orang lain dalam sengsara dan kematianNya (Mrk 10:45).

Diakonos. Kata ini dikenakan pertamatama kepada orang yang melayani meja (Mat 22:13; Yoh 2:5,9). Dalam perkembangannya, diakonos dipahami sebagai pelayan dalam arti luas: pelayan perjanjian (2 Kor 3:6), pelayan keadilan (2 Kor 11:15), pelayan Kristus (2 Kor 11:23; Kol 1:7), pelayan Allah (2 Kor 6:4), pelayan Injil (Ef 3:7; Kol 1:23); pelayan jemaat (Kol 1:25). Kristus sendiri disebut diakonos (dari orang Yahudi) dalam Rm 15:8 dan Gal 2:17.

Diakonat. Diakonat menjadi sebuah pelayanan khusus. Pelayanannya dipersempit dan dikaitkan dengan jabatan khusus dalam jemaat yang tugasnya kurang lebih seperti penilik jemaat (1 Tim 3:12 dan 3:89). Kepada pelayan khusus diakonat ini diberikan sebuah pekerjaan pelayanan jasmani dan rohani, seperti pelayanan melalui peribadatan, bantuan untuk orang miskin dan kepemimpinan dalam jemaat. Di Gereja Katolik Roma diakonat disempitkan sebagai tahap sebelum tahbisan imam.

Dalam suratsurat Paulus: Melayani Anggota Tubuh Kristus
Suatu ketika jemaat kristen di Yerusalem terancam kelaparan. Paulus mengajak jemaat di Korintus untuk mengumpulkan kolekte bagi saudarasaudari seiman di Yerusalem. Paulus memahami kolekte atau bantuan ini sebagai diakonia. Dan tidak sekedar itu. Paulus melihat bantuan itu sebagai ungkapan iman dan persekutuan (2 Kor 9:13). Artinya, bantuan itu bukan semata aksi sosial, melainkan solidaritas dengan anggota tubuh Kristus yang lain (Ef 4:12). Kalau jemaat di Korintus membantu jemaat di Yerusalem yang sedang terancam kelaparan, mereka sebenarnya sedang membantu anggota tubuh Kristus itu sendiri.

Paulus juga memberikan gagasan yang indah. Dia menegaskan sekali lagi bahwa “pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluankeperluan orangorang kudus, melainkan juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah” (2 Kor 9:12). Bantuan pelayanan adalah ucapan syukur kepada Allah sendiri. Jika demikian, pelayanan itu tak lain adalah ibadah rohani yang ditujukan kepada Allah sendiri. Segala sesuatu yang dikerjakan bagi anggota tubuh Kristus yang lain menjadi sebuah persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah.


DARI PERBUDAKAN MENUJU PERSAUDARAAN

G. Auzou membuat rumusan yang menarik: dari perbudakan menuju pelayanan. Pelayanan itu pertamatama adalah pelayanan kepada Allah yang telah membebaskan, tetapi kemudian dinyatakan secara konkret dalam persaudaraan yang harus dibangun. Dengan rumusan itu, Auzou ingin menggarisbawahi bahwa pengalaman indah pembebasan oleh Allah dari perbudakan Mesir sungguh mempengaruhi Israel dalam memperlakukan saudara sebangsa. Dan inilah yang akan kita pelajari pada bagian ini.

Dasar Pelayanan: Allah telah menyelamatkan Israel
Umat Israel menuangkan syahadat mereka secara padat dalam Ul 26:111. Di sana kita bisa membaca: 
“Bapaku dulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir [...] di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat, dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan tandatanda serta mukjizatmukjizat.”

Pengalaman perbudakan di Mesir begitu membekas dalam ingatan orang Israel. Mereka sangat menderita, bukan hanya oleh pekerjaan berat yang harus mereka tanggung, melainkan terutama bahwa mereka seperti dilupakan. Mereka merasa menjadi seperti orang yang tidak lagi diingat, terpisah dari cinta Tuhan. Mereka menantikan uluran tangan Tuhan.

Akhirnya, saat yang dinanti pun datang, yakni saat pembebasan dari tempat perbudakan. Sungguh sukacita yang besar. Biarpun demikian, Israel mengerti betul bahwa perjalanan keluar dari Mesir bukan perkara mudah. Mereka harus menyeberangi Laut Merah. Selain itu, mereka harus siap melintasi padang gurun yang kering selama 40 tahun. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk semuanya itu. Syukurlah, dengan segala keterbatasan, mereka lepas dari situasi sangat kritis itu.

Bagi orang Israel, semua ini sungguh penuh arti. Mereka meyakini betul bahwa Allah ada di balik semua kejadian luar biasa ini. Allah telah memaksa Firaun “dengan tangan yang kuat” (Kel 3:19) untuk mengakhiri perbudakan. “Pergilah menghadap Firaun, sebab Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras, supaya Aku mengadakan tandatanda mujizat yang Kubuat ini di antara mereka, dan supaya engkau dapat menceriterakan kepada anak cucumu, bagaimana Aku mempermainmainkan orang Mesir dan tandatanda mujizat mana yang telah Kulakukan di antara mereka, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN” (Kel 10:12).

Sungguh pengalaman yang mengesankan dan mendalam. Yang dilakukan Israel kemudian adalah mengenang “tandatanda” yang dikerjakan Allah di Mesir, menceritakannya, dan menyanyikan nyanyian bersama Musa (Kel 15). Mereka bermadah atas keajaiban Allah. Memuji dan memuliakan Allah bolehlah dipandang sebagai pelayanan pertama kepada Allah yang telah menyelamatkan dan memberikan kebebasan kepada mereka. Akan tetapi, Israel masih melangkah lebih jauh lagi. Syukur kepada Allah itu akan mereka hayati betul dalam kehidupan bersama dengan saudara sebangsa dalam bentuk persaudaraan.

Dekalog
Israel sedang berdiri di seberang Yordan. Janji yang dulu diberikan kepada nenek moyang mereka sekarang di ambang pemenuhan. Mereka harus belajar cara hidup baru ketika Allah telah menggenapi janjiNya bagi mereka. Apakah mereka akan seterusnya mendiami tanah yang dijanjikan Tuhan itu atau tidak, itu bergantung pada kesetiaan mereka kepada Allah. Orang Israel harus menjawab kesetiaan itu jika mereka ingin tetap tinggal di tanah mereka yang baru.

Allah memberikan Sepuluh Firman kepada Israel sebagai sarana untuk memelihara kesetiaan. Orang menyebutnya Dekalog, sebuah kata Yunani yang berarti “Sepuluh Firman” (Ul 4:13). Hukum Allah itu dapat diringkas demikian: memanggil Israel agar tetap setia kepada Allah yang telah memenuhi setiap janji. Hukumhukum itu memerintahkan Israel untuk hanya melayani Allah. Ini akan menjadi jaminan bahwa Israel akan hidup sejahtera di tanah yang akan diberikan Allah kepada mereka.

Hukum pertama sampai ketiga (Ul 5:715) berkaitan langsung dengan tata perilaku di hadapan Allah. Hukum pertama memberi contoh artinya setia secara mutlak kepada Allah. Larangan membuat patung mengingatkan mereka akan siapa sebenarnya Allah mereka, yakni Allah yang tidak pernah dapat disejajarkan dengan allahallah lain. Mereka sekarang harus menghormati Sabat Tuhan, karena “engkau pun dahulu budak di tanah Mesir” dan sekarang telah bebas.

Tujuh hukum berikutnya (ayat 1621) berbicara tentang hubungan yang harus ada dalam masyarakat Israel sendiri. Israel akan tetap taat kepada Allah selama mereka berbuat baik kepada sesama. Hubungan orangtua dan anak dipandang sebagai inti hubungan dalam masyarakat Israel. Pembunuhan dilarang. Hubungan perkawinan sangat dilindungi. Hak milik orang lain harus dihormati dan tidak boleh dicuri. Jika Allah setia pada kata dan tindakan, maka saksi dusta jelas pelanggaran berat. Akhirnya, dua hukum terakhir melarang nafsu, karena akan merusak hidup manusia.

Pembukaan hukumhukum ini sangat menentukan. Allah berfirman, “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (ayat 6). Hukumhukum itu berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan yang dimaksudkan adalah bukan sembarang allah, melainkan Allah yang turut serta dalam sejarah kehidupan mereka, yang membawa Israel keluar dari Mesir. Jika dulu mereka diperbudak di Mesir, maka sekarang mereka harus menundukkan diri di hadapan Allah yang telah membebaskan mereka. Kesetiaan mutlak kepada Allah itu tidak pernah terpisahkan dari perilaku yang benar terhadap sesama manusia.

“Saudaramu si miskin” (Ul 15)
Sebuah aturan hidup bersama. Cara hidup bersama untuk orang Israel ditemukan dalam Ul 1225. Ketika kehidupan Israel sudah mapan, mereka menentukan hukumnya sendiri untuk mengatur kehidupan sosialnya. Ketentuanketentuan ini banyak memberi perhatian kepada pengaturan keseharian, terutama perlindungan kepada mereka yang lemah. Ditekankan pula kewajiban bangsa terpilih kepada Allah.

Pengaturan hidup bersama itu dapat diringkaskan dalam ungkapan berikut ini: satu Allah, satu bangsa, satu tempat peribadatan, satu tanah, satu hukum. Allah satusatunya ini telah memilih dan membuat perjanjian dengan sebuah bangsa. Bangsa ini harus menjadi satu, tanpa membedakan perbedaan kayamiskin atau aneka diskriminasi. Yang ideal adalah bahwa seluruh bangsa harus diperlakukan sebagai sesama saudara. Mengapa? Karena mereka bukan sembarang bangsa, melainkan umat Allah. Dari sini kita lalu bisa mengerti apa yang ditentukan dalam Ul 15 berkaitan dengan saudara yang miskin.

Semua adalah anugerah Tuhan. Ul 15 berbicara tentang hutang dan perbudakan. Sudah jamak pada masa itu bahwa hutang bisa berakhir dengan perbudakan jika seseorang tidak mampu membayarnya. Ketika seorang sepakat untuk memberi pinjaman, si peminjam harus meninggalkan pakaiannya sebagai pengingat atas pinjaman itu. Aturan hukum berusaha sungguh untuk mengurangi atau menghapuskan kemelaratan dari masyarakat (ayat 4,7,11). Aturan hukum mengharuskan si peminjam untuk “membuka tangan lebarlebar” (ayat 8). Pada tahun ketujuh, tahun penghapusan hutang, si peminjam harus sukarela memutihkan hutangnya kepada “saudara yang miskin”, dengan cara mengembalikan pakaiannya.

Aturan hukum mencoba melawan para pejabat yang menindas warganya, sebab yang sering terjadi adalah bahwa mereka menggantikan hubungan persaudaraan dengan perbudakan. Aturan hukum menyadarkan bahwa jika si peminjam bersedia membuka tangan dan menghapuskan hutang, maka yang sedang dilakukannya adalah mengubah pembebasan hutang itu menjadi sebuah pemberian kepada “saudara yang miskin.” Dan untuk meyakinkan para peminjam, tata aturan itu menyebutkan bahwa “Tuhan akan memberkatinya”, bahwa semua yang mereka miliki adalah “pemberian Tuhan”.
Allah telah membebaskan Israel dari perbudakan. Ul 15:1218 berbicara tentang memerdekakan budak Ibrani. Ketika orang tidak mampu membayar hutangnya, seringkali dia terpaksa menjadi budak, “menjual dirinya” (ayat 12). Dalam pandangan Ulangan, sungguh tidak elok bahwa bangsa Ibrani menjadi budak saudaranya sebangsa sendiri. Mereka seharusnya menjadi saudara. Oleh karena itu, kepada si majikan, aturan hukum itu mengingatkan bahwa pada tahun ketujuh, “engkau harus melepaskan dia sebagai orang yang merdeka”. Bukan hanya melepaskan budak itu, melainkan juga memberinya buah tangan sebagai bekalnya. Mengapa demikian? Karena “engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau pun ditebus TUHAN, Allahmu” (ayat 15). Jadi, perintah ini lahir sebagai peringatan akan karya Allah yang telah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir.

Demikianlah, persaudaraan yang dihayati dengan penuh hormat pada sesama saudara sebangsa bukanlah sesuatu yang lain dari meneladan karya Allah atas umatNya: pembebasan dari perbudakan dan pemberian berkat.

Kekuasaan bukan untuk sewenangwenang. Faktor lain yang menjadi perhatian Ulangan adalah kekuasaan, sehingga disusunlah ketentuan hukum tentang raja (Ul 17:1420). Godaan seorang penguasa untuk sewenangwenang itu sangat besar. Karena itu, aturan kitab Ulangan mewantiwanti para penguasa agar tidak “mengembalikan bangsa ini ke Mesir” (ay. 16). Mereka diingatkan dengan keras agar jangan menyengsarakan rakyat sebagaimana dulu orang Mesir telah menyengsarakan mereka. Sebaliknya, para penguasa harus belajar untuk takut akan TUHAN, Allah mereka. Mengapa? Karena sesungguhnya negeri ini telah diberikan secara cumacuma oleh Tuhan untuk diduduki. Negeri ini milik Tuhan, dan para penguasa harus memimpin atas nama Tuhan, bukan dirinya sendiri.


MELAYANI KARENA KRISTUS

Pengertian mengenai diakonia mendapatkan makna yang lebih mendalam dalam suratsurat Santo Paulus. Paulus memaknai diakonia lebih dari sekadar pelayanan. Baginya, diakonia mengarah pada sebuah hubungan baru dengan orang lain berdasarkan Kristus. Apa artinya ini? Artinya, pelayanan itu dilakukan sematamata karena Kristus. Kristus menjadi alasan, motivasi, dan teladan dalam melakukan pelayanan kepada sesama. Jika semuanya dilakukan demi Kristus, maka sesungguhnya pelayanan itu bukan lagi sekadar pelayanan, melainkan menjadi persembahan yang hidup, yang berkenan kepada Allah (bdk. Rm 12:12).

Dasar pelayanan yang adalah Kristus sendiri itu membawa para pengikut Kristus pada orangorang yang harus dilayani. Pada tempat pertama, Paulus mengatakan bahwa kehidupan jemaat adalah tempat untuk melayani, untuk menjawab panggilan kasih Allah yang dinyatakan dalam Kristus. Jemaat adalah tubuh Kristus sendiri. Selain itu, seperti Kristus yang melayani tanpa pandang bulu, pada tempat kedua, pelayanan itu menjangkau semua orang yang lain. Halhal inilah yang akan kita pelajari pada bagian ini.

Inti Hidup Pengikut Kristus
Dalam Kis 6 tujuh orang dipilih untuk melayani orang miskin dalam jemaat. Stefanus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus diberi mandat khusus untuk membantu orangorang kristen Yahudi yang berbahasa Yunani. Tetapi, penghayatan diakonia seperti ini belumlah lengkap. Mengapa? Karena kalau hanya dihayati sebagai tugas khusus dalam jemaat, maka pelayanan di luar kelompok pasti akan terabaikan.

Diakonia sejatinya lebih mendalam daripada sekadar tugas atau peran tertentu dalam jemaat. Panggilan ini mengandaikan perubahan hidup umat beriman. Diakonia ada dalam inti hidup kristiani. Karenanya, diakonia tidak bisa dipisahkan dari doa dan liturgi, serta dari dimensi kesaksian dan pewartaan Injil. Bagi Paulus, diakonia tidak lagi dititikberatkan pada pelayanan meja begitu saja. Bahkan, berbeda dengan Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, alasan pelayanan meja dan pelayanan untuk orang miskin hampir tidak pernah muncul. Pendek kata, Paulus menerapkan diakonia dalam konteks yang lebih luas, dan menjadikannya sebagai bagian dari inti hidup pengikut Kristus.

Pelayanan Sabda
Paulus menghubungkan diakonia dengan pewartaan Injil. Apolos, Paulus, dan para rasul yang lain adalah “pelayanpelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya” (1 Kor 3:5). Paulus dan rekanrekannya ditampilkan sebagai “pelayan Allah” (diakonoi theou, 2 Kor 6:4). Berlawanan dengan para rasul palsu, Paulus menjamin otoritas pewartaan dengan menegaskan bahwa dia adalah pelayan Kristus (2 Kor 11:13 – 15:23). Buktinya adalah beratnya misi yang pernah dia jalankan dan perjalanan Damsyik (2 Kor 6:410; 11:2333; 13:9).

Sebagai seorang pelayan Kristus, apakah yang diwartakan Paulus? Dia memberitakan karya kasih Allah dalam diri Kristus, “seorang Mesias yang tersalib” (1 Kor 1:23). Ini bukan perkara gampang bagi orang Yahudi seperti dia. Mesias itu seorang yang diurapi Allah. Seorang yang terpilih. Tidak mungkin seorang Mesias itu disalibkan. Malahan, orang yang disalibkan adalah orang yang kena kutuk oleh Allah sendiri (bdk. Gal 3:13; Ul 21:23). Hanya pengalaman Damsyiklah yang membuat Paulus berbalik 180 derajat menjadi pewarta Kristus. Dulu ia pasti merasa ngeri mendengar kata salib, tetapi sekarang dia memberitakan salib (1 Kor 1:18).

Itulah Kabar Gembira yang diwartakan Paulus. Dia mewartakan Injil tentang tindakan penyelamatan Allah dalam Kristus yang tersalib (1 Tes 1:5; Rm 1:1617). Dia menjadi pelayan Injil (Kol 1:23; Ef 3:7). Dengan demikian, Paulus mengaitkan secara langsung antara diakonia dan pewartaan sabda.

Pelayanan di dalam Jemaat
Relasi kekeluargaan dan persaudaraan. Suasana kekeluargaan ditemukan dalam hubungan Paulus dengan jemaatnya. Pelayanan Sabda pada gilirannya menghasilkan sebuah hubungan yang sangat khusus antara Paulus dengan jemaatjemaat yang dipercayakan kepadanya. Paulus memperlakukan jemaat layaknya orang yang dikasihi. Bahkan, kepada mereka ia memiliki cemburu ilahi (2 Kor 11:2). Jemaat diperlakukan juga dengan penuh kelembutan, seperti seorang ayah dan ibu memperlakukan anakanaknya (1 Tes 2:78,11).

Paulus sungguh solider dengan jemaatnya. Dia turut merasakan kecemasan jemaatjemaatnya dan merasakan juga penderitaan mereka (bdk. 2 Kor 11:2829). Nasihatnasihatnya lebih berupa penghiburan yang meneguhkan jemaat, meskipun disampaikan dengan nadanada peringatan. Peringatan kerasnya keluar dari hati terdalam untuk membimbing jemaat. Paulus sering menulis dengan keras dan tegas, tetapi itu dilakukannya atas dasar kasih kepada jemaat.

Sementara itu, suasana persaudaraan lebihlebih dirasakan ketika Paulus memperlakukan rekanrekan sekerjanya. Jarak dan waktu tidak selalu membuatnya bisa hadir di tengahtengah jemaatnya. Dia lalu mengutus beberapa orang yang mewakilinya. Betapa terlihatnya kedekatan relasi antara Paulus dengan orangorang yang bekerja bersama dengan dia atau yang mewakili dia. Mereka diperlakukan seperti anak atau saudaranya sendiri. Paulus memperlakukan rekanrekan sekerjanya dengan penuh kasih, kelembutan, dan hormat (lih. Rm 16:1; Flp 2:22; Kol 4:7; Ef 6:21).

Pelayanan dalam persekutuan. Paulus banyak mendirikan jemaat di berbagai tempat. Dia menyadari bahwa sebagai jemaat yang baru dibangun, ada saja persoalan di antara mereka yang mengancam persatuan jemaat. Karenanya, Paulus menggarisbawahi unsur “persekutuan” (koinonia) dalam jemaat. Persekutuan harus dihidupi, didirikan (1 Tes 5:11), atau dibangun kembali ketika telah retak (1 Kor 1:10; 11:18; 12:25). Diakonia Paulus sekarang diarahkan pada koinonia.

Mengapa Paulus begitu serius untuk membangun persekutuan itu? Karena dia menyadari bahwa jemaat sesungguhnya adalah tubuh Kristus (bdk. 1 Kor 12; Rm 12:45; 15:2). Dengan baptisan, umat telah disatukan dalam Kristus. Disamakan dengan Kristus dalam kematian, orang Kristen mati terhadap hukum dan dosa (Gal 2:19). Disamakan dengan Kristus dalam kebangkitan, orang berbagi hidup baru dari Kristus yang bangkit dan RohNya (1 Kor 6:17).

Keserupaan dengan Kristus itu bukan semata pengalaman orang per orang, melainkan pengalaman sebagai jemaat. “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecahpecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:1617). Kesatuan jemaat itu diperoleh berkat cawan dan roti yang sama.

Dengan demikian, merusak persekutuan berarti melepaskan diri dari tubuh Kristus dan meninggalkan Kerajaan Allah yang sesungguhnya. Paulus memaknai jemaat sebagai tempat pembangunan tubuh Kristus, tempat di mana setiap jemaat beriman dapat menanggapi panggilannya untuk bersatu, hingga sampai pada kenyataan bahwa mereka adalah Bait Allah dan Roh Kudus diam dalam diri mereka (bdk. 1 Kor 3:1617).

Motivasi Pelayanan Paulus
Ucapan Syukur. Seseorang pernah bercerita tentang titik awal bagaimana ia mulai melibatkan diri dalam karya kerasulan di paroki. Semuanya berangkat dari rasa syukur atas segala anugerah berlimpah dari Tuhan untuknya. Motif seperti ini juga sangat kelihatan pada Paulus. Rasa syukur harus ada dalam menjalankan tugas perutusan apapun. Pada awal setiap suratnya, Paulus selalu mengucapkan syukur dalam doanya untuk jemaat tertentu. Paulus adalah seorang manusia  pendoa, khususnya doa syukur. Paulus mengucap syukur karena mengakui segala kasih karunia Allah yang menaungi jemaat (Rm 6:14). Dia juga mengucap syukur karena kasih karunia Allahlah yang menjadikannya seorang pelayan (Ef 3:7). Jadi, pelayanan Paulus pertamatama merupakan akibat dari rahmat Allah.

Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah. Paulus memperkenalkan dirinya dan rekan kerjanya sebagai “pelayan Allah” (2 Kor 6:4), pelayan perjanjian baru (2 Kor 3:6), dan pelayan dari mereka yang dipercayakan seperti “surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup” (2 Kor 3:3). Paulus memahami pelayanannya bukan sekedar tugas dan pekerjaan seorang rasul, melainkan sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah. Kepada jemaat di Filipi ia mengatakan: “Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian” (Flp 2:17). Paulus mengimani betul bahwa pelayanan pewartaan Injil adalah bagian dari ibadahnya (Rm 1:9).

Sebuah relasi akrab dengan Kristus. Inilah sumber kekuatan utama Paulus. Betapa tidak, pada awalnya Paulus adalah seorang penganiaya jemaat pengikut Kristus. Peristiwa penampakan Tuhan yang bangkit ketika dia hendak menganiaya jemaat di Damsyik sungguh telah mengubah hidupnya. Dasardasar imannya seperti dirobohkan, dirombak, dan dibangun kembali. Salah satunya adalah pemahaman imannya mengenai Mesias, mengenai Kristus. Peristiwa itu menyadarkan dirinya bahwa Sang Kristus yang tersalib memang benarbenar bangkit.

Pengalaman Damsyik membawa akibat lain bagi Paulus. Dia yakin bahwa Allah telah memilihnya sejak dalam kandungan ibunya dan memanggil dia karena kasih karuniaNya. Allah “berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsabangsa bukan Yahudi” (Gal 3:16). Pernyataan diri Kristus yang bangkit membuat Paulus benarbenar bertekuklutut di hadapanNya. Dengan penuh keyakinan dia berkata, “Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20). Kristus adalah segalagalanya bagi Paulus.

Kristus sebagai Model
Meneladan Kristus. Paulus telah melihat dalam diakonia itu tempat untuk pewartaan dan tempat untuk membangun tubuh mistik Kristus. Maka bisa dimengerti bahwa dia memberikan diri sepenuhpenuhnya kepada jemaatjemaat yang dibimbingnya. Tetapi, bukan hanya itu, Paulus juga masih memiliki satu alasan yang kuat untuk pemberian dirinya bagi jemaat itu, yaitu meneladan Kristus sendiri.

Bagi Paulus, Kristus adalah model yang diikutinya. Begitu melekatnya ia meneladan Kristus, sampaisampai ia mengatakan kepada jemaat untuk mengikuti teladannya sendiri: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Kor 11:1). Jika demikian, jemaat yang telah mengikuti teladan Paulus sebagaimana Paulus mengikuti teladan Kristus akan menjadi teladan bagi yang lain, “sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya” (1 Tes 1:7).

Dengan mengikuti teladan Kristus, umat beriman diundang untuk hidup “dalam Kristus”, untuk memasuki sebuah relasi bukan sebagai hamba (doulos), melainkan sebagai anakanak Allah (Gal 4:67; Rm 8:1417). Dengan demikian, umat beriman dapat menjadi “serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm 8:29). Bahasa yang digunakan Paulus adalah “mengenakan Kristus” (Rm 13:14), meninggalkan manusia lama, yang telah disalibkan bersama dengan Kristus (Rm 6:6), untuk mati bersama dengan Dia dan dengan demikian hidup bersama dengan Dia (Rm 6:8).

Hubungan antar Sesama Manusia. Kristus yang menjadi model Paulus telah memberi arah hubungan antar sesama. Apa yang dilakukan oleh Kristus menjadi alasan untuk menerima satu sama lain: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm 15:7), agar mereka dapat hidup rukun “sesuai dengan kehendak Kristus Yesus” (Rm 15:5). Kaum beriman seharusnya mengusahakan damai, keselarasan dan persekutuan.

Solidaritas harus selalu diutamakan dalam kehidupan jemaat. Itulah ajaran yang bisa dipetik dari gambaran tubuh dan anggotanya dalam Rm 12:5, di mana seluruh umat beriman adalah anggotaanggotanya. Dalam keberagamannya, kaum beriman dipanggil untuk membentuk satu tubuh Kristus (1 Kor 12). Kristus adalah kepala tubuh, yaitu Gereja (Kol 1:18; Ef 1:22). Apa yang dilakukan oleh masingmasing anggota dapat dirasakan oleh anggota yang lain (1 Kor 12:26). Umat beriman adalah dia yang tertawa dengan yang tertawa dan menangis dengan mereka yang menangis (Rm 12:1516). Semua harus saling melayani (Gal 5:13), khususnya kepada mereka yang miskin dan menderita (Gal 2:10), saling menanggung beban (Gal 6:2) dan saling membangun (1 Tes 5:1119). Surat kepada Jemaat Filipi sangat jelas dalam memandang hal ini: 
“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujipujian yang siasia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiaptiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:25).

Model bagi seluruh umat beriman adalah Kristus sendiri, yang telah “mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:7). Madah kristologis dalam Flp 2:611 menunjukkan bahwa apa yang telah dikerjakan oleh Kristus semestinya menjadi teladan seluruh umat beriman. Perendahan diri Kristus sampai pada salib menginspirasi umat beriman untuk juga merendahkan diri dalam hubungan dengan sesama. Dengan berlaku demikian, umat beriman akan berjalan di jalan damai dan saling membangun, akan menjadi hamba Kristus, akan menyenangkan Allah dan sesama (Rm 14:1819), tanpa bermaksud mencari penghormatan manusia (Gal 1:10).

Pemberian diri kepada orang lain. Paulus memakai kosa kata peribadatan dalam pelayanan umat beriman. Dalam Rm 12:12 Paulus menasihatkan demikian: “Karena itu, saudarasaudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati ... yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Nasihat Paulus ini membuat orang mengerti bahwa pelayanan apa pun perlu dimaknai sebagai persembahan hidup yang berkenan kepada Allah. Pelayanan apa pun harus keluar dari hati yang penuh syukur, seperti juga yang biasa dilakukan oleh rasul Paulus, yang mengucap syukur dalam banyak kesempatan (Rm 6:14; 1 Kor 14:17; 2 Kor 6:1; 1 Tes 5:18; Kol 3:17; 1 Tim 2:14).

Agape, kasih tanpa batas, kunci pemberian diri. Kaum beriman, yang berada dalam situasi mengucap syukur, mendapati bahwa dasar dan tujuan akhir dari syukur mereka adalah agape (cinta tanpa batas) dari Allah yang telah dinyatakanNya dalam Kristus (Rm 5:6,8). Sebagai tanggapan atas kasih Allah ini umat beriman diundang untuk menyesuaikan hidupnya. Mereka harus berjalan seturut kasih Allah (Rm 14:15) untuk menghormati sesama. Kasihlah yang membangun (1 Kor 8:1). Melalui kasihlah kita melayani satu sama lain (Gal 5:13). Panggilan untuk menghayati kasih sekarang bukan lagi perintah, melainkan sebuah “firman” yang merangkum seluruh perintah dan menggenapi hukum Taurat (Rm 13:910).

Selain itu, Paulus menganggap kasih sebagai yang terbesar setelah iman dan harapan (1 Kor 13:7,13). Kasih adalah iman dalam perbuatan (Gal 5:6). Ef 5:12 lebih tegas lagi: “Sebab itu jadilah penurutpenurut Allah, seperti anakanak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah”. Model untuk hidup dalam kasih adalah Kristus. Dan dalam kasihlah dibangun tubuh Kristus (Ef 4:6).

Pelayanan antarjemaat dan universal. Bentuk baru hubungan antar umat beriman terkait juga dengan hubungan antar jemaat. Bantuan (kolekte) antar jemaat untuk melayani orang miskin dimengerti dalam arti ini (2 Kor 89; Rm 15:2526). Paulus tidak pernah bermaksud membangun sebuah jemaat yang tertutup satu sama lain.

Relasi yang terbuka antar jemaat ini menyentuh juga relasi dengan orangorang di luar lingkungan jemaat kristen. Memang kosa kata yang digunakan bukan lagi diakoneo (melayani) atau douleo (mengabdi). Tetapi Paulus sangat menekankan keterbukaan dan kebaikan kepada semua orang (Rm 12:17), termasuk terhadap orang yang memusuhi kita (Rm 12:20) dan terhadap para penguasa (Rm 13:15; bdk. 1 Tim 2:12). Di sisi lain, Paulus juga menekankan pentingnya memberikan teladan dari jemaatjemaat untuk orangorang yang bukan dari komunitas kristen. Paulus memberi contoh betapa perilaku yang baik bisa menjadi teladan bagi orang luar: “Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalanpersoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orangorang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka” (1 Tes 4:1112).


YESUS SANG PELAYAN SEJATI

Santo Paulus memandang Kristus sebagai satusatunya dasar dan alasan untuk melayani Allah dan sesama manusia. Pada diri Kristus yang wafat dan bangkit itu, Paulus melihat teladan sempurna dari pelayanannya dan sekaligus tujuan akhirnya. Dan Paulus memang benar. Selama hidupNya di tanah Palestina, Yesus mencurahkan seluruh hidupNya untuk melayani. Dia mengajar, menyembuhkan, dan mengampuni. Dia menghadirkan Kerajaan Allah di antara manusia. Pada wajahNya terpancar wajah Allah sendiri. Sehabishabisnya Ia mencurahkan kasihNya karena Ia mengasihi dan taat kepada Bapa yang mengutusNya. Setuntastuntasnya Ia memberikan hidupNya kepada manusia, karena Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani: “Aku ada di tengahmu sebagai orang yang melayani” (Luk 22:27; bdk. Yoh 13:115), dan “Anak Manusia tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). Inilah yang akan kita renungkan pada bagian ini.

Panorama Pelayanan Yesus
Membawa Berita Gembira. Sebelum ada Injil mengenai Yesus, telah diwartakan Injil (Kabar Gembira) oleh Yesus. Di rumah ibadat di Nazaret, Yesus membaca nas dari nabi Yesaya:

“Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orangorang tawanan, dan penglihatan bagi orangorang buta, untuk membebaskan orangorang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:1819).

Dalam tahun rahmat inilah Yesus hidup di tengahtengah orang banyak, memberitakan Kerajaan Allah, menghidupkan harapan, menyembuhkan, mengusir setan, dan memilih muridmurid agar semakin banyak orang dapat dilayani.

Dalam memberitakan tahun rahmat Tuhan itu, Yesus menyertainya dengan mukjizatmukjizat. Mukjizat bukanlah “bukti” kehebatan Yesus, melainkan sungguh tanda nyata kedatangan Kerajaan Allah. Mukjizat menunjukkan bahwa sekarang kasih Allah telah dinyatakan kepada manusia melalui Yesus. Karenanya, ketika Yohanes Pembaptis mengutus orang bertanya apakah Yesus benarbenar Mesias yang dinantikan, Yesus menjawab para utusan, “Pergilah dan beritakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11:45). Itulah berita gembira yang diwartakan oleh Yesus.

Memanggil para rasul. Dalam mewartakan datangnya tahun rahmat Tuhan itu, Yesus tidak sendirian. Ia mengumpulkan sekelompok murid. “Ia memanggil orangorang yang dikehendakiNya dan mereka pun datang kepadaNya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutusNya memberitakan Injil dan diberiNya kuasa untuk mengusir setan” (Mrk 3:1315). Orang banyak memang mengikuti Yesus, datang dan pergi, tetapi para murid dipanggil untuk bersamaNya, mengenalNya, untuk mendapat pengetahuan dariNya.

Setelah itu, para rasul diutus “untuk mewartakan Injil dan mengusir setan” (Mrk 3:1415). Matius melukis isi pengutusan secara lebih luas: “Dan Ia memberi mereka kekuasaan untuk mengusir Roh yang tidak bersih dan menyembuhkan segala macam penyakit” (10:1). Para rasul pertamatama adalah pewarta Injil seperti Yesus sendiri. Tugas pertamanya adalah pewartaan: memberi manusia cahaya Sabda, ajaran Yesus Kristus. Namun, pewartaan Kerajaan Allah tidak semata mengajar dengan katakata, tetapi membawa orang berjumpa dengan Yesus sendiri, merasakan kuasaNya secara nyata.

Injil Lukas mengabarkan kepada kita bahwa Yesus membentuk kelompok murid lain lagi, yang terdiri 70 atau 72 orang dan diutus dengan tugas mirip dengan dua belas rasul (Luk 10:112). Selain itu, hanya Lukas juga yang menceritakan kepada kita bahwa ketika Yesus dan muridmuridNya berkeliling, para perempuan turut serta. Lukas menyebut tiga nama dan menambahkan: “Dan banyak lainnya, yang melayaniNya dengan apa yang dimilikinya” (8:3). Memang tugas para murid berbeda dengan para perempuan itu. Namun, Lukas menjelaskan bahwa banyak perempuan termasuk dalam persekutuan orang beriman dan bahwa perjalanan mereka sungguh penuh iman bersama dengan Yesus.

Akhir pelayanan Yesus. Warta gembira Kerajaan Allah yang dibawa Yesus kerap kali berbenturan dengan praktik hidup orangorang Yahudi. Berkalikali mereka berusaha menjebak Yesus. Situasi ini membuat Yesus sadar bahwa perutusanNya akan membahayakan hidupNya sendiri. Sebagai manusia Ia merasa takut. Ia begitu takut, sampaisampai keringatNya mengucur bercampur darah. Di bukit Zaitun, pada malam itu, terucaplah sebuah doa yang paling indah: “Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu; tetapi bukanlah kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi” (Luk 22:42).

Benar bahwa saatnya pun tiba. Yesus dikhianati, dijual, ditangkap, dan diadili. Ia berdiri tanpa seorang pembela pun. Demi kepentingan politik dan stabilitas, satu nyawa dihilangkan. Pengadilan itu menandai berakhirnya pelayanan Yesus di tengah orang sebangsaNya.“Yesus berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia”, kata Kitab Suci (Kis 10:38). Namun, Ia disalibkan sekitar umur 30 tahun seperti seorang penjahat. Dia mewartakan Kerajaan Allah, tetapi disingkirkan oleh orangorang atas nama hukum Allah. Apakah yang membuatNya begitu teguh untuk mewartakan datangnya tahun rahmat Tuhan itu?

Hamba Allah yang Menderita
Yesus menyadari diriNya sebagai hamba Allah yang menderita. Dalam Perjanjian Lama, sebutan hamba Allah dikenakan kepada tokohtokoh besar dalam sejarah Israel. Kita bisa menyebut beberapa tokoh, seperti Abraham (Mzm 105:42), Musa (Kel 14:32; Bil 12:17; Ul 34:5), Daud (2 Sam 7:58; 1 Raj 8:66), nabi Elia (2 Raj 10:10). Sebutan hamba Allah ini ternyata berlaku juga untuk seluruh bangsa. Peranan umat dianggap penting dalam sejarah penyelamatan Allah, sehingga mereka disebut hamba Allah (Yes 41:810; 44:21). Menyebut Yesus sebagai hamba Allah berarti menghubungkan Yesus dengan tokohtokoh yang menjadi pelaksana penyelamatan Allah sepanjang sejarah.

Gambaran tentang Yesus sebagai hamba Allah mencapai puncaknya dalam gambaran hamba yang menderita. Sejak awal kehidupan Gereja, gambaran tentang hamba yang menderita itu menjadi madah kesayangan. Madah itu ditemukan dalam Yes 52:13–53:12. Madah itu berkisah tentang seorang tokoh misterius, tak bernama. Ia menderita berat, walaupun tak selayaknya dia mengalaminya. Orang sezaman melihat hamba yang menderita ini sebagai tokoh yang tersingkir, tetapi tokoh itu diperlukan untuk keselamatan saudarasaudaranya.

Berulang kali Yesus memaparkan risiko perjuanganNya di Yerusalem (Mrk 9:31; 10:33). Yesus mengambil risiko salib itu. Dia bisa saja lari dan menghindarinya, tetapi itulah yang dipilihNya. Dalam risiko itu nampak benar ketaatan dan keberanian Yesus sebagai hamba. Ia memilih jalan pilihan Allah dan Ia tidak mundur dari jalan itu. Yesus memiliki ketaatan yang hebat, kendati melihat akibat yang berat. Yesus bisa saja menundukkan lawanlawanNya dengan kekerasan. Mukjizatmukjizat membuktikan bahwa Ia bisa melakukan apa pun yang Ia mau. Tetapi, Ia tahu bahwa karya kasih Allah tidak bisa diperjuangkan, dibela, dan dilindungi dengan kekuatan kekerasan dan paksaan. Ia memilih jalan Allah dengan mengorbankan diriNya.

Gereja awali melihat bahwa Yesus mengalami persis seperti yang dikisahkan penulis kitab Yesaya itu. Bagi orang Kristen, Yesus adalah yang sesungguhnya menjadi hamba Allah yang menderita itu. contohnya, ketika bertemu dengan sidasida yang membaca Yes 53:78, Filipus menjelaskan bahwa nabi sedang mewartakan Yesus Kristus (Kis 8:2635). Contoh lain, ketika Lukas menceritakan bagaimana Yesus mengutarakan nubuat penderitaanNya, ia melihat Yesus sebagai hamba Allah (lih. Luk 23:37; bdk. Yes 53:12). Demikianlah, orang kristen perdana melihat Yesus sebagai hamba Allah yang menderita.

Anak Manusia yang Datang untuk Melayani
Yesus menginsyafi diriNya sebagai Anak Manusia yang datang untuk melayani. Penginjil rupanya menjadikan Anak Manusia sebagai gelar favorit pribadi Yesus. Sebutan ini muncul 82 kali dalam Perjanjian Baru dan hampir seluruhnya terdapat dalam Injil. Dan hampir semuanya, sebutan Anak Manusia itu dikatakan oleh Yesus sendiri. Betapa pentingnya sebutan ini untuk memahami sosok pribadi Yesus. Lalu apa yang sebenarnya mau dikatakan dengan sebutan itu?

Awalnya, “anak manusia” digunakan begitu saja untuk menyebut “orang”. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sebutan “anak manusia” digunakan secara mengagumkan dalam Dan 7:13: “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awanawan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapanNya.” Anak manusia dalam kitab Daniel berkuasa atas kerajaan baru. Inilah tokoh yang dinantikan oleh orang Israel. Tetapi, beginikah Yesus memahami diriNya?

Rupanya tidak. Gelar anak manusia digunakan Yesus dalam cakrawala penderitaan dan kematian (lih. Mat 17:12.22; 16:21; 20:18; Mrk 8:31; 10:33; Luk 9:44). Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang jahat, disalibkan dan pada hari ketiga bangkit (lih. Luk 24:7). Gambaran anak manusia yang menderita jelas tidak bisa dipahami oleh alam pikir orang Yahudi yang menantikan anak manusia yang jaya. Sebaliknya, Yesus sadar bahwa jalan melayani yang ditempuhNya adalah jalan derita dan kematian. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28).


KELUARGA MELAYANI ALLAH

Pada bagian sebelumnya kita telah merenungkan pelayanan Yesus yang sempurna. Pada gilirannya teladan Yesus ini (Yoh 13:15) membawa bersamanya suatu perintah atau seruan bagi para muridNya: “Yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk 22:26; bdk. Mat 20:26 par; 23:11). Bukan hanya itu, Dia juga menegaskan: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

Seruan Yesus untuk saling melayani berlaku juga bagi seluruh keluarga kristiani. Allah sendiri menjadi alasan bagi keluarga kristiani untuk melayani dan mengasihi. Pertamatama hal itu dilakukan di antara anggota keluarga sendiri. Berikutnya, diperluas di dalam Gereja dan masyarakat. Semuanya itu bukan semata pelayanan lahiriah, atau biar terlihat baik di mata orang lain, melainkan menjadi cara untuk saling menguduskan, menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah ketika disatukan bersama kurban Kristus di altar dalam Ekaristi. Pelayanan keluarga kristiani pertamatama dan terutama adalah pengabdian kepada Tuhan sendiri. Kita merenungkannya pada bagian ini.

Semuanya bermula dari kehendak Allah
Dalam Kitab Kejadian (1:2628; 2:1824) dikisahkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citraNya. Ia menciptakan manusia sebagai lakilaki dan perempuan, dan dengan demikian Allah menggoreskan dalam kodrat manusia untuk saling melengkapi. Bukan hanya itu, Allah juga memberi kuasa kepada manusia untuk bersamasama dengan Allah menciptakan manusiamanusia baru. Dan dengan demikian, Kitab Suci memberikan landasan yang sangat kuat bahwa Allah menciptakan keluarga sebagai tempat untuk menyalurkan kasih dan kehidupan.

Di dalam keluarga, manusia dapat mewujudkan panggilan dasar untuk menjaga, mengungkapkan, dan menyalurkan cinta. Itu artinya cinta kasih harus ada lebih dahulu. Ada pepatah yang mengatakan: “Kasih bukan hanya terdapat di dalam pernikahan, tetapi dalam pernikahan harus ada kasih.” Pernikahan tidak menjamin adanya kasih, tetapi kasih memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pernikahan. Jika demikian, dalam keluarga, masingmasing anggota membawa kasih terlebih dahulu.

Akan tetapi, tantangan zaman memang membuat semuanya itu tidak selalu gampang. Di satu sisi, kemajuan ekonomi, misalnya, membuat banyak hal menjadi lebih mudah. Kesejahteraan keluarga meningkat. Keluarga bisa memanfaatkan banyak hal untuk menumbuhkan dan memperkaya cinta mereka. Tetapi, di sisi lain, globalisasi memaksa orang untuk hidup terpencarpencar. Pergaulan antara lakilaki dan perempuan yang lebih terbuka sungguh menguji kesetiaan suamiistri. Komunikasi yang lebih mudah malah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat serumah.

Kenyataankenyataan semacam itu memang nyata dan tak terhindarkan. Hanya saja diperlukan kerendahan hati untuk kembali ke citacita awal. Ada pepatah yang mengatakan: bila menginginkan hasil terbaik, silakan ikuti petunjukpetunjuk si pembuatnya. Dan sungguh ini berlaku untuk setiap keluarga. Keluarga kristiani perlu terus mengingat maksud Allah mengadakan keluarga ini. Keluarga perlu menginsyafi dirinya sebagai tempat menyalurkan kasih dan kehidupan.

Saling Melayani dalam Keluarga
Maksud Allah menciptakan keluarga sebagai tempat menyalurkan kasih dan kehidupan diawali dari dalam keluarga itu sendiri. Seorang romo pernah membuat perbandingan yang menarik mengenai perkawinan. Perkawinan itu bukan seperti sebuah kotak hadiah yang penuh dengan perhiasan emas yang indahindah. Sebaliknya, perkawinan itu seperti kotak kosong, yang harus diisi sendiri oleh suamiistri dan juga anakanaknya. Mereka harus mengisi sendiri hingga kotak itu penuh dengan keindahan.

Semuanya itu mungkin jika keluarga menghayati nasihat Kitab Suci ini. Tuhan Yesus memberikan pedoman emas: “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31). Bila pedoman ini diterapkan dalam kehidupan keluarga, maka dapat diterjemahkan demikian: “Sebagaimana kamu kehendaki agar suami/istri perbuat bagimu, berbuatlah juga demikian kepadanya. Sebagaimana kamu kehendaki agar anak mengasihi kamu, berbuat kasihlah juga kepadanya. Demikian juga sebaliknya dengan anakanak.”

Oleh karena itu, penting sekali disadari adanya kebutuhan dasar setiap orang di rumah yang harus dipenuhi, karena setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasarnya masingmasing. Bapak keluarga, ibu, dan anakanak, masingmasing memiliki kebutuhan dasar yang berharap bisa dipenuhi. Seorang suami memerlukan dukungan, kekaguman, dan ucapan terima kasih yang akan menguatkannya. Seorang istri memerlukan perhatian, komunikasi yang baik, kejujuran, dan keterbukaan yang juga akan meneguhkannya. Anakanak membutuhkan rasa dipercaya, diterima, yang akan mendewasakan mereka. Jika masingmasing saling memenuhi kebutuhan dasar ini, maka deposito cinta dalam keluarga akan bertambah.

Ikut Serta dalam Perutusan Gereja
Kasih yang dialami dalam keluarga menjadi sumber kekuatan yang dahsyat untuk turut serta dalam perutusan Gereja. Perutusan Gereja yang terpenting bagi keluarga adalah mewujudkan sebuah Gereja kecil atau disebut juga Gereja rumah tangga (Ecclesia domestica). Keluarga menjadi tempat Tuhan tinggal dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Paus Paulus VI mengatakan dalam ensiklik Evangelii Nutiandi: “…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacammacam segi dari seluruh Gereja.”

Sebagai Gereja rumah tangga, keluarga kristiani turut serta menghayati tritugas Kristus. Tugas kenabian diwujudkan keluarga kristiani dengan mendengarkan dan mewartakan sabda. Berkat sakramen baptis, krisma, dan perkawinan, keluarga kristiani mendapatkan tugas misioner. Keluarga kristiani menjadi misionaris cinta kasih dalam kehidupan, mewartakan Injil kepada pribadi atau keluarga yang kurang beriman. Tugas ini dijalankan baik secara langsung, maupun melalui perihidup dan contohcontoh keluarga yang baik (FC 5354).

Tugas imamat keluarga kristiani dijalankan dengan menerima sakramensakramen, beribadat, doa, dan pengurbanan hidup seharihari. Berkat sakramen perkawinan, keluarga kristiani mendapatkan sumber kekuatan istimewa untuk menghayati misteri pemberian diri dalam hidup harian mereka, sekaligus mengubahnya sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Ini menjadi suatu ibadah yang hidup untuk menyucikan hidup mereka dan dunia (FC 56).

Tugas rajawi sepenuhnya meneladan apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Keluarga kristiani melayani sesama menurut teladan Yesus sendiri. Keluarga dimampukan untuk melihat orang lain di luar anggota keluarganya sebagai saudarasaudari Kristus sendiri, khususnya mereka yang miskin dan menderita (FC 6364).

Bersama Melayani Masyarakat
Kasih yang dialami dalam keluarga dan keikutsertaan dalam perutusan Gereja membawa keluarga pada lingkup yang lebih luas, yakni lingkup masyarakat. Penting sekali diingat bahwa keluarga katolik, sebagaimana keluargakeluarga yang lain, merupakan sel masyarakat yang pertama. Seperti apa dan bagaimana sebuah masyarakat sesungguhnya sangat ditentukan oleh keluargakeluarga yang hidup dalam masyarakat itu. Keluarga mendukung perkembangan masyarakat melalui pelayanan cinta kasih kepada sesama (AA 11). Amanat Apostolik Familiaris Consortio mengajarkan dengan jelas:
“Keluarga mempunyai hubunganhubungan yang amat penting dan organik dengan masyarakat, karena keluarga merupakan landasan masyarakat dan selalu menghidupi masyarakat melalui peranannya sebagai pelayan kehidupan: dari keluargalah lahir wargawarga masyarakat atau negara dan di dalam keluargalah mereka menemukan sekolah pertama keutamaankeutamaan sosial, yang merupakan asas yang menjiwai eksistensi dan perkembangan masyarakat sendiri.” (FC 42)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seluruh anggota keluarga sebenarnya sedang “bersekolah” untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Di dalam keluarga itulah setiap orang belajar berkorban dan berdialog dengan sesama.

Berkaitan dengan itu, cukup sering kita mendengar cerita tentang orangorang katolik yang dipercaya oleh warga sekitarnya untuk menjadi pengurus di masyarakat. Perihidupnya yang baik dilihat orang. Mereka dipercaya. Dan ini sungguh menjadi sebuah kesaksian hidup yang indah. Dengan kata dan karyanya, mereka menjadi garam dan terang dunia. Kehadiran mereka sungguh menjadi berkat untuk sesama.

Menimba Rahmat Ekaristi untuk Melayani
Sampai di sini kita telah melihat bahwa keluarga kristiani sungguh dikehendaki Allah sebagai tempat tumbuhnya cinta kasih dan kehidupan. Tumbuhnya cinta kasih dan kehidupan itu bermula dengan keseharian yang saling melayani. Itu akan menjadi pengalaman kasih yang indah, yang dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Dari sana keluarga punya pijakan untuk turut serta dalam tugas perutusan Gereja dan pelayanan dalam masyarakat. Untuk dapat menjalankan tugas panggilan dan perutusannya yang mulia itu, keluarga kristiani sungguh memerlukan rahmat dan kasih Allah yang besar. Dan rahmat itu diperoleh terutama dari Ekaristi.

Dalam Ekaristi, Allah menguduskan umat beriman dan umat beriman memuliakan Allah. Allah membagikan rahmat, memberkati, dan menguduskan mereka melalui sabda yang diwartakan, doa, madah yang dilambungkan, dan komuni kudus. Kenyataan ini mengundang keluarga kristiani untuk mengikuti Ekaristi. Di sana anggota keluarga menyadari kerapuhan masingmasing, bersedia untuk saling mengampuni sesama anggota keluarga.

Selain itu, keluarga kristiani menghadiri perayaan Ekaristi dengan membawa seluruh perjuangan hidup seharihari dan mempersembahkannya di sana. Ada suka, ada duka, ada kecemasan, dan ada harapan. Semuanya dibawa ke hadirat Allah untuk disyukuri dan dipersembahkan bersama dengan kurban Kristus di altar. Segala pahit getir dan suka cita hidup pribadi dan keluarga diubah menjadi sumber berkat. Dengan demikian, keluarga kristiani bukan keluarga yang melulu duniawi, melainkan keluarga yang semakin dikuduskan sekaligus dikuatkan.

Persembahan hidup keluarga akhirnya disatukan dengan kurban Kristus di altar. Saat imam mengulangi katakata konsekrasi adalah sungguh saat yang berahmat. “Terimalah dan makanlah, inilah tubuhKu yang diserahkan bagimu. Terimalah dan minumlah, inilah piala darahKu, darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Saat itu mengingatkan suamiistri dan orangtuaanak akan kesediaan diri untuk berkorban demi orang yang disayangi. Cinta yang meluap di antara mereka pada gilirannya meluber juga kepada sesama, khususnya yang miskin dan menderita.


DAFTAR PUSTAKA
Agneray, Paul, JeanFrançois Baudoz, dkk. Diakonía. El servicio en la Biblia. Cuadernos Biblicos 159. Pamplona: Editorial Verbo Divino, 2013
Darmawijaya, St. Gelargelar Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1991
Gianto, Agustinus.Dag Dig Dug Byaar! Yogyakarta: Kanisius, 2004
Ratzinger, Joseph (Benediktus XVI). Yesus dari Nazaret. (Terj. B.S. Mardiatmadja). Jakarta: Gramedia, 2007
Varo, Francisco. Libros Historicos del Antiguo Testamento. Tema 10. Pamplona: Instituto Superior de Ciencias Religiosas, 2002
Wignyasumarta, Ign., dkk. Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Wilhelmus, Ola Rongan & Hipolitus K. Kewuel (eds.). Keluarga Kristiani dalam Badai Globalisasi. Madiun: Wina Press, 2011