Social Icons

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2014 : KELUARGA BERIBADAH DALAM SABDA



BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2014
KELUARGA BERIBADAH DALAM SABDA
“Saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran....” (Yoh 4:23)

GAGASAN PENDUKUNG
Oleh : Y.M. Seto Marsunu

PENDAHULUAN
"Ibu-ibu, benarkah anda mengajarkan doa-doa Kristiani kepada anak-anak anda? Benarkah anda, bersama dengan para imam, menyiapkan mereka untuk menyambut sakramen-sakramen, yang mereka terima selagi masih muda: sakramen Tobat, Komuni, dan Krisma? Benarkah anda mendorong mereka, kalau sedang sakit, untuk mengenangkan Kristus yang menderita sengsara, untuk memohon pertolongan kepada Santa Perawan Maria dan para kudus? Apakah anda bersama mendoakan Rosario keluarga? Dan anda, bapak-bapak, benarkah anda berdoa bersama dengan anak-anak anda, dengan seluruh keluarga, setidaknya kadang-kadang? Contoh kejujuran anda dalam pikiran maupun perbuatan, berpadu dengan doa bersama, menjadi pelajaran untuk hidup, tindakan ibadat yang bernilai istimewa. Itulah cara anda membawa damai dalam rumah tangga anda: Pax hie domui, semoga damai turun di atas rumah ini! Ingat, begitulah anda membangvn Gereja" (Paus Paulus VI, dikutip oleh Pans Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio 60).

Keluarga, terutama para orangtua, mempunyai tanggung jawab besar dalam membangun Gereja. Tanggung jawab ini dimulai dan diwujudkan dengan mendidik anak-anak dalam doa. Tentu saja mendidik anak dalam doa tidak sekedar berarti mengajak anak untuk menghafalkan doa-doa Katolik. Lebih jauh hal itu berarti membina anak-anak agar tumbuh menjadi orang memiliki iman yang matang di dalam Kristus dan sungguh berbakti kepada Allahnya. Dalam pemahaman umum, setiap orangtua menghendaki agar anak-anak mereka menjadi orang yang berhasil dalam kehidupannya. Keberhasilan ini tidak mungkin dibatasi hanya pada soal materi dan urusan duniawi. Keberhasilan yang sebenarnya menyangkut soal kedewasaan dalam iman dan bakti kepada Allah. "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?" (Mrk. 8:36). Yang membedakan kehidupan seorang yang beriman dari yang tidak beriman justru keyakinan akan kebangkitan badan dan kehidupan yang kekal. Orang beriman memang sedang menjalani kehidupan di dunia ini, tetapi ia sekaligus mengarahkan kehidupannya pada kehidupan abadi. Sebaliknya, keyakinan akan kehidupan yang abadi menuntun kehidupannya di dunia ini.

Dalam tulisan ini, kita akan melihat lebih jauh perjumpaan antara keluarga dengan Allah di dalam ibadah yang dilaksanakan oleh keluarga. Untuk itu kita akan belajar dari pengalaman umat Israel mengenai ibadah, kritik para nabi, dan ajaran Yesus. Pertama-tama kita akan melihat perjumpaan antara Allah yang ada dalam surga dengan manusia yang tinggal di dalam dunia. Perjanjian Lama memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana Allah yang tampaknya jauh itu ternyata dekat dan dapat dijumpai oleh manusia di dunia ini. Perjumpaan itu terjadi di dalam ibadah yang dilangsungkan oleh umat yang percaya kepada Allah. Pada dasarnya ibadat merupakan bentuk perjumpaan antara Allah dan manusia yang sehingga terjadi pergaulan yang mesra antara keduanya. Ketika terjadi penyimpangan dalam praktek ibadah yang dilakukan oleh umat Israel, para nabi tampil dan mengingatkan mereka.
Umat Israel menganggap ibadah semata-mata upacara keagamaan, yang terlepas dari kehidupan yang sebenarnya. Para nabi menegaskan kembali arti ibadah yang sebenarnya, yakni mengungkapkan bakti mereka kepada Allah yang telah mengasihi mereka. Selanjutnya, kita akan mendalami pengajaran Yesus mengenai ibadah yang benar kepada Allah. Ia menegaskan bahwa untuk beribadah kepada Allah orang harus mengenal Allah yang sejati dan memiliki motivasi yang benar. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, kita akan melihat bagaimana pemahaman tentang seluk beluk ibadah dapat mendorong umat Katolik untuk melaksanakan ibadah di dalam lingkup keluarga.

I. ALLAH : TAKTERHAMPIRI, NAMUN SANGAT DEKAT

Bangsa Israel menyadari bahwa keberadaannya sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Allah. Dialah yang membuat mereka menjadi ada di dalam dunia dan menjadikan mereka sebuah bangsa, bahkan bangsa yang dipilih oleh Allah menjadi umat kesayangannya. Dengan berbagai cara Perjanjian Lama memberikan gambaran tentang Allah yang menyatakan diri kepada mereka dan apa yang telah dilakukan-Nya bagi mereka dalam perjalanan sejarah mereka. Allah itu tidak kelihatan karena Dia adalah Roh. Dia jauh tak terhampiri oleh manusia, namun sekaligus sangat dekat kepada mereka.

A. Allah Adalah Roh
Kata "roh" yang berasal dari rumpun Bahasa Semit (Ibrani dan Arab) berarti sesuatu yang hidup tetapi tidak berbadan jasmani. Dalam Perjanjian Lama kata "ruakh" dalam arti aslinya adalah udara yang bergerak, seperti angin atau nafas. Bagi manusia dan binatang, ruakh menjadi tanda kehidupan mereka. Ruakh diberikan oleh Pencipta ke dalam manusia (Kej. 2:7) dan binatang (Kej. 7:22). Inilah bahasa kiasan yang berarti "menjadikan hidup". Manusia adalah makhluk jasmani-rohani. Ia diciptakan oleh Allah untuk hidup selamanya, walaupun badannya akan mati dan menjadi tanah. Ia mempunyai hidup rohani dan tujuan serta maknanya melampaui dunia ini. Ketika dikatakan bahwa Allah adalah roh, biasanya yang dimaksudkan paling tidak adalah bahwa ia tidak memiliki tubuh fisik, bahwa ia immaterial.

Dalam Kitab Suci Roh seringkali diperlawankan dengan daging. "Orang-orang Mesir hanyalah manusia, bukan ilah; kuda-kudanya daging belaka bukan roh" (Yes. 31:3; Yes. 40:6-8; Kej. 6:3). Dalam kutipan ini daging searti dengan manusia, yang lemah, sedangkan roh searti dengan ilah(i), yang berdaya dan kuat. Yoh. 6:63 juga memperlawankan roh (yang menghidupkan) dengan daging yang tidak berguna sedikit pun. Mat. 26:41 dan Mrk. 14:38 berkata tentang daging yang lemah dan roh yang kuat. Yohanes menyejajarkan lahir dari Roh dengan lahir dari Allah (Yoh. 3:3,6,8; 1:13) sehingga termasuk dalam dunia ilahi.

B. Tak Terhampiri
Dengan banyak cara, Perjanjian Lama mengungkapkan keagungan Allah yang tak terhampiri. Dalam kisah panggilannya (Yes. 6), Yesaya mendapatkan penglihatan yang menyatakan kemuliaan TUHAN. Dalam penglihatan itu Yesaya melihat TUHAN duduk di atas takhta yang tinggi menjulang (ayat 1). Takhta-Nya yang tinggi dan menjulang itu menunjukkan kebesaran dan kemuliaan-Nya yang memenuhi langit dan angkasa. TUHAN digambarkan memakai jubah yang panjang, jubah kebesaran seorang raja. Ia disertai oleh para serafim (ayat 2), yang karena kekudusan dan kemuliaan TUHAN mereka tidak dapat memandang wajah-Nya dan menutupi muka dan kaki mereka. Para serafim memuji-Nya "kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam" (ayat 3). Allah itu kudus, Dia melebihi segala sesuatu. Ia sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya, jauh melampauinya dan terpisah darinya sehingga Ia tidak terhampiri dan sangat menakutkan (bdk. Kel 33:20).

Menyadari penglihatan itu Yesaya ketakutan, "Celakalah aku! Aku binasa!" (ayat 5). Ia teringat akan akibat dahsyat yang dapat menimpa dirinya karena sebagai manusia yang berdosa ia telah melihat Allah dan kemuliaan-Nya (bdk. Kel 33:20). Tidak ada orang yang tahan memandang wajah Allah karena tidak ada orang yang memandang-Nya akan tetap hidup. Musa yang berbicara dengan TUHAN pun hanya melihat-Nya dari belakang. Dalam terang kekudusan Allah, nabi menyadari kedosaannya: "Aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam". Ia sadar akan kemuliaan Allah yang harus disembah dan diagungkan melebihi segala sesuatu. Ia sadar juga akan kehinaannya sendiri serta kesengsaraan bangsanya yang jauh dari Allah.

C. Amat Dekat
Sebaliknya, banyak juga kisah dalam Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah berkenan turun ke dalam kehidupan dunia dan bergaul akrab dengan manusia. Kisah-kisah itu mengungkapkan bahwa Allah menghendaki hubungan erat dengan manusia. Tampak di dalamnya betapa dekat Allah dengan manusia. Ia sungguh berada di tengah-tengah manusia ciptaan-Nya, menjadi teman hidup mereka, berbicara kepada mereka.

Kisah manusia di Taman Eden membentangkan bagaimana TUHAN berjalan-jalan di kebun dalam kesejukan sore hari dan bergaul dengan manusia. Tetapi, dosa membuat manusia takut berhadapan dengan Allah karena pada mulanya tidak demikian (Kej. 2:8). Jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa tidak berarti bahwa Allah menutup diri dan tidak mau lagi bergaul dengan manusia. Henokh hidup dalam suasana persahabatan dengan Allah (Kej. 5:22-24). Demikian pula Abraham, mengingat kepercayaannya, pantas dimaksudkan ke dalam bilangan sahabat Allah. Ia mengunjungi Abraham dalam suasana kekeluargaan dan Abraham menyambut kedatangan-Nya sebagai tamu kehormatan. Ia memberitahukan kepada Abraham rencana-Nya menghukum Sodom dan Gomora (Kej. 18).

Kitab Keluaran menceritakan bagaimana TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Musa diperbolehkan merasakan pengalaman istimewa dengan Allah, sekalipun tidak melihat wajah Allah atau langsung memandang wujud-Nya dan hanya melihat punggung-Nya (Kel. 33: 21-23).

Kedekatan Allah dengan manusia dalam Perjanjian Lama tampak juga dalam penggambaran Allah sebagai seorang bapa (bdk. Kel. 4:22) dan sebagai seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya (Yes. 49:15). Gambaran lain yang mengungkapkan kedekatan Allah dengan manusia adalah gambaran tentang gembala yang baik. TUHAN memelihara Israel seperti seorang gembala memelihara kawanannya (Yes. 40:11).

D. Kehadiran Allah Dalam Dunia
Allah yang demikian terlibat dalam kehidupan manusia di dunia. Sebaliknya manusia pun menyadari kebergantungannya pada Allah yang berkuasa atas dirinya dan atas seluruh alam semesta. Ia sadar bahwa ia memerlukan bantuan dari yang ilahi dalam menjalani kehidupan dunia ini. Dalam banyak kesempatan Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana Allah hadir menjumpai manusia dan menolongnya. Tempat-tempat di mana Allah pernah hadir dan menjumpai manusia itu dipandang sebagai tempat yang suci. Tempat itu menjadi suci karena telah disucikan oleh kehadiran Allah. Tempat seperti ini sering dikunjungi oleh orang yang ingin berjumpa dengan Allah karena Ia sendiri pernah hadir di tempat itu. Kadang-kadang di tempat itu didirikan bangunan untuk mengenangkan kehadiran Allah.

Tabut Perjanjian. Dalam Perjanjian Lama tempat paling penting dalam kaitannya dengan kehadiran Allah adalah Tabut Perjanjian. Tabut itu berupa peti yang di dalamnya ditaruh loh hukum (Kel 25:16), yaitu dua loh batu yang memuat Dasa Titah yang diterima orang Israel di Gunung Sinai. Loh-loh itu kadang disebut loh-loh hukum Allah (Kel 31:18, Ul 10:2,5); karena itu tabut itu dapat disebut sebagai Tabut Hukum (Kel 25:22). Di atas tabut itu dipasang dua patung kerubim (makhluk yang berbadan binatang, bersayap burung dan berkepala manusia) yang melambangkan takhta TUHAN semesta alam (bdk. 1Raj 8:6-7). Tabut yang mula-mula merupakan tempat penyimpanan Dasa Titah itu kemudian menjadi lambang TUHAN sendiri. Tidak dapat dipisahkan antara hukum dengan pemberi hukum. Tabut berperan sebagai lambang kehadiran TUHAN di tengah bangsa Israel. Tabut itu bahkan hampir diidentifikasikan dengan-Nya (bdk. Bil. 10:35-36 Musa menyapa Tabut sebagai TUHAN).

Tabut itu menyertai orang-orang Israel pada pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33-36). Ketika orang Israel hendak memasuki tanah terjanji, tabut ini memutus aliran Sungai Yordan sehingga orang Israel dapat menyeberangi sungai itu tanpa menjadi basah (Yos. 3:13 dst). Kemudian tabut ini dibawa keliling tembok Yerikho (Yos. 6) sampai benteng kota itu roboh dan orang Israel dapat merebut kota itu. Di Kanaan Tabut Perjanjian ditempatkan di satu tempat suci dari suku-suku Israel: mula-mula di Gilgal (Yos. 4-5), kemudian Betel (Hak. 20:27), dan akhirnya di Silo (1Sam. 3:3). Di Kanaan ini Tabut menjadi lambang persekutuan suku-suku Israel yang berkumpul di tempat suci itu.

Tempat Suci. Waktu orang Israel memasuki Tanah Kanaan, mereka tidak hanya merebut tanahnya tetapi juga merebut kuil-kuil kuno untuk ibadat kepada El. Orang Israel mengambil alih kuil-kuil yang merupakan tempat ibadat penduduk asli Kanaan ini dan mempergunakannya sebagai tempat ibadat mereka sendiri.

Tempat-tempat suci ini penting bagi orang Israel bukan karena mereka merebutnya dari orang Kanaan, melainkan karena kenangan akan peristiwa yang penting bagi iman mereka yang pernah terjadi di tempat itu. Di Sikhem Abraham (Kej. 12:6 dst) dan Yakub (Kej. 33:18-20) mendirikan mezbah. Di tempat ini pula para tua-tua Israel pada zaman Yosua (Yos. 24) mengucapkan janji untuk selalu setia kepada TUHAN dan menolak dewa-dewi Kanaan. Asal muasal tempat suci Betel dikaitkan dengan Yakub (Kej. 28; bahkan dengan Abraham; bdk. Kej. 12:8). Melalui kisah Yakub, dikatakan bahwa Yakub, nenek moyang mereka sendiri telah mengalami bahwa tempat itu adalah tempat suci. Dan dengan demikian selayaknya keturunan Yakub menyembah Allah mereka di tempat itu. Di Hebron ini Daud diurapi menjadi raja (2Sam. 2:4; 5:3). Di tempat ini pula Abraham mendirikan mezbah bagi Allah (Kej. 13:18; bdk. 18:1).

Selain itu orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadah sendiri. Tempat-tempat ini didirikan ketika mereka membuka suatu wilayah dan membangun permukiman. Misalnya, kuil di Gilgal, sekitar 10 km sebelah timur laut Yerikho. Tempat suci ini didirikan oleh suku-suku Israel yang telah meninggalkan Mesir dan masuk wilayah Kanaan (Yos. 4:19 dst) dan menjadi pusat keagamaan pada zaman Saul (1Sam. 11:15) dan Daud (2Sam. 19:15). Kuil ini masih tetap memegang peran penting sampai zaman Nabi Amos (Am. 4:4; 9:15; 2Raj. 2:1; 4:38). Kritik para nabi (Am. 4:4; Hos. 9:15) memberi kesan bahwa kuil Gilgal sangat dipengaruhi oleh tradisi Kanaan. Orang Israel juga mendirikan tempat-tempat ibadat baru di atas puing-puing kota Kanaan, seperti di Silo dan di Nob. Beberapa waktu lamanya Silo dipakai untuk menyimpan tabut. Tempat suci ini hancur dalam pertikaian antara Israel melawan Filistin (bdk. Yer. 7:12; 26:6; bdk. 1Sam. 1-7).

Sebelum Daud memindahkan tabut ke Yerusalem, tempat-tempat ibadat itu masih dipergunakan. Belum ada hukum yang memusatkan ibadat di satu tempat. Yerusalem menjadi tempat penting dalam kehidupan agama Israel karena di tempat ini tabut diberi tempat dan peranan yang penting. Pemindahan Tabut Perjanjian ke Yerusalem (2Sam. 6) merupakan hal penting dalam kehidupan agama Israel. Pemindahan itu merupakan wujud pengakuan bahwa TUHAN adalah Allah yang satu-satunya dalam kerajaan Israel yang didirikan Daud.

Bait Allah. Pembangunan Bait Allah sebenarnya sudah direncanakan oleh Daud. Daud yang telah berkuasa atas seluruh Israel merasa prihatin karena TUHAN, yang telah membuatnya besar dan mulia, serta mengantarnya ke dalam istana justru tinggal di bawah tenda. Maksudnya, Tabut Perjanjian, tanda kehadiran TUHAN itu, disimpan di dalam tenda, tempat yang sederhana, padahal Daud diam di dalam istana yang megah. Tetapi, TUHAN tidak menyetujui rencana Daud karena Ia tidak memerlukan rumah. Salomolah yang kemudian mewujudkan rencana Daud itu. Ia mendatangkan ahli-ahli bangunan dari luar negeri untuk membangun tempat ibadat yang direncanakannya. Bait Allah ini sebenarnya merupakan satu kompleks bangunan. Ada lapangan luas yang dikelilingi pagar tembok. Di bagian utara lapangan ini berdirilah bangunan Bait Allah yang sebenarnya. Sekalipun menjadi kebanggaan Israel dan dipuji keindahannya, Bait Allah bukanlah bangunan yang besar (panjang: 27,4 m, lebar: 9,4 m, dan tinggi: 13,5 m).

Di depan bangunan ini berdiri mezbah, tempat kurban dibakar. Bangunan itu sendiri dibagi menjadi tiga: 1) tempat masuk, yang berupa serambi beratap dan tertutup; 2) yang kudus, ruangan dengan jendela-jendela dan menjadi tempat para imam menyelenggarakan ibadat tertentu, khususnya mempersembahkan kurban ukupan; 3) ruangan mahakudus, ruangan tanpa jendela (sehingga gelap sama sekali). Di ruang inilah Tabut Perjanjian ditempatkan. Keberadaan Tabut Perjanjian itu menunjukkan bagaimana TUHAN hadir di dalam rumah kediaman-Nya. Kehadiran Tuhan di Bait-Nya menjadi pusat dan pokok ibadat Israel. Berkat kehadiran-Nya, Israel menjadi bangsa terhormat dan terpilih antara bangsa yang lain (Kel. 33:15). Dari dalam bait-Nya TUHAN melindungi umat yang dipilih-Nya.

Bait Allah yang didirikan Salomo bertahan selama 400 tahun sebelum akhirnya dihancurkan oleh tentara Babel (587 SM). Sekembalinya dari pembuangan di Babel, umat Israel membangun kembali Bait Allah di tempat yang sama (selesai tahun 515 SM). Tahun 20 SM - 70 M Herodes Agung membangun Bait Allah yang baru menurut pola dasar Bait Allah yang lama. Dalam Bait Allah yang dibangun sesudah pembuangan dan yang dibangun oleh Herodes tidak lagi diletakkan Tabut Perjanjian karena tabut itu rupanya hilang waktu tentara Babel menghancurkan Bait Allah Salomo. Bait Allah Herodes dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M dan sesudah itu tidak pernah dibangun kembali.

II. IBADAH

Allah yang tak terhampiri namun sangat dekat itu dapat berjumpa dengan manusia itu di tempat suci: Allah dapat menjumpai manusia, dan manusia dapat menjumpai-Nya. Perjumpaan manusia dengan Allah di tempat suci itu diatur dengan tatanan tertentu yang disebut ibadah. Dalam Perjanjian Lama pada umumnya ibadah hanya dapat dilakukan di tempat-tempat suci karena kehadiran Allah dipahami terikat pada tempat-tempat itu. Dalam perjumpaan itu manusia mempersembahkan kurban bagi Allah dengan berbagai tujuan. Mereka bersyukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dan memohon pengampunan dosa. Dalam perjumpaan itu mereka juga merayakan pekerjaan yang telah dilakukan Allah bagi mereka di masa lampau.

A. Etimologi Ibadah
Kata Ibrani "abodah" mulanya menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan oleh budak bagi tuannya. Ibadah kepada Allah mengungkapkan pengakuan mereka kepada Allah yang menjadi pemilik dan penguasa mereka. Dalam ibadah manusia menyampaikan kurban dan persembahan kepada Allah, menyampaikan pengakuan akan kekuasaan Allah, menegaskan kesediaan untuk hidup sebagai umat dan hamba-Nya, serta memohon berkat-Nya. Semua ini diungkapkan dalam serangkaian upacara ritual yang disebut ibadah.

Dalam Perjanjian Lama ibadah dapat dilakukan secara pribadi (Kej. 24:26 dst; Kel. 33:9-34:8), namun ibadat bersama sebagai satu jemaat sangat ditekankan (Mzm. 42:4; 1Taw. 29:20). Ibadat umum itu dilakukan dalam kemah pertemuan dan di Bait Allah. Ketika Bait Allah dihancurkan menjelang zaman pembuangan, bangsa Israel merasa tidak memiliki tempat ibadah lagi. Tetapi, itu tidak menghalangi ibadah mereka. Mereka mendirikan sinagoga di banyak tempat sehingga mereka dapat berkumpul, berdoa, dan membaca kitab suci. Setelah Bait Allah dibangun kembali setelah pembuangan, Bait Allah itu dan sinagoga menjadi tempat ibadah mereka.

Pada zaman para nabi hari-hari raya keagamaan dilangsungkan dengan meriah. Pelayanan di Bait Allah diatur dengan baik. Jumlah imam makin banyak. Ibadah mereka disertai dengan nyanyian-nyanyian meriah dan kepada TUHAN dipersembahkan kurban yang tak terbilang banyaknya. Orang-orang yang percaya pada Allah mengunjungi tempat-tempat itu untuk menghadap hadirat Allah. Karena itu, orang harus sungguh-sungguh mempersiapkannya, seperti yang tampak dalam Kej. 35:1-5, yang menggambarkan ziarah Yakub ke Betel. Persiapan ini dilakukan oleh Yakub dan keluarganya itu untuk membuat diri mereka bersih karena mereka akan menghadap Allah yang kudus. Semua persiapan ini dilakukan agar mereka pantas menghadap Allah dan kehadiran mereka diterima oleh-Nya. Untuk apa sebenarnya umat beriman dalam Perjanjian Lama mengunjungi tempat-tempat suci itu dan menghadap hadirat Allah? Ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan berkaitan dengan hal ini.

B. Hormat kepada Allah
Ibadah pada zaman para bapa bangsa itu sederhana dan bersifat perorangan (keluarga). Ibadah yang mereka lakukan itu berupa kurban persembahan dan doa. Ibadah mereka tidak banyak menyangkut upacara dan ritus, tetapi mereka lakukan sebagai ungkapan hubungan pribadi dengan Allah. Yang manjadi pokok dalam kisah para bapa bangsa adalah pertemuan manusia dengan Allah, bukan soal tempat yang dipandang suci, tempat mereka menyelenggarakan ibadah. Hubungan dengan Allah berlangsung secara khidmat/hormat, bukan rasa takut. Allah mendekati mereka dalam suasana cinta kasih dengan janji yang mengikat manusia dalam persekutuan dengan Dia. Manusia pun mendekati Allah dengan sikap hormat dan percaya akan kasih Allah.

Abraham. Kisah Abraham diawali dengan kedatangan TUHAN untuk memanggil Abraham. Dalam perjumpaan itu TUHAN menyampaikan janji untuk 1). Memberikan sebuah negeri, 2). Membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan 3). Memberkatinya dan menjadikannya berkat bagi segala kaum di muka bumi. Abram percaya kepada janji itu lalu pergi meninggalkan negeri, keluarga, dan sanak saudaranya. Bersama dengan Sarai, istrinya, dan Lot, keponakannya, Abraham berangkat ke Kanaan. Di Tanah Kanaan, tepatnya di dekat pohon Tarbantin yang terletak di More, TUHAN kembali menjumpai Abram. Ia menegaskan janji yang telah diucapkan-Nya, "Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu" (Kej. 12:7). Sebagai tanggapan terhadap TUHAN yang menampakkan diri kepadanya itu, Abram mendirikan mezbah bagi-Nya. Abram melanjutkan perjalanan ke pegunungan di sebelah timur Betel. Di tempat itu ia kembali mendirikan mezbah dan memanggil nama TUHAN.

Yakub. Ketika melarikan diri dari kemarahan Esau, Yakub berencana untuk pergi ke rumah pamannya di Padan Aram. Dalam perjalanan itu ia menginap di sebuah tempat yang bernama Lus (Kej. 28:10-22). Dalam mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi. Melalui tangga itu para malaikat Allah turun naik dari surga ke bumi. TUHAN, Allah Abraham dan Allah Ishak, menjumpainya dan menyampaikan janji yang telah disampaikan-Nya kepada Abraham dan Ishak. Ia berjanji untuk memberikan tanah tempat ia berbaring, keturunan sebanyak debu tanah, dan menjadikan dia dan keturunannya sebagai sarana untuk memberikan berkat Allah bagi semua kamu di muka bumi. Selain itu, TUHAN juga berjanji untuk menyertai dan melindungi Yakub ke mana pun ia pergi serta membawanya kembali ke negeri Kanaan.

Penglihatan dalam mimpi yang dialami Yakub itu membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah Allah, di pintu gerbang surga. Pada pagi harinya ia mendirikan tugu dan menuang minyak di atasnya. Lalu ia mengucapkan nazar sebagai tanggapan terhadap janji Allah (Kej. 28:20-22). Jika Allah memenuhi janji-Nya untuk melindungi dia dan memberikan apa yang diperlukan untuk kehidupannya sehingga ia dapat kembali dengan selamat ke rumah ayahnya. Maka, Yakub akan 1). Menyembah TUHAN sebagai Allahnya. 2). Menjadikan tugu yang didirikannya itu rumah Allah. 3). Mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari segala sesuatu yang diberikan TUHAN kepadanya.

Dalam perjalanan selanjutnya, Yakub tinggal di rumah Laban. Ia mendapatkan istri, anak, dan kekayaan yang melimpah. TUHAN benar-benar telah memenuhi janji-Nya dengan membawa Yakub kembali ke tanah Kanaan dengan selamat. Karena itu, Yakub membawa seluruh keluarganya ke Betel untuk menghadap Allah di tempat itu. Ia membuat mezbah dan mempersembahkan kurban kepada Allah (Kej. 35:1-15).

C. Perayaan Pesta Keagamaan
Di Mesir keturunan Yakub telah berkembang jumlahnya dan menjadi sebuah bangsa. Merekalah yang dipilih oleh TUHAN untuk menerima janji yang telah disampaikan-Nya kepada nenek moyang mereka. TUHAN membebaskan bangsa budak yang lemah dan tertindas itu dari Mesir dan mengangkat mereka menjadi umat-Nya. Allah menyatakan diri sebagai penyelamat yang peduli akan nasib mereka yang tertindas itu. Agar Bangsa Israel dapat hidup sebagai umat-Nya, TUHAN memberikan kepada mereka hukum-hukum yang dapat menjadi pedoman hidup mereka. Selanjutnya, Ia membawa mereka melintasi padang gurun dan memberikan tanah Kanaan, yang telah dijanjikan-Nya kepada nenek moyang mereka.

Karena telah diangkat menjadi umat TUHAN, Israel hanya mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Tidak dibenarkan bila mereka pergi untuk menyembah dewa-dewi lain. Peristiwa pembebasan dari Mesir, pemberian Hukum, dan perjalanan di padang gurun itu telah melahirkan berbagai bentuk ibadah yang dirayakan oleh umat Israel. Mereka merayakan Paskah dan Roti Tak Beragi untuk mengenangkan peristiwa pembebasan itu. Mereka merayakan Hari Raya Tujuh Minggu untuk mengenangkan pemberian Hukum Taurat itu, dan mereka merayakan Hari Raya Pondok Daun untuk mengenangkan perjalanan di padang gurun. Rangkaian hari raya ini memang dilaksanakan secara umum sebagai satu bangsa, tetapi juga dilaksanakan dalam lingkup keluarga. Dalam perayaan Paskah setiap keluarga (atau kelompok keluarga) menyembelih seekor domba atau kambing jantan yang berumur setahun. Kemudian mereka memakan daging itu dengan sayur pahit.

Setiap laki-laki Israel memiliki kewajiban untuk menghadap ke hadirat TUHAN tiga kali dalam setahun (Kel. 23:14). Tiga kesempatan menghadap TUHAN ini menunjuk pada tiga perayaan yang harus dirayakan dalam satu tahun (Kel. 23:14-19), yakni: a) Hari Raya Roti Tidak Beragi, dirayakan selama tujuh hari setelah Paskah. Selama tujuh hari semua ragi disingkirkan dari dalam rumah dan selama itu pula orang makan roti yang tidak diberi ragi. Kebiasaan ini mengingatkan mereka pada saat nenek moyang mereka harus meninggalkan Mesir dengan tergesa-gesa sehingga terpaksa mengangkat adonannya sebelum diragi (bdk. Kel. 12:34,39). b) Hari Raya Tujuh Minggu (bdk. Ke. 34:22). Hari raya ini merupakan perayaan panen, mengakhiri pesta musim panen gandum, yang kemudian dihubungkan dengan pemberian Hukum Taurat di Gunung Sinai. Karena dirayakan tujuh minggu (Ul. 16:9) atau lima puluh hari (Im. 23:16) sesudah Paskah, pesta ini dalam bahasa Yunani disebut Pentakosta (Tob. 2:1). c) Hari Raya Pondok Daun (Ul. 16:13; Im. 23:34), merupakan perayaan pemetikan buah-buahan di musim gugur, pada akhir musim buah-buahan. Selama perayaan itu orang tinggal di gubuk-gubuk yang dibuat dari ranting-ranting dan didirikan di kebun anggur di musim pemetikan; pondok-pondok itu mengingatkan umat Israel yang dahulu berkemah di padang gurun (Im. 23:43).

Pada hari-hari raya ini semua orang laki-laki pergi mengunjungi tempat suci untuk merayakannya menurut ketetapan yang berlaku. Semua dilakukan dalam suasana penuh kegembiraan karena mengenangkan karya penyelamatan Allah di masa lampau. Mereka menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah lampau. Di hadapan Allah sendiri, yakni di tempat suci itu, mereka memuji Allah yang telah menyelamatkan mereka. Para nabi seringkali mengkritik pesta ziarah dalam kritik mereka terhadap ibadah pada umumnya (Yes. 1:14-15; Am. 5:21; Mal. 2:3). Kritik mereka tidak ditujukan pada pesta ziarahnya sendiri, tetapi pada sikap dan perilaku mereka yang merayakan. Zakaria bahkan menubuatkan bahwa para bangsa akan berziarah ke Yerusalem untuk menyembah TUHAN dan merayakan pesta (Za. 14:16-18).

D. Ibadah Kurban
Pemberian Tanah Kanaan juga melahirkan bentuk ibadah yang lain. Dalam Kitab Yosua diceritakan bagaimana TUHAN berperang untuk merebut negeri itu lalu membagi-bagikannya kepada suku-suku Israel. Karena Allah sendiri yang telah merebutnya, jelas bahwa tanah itu milik Allah dan orang Israel hanya penggarapnya. Mereka menggarap tanah itu dan mendapatkan penghidupan daripadanya. Tetapi, mereka tidak lupa pada Allah, pemilik tanah yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan ungkapan pengakuan akan Tuhan sebagai pemilik tanah, mereka mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada Allah.

Dari pengalaman akan kebaikan Tuhan ini, orang Israel melakukan ibadah kurban. Dalam ibadah ini orang Israel membakar sebagian hasil tanah mereka untuk Tuhan. Sebagian hasil itu berupa sepersepuluh atau buah pertama dari hasil pertanian atau peternakan mereka. Sebelum Bait Allah didirikan, orang (keluarga) membawa persembahan mereka ke tempat-tempat suci dan menyerahkannya kepada imam yang bertugas di tempat itu. Para imam itulah yang kemudian mempersembahkannya kepada Allah. Demikianlah, Elkana setiap tahun membawa persembahan bagi TUHAN ke tempat suci di Silo dan menyerahkannya kepada Eli yang menjadi imam di tempat suci itu (1Sam. 1:3,21). Sesudah Bait Allah didirikan, barang-barang persembahan itu dibawa ke Bait Allah karena hanya di tempat itulah kurban-kurban dapat dipersembahkan kepada Allah.

Dalam ibadah Israel kurban kepada TUHAN memegang peran penting. Pada mulanya kurban persembahan itu merupakan ungkapan pengakuan akan TUHAN sebagai pemilik tanah Israel yang sesungguhnya, sedangkan mereka sendiri sebenarnya hanya penggarapnya. Sebagai persembahan, kurban itu seperti pajak yang dibayarkan kepada para raja. Gagasan ini tidak hanya berakar pada pemahaman mengenai Allah sebagai raja, tetapi juga pada pemahaman bahwa Allah yang menyelenggarakan seluruh bumi, layak mendapatkan persembahan. Sebagai pemberi hujan dan sebagainya, Ia berhak mendapatkan persembahan.

Kurban juga dipersembahkan untuk "menyediakan makanan" bagi Allah (bdk. Kel. 24:5-6; Im. 3:14; Ul. 32:37-38). Pada zaman dulu orang percaya bahwa para dewa dan makhluk ilahi hidup dari makanan dan minuman khusus di surga. Ketika mereka datang ke dunia dan berada bersama manusia, mereka memerlukan makanan untuk menyegarkan diri mereka, yakni darah dan lemak dari binatang-binatang, yang diyakini mengandung kehidupan dan tenaga. Dalam agama Israel, makanan harian untuk Allah di bumi ini disediakan dengan membakar daging binatang, bersama gandum, minyak, garam, dan anggur (Ezr. 6:9). Selain itu, Allah juga mendapat persembahan roti sajian (Kel. 25:30; 1Sam. 21:6; 1Raj. 7:48), yang terdiri dari 12 roti dari gandum terbaik, yang diletakkan di altar dalam dua susunan yang masing-masing terdiri dari enam buah. Roti ini diganti setiap Hari Sabat, dan roti lama dimakan oleh para imam.

Kurban persembahan kepada TUHAN juga menjadi ungkapan syukur dari seorang yang nazarnya telah dipenuhi. Persembahan ini juga dapat dilakukan ketika orang mengucapkan nazar tersebut (Im. 7:16-17; 22:21; 27; Bil. 6:21;15:3-13; Ul. 23:21-23). Persembahan disampaikan semata-mata untuk mengucap syukur atas anugerah yang telah diterima dari Allah (Im. 7:12-13; 2Taw. 33:16).

Dalam perkembangan selanjutnya kurban persembahan memiliki fungsi lain: kurban juga dipersembahkan untuk memohon pengampuan dosa dan mendamaikan kembali hubungan antara Allah dan manusia yang retak akibat dosa. Orang Yahudi percaya bahwa hubungan dengan yang tidak suci, baik fisik maupun moral, membuat orang tidak suci dan tidak layak untuk hadir menghadap Allah dalam ibadah. Karena itu, orang-orang yang mengalami hal itu perlu mempersembahkan kurban agar dirinya disucikan kembali dan layak untuk mengambil bagian dalam ibadah.

III. KRITIK PARA NABI
Perjumpaan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan telah mempengaruhi cara pandang mereka terhadap ibadah kepada TUHAN. Tujuan mereka beribadah bukan lagi untuk mengungkapkan bakti kepada-Nya, tetapi untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Melihat kenyataan itu, para nabi melontarkan berbagai kritik terhadap ibadah yang dilakukan oleh umat Israel. Semua kritik itu mereka sampaikan agar umat Israel dapat menjalankan ibadah yang sejati kepada Allah yang telah menyelamatkan mereka.

A. Penyimpangan
Menutup mata TUHAN. TUHAN telah memilih Israel untuk membawa berkat bagi segala bangsa, tetapi mereka justru memperlakukan TUHAN sebagai ilah atau berhala yang dapat mereka pergunakan untuk kepentingan dan cita-cita mereka sendiri: kekayaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa mereka adalah milik TUHAN dan justru menganggap Dia sebagai milik mereka sendiri, sebagai alat atau sarana yang dapat mereka pergunakan menurut kehendak mereka untuk memenuhi keinginan mereka sendiri.

Perayaan-perayaan meriah dilangsungkan untuk memuji Allah dan kurban dipersembahkan kepada-Nya. Tetapi, semua itu mereka lakukan bukan untuk Allah, tetapi untuk mereka sendiri. Mereka memuji Allah dalam perayaan dan mempersembahkan kurban kepada-Nya supaya Ia merasa "senang" lalu mau melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Mereka beranggapan bahwa Allah suka dengan kurban persembahan sehingga tidak mempedulikan perilaku umat-Nya. Mereka mengira bahwa Allah tidak akan memperhatikan dosa dan kesalahan mereka kalau sudah diberi kurban persembahan. Akibatnya, orang-orang kaya yang merasa diri dapat mempersembahkan banyak kurban, bisa berbuat dosa semaunya dan sesudahnya mereka dapat mempersembahkan kurban kepada TUHAN supaya Ia tidak murka terhadap mereka.

Para nabi melihat adanya praktek ibadat yang dilakukan seolah-olah hanya untuk menutup mata TUHAN. Bahkan, mereka melihat bahwa persembahan yang dibawa ke hadapan TUHAN adalah hasil pemerasan dan penindasan. Mereka memeras sesama, terutama yang miskin, lalu membawa sebagian hasilnya kepada TUHAN sebagai persembahan. Mereka beranggapan bahwa yang penting bagi-Nya adalah kurban yang mereka persembahkan. Jadi, di satu sisi mereka beribadah, di sisi lain mereka menindas sesamanya. Dengan cara demikian, sebenarnya ibadah itu hanya menyenangkan diri mereka sendiri, dan sama sekali tidak berkenan pada Allah.

Memenjarakan TUHAN. Situasi tempat ibadat di Kerajaan Utara berbeda dari situasinya di Kerajaan Selatan. Di Kerajaan Selatan peribadatan dipusatkan di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan di Kerajaan Utara pemusatan seperti itu tidak ada; banyak tempat ibadah didirikan untuk keperluan ibadah di kerajaan tersebut. Walaupun demikian, tempat-tempat di kedua kerajaan tersebut dikecam oleh para nabi.

Pada zaman para nabi terjadi banyak salah paham berhubungan dengan tempat-tempat ibadah itu. TUHAN adalah penguasa seluruh umat manusia dan seluruh alam semesta, tetapi orang Israel telah membatasi kuasa dan ruang lingkup-Nya, yakni hanya dalam bidang keagamaan di tempat-tempat ibadah. Para nabi menegur bangsa Israel agar jangan terus merasa aman dan menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin mengalami suatu celaka karena Bait Allah ada di tengah mereka (bdk. Yer. 7).

Selain itu, terjadi juga percampuran antara agama Israel dengan agama Kanaan. Orang Israel mengambil alih banyak tempat ibadah orang Kanaan dan meniru kebiasaan mereka dalam beribadah. Salah satunya adalah bukit pengurbanan, sebuah tempat ibadat terbuka. Di tempat ini didirikan mezbah (lambang dewa dan tempat mempersembahkan kurban) dan tiang-tiang keramat (lambang dewi). Tiang-tiang keramat (Asyera) yang menjadi lambang Dewi Astarte itu merupakan salah satu sebab menonjolnya unsur seksual dalam ibadat di bukit pengurbanan. Dari kritik-kritik para nabi tampak bahwa Israel meniru kebiasaan orang Kanaan sehubungan dengan ibadat yang mereka lakukan di bukit-bukit pengurbanan itu.

B. Kritik Para Nabi
Para nabi tidak tinggal diam menyaksikan segala bentuk penyimpangan dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Israel. Mereka melancarkan kritik baik terhadap praktek ibadah yang dilakukan oleh orang Israel maupun terhadap pandangan mereka yang bersumber pada tempat ibadah.

Mengenai ibadah. Para nabi menyerukan bahwa TUHAN tidak tinggal diam melihat praktek yang keliru dalam ibadah Israel. Jika dibiarkan, mereka akan beranggapan bahwa TUHAN berkenan pada ibadah dan cara hidup mereka. Lebih jauh hal itu dapat berarti bahwa Ia membenarkan tindakan mereka. TUHAN tidak berkenan pada kurban yang mereka persembahkan karena bukan itu yang dikehendaki-Nya. Yang sesungguhnya dikehendaki oleh TUHAN adalah berlaku baik kepada sesama, terutama yang miskin dan menderita. Pernyataan ini menjelaskan makna ibadah yang sejati: ibadah adalah wujud ketaatan kepada TUHAN, Allah mereka. Kalau mereka mau hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yang harus mereka lakukan adalah memperhatikan sesama, dan bukan menindas sesama lalu mempersembahkan hasilnya kepada TUHAN.

Para nabi menunjukkan bahwa hubungan umat Israel dengan TUHAN itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan sesama. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah, pasti mengasihi sesamanya. Ibadat itu tidak terpisah dari kehidupan yang nyata, tetapi merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Ketaatan untuk hidup sebagai umat Allah sama sekali tidak dapat dibatasi dalam tempat-tempat ibadah, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi para nabi, ibadah itu tidak memiliki peran mutlak, apalagi bila dianggap sebagai cara terbaik untuk menyenangkan hati Allah. Ada hal lain yang perlu lebih mendapat perhatian, yakni kehidupan nyata. Kalau orang tidak mengabaikan perhatian pada sesamanya, ibadah yang dilakukannya akan kehilangan nilainya.

Mengenai tempat ibadah. Amos menyatakan bahwa tempat-tempat ibadah Israel sama sekali tidak berkenan kepada TUHAN, tetapi hanya memuaskan keinginan manusia. Ia melihat bahwa orang memiliki pandangan yang keliru mengenai tempat suci (Am. 5:4-6). Bagi mereka tempat itu adalah satu-satunya tempat TUHAN berkenan hadir menjumpai manusia. Seolah-olah tempat ibadah itu adalah tempat mereka memiliki TUHAN. Padahal, Ia hadir di mana pun. Ia menghendakinya karena langit adalah takhta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yes. 66:1). Allah hadir dalam setiap peristiwa hidup manusia dan dalam diri sesama manusia, terutama yang miskin karena Dia adalah bapa bagi anak yatim dan pelindung para janda. Bila orang mencari Allah dengan kurban persembahan, Allah tidak akan mereka temukan (Hos. 5:6).

Bahkan, Mika menyatakan bahwa sebaiknya Sion dihancurkan karena keyakinan para pemimpin Israel yang keliru (Mi. 3:9-12). Mereka telah berlaku jahat baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang keagamaan, tetapi mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan ditimpa malapetaka karena TUHAN "ada di tengah-tengah kita". Ia adalah Allah mereka dan mereka mengira bahwa tidak mungkin Ia menghukum umat-Nya sendiri, sekalipun mereka berlaku jahat. Dengan cara demikian, sebenarnya mereka telah memperlakukan TUHAN seperti berhala.

Yeremia mengungkapkan bahwa Yerusalem dan Bait Allah telah menjadi sarang penyamun (Yer. 7:11-15). Karena itu, TUHAN akan menghancurkannya seperti dahulu TUHAN menghancurkan Silo karena penyimpangan yang dilakukan oleh umat Israel (bdk. 1Sam. 4). Mereka memiliki tempat ibadat dan merasa telah beribadat kepada TUHAN, tetapi mereka tidak mau mendengarkan TUHAN sekalipun Ia terus menerus berbicara kepada mereka. Mereka salah bila menganggap bahwa tempat ibadah adalah jaminan keselamatan mereka karena TUHAN sendiri akan menghukum mereka.

Karena banyaknya salah paham itu TUHAN memang membiarkan Bait Allah yang mereka bangun itu dirusak oleh musuh-musuh Israel. TUHAN tidak akan menjadi tunawisma bila Bait Allah dihancurkan. Ia tidak memerlukan tempat tinggal di bumi ini karena, "Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku" (Yes. 66:1). Penghancuran itu terjadi ketika Babel menyerbu dan menghancurkan Yehuda lalu membuang penduduknya (yaitu pada 586 SM).

Pembuangan yang dialami oleh Israel merintis jalan menuju pandangan yang lebih rohani mengenai kehadiran Allah. Bait Allah telah dihancurkan dan Tabut Perjanjian telah lenyap. Kehadiran TUHAN tak dapat lagi dikaitkan dengan bangunan dan barang jasmani itu. Nabi Yehezkiel tidak ragu-ragu menyatakan bahwa kehadiran TUHAN lepas dari Bait Allah dan Yerusalem. Dalam suatu penglihatan nabi menyaksikan kemuliaan/kehadiran TUHAN meninggalkan Bait Allah dan Kota Yerusalem (Yeh. 10 dan 11).

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa TUHAN meninggalkan umat-Nya. Justru terjalin suatu hubungan baru antara kehadiran TUHAN ini dengan orang buangan, yang tetap setia kepada-Nya. Ketika berada di antara orang-orang buangan itu di tepi Sungai Kebar, nabi mendapat penglihatan tentang kemuliaan TUHAN (Yeh. 1). Ia melihat kemuliaan TUHAN ada di antara orang buangan di sebuah lembah (Yeh. 3:23). TUHAN sendirilah yang menjadi tempat kudus bagi orang-orang buangan yang terpencar-pencar itu (11:16). TUHAN akan mengumpulkan dan memimpin orang yang setia kepada-Nya pulang kembali ke tanah air mereka (36:24).

TUHAN tidak terikat pada suatu wilayah tertentu. Bangsa-bangsa tetangga Israel percaya bahwa dewa-dewa mereka terikat pada suatu wilayah, dan bahkan hanya dapat dihormati di wilayah mereka masing-masing. TUHAN adalah Allah yang bebas. Ia memang memilih suatu bangsa, tetapi tidak terikat mutlak kepada bangsa pilihan-Nya itu. Bait Allah tempat tabut itu disimpan bukanlah tempat mereka 'mempunyai' Allah, melainkan tempat Allah berkenan menyatakan diri dan bertemu dengan mereka (bdk. Kel. 33:9-11; Bil. 11:25; 12:5:10).

C. Ibadah Sejati
Melihat kritik para nabi mengenai ibadah, orang bisa bertanya apakah para nabi itu antiibadah dan apakah ibadah itu tidak diperlukan? Yang dikecam oleh para nabi sebenarnya adalah cara umat Israel beribadah.

Ketika ibadah dilakukan sebagai pengakuan akan kuasa Allah dan tidak dipisahkan dari kehidupan nyata, para nabi tidak akan keberatan. Para nabi mengingatkan bahwa di padang gurun dahulu, mereka tidak mempersembahkan kurban untuk Allah (Am. 5:25) dan Ia pun tidak menuntut itu dari mereka (Yes. 43:23).

Bukan ibadah yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah, melainkan kesetiaan pada Allah dan kesediaan untuk hidup menurut kehendak-Nya. Kesetiaan ini jauh lebih penting dalam pandangan TUHAN daripada kurban bakaran, seberapa pun banyaknya. Ia menyukai kasih setia, bukan kurban sembelihan. Ia senang melihat umat Israel mengenal-Nya dan melakukan kehendak-Nya, tetapi tidak suka melihat mereka mempersembahkan kurban bakaran (Hos. 6:6; bdk. 1Sam. 15:22).

Nabi Yesaya mengingatkan bahwa ibadah sejati harus dilaksanakan dengan tangan yang bersih, jangan sampai orang beribadah dengan tangan yang penuh darah (Yes. 1:10-18). Semua bentuk ibadah Israel tidak berkenan pada Allah. Allah sudah jemu dengan semua kurban bakaran dan tidak menyukai darah lembu jantan dan domba. Ini berarti Allah tidak menerima segala bentuk kurban mereka. TUHAN melarang mereka membawa kepada-Nya "kurban yang tidak sungguh". Ia pun tidak mau melihat perayaan-perayaan bulan baru dan Sabat serta pertemuan-pertemuan mereka karena perayaan mereka itu penuh kejahatan. Bahkan, Ia memalingkan muka ketika mereka menadahkan tangan untuk berdoa. Sekalipun mereka berkali-kali berdoa, Ia tidak akan mendengarkan doa mereka karena tangan mereka penuh darah!

TUHAN menunjukkan apa yang dikehendaki dari umat-Nya (ayat 16-17) : bukan kurban atau persembahan atau ibadah, seberapa pun banyaknya dan seringnya, melainkan perilaku adil dan benar terhadap sesama. Ibadah harus dimulai dengan membersihkan diri, dalam arti bertobat (menjauhi kejahatan dan hidup menurut kehendak Allah). Mereka harus berhenti berbuat jahat dan belajar berbuat baik dengan bertindak adil terhadap sesama. Karena, tidak ada yang lebih berkenan pada Allah daripada perhatian terhadap sesama yang menderita, tertindas, dan tersingkir.

D. Munculnya Sinagoga
Kehancuran Kerajaan Yehuda mendatangkan malapetaka bagi iman Umat Israel. Bait Allah telah dihancurkan dan mereka sendiri terpaksa tinggal di negeri asing. Orang-orang yang dibuang di Babel itu berusaha untuk mempertahankan kepercayaan mereka. Untuk itu mereka berkumpul untuk beribadah dan mendalami kembali keyakinan mereka akan TUHAN. Mula-mula mereka berkumpul di rumah salah seorang warga, tetapi kemudian mereka mendirikan bangunan khusus yang disebut sinagoga. Bangunan ini berkiblat ke arah Yerusalem. Ketika berdoa, Daniel menghadap ke arah Yerusalem (Dan. 6:11). Di tempat ini mereka berkumpul untuk mendengarkan dan mendalami Hukum Taurat. Selain menjadi tempat pendidikan untuk mendalami Taurat, sinagoga juga menjadi tempat bagi orang Yahudi untuk melakukan ibadah kepada Allah mereka.

Dalam ibadah itu mereka mengucapkan Syema (terdiri dari Ul. 6:4-9 dan 11:13-21 dengan Bil. 15:37-41) yang merupakan pengakuan iman Israel akan Allah mereka. Mereka pun mendengarkan pembacaan Taurat. Pembacaan itu disusun menurut jadwal tertentu sehingga seluruh Taurat dibacakan. Sesudah itu, seseorang yang hadir dalam ibadah di sinagoga itu diundang untuk memberikan uraian mengenai isi Taurat yang telah dibacakan itu. Selain itu, mereka menyampaikan doa-doa kepada Allah dan menerima berkat Allah yang disampaikan oleh para imam.

Munculnya sinagoga ini memberikan warna baru dalam ibadah Israel. Perhatian umat dalam ibadah ini tidak diarahkan pada ritus atau tatacara kurban, tetapi pada pengangkatan pikiran dan hati umat pada Allah dan firman-Nya. Umat sujud di hadapan Allah dalam pujian dan doa. Kehadiran sinagoga itu memupuk keasyikan orang Yahudi untuk membaca dan merenungkan Taurat. Walaupun sesudah pembuangan orang Yahudi mendirikan kembali Bait Allah, peran sinagoga tetap sangat penting. Dalam dunia diaspora, orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh penjuru dunia memelihara iman dan kebaktian mereka pada Allah justru melalui ibadah yang dilakukan di sinagoga.

IV. MENYEMBAH ALLAH DALAM ROH DAN KEBENARAN

Apa yang dikatakan Yesus mengenai ibadah? Keempat Injil mengisahkan bagaimana Yesus pergi ke Bait Allah dan merayakan pesta-pesta keagamaan Yahudi. Tetapi, Yesus juga menubuatkan kehancuran Bait Allah yang menjadi pusat peribadatan orang Yahudi itu. Dalam khotbah tentang akhir zaman yang disampaikan dalam ketiga Injil Sinoptik, Yesus menyatakan bahwa Bait Allah akan runtuh. Dengan demikian, orang Yahudi tidak dapat lagi beribadah di tempat suci itu. Dalam Injil Yohanes Yesus berbicara tentang menyembah Allah tanpa bergantung pada tempat tertentu. Hal ini disampaikan oleh Yesus ketika berbicara dengan seorang perempuan Samaria di tepi sebuah sumur.

A. Di Mana Menyembah Allah?
Ketika menyadari bahwa Yesus mengetahui kehidupan pribadinya, perempuan itu menarik simpulan bahwa ia sedang berbicara dengan seorang nabi (ayat 19). Seorang nabi dianggap memiliki pengetahuan adikodrati (Luk. 7:39). Orang-orang Samaria hanya menerima Taurat sebagai kitab suci mereka, karena itu pemahaman mengenai nabi harus dipahami berdasarkan Ul. 18:15-22, seorang nabi yang sama seperti Musa. Sebagai nabi Yesus diyakini dapat memberikan jawaban Allah mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh manusia. Perempuan itu melihat adanya kesempatan untuk mengajukan persoalan kepada Yesus, yaitu suatu persoalan yang banyak diajukan oleh orang Samaria dan orang Yahudi. Persoalan itu menyangkut tempat di mana Tuhan Allah harus disembah, di Gunung Gerizim atau di Yerusalem. "Allah menghendaki orang menyembah Dia di Gunung Gerizim atau di Yerusalem?" Orang Yahudi dan orang Samaria selalu bertengkar soal di mana Allah harus disembah. "Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah" (ayat 20). Jawaban Yesus terhadap soal yang diajukan oleh perempuan itu merupakan bagian yang paling mendalam dalam percakapan antara Yesus dengan perempuan itu (ayat 21-24).

Pertama-tama, Yesus menyatakan bahwa akan datang masanya orang akan menyembah Allah, bukan di atas gunung ini, dan bukan di Yerusalem (ayat 21). Memang di masa lampau persoalan di mana Tuhan harus disembah merupakan persoalan yang dipandang sangat serius. Seolah-olah keberadaan Allah dan kehadiran-Nya itu sangat bergantung pada tempat tertentu. Sekalipun para nabi telah menyampaikan berbagai kecaman mengenai hal itu, tidak berarti bahwa orang Israel mengabaikan peran tempat-tempat suci. Yerusalem tetap dipandang sebagai kota yang paling suci dan kehadiran Allah tidak pernah dilepaskan dari Bait Allah yang dibangun di kota itu. Dalam jawaban-Nya Yesus menyebut suatu masa yang akan datang, di mana tidak lagi menjadi soal, di mana Allah harus disembah. Soal di mana itu akan lenyap sama sekali dan segala bangsa, termasuk Yahudi dan Samaria, akan menyembah Allah di segala tempat. Untuk dapat berjumpa dan menyembah Allah orang tidak perlu datang ke tempat tertentu karena memang kehadiran-Nya tidak terikat pada hal-hal yang fisik.

B. Menyembah Allah yang Tidak Dikenal?
Selanjutnya Yesus menunjukkan persoalan yang sebenarnya ada dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Samaria: menyembah apa yang tidak mereka kenal. Untuk memahami pernyataan Yesus itu, kita perlu mengingat kembali siapa sebenarnya orang Samaria itu. Pada tahun 722 SM Asyur menakhlukkan Israel dan membuang seluruh penduduknya ke Asyur dan ke wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain. Untuk menghindari bangkitnya kembali kekuatan politik setempat Asyur menempatkan orang-orang dari wilayah-wilayah kekuasaannya ke Samaria, bekas ibukota Israel itu (2Raj. 17:24-41). Di tempat baru itu mereka menghadapi menghadapi berbagai kesulitan yang menurut keyakinan mereka terjadi karena mereka tidak menyembah Allah yang berkuasa di negeri itu. Seorang imam Israel, yang sudah diangkut ke pembuangan, dipanggil kembali untuk mengajarkan kepada warga baru itu bagaimana seharusnya berbakti kepada TUHAN. Mereka memang berbakti kepada TrUHAN, tetapi juga beribadah kepada ilah-ilah mereka masing-masing, turun temurun.

Mengingat sejarah dan jatidiri mereka itulah, Yesus dapat menyatakan bahwa orang Samaria menyembah Allah yang tidak mereka kenal. Mereka melakukan ibadah, tanpa mengetahui kepada siapa ibadah itu ditujukan. Selain itu, motivasi mereka untuk beribadah kepada TUHAN pun menjadi keliru. Mereka menyembah TUHAN semata-mata terdorong oleh rasa takut akan bahaya yang didatangkan oleh Allah yang berkuasa di Israel itu. Tidak ada di benak mereka untuk mengabdi kepada Allah Israel itu karena memang mereka tidak memiliki pengalaman pribadi dengan Dia. Yang mereka perlukan hanyalah dapat tinggal di negeri itu tanpa ancaman dan untuk itu mereka mau menyembah Allah penguasa negeri itu.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di antara orang Yahudi: menyembah apa yang mereka kenal karena memang keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Di masa lampau orang Yahudi mengalami Allah yang telah mengasihi mereka dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan memberikan kepada mereka Tanah Kanaan yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Pada zaman Daud Allah berjanji untuk membuat takhta dan kerajaan Daud kokoh untuk selamanya. Ketika kerajaan Daud itu pecah dan runtuh, orang Israel tetap percaya bahwa janji Allah kepada Daud itu akan dipenuhi. Seorang keturunan Daud akan bangkit untuk mendirikan kembali Israel lalu dan membawa Israel ke dalam damai sejahtera. Raja keturunan Daud yang akan memerintah Israel di masa depan itulah yang disebut sebagai Mesias. Para nabi berulangkali menubuatkan kedatangannya.

Dengan demikian jelas bagaimana tempat bangsa Israel dalam sejarah pewahyuan Allah. Terhadap penyembahan Samaria, memang bangsa Israel ada di pihak yang benar. Keselamatan memang datang dari Israel (Yes. 2:3; Rm. 3:1; 9:4,5;11:18) karena secara lahiriah Mesias memang lahir dari Israel, sebagaimana telah dinubuatkan oleh para nabi. Orang Samaria tidak memahami hal ini karena mereka hanya menerima Taurat sebagai Kitab Suci mereka, dan tidak mempunyai kitab-kitab lain. Hanya saja dalam pemahaman Yesus, Mesias bukanlah perkara politik seperti yang dibayangkan oleh orang Yahudi pada umumnya. Bagi Yesus Mesias adalah pribadi utusan Allah yang datang untuk menyelamatkan manusia dari bahaya kematian kekal akibat dosa dan membawanya masuk dalam kehidupan abadi di surga.

C. Dalam Roh dan Kebenaran
Dalam pada itu kesempatan yang timbul dari bangsa Israel itu tidak terbatas pada bangsa itu saja, tetapi diberikan untuk seluruh dunia. Saatnya akan tiba bahwa Bait Allah dan seluruh ibadah yang dirayakan di dalamnya itu akan berakhir. Allah tidak akan disembah dengan berbagai upacara keagamaan di sebuah tempat yang dipandang layak untuk itu. Penyembahan kepada Allah tidak lagi bergantung pada tempat sehingga orang tidak perlu lagi bertengkar di mana Allah ingin disembah oleh manusia. Yesus menyatakan bahwa akan datang saatnya dan saat itu sudah tiba bahwa ibadah di Bait Allah akan digantikan dengan ibadah dalam roh dan kebenaran. Bapa menghendaki agar para penyembah yang benar akan menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.

Roh Allah. Lalu Yesus memberikan alasan untuk ibadah/penyembahan yang baru itu: Allah itu adalah Roh. Hal ini menunjuk pada hakikat yang menerangkan bagaimana Allah berhubungan dengan manusia. Dalam tulisan-tulisan Yohanes, terdapat contoh lain mengenai hal ini: a) Allah adalah kasih (1Yoh. 4:16), artinya Allah berhubungan dengan manusia dengan penuh kasih, dan b) Allah adalah terang (1Yoh. 1:5), artinya Allah berhubungan dengan manusia sebagai cahaya. Kalau dikatakan bahwa Allah adalah Roh, ini berarti Allah berhubungan dengan manusia sebagai Roh dan memberikan roh kepada manusia. Karena Allah itu adalah Roh, manusia baru dapat menyembah Allah sebagai Bapa apabila ia telah lahir kembali dari Roh lalu hidup sebagai anak dalam hubungan dengan Bapa (Yoh. 3:5; 1:12; 1Yoh. 3:1).

Karena Allah adalah Roh, hanya mereka yang telah dilahirkan kembali dari roh dapat berhubungan dengan Dia (Yoh. 3:5). Roh itu berasal dari Allah di surga, bukan dari dunia (1Kor. 2:11,14; 3:16; 6:11; 1Ptr. 4:14). Roh itu milik Allah dan diberikan oleh Allah (Kis. 2:17,18,33; 5:32; 15:18; 1Tes. 4:8; Luk. 1:13). Sesudah Yesus dibaptis langit terkoyak (Mrk. 1:10) dan Roh Kudus turun dari surga seperti burung merpati ke atas Yesus. Ia pun turun atas para rasul pada Hari Pentakosta dan kedatangan-Nya disertai angin ribut dan api. Selanjutnya Roh Kudus turun atas orang-orang yang menerima dan percaya pada pemberitaan tentang Kristus. Demikianlah, Roh itu turun dari surga (Luk. 1:35; Kis. 19:6; Yoh. 1:32-33), diterima oleh manusia (Kis. 2:33; 8:15,16; Gal. 3:2; 3:14; 1Kor. 2:12; Yoh. 7:39), dan memberikan hidup kepada manusia (Yoh. 6:63). Orang yang lahir dari Roh menerima kehidupan dari Roh dan seluruh hidupnya digerakkan oleh Roh itu.

Kehadiran-Nya di dunia menunjukkan bahwa melalui Roh Kudus Allah hadir dalam dunia dan dalam diri manusia. Roh Kudus menjadi alat, daya ilahi yang khas, yang dengan-Nya Allah tampak dan berkarya dalam dunia manusiawi. Roh Kudus yang adalah kekuatan dan daya ilahi itu menampakkan diri dalam macam-macam rupa dan bekerja dengan pelbagai cara. Kadang-kadang roh itu berupa daya ajaib, kadang-kadang berupa kemampuan untuk mengajar, memimpin, melayani, dan sebagainya. Penampakan dan karya Roh Kudus itu seringkali juga disebut "roh", atau "roh-roh" atau "Roh Kudus" (1Tes. 1:5; 2Kor. 3:8; 6:6; 1Yoh. 4:1-3).

Roh Kebenaran. Ungkapan "Roh dan kebenaran" artinya sama dengan "Roh yang adalah kebenaran" atau "Roh Kebenaran". Roh Kudus juga disebut Roh Kebenaran karena memimpin para murid Yesus ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13). Tetapi, apa yang dimaksud dengan kebenaran? Kebenaran yang dimaksudkan adalah rahasia Allah sebagaimana disingkapkan oleh Yesus dan diingatkan oleh Roh. Apakah mungkin bagi manusia untuk memahami Allah sebagaimana Dia ada? Yesus datang dari Bapa dan telah melihat-Nya (Yoh. 6:46; bdk. Yoh. 1:18). Apa yang dikerjakan oleh Bapa itulah yang dikerjakan oleh Yesus (Yoh. 5:19) dan apa yang dilihat oleh Yesus pada Bapa itulah yang dikatakan-Nya (Yoh. 8:38) dan Dialah yang memerintahkan Yesus untuk mengatakan apa yang harus Ia katakan (Yoh. 12:49). Dengan demikian, melihat dan mendengarkan Yesus sama dengan melihat dan mendengarkan Bapa (Yoh. 14:9): "Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa".

Dalam Yoh. 14:26 Yesus menyatakan bahwa Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama Yesus, akan mengajarkan segala sesuatu kepada para murid dan akan mengingatkan mereka akan semua yang telah dikatakan oleh Yesus kepada mereka. Apa yang diajarkan oleh Roh sama dengan yang telah dinyatakan oleh Kristus. Karena, Roh mengajarkan apa yang diajarkan oleh Kristus. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri, tetapi menyatakan segala sesuatu yang telah didengar-Nya (Yoh. 16:13).

Menyembah dalam Roh dan Kebenaran. Lalu, apa yang dimaksudkan Yesus dengan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran? Menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berarti menyembah Allah karena digerakkan oleh Roh yang telah menyatakan kebenaran tentang Allah. Roh memperkenalkan dan menyatakan siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu Allah sebagaimana Dia ada. Hal ini dilakukan dengan mengingatkan orang beriman pada semua yang telah diajarkan oleh Yesus mengenai Allah Bapa yang mengasihi manusla. Roh yang sama menggerakkan orang untuk menyembah Allah yang sebenarnya (sebagaimana adanya) dengan sikap hati yang benar, yakni dengan menempatkan diri di hadapan Allah yang mengasihi dia.

D. Mesias Pembawa Kebenaran
Perempuan itu menjawab: Ia mengetahui bahwa Mesias akan datang dan jika datang Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Dalam keyakinan orang Samaria, Mesias akan datang untuk memulihkan ibadah yang sejati. Tidak mengherankan bahwa orang berlagak sebagai Mesias yang muncul pada zaman Pilatus berjanji untuk menunjukkan kepada orang Samaria di mana Musa menguburkan perlengkapan ibadah (yang suci) di Gunung Gerizim (Yosefus, Antiquantes, 18.4.1. §85-87). Yesus menyatakan bahwa Dia yang sedang berbicara dengan perempuan itu adalah Mesias. Yesus menyatakan bahwa Ia memenuhi pengharapan perempuan itu akan datangnya Mesias yang akan menunjukkan kepadanya segala sesuatu (tentang ibadah yang sejati).

V. IBADAH KELUARGA KRISTIANI

Setelah melihat seluk beluk ibadah di dalam Kitab Suci, sekarang kita akan melihat bagaimana pemahaman itu dapat menggerakkan keluarga untuk beribadah kepada Allah. Berdasarakan pendalaman bahan-bahan dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai ibadah, kita akan merenungkan bagaimana keluarga menjadi tempat kehadiran Allah. Dalam keluarga, khususnya dalam ibadah, Allah menjumpai seluruh anggotanya untuk mendidik mereka hidup menurut kehendak-Nya.

A. Keluarga sebagai Tempat Kehadiran Allah
Dalam Perjanjian Lama kita melihat bagaimana Allah yang tinggal di surga itu hadir dalam dunia manusia. Kita juga melihat bahwa tempat yang dipergunakan sebagai tempat beribadah disebut tempat suci. Tempat itu dipandang suci bukan karena keistimewaan tempat itu, tetapi karena Allah pernah hadir dan menyatakan diri di tempat itu. Karena Allah pernah menjumpai manusia suatu tempat atau karena leluhur mereka pernah berjumpa dengan Allah di situ, tempat itu dipergunakan sebagai tempat ibadah. Orang Israel datang dan beribadah di tempat itu karena yakin dapat berjumpa dengan Allah di tempat itu. Kehadiran Allah yang kuduslah yang membuat tempat itu menjadi kudus.

Dalam Sakramen Perkawinan, Allah hadir dan mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki agar keduanya membangun keluarga dalam ikatan cinta kasih. Tetapi, Ia tidak hanya mempersatukan keduanya lalu meninggalkan mereka dan membiarkan mereka menjalani kehidupan di dunia ini. Allah yang berkuasa di surga tetap hadir dalam keluarga yang mereka bangun dan menyertai orangtua dan anak-anak sepanjang hidup mereka. Karena Allah senantiasa hadir di dalam keluarga, keluarga dapat disebut sebagai sebuah tempat suci. Di dalamnya seluruh anggota keluarga dapat menghadap Allah dan Allah pun berkenan untuk menjumpai mereka.

Sebenarnya hal ini tidaklah baru di dalam kehidupan keluarga Katolik. Sudah sejak lama orang Katolik memasang benda-benda suci (patung, gambar, salib, dsb). Semua itu ada di dalam rumah, bukan untuk hiasan atau sekedar untuk menunjukkan jatidiri sebagai keluarga Katolik. Juga tidak dimaksudkan bahwa rumah menjadi etalase atau ruang pamer untuk memajang benda-benda yang dibeli dari berbagai tempat ziarah. Sebaliknya, benda-benda suci itu membantu seluruh anggota keluarga untuk selalu menyadari kehadiran Allah di dalam keluarga. Dengan melihat benda-benda suci itu, orang dapat melihat dan merasakan Allah yang hidup di tengah keluarga. Yesus yang dahulu hadir di Israel kuno, tetap hadir di tengah keluarga Kristiani.

B. Ibadah: Perjumpaan Allah dengan Keluarga
Seperti yang telah kita lihat, pada dasarnya ibadah merupakan perjumpaan Allah dengan manusia. Ibadah yang paling mungkin dilaksanakan di dalam keluarga adalah Ibadah Sabda. Dalam ibadah ini seluruh anggota keluarga berkumpul dan bersama-sama menghadap Tuhan yang hadir di dalam keluarga. Dalam Ibadah Sabda kita bertemu dengan Yesus, mendengarkan sabda-Nya dan menanggapinya.

Allah Hadir dan Bersabda. Yesus Kristus telah mati, bangkit, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah dan menjadi pembela kita (Rm. 8:34). Dengan berbagai cara Ia hadir dalam Gereja-Nya (Lumen Gentium 48). Dalam perayaan Ekaristi, selain hadir dalam kedua rupa Ekaristi seperti yang telah kita lihat (liturgi Ekaristi), Yesus juga hadir dalam Sabda-Nya (liturgi Sabda). Konstitusi Liturgi menandaskan bahwa Allah benar-benar hadir dalam sabda-Nya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana, dalam gereja, Alkitab dibacakan (KL no 27). Hal yang sama ditegaskan oleh Pedoman Umum Misale Romawi: "Bila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendirilah yang bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus mewartakan kabar baik, sebab Ia hadir dalam sabda itu" (PUMR 29).

Allah telah mempersatukan suami dan istri dalam ikatan perkawinan dan menghendaki mereka untuk membangun keluarga yang setia kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup keluarga, Allah tetap menyertai keluarga itu dan membimbingnya. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dalam Kitab Suci Bapa yang ada di surga dengan penuh cinta kasih menjumpai para putra-Nya dan berwawancara dengan mereka (DV 21). Ketika seluruh anggota keluarga berkumpul dan Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan menyampaikan Sabda-Nya kepada seluruh anggota keluarga : kepada setiap anggota sebagai pribadi dan sebagai keluarga. Melalui Kitab Suci Allah menyapa keluarga, menyampaikan kehendak-Nya, dan membimbing keluarga tersebut.

Menanggapi Sabda Allah. Melalui Sabda yang dibaca dan direnungkan, Allah telah berbicara kepada seluruh anggota keluarga. Sebagai tanggapan atas Sabda-Nya, seluruh anggota keluarga menyampaikan doa-doa kepada Allah. Doa-doa itu dapat berupa pujian, ucapan syukur, maupun permohonan. Tetapi, semua mengambil inspirasi dari Sabda yang telah direnungkan sehingga sungguh-sungguh menjadi tanggapan atas Sabda yang telah disampaikan Allah. Untuk itu orangtua perlu mengajar anak untuk menyusun doa untuk disampaikan kepada Allah. Ini tidak berarti orangtua mendiktekan doa untuk diucapkan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Tuhan.

Dengan demikian, keluarga juga menjadi sekolah doa bagi anak-anak yang lahir di dalamnya. Dalam hal ini, orangtua menjadi guru doa bagi anak-anaknya. Paus Yohanes Paulus II menyatakan, "Karena martabat serta perutusannya, orangtua Kristiani mengemban tanggung jawab khas membina anak-anak mereka dalam doa, sambil mengajak mereka menemukan secara berangsur-angsur misteri Allah dan berwawancara secara pribadi dengan-Nya: 'Terutama dalam keluarga Kristiani yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen Perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah ...'" (FC 60).

C. Ibadah Keluarga sebagai Sekolah Iman
Keluarga adalah tempat ideal untuk mewariskan iman, untuk memperkenalkan anak pada Yesus yang diimani, dan untuk membina hubungan yang akrab dengan Allah. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan iman anak karena mereka dipercaya oleh Tuhan untuk mendidik dan memelihara anak-anak yang lahir dalam keluarga mereka. Orangtualah yang pertama-tama memperkenalkan Allah kepada anak-anak dan mendidik mereka untuk hidup dalam penyerahan diri kepada-Nya.

Dalam Sakramen Perkawinan suami dan istri berjanji untuk mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan dalam iman Katolik. Dalam arti umum iman berarti menerima kebenaran tentang Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran ini. Tetapi, iman juga menyangkut sikap hati: orang yang memiliki iman mempercayakan diri kepada Allah dan mengandalkan-Nya. Untuk dapat sungguh beriman, orang memerlukan dua hal. Pertama, mengenal siapa Allah yang sebenarnya (iman yang benar). Kedua, menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah dan mengandalkan-Nya (iman yang sejati). Orang beriman mempercayakan diri sepenuhnya pada Allah sebagaimana Ia menyatakan diri. Ia menyatakan diri melalui ciptaan-Nya, melalui sejarah umat Israel, dan terutama melalui Yesus Kristus.

Dalam keluarga orangtua memiliki tanggung jawab besar untuk memperkenalkan Allah yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan sekolah kehidupan bagi anak-anak sehingga orangtua bertanggung jawab untuk mendidik anak tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang beriman.

Dalam pembinaan iman di dalam keluarga, Kitab Suci, sumber iman Kristiani, menjadi sarana utamanya. Ibadah yang dilakukan di dalam keluarga merupakan kesempatan yang sangat baik untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak dan untuk mendidik dalam iman akan Tuhan. Dalam ibadah itu orangtua mengajak anak-anak untuk membaca Kitab Suci dan menjelaskan isinya kepada mereka. Di dalam Kitab Suci kita dapat berjumpa dengan Allah yang seharusnya dipercaya dan diandalkan oleh manusia. Selain itu, kita dapat belajar bagaimana harus menyerahkan diri kepada Allah yang sejati dan mengandalkan-Nya. Hanya dengan membaca Kitab Suci, kita dapat berjumpa dengan Allah yang kita imani dan dapat mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, orangtua menjadi pewarta Kabar Gembira Kristus bagi anak-anak mereka. Seperti Gereja, keluarga menjadi tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil bercahaya (EN 71). Perlu disadari bahwa masa depan pewartaan Injil sebagian besar bergantung dari Gereja rumah tangga (FC 52).

Gereja Katolik menempatkan keempat Injil sebagai kitab yang utama karena memuat kisah hidup dan ajaran Yesus. Karena itu, keluarga Katolik pun menempatkan keempat Injil sebagai bahan utama untuk dibaca dan didalami. Ketika membaca Injil kita menyaksikan apa yang dikerjakan oleh Yesus dan mendengarkan apa yang diajarkan-Nya. Karena itu, semakin banyak membaca Injil, kita akan mengenal Kristus dengan lebih lengkap. Karena itu, ketika membaca kisah-Nya, baiklah kita mengajukan: Apa yang dikatakan perikop ini mengenai Yesus? Apa yang dapat saya teladan dari Yesus dalam perikop tersebut? Atau apa yang diajarkan Yesus kepada saya? Perlu diingat juga bahwa "...tidak mengenal Kitab Suci berarti belum mengenal Kristus" (DV25). Ini berarti bahwa semua orang beriman, para pengikut Kristus, harus membaca Kitab Suci supaya dapat mengenal Kristus yang mereka ikuti.

Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia dan yang mengundang kita untuk mengikuti jejak-Nya. Karena itu, Dialah yang harus menjadi teladan dan pedoman hidup kita. Dalam menjalani kehidupan ini baiklah kita terus menyadari keberadaan Kristus bersama kita. Ia berjalan bersama kita dan menyertai kita setiap saat. Yesus pernah hidup dalam keluarga sehingga Ia memahami situasi dan perasaan yang dihadapi oleh setiap keluarga. Baiklah kita selalu bertanya: Bila Kristus sendiri menghadapi persoalan yang sedang saya hadapi, bagaimana sikap-Nya dan apa yang akan dilakukan-Nya? Tetapi, apa yang disampaikan Allah dalam pembicaraan itu dan apa yang dapat kita dengar dari-Nya? Allah memperkenalkan siapa diri-Nya, apa yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan kita, tujuan hidup kita, menghibur kita ketika sedih dan patah semangat, menegur kita ketika melakukan kesalahan.

D. Ibadah dan Kehidupan
Agama tidak dinilai berdasarkan nama ilah yang disembah, tetapi berdasarkan ciri khas agama itu dan pola hidup yang dihasilkannya. Para nabi telah mengingatkan bahwa ibadah kepada Allah tidak dapat dilepaskan dari relasi dengan sesama. Ibadah mengungkapkan bakti umat kepada Allah, saat orang menyadari siapa sebenarnya dia di hadapan Allah. Bakti kepada Allah tidak dapat dibatasi hanya pada melakukan kegiatan-kegiatan ritual. Bakti yang sebenarnya diwujudkan dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Yesus telah mengingatkan bahwa hal terutama yang harus dikerjakan oleh orang yang percaya kepada-Nya adalah mengasihi Allah dan sesama. Mereka yang mengasihi Allah juga mengasihi sesama. Kasih kepada Allah itu tidak mungkin lepas dari kasih kepada sesama. Bagaimana hal ini dapat dilakukan di dalam keluarga?

Dalam Kitab Suci Yesus Kristus memperkenalkan Allah yang benar kepada manusia, yaitu Allah yang mengasihi manusia. Begitu besar kasih Allah itu sehingga Ia rela menyerahkan Putra Tunggal-Nya untuk keselamatan manusia, supaya manusia dapat tinggal dalam kemuliaan abadi bersama-Nya di surga (Yoh. 3:16). Di hadapan Allah yang begitu mengasihi itu, bagaimana kita harus menempatkan diri dan bersikap? Ketika beribadah dan menyembah Allah, orang menempatkan diri sebagai pribadi yang telah dikasihi-Nya. Hal itu dilakukannya untuk mengungkapkan kepercayaan akan Allah yang mengasihi dia dan untuk mengungkapkan kasih kepada-Nya. Sikap yang demikian itu tidak terbatas hanya pada tempat ibadah. Jatidiri sebagai umat yang dikasihi oleh Allah itu selalu ada di dalam diri orang beriman, kapan pun dan di mana pun. Sebagaimana di dalam Kristus Allah telah mengasihi dia, orang yang beriman akan Kristus mengasihi sesama. Pengalaman akan kasih Allah itu menggerakkannya dalam menjalani kehidupan dan mendorongnya untuk mengasihi sesama.

Tujuan utama membaca Kitab Suci adalah mendengarkan Sabda Allah dan hidup dari Sabda itu. Membaca, mempelajari, dan merenungkan Sabda kemudian harus mengalir ke dalam kehidupan yang mengungkapkan kesetiaan pada Kristus dan ajaran-Nya. Dengan demikian, Sabda Tuhan itu akan menjadi "pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (Mzm. 119:105). Memang "segala sesuatu yang tertulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci" (Rm. 15:4). Tujuan ini terdengar muluk dan tidak mungkin dicapai. Sekalipun tidak tercapai, bila orang tekun membacanya, orang akan dapat merasakan hal itu terwujud dalam dirinya. Sabda Allah yang berdaya perlu menjadi kawan karib setiap orang beriman, waktu lahir, waktu hidup dan waktu berpulang kepada Sumber dan Asal Sabda Allah itu. Sebab, "Kitab Suci dapat memberi hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2Tim. 3:15-16).

Dalam hal ini orangtua perlu membantu anak-anak mereka untuk senantiasa mengingat Sabda Allah yang telah direnungkan bersama. Sabda itu akan rnembimbing mereka sehingga dapat mengambil tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Orangtua sekaligus bertindak sebagai teladan bagi anak-anak rnereka tentang bagaimana hidup menurut kehendak Allah. Melalui sikap dan teladan, orangtua mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk mengasihi Allah dan sesama. Dengan demikian, anak-anak dapat mengalami bagaimana sebenarnya harus hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati.

E. Beribadah dalam Roh dan Kebenaran
Kepada perempuan Samaria itu Yesus telah menyatakan bahwa akan datang waktunya orang menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran. Bagi Yesus ibadah bukanlah soal tempat, Allah tidak dapat dibatasi di tempat-tempat tertentu. Ia dapat disembah di mana saja. Yang penting orang menyembah Dia karena digerakkan oleh Roh yang menyatakan kebenaran tentang Allah dan siapa Allah yang sebenarnya, yaitu sebagaimana Dia ada. Orang harus menyembah Allah dengan motivasi yang benar dan dengan penuh pemahaman siapa Allah yang sebenarnya. Keluarga dapat senantiasa berjumpa dengan Allah dalam ibadah yang dilakukan di dalam rumah. Yang utama di dalam ibadah keluarga adalah mengenal Allah yang benar dan motivasi yang benar dalam beribadah.

Allah yang benar. Keluarga melaksanakan ibadah karena telah menerima kebenaran tentang Allah. Kebenaran yang mana? Setiap keluarga Katolik harus menyadari bahwa Yesus telah menjadi manusia dan mati untuk keselamatan seluruh anggota keluarga. Dia rela mati, menjadi kurban yang dipersembahkan untuk menghapus dosa manusia sehingga manusia layak untuk tinggal bersama Allah di surga. Benar bahwa Yesus mati untuk keselamatan seluruh umat manusia, tetapi kematian Yesus di kayu salib perlu merasuk ke dalam pribadi setiap anggota keluarga. Kematian Kristus yang mendatangkan keselamatan itu harus menjadi pengalaman pribadi masing-masing, seperti yang dialami oleh Paulus. "Hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Gal. 2:20).

Motivasi yang benar. Jika memahami kebenaran tentang Allah, seluruh anggota keluarga dapat menghadap Allah bukan karena terdorong oleh motivasi yang keliru. Misalnya, rasa takut akan ancaman hukuman dari Allah atau semata-mata agar Allah menuruti permohonannya. Sebaliknya, seluruh anggota menyadari bahwa kasih Allah kepada keluarga merekalah yang mendorong mereka untuk beribadah. Di dalam ibadah itu, keluarga menyampaikan bakti kepada Allah, berdialog dengan Allah, dan membina relasi dengan Allah yang telah mengasihi mereka. Relasi dengan Allah itulah yang akan menjadi jiwa yang menggerakkan keluarga dalam menjalani kehidupannya.

AKHIR KATA

Kehidupan keluarga justru menjadi hidup ketika seluruh anggota dapat menikmati saat saat yang tampaknya santai dan menyenangkan. Misalnya, saat rekreasi, makan bersama, dan bermain bersama. Dalam pembicaraan yang menyejukkan, canda yang menyegarkan suasana, dan sebagainya, seluruh keluarga dapat merasakan kebersamaan dan kedekatan satu sama lain. Situasi seperti ini dapat membantu para anggota keluarga untuk memperkuat ikatan batin satu dengan yang lain. Hal yang sama berlaku dalam hubungan keluarga dengan Allah. Keluarga perlu menyediakan waktu untuk bertemu dengan Tuhan dalam suasana yang tenang namun menggembirakan. Ketika Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan berbicara kepada keluarga. Kemudian dalam doa para anggota menanggapi Sabda yang telah didengarkan. Perjumpaan keluarga itu dengan Allah akan menciptakan hubungan yang lebih akrab dan mesra dengan-Nya. Keluarga pun dapat mengalami kasih Allah dan membawa kasih itu kepada sesama.

Kampung Sawah, HR Kenaikan Tuhan 2013
YM Seto Marsunu

DAFTAR PUSTAKA

Brown, R.E., The Gospel According to John. New York: Doubleday, 1966.
Darmawijaya, St., Warta Nabi Abad VIII. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.
Darmawijaya, St., Warta Nabi Sebelum Pembuangan. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.
De Menezes, R., Voices from Beyond: Theology of the Prophetical Books. Mumbai : St. Pauls. 2003.
Harun, M., Kita Telah Melihat Kemuliaan-Nya. Jakarta: LBI, 2005.
Kysar, R., John. Minneapolis: Augsburg, 1986.
McConville, J.G., Exploring the Old Testament : A Guide to the Prophets. Downers Grove: InterVarsity, 2002.
Moloney, F.J., The Gospel of John. Collegeville, The Liturgical Press, 1998.
Newman B M. dan E.A. Nida, A Translator’s Handbook on The Gospel of John. Stutgart: UBS, 1980.
Rowley, H. H., Ibadat Israel Kuna. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Sklba, R.J., Pre-Exlilic Prophecy. Collegeville: The Liturgical Press, 1990.
Vriezen, T.C., Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Wifall W., Israel’s Prophets : Envoys of the King. Chicago: Franciscan Herald Press, 1974.