Social Icons

PEZIARAHAN YUSUF : MEMPERJUANGKAN PERSAUDARAAN

Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik diatas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya (Mzm133:1-3), demikian pemazmur melukiskan indahnya persaudaraan bilamana yang bersaudara hidup rukun dan saling mencintai.

Persaudaraan yang demikian dibandingkan oleh pemazmur dengan "minyak yang harum" dan "embun gunung Hermon". "Minyak yang harum" - biasanya merujuk pada balsam - adalah tanda kegembiraan, kemurahan, kehangatan, afeksi, dan lain-lain. Sementara "embun gunung" adalah lambang kesegaran, kesejukan, dan kehidupan. Di tanah yang  sedemikian gersang, seperti di Palestina, embun pagi dari gunung sungguh menjadi tanda kegembiraan yang menjanjikan kehidupan. Persaudaraan sesungguhnya bagaikan embun pagi bagi kehidupan personal maupun nasional. Singkat kata, persaudaraan yang rukun dan damai membawa kegembiraan, kehangatan, kesejukan, dan kehidupan.

Persaudaraan yang rukun dan damai, itulah yang selalu didambakan umat manusia. Tragisnya, dalam pengalaman keseharian manusia, hal itu tampaknya seperti utopia saja. Dari Kitab Suci, kita mengetahui bahwa sudah sejak awal mula, persaudaraan telah retak ketika Kain membunuh saudara kandungnya, Habel (Kej 4:1-16).

Drama retaknya persaudaraan itu kita alami dan kita hidupi hingga sekarang dalam kehidupan nyata. Perang antarnegara, perang saudara, konflik berdarah antarkelompok telah mencabik-cabik pengikat kemanusiaan kita yang sebenarnya adalah bersaudara. Seorang filsuf pernah berkata, awal dari segala konflik adalah "pagar". Pagar adalah pembatas antara "aku" dan "engkau", antara "kami" dan "kamu". Pagar adalah sekat yang memisahkan kita sebagai saudara. Berbagai sekat dalam kehidupan kita telah membuat kita picik dan miskin sehingga menimbulkan kecurigaan, iri hati, dan kebencian. Padahal, sesungguhnya aneka perbedaan itu bisa menjadi faktor kekayaan dalam kehidupan manusia bila orang hidup saling mencintai dan rukun sebagai saudara.

Kitab Suci - sebagai Sabda Tuhan dalam cerita manusia - adalah cermin dari pengalaman kita di sini dan kini. Kisah yang diceritakan dalam Kitab Suci adalah sejarah dari dunia ini, maka juga adalah sejarah kita. Di sana juga diceritakan retaknya persaudaraan manusia. Akan tetapi, dalam kaca mata iman, keretakan bukanlah 'kata akhir' dalam kisah biblis itu. Keretakan itu bisa dipulihkan bila orang sanggup bertemu kembali sebagai saudara, yakni ketika orang sanggup berbalik, menyesal, dan memaafkan. Inilah yang hendak kita renungkan dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya dalam Kej 37-50.

PERSAUDARAAN YANG RETAK (Kej 37:1-36)
1. Yakub dan Keluarganya
Kisah Yusuf adalah kisah yang paling lengkap dari kisah tokoh-tokoh lain yang terdapat dalam Kitab Kejadian. Kesatuan kisah ini utuh, kecuali dua kisah selang tentang "Yehuda dan Tamar" (Kej 38) dan "Berkat Yakub" (Kej 49).

Yakub mempunyai duabelas anak. Kedua belas anak itu dia peroleh lewat pernikahannya dengan Lea, Rahel, Zilpa (hamba Lea) dan Bilha (hamba Rahel). Dari Lea, Yakub mendapat anak: Ruben, Simeon, Lewi, dan Yehuda (Kej 29:32-35) dan kemudian Isakhar, Zebulon, dan putrinya, Dina (Kej 30:16-21). Dari Zilpa, hamba Lea, Yakub mendapat anak: Gad dan Asyer. Rahel memberikan anak: Yusuf (Kej 30:22-24) dan Benyamin (Kej 35:16-22a) bagi Yakub. Bilha, hamba Rahel, memberikan Dan dan Naftali bagi Yakub (Kej 30:1-8).

Selengkapnya, kedua belas anak Yakub ini dipaparkan dalam Kej 35:22b-29. Ke dalam kedua belas anak Yakub ini akan ditambahkan kedua anak Yusuf, yaitu Efraim dan Manasye, yang lahir di Mesir sebelum Yakub tiba di sana dan termasuk bilangan anak-anak Yakub dan bagian dari suku Israel (Kej 48:5).

2. Yusuf Dibenci Saudara-saudaranya (Kej 37:1-11)
Dendang kebahagiaan hidup dalam keluarga yang penuh persaudaraan dan cinta seperti yang diungkapkan oleh pemazmur (Mzm 133:1-3) di muka rupanya tidak ditemukan dalam keluarga Yakub atau Israel dengan empat istrinya dan dua belas anaknya.

Dalam Kej 37:2d dikatakan bahwa Yusuf menyampaikan kepada ayahnya tentang kejahatan saudara-saudaranya. Apakah kejahatan itu? Dari teks, kita tidak mendapat jawaban atas pertanyaan itu, tetapi seorang penafsir Yahudi, Rashi, mencoba menduganya. Menurut dia, kemungkinan besar sesudah kematian Rahel (Kej 35:16-22a), Benyamin, adik Yusuf, diasuh oleh Bilha, hamba Rahel dan sangat mungkin juga bahwa Yusuf diasuh oleh Bilha. Dengan demikian, anak-anak Bilha secara natural akan dekat dengan Benyamin dan Yusuf. Boleh jadi juga, anak-anak Zilpa, hamba Lea, dekat dengan Benyamin dan Yusuf karena sangat mungkin bahwa anak-anak Lea menganggap hina saudara mereka, Gad dan Asyer, sebagai keturunan hamba dari ibu mereka. Hal inilah yang dianggap jahat oleh Yusuf dan dilaporkannya kepada bapa mereka, Yakub. Atau, mungkin juga kejahatan yang dilaporkan oleh Yusuf kepada bapanya adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh Ruben terhadap Bilha, gundik ayahnya (Kej 35:22b). Entah dugaan ini benar atau tidak, yang penting adalah bahwa rupanya anak-anak Yakub tidak harmonis.

Favoritisme - pengistimewaan orang-orang tertentu - rupanya bukan barang baru dan cukup subur dalam keluarga Yakub, bahkan dalam keluarga ayahnya, Ishak. Tampaknya, Ishak lebih cinta kepada Esau daripada kepada Yakub. Sebaliknya Ribka, istri Ishak, lebih cinta pada Yakub ketimbang kepada Esau. Yakub lebih cinta kepada Rahel daripada kepada Lea (Kej 25:28; 29:30). Dia juga lebih cinta kepada Yusuf dibandingkan kepada semua anak-anaknya yang lain (Kej 37:3).

Menjadi "anak emas" biasanya akan mengakibatkan kecemburuan. Pengistimewaan umumnya akan bermuara pada iri, dengki, dan kebencian. Israel atau Yakub lebih mencintai Yusuf dari yang lain. Alasan pengistimewaan Yusuf itu ialah karena Yusuf lahir di masa tua Yakub.

Sedikit agak aneh bahwa Yakub mengistimewakan Yusuf karena lahir di masa tuanya. Bukankah Benyamin, adik Yusuf dan yang bungsu dari seluruh anak-anak Yakub, justru anak yang paling tepat sebagai anak yang lahir di masa tua Yakub? Bukankah Benyamin juga anak yang dilahirkan Rahel, istri Yakub yang paling dicintainya? Oleh karena itu, ungkapan "anak di masa tua" ini ditafsirkan secara lain. Dalam bahasa Ibrani, frasa itu dibahasakan dengan benzequnim: ben berarti anak; zequnim berarti tua atau pada masa tua. Akan tetapi, kata zequnim mempunyai banyak arti. Zequnim berasal dari kata zaken yang berarti orang yang sudah tua, tetapi juga bijaksana, tua, punya otoritas (wibawa), dan kepemimpinan (bdk. Kej 24:2; Yes 9:14). Maka, ungkapan benzequnim boleh juga diterjemahkan sebagai anak yang terlahir sebagai pemimpin. Bila arti itu boleh kita terima, maka mengapa Yakub lebih mencintai Yusuf daripada anak-anaknya yang lain ialah karena Yusuf adalah anak yang terlahir sebagai pemimpin baginya. Ternyata memang nanti akan menjadi terbukti bahwa Yusuf telah "ditakdirkan" untuk menguasai dan memimpin para saudaranya dan bahkan lebih, memimpin bapa dan ibunya.

Kemungkinan besar, bukan hanya karena alasan itu sehingga Yakub lebih mencintai Yusuf. Mungkin, cintanya yang lebih istimewa kepada Rahel, yang diperjuangkannya dari mertuanya, Laban, selama empat belas tahun untuk menikahinya (Kej 29:1-30) boleh jadi ditransfer kepada anaknya Yusuf. Apapun alasannya, Yusuf adalah "anak emas" Yakub.

Wujud dari pengistimewaan Yakub kepada Yusuf diperlihatkan dengan pemberian "jubah yang mahaindah". Tidak diterangkan bagaimanakah gerangan "jubah yang mahaindah" itu, yang dalam bahasa Ibrani disebut ketonet passim. Dalam 2Sam 13:18, kata ketonet passim ditemukan juga dan di sana diberi artinya. Konon, itulah baju yang dipakai oleh para putri raja yang masih perawan. Boleh dibayangkan bahwa baju seperti itu selain indah, pastilah bukan pakaian yang praktis untuk bekerja karena mungkin bentuknya adalah long dress dan berlengan panjang. Bila ini yang dimaksud, barangkali bukan keindahan yang lebih menjadi soal, melainkan akibat dari pakaian seperti itu. Orang yang memakai pakaian itu bukanlah orang yang akan mengerjakan pekerjaan kasar harian. Mungkin dalam konteks itulah juga keistimewaan Yusuf dari antara saudaranya-saudaranya: bebas dari pekerjaan kasar harian. Justru inilah barangkali yang membakar kebencian para saudaranya kepada Yusuf.

Api kebencian para saudaranya terhadap Yusuf semakin disulut oleh mimpi yang diceritakannya baik kepada saudara-saudaranya, maupun kepada bapanya (Kej 37:5-8,9-11). Mimpi yang pertama tentang sebelas berkas gandum yang tunduk kepada satu berkas yang tetap tegak (Kej 37:5-8) dan mimpi yang kedua tentang matahari, bulan, dan sebelas bintang yang sujud menyembah Yusuf (Kej 37:9-11). Dua mimpi Yusuf itu mengandung satu arti.

Mimpi yang kedua (Kej 37:9-10) tampaknya mengantar para saudara ke puncak kebencian terhadap adik mereka. Puncak kebencian itu ialah iri hati. Iri hati di sini lebih keras dibandingkan dengan kebencian karena di sana termuat dorongan dan hasrat untukmembalas dendam. Para saudara ingin membalas arogansi si "tukang mimpi", adik mereka itu. Kisah ini mengingatkan kita pada nasib Habel yang dibenci dan dicemburui oleh abangnya, Kain (Kej 4:1-16).

Tampaknya, baik para saudara maupun bapanya mengerti dengan baik makna mimpi Yusuf. Mereka menafsirkan kedua mimpi itu sebagai superioritas Yusuf atas keluarga Yakub. Namun, reaksi para saudara dan bapa Yusuf berbeda atas mimpi itu. Para saudaranya menjadi semakin benci, sedangkan Yakub mendiamkannya. Apakah mungkin Yakub sudah tahu bahwa memang begitulah "nasib" anak kesayangannya, Yusuf? Kemungkinan besar jawabannya adalah "ya".

Sebenarnya sulit memahami kemarahan para saudara kepada Yusuf. Mengapa? Dalam dunia Timur Tengah kuno, mimpi adalah sarana pewahyuan (revelasi) yang ilahi kepada manusia. Itu berarti mimpi bukanlah hal yang bisa dikontrol oleh orang yang bermimpi. Seharusnya, para saudara dan bapa Yusuf tahu tentang hal itu. Akan tetapi, memang begitulah dalam kehidupan manusia, pembawa berita yang tidak menyenangkan akan bernasib malang. Bandingkanlah kisah Obaja dan Elia (1Raj 18:7-15).

Lalu apakah yang boleh kita petik dari kisah Yusuf yang lebih disayangi oleh ayahnya tetapi dibenci oleh saudara-saudaranya ini? Beberapa hal barangkali boleh menjadi pokok permenungan kita.

Pertama, bagaimana punjuga manusia tetaplah mendambakan dirinya dihargai seperti orang lain. Favoritisme adalah salah satu sikap yang bertentangan dengan dambaan manusiawi tersebut. Alasannya, favoritisme akan memunculkan sikap yang mengistimewakan orang tertentu dan menomorduakan orang lain. Menjadi "anak emas" akan melahirkan ketidakadilan dalam sikap dan perlakuan. Biasanya sikap orang lain terhadap yang "dianakemaskan" adalah benci dan iri. Maka, untuk menghindarkan sikap itu, favoritisme perlu dijauhkan karena akan mengganggu persaudaraan, kekeluargaan, dan kebersamaan secara umum, ketimbang membangun. Lalu apakah ini berarti bahwa manusia mesti memperlakukan saudara atau sesama sama rasa sama rata? Bukankah manusiawi juga bahwa manusia mempunyai seseorang yang lebih dicintai dan dikasihi? Benar bahwa ada yang lebih dicintai dan dikasihi itu sangat manusiawi. Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini dengan favoritisme atau "anak emas" sudah selalu mengandung muatan negatif karena mengandaikan perlakuan istimewa secara berlebihan dan parsialitas (mengistimewakan secara berlebihan satu pihak dan mengabaikan pihak lain).

Kedua, kebencian dan iri terarah pada keretakan persaudaraan. Sesungguhnya dalam diri orang yang membenci dan iri tersimpan suatu hasrat yang "membunuh". Benci dan iri berarti mengatakan "engkau harus mati!" kepada orang yang dibenci itu. Ini persis terbalik dengan cinta dan mencinta. Cinta selalu berkata kepada yang dicintai "engkau tidak akan mati!". Biarpun seseorang yang kita cintai sudah tiada, dia tetap hidup di hati, pikiran, dan perasaan kita. Dia tidak mati! Yang sebaliknya terjadi dalam kebencian.

3. Yusuf Dijual oleh Saudara-saudaranya (Kej 37:12-36)
"Pucuk dicinta ulam tiba", demikian kira-kira dapat kita ungkapkan bagaimana perasaan para saudara Yusuf ketika mereka melihat si "tukang mimpi" datang menemui mereka di Dotan, di dekat Sikhem. Saat itulah waktu yang paling tepat untuk melampiaskan api amarah dan dendam terhadap adik yang mereka benci dan yang terhadapnya mereka iri hati. Waktu yang tepat itu sekaligus bermakna ganda. Itulah waktu yang tepat untuk melampiaskan dendam mereka, sekaligus itulah waktu yang tepat untuk membuktikan kepada si "tukang mimpi" itu bahwa mimpinya sungguh-sungguh hanyalah "mimpi" dengan cara membunuhnya.

Menarik untuk memperhatikan awal dan akhir dari cerita yang terdapat dalam perikop Kej 37:12-36 ini. Pada awal kisah diceritakan bahwa Yakub atau Israel menyuruh Yusuf anak kesayangannya pergi untuk melihat "keadaan baik" (shalom) para saudaranya. Kata Israel kepada Yusuf, "Pergilah engkau melihat apakah baik keadaan saudara-saudaramu dan keadaan kambing domba; dan bawalah kabar tentang itu kepadaku" (Kej 37:14). Sebaliknya, di akhir cerita, kabar yang datang kepadanya adalah "keadaan buruk" dari anak yang lebih dikasihinya, Yusuf (Kej 37:32-35).

Seperti sudah disinggung di atas tadi, memang kebencian dan iri hati selalu mengandung keinginan akan "keadaan buruk" atas orang yang dibenci. Benci dan iri hati mengarah pada pembunuhan atau membuat mati orang yang dibenci itu. Para saudara Yusuf sungguh mau membunuh dia. Dengan jelas tampak di sini suatu rencana kriminal yang dilakukan dengan tahu dan mau, atau penuh kesadaran. Hal itu tampak dengan ungkapan bahwa "mereka telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya" (Kej 37:18b). Tiada kesalahan yang lebih besar daripada kesalahan, kendati kecil, yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Kebencian sesungguhnya terarah atau mengarahkan orang pada kematian (bdk. 1Yoh 3:13). Para saudara Yusuf dengan tahu dan mau hendak mengakhiri hidup Yusuf.

Semuanya sudah terencana, bahkan mereka telah menciptakan cerita untuk menutupi kejahatan mereka yang akan mereka katakan nanti kepada bapa mereka, Yakub. Bila ditanya di mana Yusuf, jawabnya, "Dia telah dimakan binatang buas!" (Kej 37:20).

Untunglah, dalam kebencian yang dalam dan membakar itu, salah seorang dari para saudara itu mengusulkan agar adik mereka tidak dibunuh (Kej 37:21-22). Ruben, yang sebagai anak sulung mungkin sadar bahwa dialah yang paling bertanggung jawab atas nasib adik-adiknya termasuk Yusuf, mengusulkan agar Yusuf dimasukkan ke dalam sumur. Atau, mungkin Ruben ingin menebus dosanya atas perbuatan tak senonoh dengan Bilha, hamba perempuan Rahel, ibu Yusuf (Kej 35:22)? Entah apapun motif keinginan untuk menyelamatkan Yusuf di benak Ruben, yang jelas dia sebenarnya ingin mengembalikan adiknya itu kepada ayah mereka dengan selamat (Kej 37:29-30).

Jalur perdagangan yang melalui Palestina ada dua: Jalan (Jalur) Laut yang terkenal dengan nama Latin, Via Maris dan Jalan Raya Raja yang oleh para ahli disebut King's Highway. Jalan Laut adalah jalan raya yang menyusuri pantai barat Laut Mediterania, Palestina. Jalan inilah yang terutama menghubungkan Negeri Mesir di selatan dan negeri-negeri di Asia, persisnya daerah Mesopotamia. Selain Jalur utama ini, Jalan Raya Raja menjadi alternatif bagi para pedagang. Jalan Raya Raja ini mengambil rute di sebelah timur Sungai Yordan, melewati daerah-daerah Moab dan Gilead yang kemudian nanti sampai ke daerah Asia atau Mesopotamia. Namun, tidak jarang para pedagang juga mengambil lintasan yang menghubungkan Jalan Laut dan Jalan Raya Raja, melewati kota-kota yang ada di antaranya, termasuk Dotan.

Selain Sikhem, Dotan termasuk kota yang agak besar. Dotan terletak beberapa kilometer (kurang lebih 30 km) di sebelah utara Sikhem. Kota ini merupakan lintasan pendek yang dilalui oleh para pedagang dari negeri-negeri di utara ke negeri di selatan dan sebaliknya. Maka, tidak mengherankan bahwa para pedagang melewati daerah Dotan ini. Mereka membawa damar, balsam, dan damar ladam (Kej 37:25). Barang-barang itu sangat penting bagi orang Mesir untuk keperluan pengobatan, pengawetan mayat, atau keperluan lain.

Ketika terjadi nasib malang Yusuf ini, pedagang yang adalah orang-orang Ismael lewat. Sesungguhnya, para saudara Yusuf ingin membunuh dia. Yehuda mendapat ide yang bagus melihat kafilah orang Ismael itu. Ketimbang harus menumpahkan darah saudara sendiri, daging dari daging sendiri, lebih baik menjualnya. Yang penting ialah menyingkirkannya dari tengah keluarga dan dengan demikian membatalkan realisasi mimpi dari si "tukang mimpi" itu. Menumpahkan darah - apalagi darah saudara sendiri - adalah dosa berat dan kekejian yang besar (bdk. Kej 2:23-24;4:9-10). Darah sang korban akan menjerit menuntut pembalasan sampai ke surga (lih. Kej 4:10; Yeh 24:7). Jadi, ide Yehuda bermakna ganda: tidak menumpahkan darah sehingga tangan mereka bersih dari darah dan mereka mendapat sedikit untung.

Kendati tidak dikatakan secara eksplisit bahwa para saudara lain setuju atau tidak setuju dengan usul Yehuda, mereka mendengar perkataan Yehuda. Jadilah mereka menjual Yusuf kepada pedagang, orang Ismael, dengan harga dua puluh syikal perak. Kita tidak tahu berapa nilai uang tersebut pada waktu itu. Yang jelas, Yusuf, saudara dan adik mereka, telah menjadi "barang dagangan" (komoditas) karena kebencian. Manusia yang menjadi barang dagangan hanyalah budak. Sesuatu menjadi "komoditas" biasanya memang diakibatkan oleh nafsu akan untung dan uang. Tetapi, di sini kiranya yang menjadi alasan ialah karena kebencian.

Kisah Yusuf ini mengingatkan kita akan peristiwa Yesus dan Yudas Iskariot. Yudas Iskariot menjual Yesus kepada para musuh karena kebencian (Mat 26:14-16, istimewa ay 15; par.). Kebencian memang membuat sesama, bahkan saudara sendiri, hanya sebatas komoditas; yang lebih parah, membuatnya sebatas "barang, hal" atau "objek" semata.

Ekskursus
Ada dua hal yang sulit dalam kisah penjualan Yusuf ini. Pertama, siapa sebenarnya yang ingin atau berinisiatif untuk menyelamatkan Yusuf: Ruben atau Yehuda? Kedua, kepada siapa sebenarnya Yusuf dijual oleh para saudaranya: kepada orang-orang Ismael atau kepada orang Midian? Tampaknya ada dua alur kisah yang sejajar. Para ahli mencoba menjawab kedua pertanyaan itu dengan dua corak penjelasan.

Yang pertama, menurut para ahli, kisah yang kita peroleh dalam Kitab Suci kita sekarang adalah pemaduan dua kisah dari sumber yang berbeda, yakni sumber Elohis dan sumber Yahwis. Kisah pertama dengan tokoh Ruben berasal dari sumber Elohis. Sumber Elohis ini datang dari Kerajaan Utara (Israel). Dalam kisah ini, para saudara Yusuf ingin membunuh Yusuf, tetapi Ruben mengusulkan agar dia dimasukkan saja ke dalam sumur yang tidak berair. Maksud Ruben jelas, yakni untuk menyelamatkan adiknya itu nanti dan mengembalikannya kepada ayahnya (Kej 37:21-22,29-30). Sedangkan kisah kedua dengan tokoh Yehuda berasal dari sumber Yahwis. Sumber Yahwis ini datang dari Kerajaan Selatan (Yehuda). Sama seperti yang pertama, ketika para saudara Yusuf hendak membunuhnya, Yehuda mengusulkan agar mereka menjual Yusuf saja. Selain terhindar dari dosa berat - membunuh darah dan daging (saudara) sendiri - dengan demikian, mereka justru akan mendapat untung (Kej 37:26-27a). Kedua kisah inilah yang berpadu sekarang dalam teks Kitab Suci kita sekarang. Mungkin kisah yang lebih tua adalah kisah dari sumber Elohis karena sangat masuk akal bahwa Ruben, sebagai anak tertua dari semua anak-anak Yakub, merasa lebih bertanggung jawab atas nasib dan keselamatan adik mereka. Sementara, kisah Yahwis adalah suatu versi yang hendak mengangkat dan menonjolkan Yehuda yang nota bene adalah pahlawan dalam tradisi Yahwis juga nenek moyang suku Yehuda di Kerajaan Selatan.

Kepada siapa Yusuf dijual? Menurut tradisi Elohis, para saudara tidak menjual Yusuf. Adalah orang Midian yang lewat dari tempat itu yang mengangkat Yusuf dari dalam sumur yang tak berair itu dan menjualnya kepada orang Ismael dan orang Ismael inilah yang membawanya ke Mesir (Kej 37:28a). Yang sulit dimengerti ialah bahwa di akhir kisah dikatakan bahwa orang Midianlah yang menjual Yusuf ke Mesir kepada Potifar. Tampaknya kata kunci penentu dalam tradisi Elohis ini adalah kata "mereka" (ay 28b). Dalam bahasa Indonesia, kata itu hilang karena diterjemahkan dengan struktur kalimat pasif: "... Yusuf diangkat ke atas dari dalam sumur..." Dalam bahasa Ibrani tertulis:"... mereka mengangkat Yusuf ke atas dari dalam sumur...". Siapa "mereka" ini? Para saudara Yusuf atau orang Midian? Tampaknya, "mereka" ini adalah orang Midian karena ternyata nanti, dalam Kej 40:15, Yusuf menceritakan kepada pegawai minuman anggur Firaun bahwa dia diculik dan dicuri. Sedangkan menurut tradisi Yahwis, para saudaralah yang menjual Yusuf kepada orang-orang Ismael (Kej 37:27-28b). Nanti, ketika Yusuf bertemu dengan para saudaranya itu di Mesir, dia juga mengatakan bahwa mereka telah menjual dia ke Mesir (Kej 45:4c) dan dalam Kej 39:1 dikatakan bahwa dari orang Ismael, Potifar membeli Yusuf di Mesir (Kej 39:1).

Bagaimana harus dipecahkan kesulitan ini? Pemecahan pertama, setelah melihat kisah yang tidak sinkron ini, para ahli mengatakan bahwa kisah yang kita peroleh sekarang ini berasal dari dua sumber yang berbeda dan disatukan oleh redaktur tanpa dengan jeli memperhatikan runtutnya jalan cerita dalam kisah. Umumnya, pemecahan inilah yang diterima banyak ahli.

Akan tetapi, ada juga ahli yang melihat kisah yang tersimpan dalam Kitab Suci kita sekarang ini sungguh satu kisah yang utuh dan kompak. Orang Ismael sebenarnya sama dengan orang Midian. Kedua sebutan ini dipakai secara bergantian untuk menunjuk orang yang sama. Atau boleh juga dimengerti bahwa orang Ismael adalah sebutan umum untuk merujuk "pedagang-pedagang nomaden", sedangkan orang Midian sebagai sebutan etnis. Bisa juga dipahami sebutan orang Ismael sebagai panggilan bagi semacam "liga suku", sedangkan orang Midian adalah salah satu suku dari liga suku tersebut. Singkatnya, kisah penjualan Yusuf ke Mesir berasal dari satu sumber.

Memang, seluk beluk terjadinya kisah ini secara eksegetis perlu diketahui. Akan tetapi, bagi kita yang paling penting adalah inti atau pesan kisah ini. Pilihan mana pun yang diambil, yang jelas inti kisah yang ada di hadapan kita sekarang ialah bahwa Yusuf dijual oleh para saudaranya dankhirnya sampai di Mesir.

YUSUF DI “PEMBUANGAN” (Kej 39:1-23)
1. Yusuf di Rumah Potifar di Mesir (Kej 39:1-6)
Kisah tentang Yusuf diawali dengan pemberitahuan tempat Yakub tinggal, yakni di tanah penumpangan ayahnya. Sekarang, sejarah Yakub dan keturunannya dimulai. Setelah Abraham dipanggil Allah dari Ur-Kaldea, kepadanya sudah dijanjikan untuk mewarisi dan mendiami suatu tanah (Kej 12:1-9). Namun demikian, sudah sejak masa bapa bangsa pertama ini juga, kepada Abraham dikatakan bahwa keturunan Abraham kelak akan tinggal di negeri orang asing yang bukan kepunyaan mereka (Kej 15:13). Tanah "yang bukan kepunyaan mereka" ini adalah Tanah Mesir dan Yusuf adalah pendahulu dari keturunan itu.

Benar, Yusuf adalah pendahulu bagi keluarga dan bangsanya nanti di Tanah Mesir. Akan tetapi, menjadi pendahulu itu bukanlah pilihannya. Dia "terpaksa" menjadi pendahulu karena keberadaan itu adalah akibat dari upaya para saudaranya untukmenyingkirkan dan membuang dia ke tanah orang asing, ke tempat yang jauh. Sekarang dia berada di tanah "pembuangan", sekurang-kurangnya menurut pikiran para saudaranya. "Blessing in disguise" boleh dikatakan untuk menyimpulkan nasib Yusuf yang dijual oleh para saudaranya ke tanah asing dan jauh ke Mesir, tetapi justru dianugerahi dengan segala bentuk keberhasilan, baik kepada dirinya maupun kepada orang yang membelinya (Kej 37:36; 39:1).

Pepatah "manusia berencana tetapi Tuhan yang menentukan" tampaknya berlaku bagi nasib Yusuf. Rencana para saudaranya ialah untuk membuktikan bahwa mimpinya hanyalah mimpi semata (Kej 37:18b-20). Mereka berencana membunuhnya tetapi akhirnya menjauhkan Yusuf dari tengah-tengah mereka dengan menjualnya. Akan tetapi, justru di sinilah rencana Tuhan atas diri Yusuf terwujud. Kelak, Yusuf sendiri mengakui bahwa Tuhan sendirilah yang mengirim dan mengutusnya pertama datang ke Mesir (Kej 45:5) untuk mempersiapkan jalan bagi keluarganya, bagi keturunan Abraham, seperti yang sudah dikatakan oleh Allah sebelumnya kepada nenek moyang mereka itu.

Yusuf dijual kepada seorang pegawai tinggi kerajaan Mesir bernama Potifar. Dalam bahasa Mesir, nama itu bermakna "pemberian dewa Ra". Dewa Ra adalah dewa matahari di Mesir. Dalam Kej 39:1-6 ini secara sangat singkat diungkapkan keberhasilan Yusuf dan bagaimana dia menjadi orang kepercayaan majikannya. Kata kunci dari segalanya itu adalah bahwa dia "disertai oleh Tuhan". Kisah ini mengingatkan kita akan tokoh yang paling besar dalam sejarah bangsa Israel, Musa. Dia adalah tokoh yang memimpin pemerdekaan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, bukan dengan kekuatan tangan manusia melainkan karena dia "disertai oleh Tuhan". Penyertaan Tuhan atas diri Yusuf juga ditransfer kepada orang di mana dia tinggal, sang majikan, Potifar (ay 2-5). Sedemikian besar kepercayaan majikannya kepadanya, sehingga sang majikan tidak tahu lagi apa-apa di dalam rumahnya, kecuali makanan yang dia makan (ay 6). Ungkapan "selain dari makanannya sendiri" boleh dipahami dalam beberapa arti. Ungkapan tersebut bukanlah tanda kekurangpercayaan Potifar pada Yusuf. Mungkin yang dimaksudkan dengan ungkapan itu adalah istri Potifar sendiri (lih. ay 9; perhatikanlah kaitan antara istri dan makanan dalam Ams 30:20) atau hal-hal pribadi. Mungkin juga ungkapan itu merujuk pada aturan pantang diet keagamaan.

Dengan kata lain, "nasib malang" yang membuatnya sampai di Mesir sekarang telah berubah menjadi "nasib mujur". Semuanya itu terjadi karena Tuhan berkenan kepada Yusuf. Keenam ayat ini bukan hanya hendak menceritakan kehebatan Yusuf, melainkan juga dan terutama hendak menjelaskan alasannya, yaitu karena Tuhan ada bersama dia.

2. Yusuf dan Istri Potifar (Kej 39:6c-23)
Setelah dikisahkan perubahan pengalaman Yusuf sesudah dia dibawa ke Mesir dan bagaimana dia menjadi orang kepercayaan majikannya - dan dengan demikian menjadi orang penting di rumah tuannya yang nota bene adalah pegawai tinggi di Mesir - sekarang datang drama kehidupan Yusuf yang sesungguhnya: perjumpaan dengan istri Potifar. Dalam teks biblis, namanya tidak disebut tetapi secara imajinatif, McKay menamainya Rafitop, persis kebalikan dari nama Potifar untuk melukiskan sikap dan perlakuan kedua tokoh dalam kisah itu terhadap Yusuf.

Rupanya penyertaan Tuhan atas diri Yusuf tidak hanya tampak dalam berkat keberuntungan bagi Yusuf dan tuannya, Potifar, melainkan juga dalam penampilan dirinya dengan "sikap yang manis dan paras yang elok" (Kej 39:7). Pelukisan tampang seorang laki-laki seperti ini agak mencolok. Hanya Rahel, ibu Yusuf sendiri, yang diberi atribut seperti itu (Kej 29:17). Rupanya, "sikap manis dan paras yang elok" menjadi keberuntungan sekaligus "sumber petaka" bagi Yusuf.

Terbawa arus gairah seksual, sang istri tuannya mengajak Yusuf untuk berbuat dosa. Dengan bahasa yang singkat dan padat hal itu dilukiskan: "Marilah tidur dengan aku!" (Kej 37:7). Yusuf menolak dengan sopan tetapi tegas. Ada dua alasan yang dikemukakan Yusuf untuk tidak melakukan dosa itu, yakni tidak mau mengkhianati kepercayaan tuannya (menghormati tuannya) dan tidak mau berbuat dosa di hadapan Allah. Inilah pegangan yang tetap dipertahankan oleh Yusuf berhadapan dengan godaan istri tuannya itu sehingga walaupun digoda dari hari ke hari (ay 10), dia tidak jatuh. Sampai akhirnya si wanita yang frustrasi karena nafsunya tidak tersalurkan itu membalas kemurnian hati Yusuf, hamba dan budak itu (Kej 37:11-19).

Sesungguhnya motif yang paling kuat yang membuat Yusuf menang dalam godaan itu adalah keyakinannya atas perbuatan yang benar di hadapan Tuhan. Kendati Yusuf tidak menyebutkan kata zina dalam teks kita, kiranya itulah yang dia maksudkan. Larangan untuk berbuat zina adalah hukum ilahi, hukum Tuhan yang sudah ditaati sejak zaman para bapa bangsa. Walaupun seorang laki-laki di Israel diizinkan untuk mempunyai lebih dari satu istri, namun bersetubuh dengan seorang wanita yang sudah bersuami, bahkan yang masih dalam status terikat pertunangan pun, sudah terhitung berzina. Karena zina dianggap sebagai dosa yang demikian berat, maka baik si wanita maupun si laki-laki harus menanggung hukuman mati sebagai akibatnya (bdk. Ul 22:22-24 // Kel 38:24; Kel 20:15 // Im 18:20 // Ul 22:14ii). Dalam hal ini, kesetaraan gender di dunia Timur Tengah kuno secara umum dan di Israel secara khusus memang tidak ada. Seorang wanita yang sudah menikah dengan seorang laki-laki terikat secara mutlak kepada suaminya. Maka, barangsiapa mencoba melanggar aturan ilahi itu, dia melanggar salah satu aturan yang paling suci dari perintah Allah Israel.

Di dunia Timur Tengah kuno di luar Israel, perkawinan juga dianggap sebagai lembaga yang dilindungi oleh para dewa. Akan tetapi, persoalan zina tidak dianggap sebagai masalah berat seperti di Israel. Di sana, zina hanya dipandang sebagai kesalahan ringan, persoalan yang menyangkut hak privat si suami yang dirugikan (terhina karena istrinya berzina) dengan si pezina (istri atau kekasih istri itu). Namun, budaya Mesir dalam hal zina mirip dengan budaya Israel. Perzinahan atau upaya berzina dianggap kesalahan berat.

Tampaknya, bagi Yusuf, keutamaan itu sangat penting. Berbuat zina adalah dosa bukan hanya terhadap manusia, melainkan juga dosa terutama terhadap Allah (ay 9). Maka, walaupun istri Potifar tidak mengenal Allah yang diimani Yusuf, Yusuf memberi alasan penolakan untuk berbuat dosa itu karena Allah tidak berkenan dengan perbuatan seperti itu. Di sini, Yusuf ditampilkan sebagai model kemurnian.

Kejahatan melahirkan kebohongan; kebohongan memunculkan ketidakadilan; ketidakadilan mengorbankan orang benar. Demikian rangkaian peristiwa yang menimpa Yusuf berkaitan dengan godaan dari istri majikannya. Setelah gagal menggoda Yusuf untuk tidur bersama dia yang terakhir kalinya, sang istri majikan akhirnya membohongi sang suami bahwa sang budak, orang Ibrani itu, telah menghina sang istri. Sialnya, Potifar begitu percaya kepada istrinya itu. Tanpa upaya verifikasi, dia menangkap dan menjebloskan Yusuf ke dalam penjara. Potifar bertindak tidak adil karena dia tidak mencari kebenaran dan pihak lain (Yusuf). Ketidakadilan inilah yangmelahirkan korban orang yang benar: Yusuf dipenjarakan!

Kisah wanita penggoda yang tidak berhasil membalas dendam terhadap laki-laki yang digodanya sangat umum dikenal. Kisah seperti itu rupanya universal. Entah kisah biblis tentang Yusuf ini diturunkan langsung atau tidak dari sana, ternyata di Mesir juga ditemukan kisah yang agak mirip mengenai "Dua Orang Bersaudara".

Konon, di suatu tempat tinggallah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Anpu dan yang bungsu bernama Bantu. Mereka berdua bekerja di ladang. Ketika si adik pulang ke pondok untuk mengambil bibit yang akan mereka tanam, istri si abang, Anpu, menggoda si adik. Bantu, si adik yang masih lajang itu - karena menaruh hormat kepada abangnya yang sudah seperti seorang bapa baginya - menolak tawaran itu. Sesungguhnya, Bantu berjanji tidak akan memberitahukan hal itu kepada abangnya, suami si wanita itu. Namun, ketika Anpu kembali ke rumah, dia menemukan istrinya sedang dirundung kesedihan dan mendengar cerita bohong yang dibentangkan oleh sang istri terkasih itu. Yakin atas kebenaran cerita sang istri, Anpu berusaha untukmembunuh adiknya. Suatu ketika, Anpu mengintai adiknya ketika ia sedang membawa lembu ke ladang. Tetapi, secara ajaib, lembu yang dibawa memberitahukan bahaya itu kepada Bantu. Anpu mengejar Bantu sampai ke suatu sungai yang tiba-tiba dibanjiri oleh buaya-buaya sehingga Anpu dan Bantu terpisah oleh sungai itu. Dalam jarak yang dipisahkan sungai itu, Bantu menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi. Akhirnya, Anpu yakin atas perkataan adiknya dan kembali ke rumah, lalu sebaliknya membunuh istrinya.

Yang menarik dalam kisah yang mirip ini adalah bahwa dalam kisah "Dua Orang Bersaudara", si tertuduh punya kesempatan untuk membela diri dan akhirnya "menang". Dalam kisah Yusuf, dia tidak mendapat kesempatan itu. Dalam kisah biblis, pembelaan orang benar bukan terutama oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Yusuf tidak membela dirinya tetapi Tuhan menyertai dia yang nanti membuktikan kebenarannya.

Selain itu, ada juga hal yang menarik dari kisah Yusuf dan istri Potifar ini. Kendati dia sudah hidup di pembuangan - atau kalau mau lebih positif: di perantauan - dia hidup dan berdiri teguh pada warisan peradaban dan kerohanian yang diterima sebelumnya di negerinya. Seperti sudah dikatakan di atas, alasan utama penolakannya atas godaan sang majikan perempuan itu adalah kesetiaannya untuk tidak berbuat dosa di hadapan Allahnya. Warisan rohani itu tetap dipertahankannya, kendati dia sudah hidup nyaman dan mewah di tanah pembuangan. Warisan peradaban juga dipegang teguh, yakni tidak mau membuat kejahatan atas kebaikan majikan, Potifar. Posisinya yang terpercaya tidak dia gunakan sebagai kesempatan untukmerusak majikannya.

Dengan kata lain, kendati hidup jauh dari keluarga dan tanah airnya, Yusuf tidak kehilangan identitas. Salah satu ancaman dari kehilangan identitas di tanah perantauan adalah bahwa manusia gampang jatuh untuk "menyesuaikan diri" dengan tempat di mana dia hidup sekarang. Akibatnya ialah hilangnya jati diri yang sesungguhnya.

3. Yusuf di dalam Penjara (Kej 39:20-23)
Jika dilihat, hukuman yang ditimpakan kepada Yusuf atas tuduhan berat itu - kendati memang tidak benar - agaknya ringan. Soalnya, bila orang merdeka dituduh berbuat jahat saja bisa mendapat hukuman mati, apalagi orang yang tidak merdeka. Karena itu, hukuman yang diterima oleh Yusuf agak mengherankan. Ada penafsir yang mengatakan bahwa, konon, sebenarnya kemarahan Potifar bukan pada Yusuf secara langsung tetapi pada istrinya. Dia menghukum Yusuf hanya untuk "menyelamatkan muka". Namun, tafsiran seperti itu kurang didukung oleh teks biblis sendiri. Sebab, seandainya demikian, penulis kiranya akan menulis hal itu. Ada juga penafsir lain yang menduga bahwa Potifar sebenarnya sangat terikat dan percaya pada Yusuf sehingga dia tidak sampai hati menghukum lebih berat. Namun, tafsiran ini pun terlalu bernuansa psikologis dan penuh perasaan.

Mungkin hukuman itu harus dimengerti sebagai penahanan atau "penantian" untuk eksekusi hukum yang lebih berat, seperti kasus yang akan menimpa juru roti dan juru minuman nanti (Kej 40:22). Apapun keterangan yang paling tepat untuk menerangkan ringannya hukuman yang diterima Yusuf ini, kiranya yang hendak ditekankan oleh penulis kisah ini adalah bahwa Tuhan menyertai Yusuf. Itulah alasan mengapa dia dihukum demikian. Secara literer, tentulah Yusuf tidak boleh mati begitu saja karena kalau demikian, rencana ilahi tidak berjalan dengan mulus. Yusuf dihukum dan direndahkan untuk bangkit nanti sebagai penguasa di Mesir.

Oleh manusia, harkat dan martabat Yusuf diturunkan - dari orang kepercayaan menjadi orang yang dipenjarakan - namun oleh Tuhan, dia tetap diperhatikan dan dilindungi. Dalam situasi baru di penjara itu, Tuhan ada bersama dia. Dan, penyertaan Tuhan tersebut membawa berkat baginya, persis seperti pelukisan dalam ayat 1-6 ketika dia mengawali kariernya di rumah Potifar.

Tuhan menyertai dan melindungi Yusuf dalam kehidupan lahiriah. Ini tidak berarti bahwa Yusuf lepas dari penderitaan, melainkan penyertaan itu tampak dan dialami di tengah-tengah penderitaan. Di sini muncul teologi yang sangat dalam, yakni keyakinan atau kepercayaan akan perlindungan Tuhan kendati tampaknya penderitaan dan kesengsaraan "diizinkan". Refleksi ini sangat menakjubkan. Teologi ini memperlihatkan kepada kita bahwa orang yang disertai Tuhan juga tidak luput dari penderitaan. Dan, penderitaan bukanlah tanda absennya Tuhan.

4. Yusuf Menjadi Penguasa di Mesir (Kej 40-41)
Yusuf yang telah menjadi kesayangan dan kepercayaan kepala penjara itu (Kej 39:21) mendapat teman senasib: juru roti dan juru minuman raja Mesir. Kita tidak tahu berapa lama Yusuf tinggal di dalam penjara tuannya.

Rupanya, Yusuf bukan hanya jago bermimpi tetapi juga dianugerahi keahlian untuk menafsir mimpi. Sesungguhnya, pengetahuan untuk menafsir mimpi bukanlah keahlian atau kepintaran manusiawi, tetapi lebih-lebih merupakan anugerah atau ilham ilahi (Kej 39:8; Kej 40:16; bdk. Dan 2:18-22). Kemampuan dalam menafsir mimpi inilah yang kelak menjadi tangga titian karier Yusuf menuju puncak tampuk penguasa di Mesir.

Sekali lagi Yusuf memperlihatkan keutamaannya di dalam penjara bersama dengan kedua pegawai Firaun yang ikut dipenjarakan bersama dengan dia. Keutamaan Yusuf tampak sebagai orang yang solider, prihatin, dan perhatian kepada kedua temannya itu. Demikianlah, pada suatu pagi kedua temannya di penjara itu murung dan tak bergairah. Yusuf langsung menangkap tanda-tanda yang membuat mereka gelisah (Kej 40:6-7). Benar saja, keduanya bersusah hati karena mereka bermimpi. Lalu Yusuf menawarkan diri untuk menolong mereka dengan kesediaan untuk menafsirkan mimpi mereka.

Simpul dari tafsir mimpi sang juru minuman dan juru roti raja Mesir itu adalah "Firaun akan meninggikan kepala" mereka (Kej 40:13,19,20). Kalimat ini bermakna ganda karena bagi sang juru minuman, itu berarti restorasi dan rehabilitasi posisinya (Kej 40:21) dan bagi sang juru roti, itu bermakna eksekusi dirinya dengan hukuman gantung (Kej 40:22). Kepada sang juru minuman yang akan direstorasi itu, Yusuf meminta agar sang juru minuman sudi menceritakan hal ihwal diri Yusuf kepada Firaun (Kej 40:14-15). Sialnya, sang juru minuman itu tidak mengingat permintaan Yusuf itu (Kej 40:23). Sejarah manusia memang sering demikian, orang kerap tidak mengingat perbuatan baik sesamanya.

Ayat penutup (Kej 40:23) kisah mimpi kedua pegawai Firaun itu menjadi ayat yang mengesankan untuk kisah "petualangan" Yusuf selanjutnya. Dengan ayat itu, Yusuf diperlihatkan sebagai orang yang dilupakan dan ditinggalkan oleh sesama yang ditolong oleh Allah. Dia tetap tinggal sendirian dalam penjara. Akan tetapi, rupanya itu hanya kesan. Sekarang tibalah fase baru dalam kehidupan Yusuf dengan munculnya mimpi Firaun sendiri (Kej 41). Ternyata, sang juru minuman tidakmelupakan Yusuf secara total. Atas penuturannya (Kej 41:12-13), Firaun menyuruh agar Yusuf dipanggil untuk menafsirkan mimpinya. Di hadapan Sang Firaun, Yusuf dengan rendah hati dan sangat sopan mengoreksi pemahaman Firaun bahwa Yusuf dapat memberi arti mimpi. Yusuf menegaskan bahwa kemampuan untuk menafsirkan mimpi bukanlah dari dirinya sendiri tetapi dari Allah (Kej 41:16). Sama seperti pernyataannya kepada sang juru minuman (Kej 40:8), Yusuf mengarahkan perhatian Firaun bukan pada dirinya tetapi kepada Allah yang akan memberikan makna mimpi itu.

Ada dua mimpi Firaun tetapi sesungguhnya keduanya adalah satu (Kej 41:25). Duplikasi mimpi yang bermakna sama ini memperlihatkan bahwa peristiwa itu akan datang dalam waktu singkat, tanpa seorang pun sanggup mengelakkannya (Kej 41:32). Lalu dengan lancar, penuh keyakinan, singkat, dan padat, Yusuf membeberkan makna mimpi itu. Singkatnya, arti mimpi Firaun adalah bahwa akan datang masa melimpah selama tujuh tahun dan sesudahnya masa paceklik selama tujuh tahun juga (Kej 41:29-31).

Menarik untuk memperhatikan peran Allah dalam keseluruhan wacana Yusuf di hadapan Firaun. Dalam ayat 16, 25, dan 28 dikatakan bahwa pelaku utama dan penentu dari realisasi mimpi itu adalah Allah. Puncak pemakluman makna mimpi itu adalah nasihat yang disampaikan Yusuf kepada Firaun agar Firaun mengangkat orang yang sanggup mempersiapkan bangsa Mesir untuk menyongsong kedua masa itu (Kej 41:33). Yusuf juga bahkan menasihati agar Firaun sendiri berbuat sesuatu (Kej 41:34-36). Sekarang, budak yang dipenjarakan itu telah menjadi "penasihat" penguasa tertinggi Mesir, Firaun sendiri. Fase kisah penjualan Yusuf ke Mesir oleh para saudaranya (Kej 37;39-41) diakhiri dengan naiknya Yusuf menjadi penguasa Mesir (Kej 41:37-57).

Nasihat Yusuf dipandang baik oleh Firaun. Firaun sendiri ditampilkan sebagai orang yang mengenal Allah (Kej 41:38-39) yang sangat berbeda nanti dengan penggantinya, yang bukan hanya tidak mengenal Yusuf tetapi juga menghina Allah (Kel 1:8; 5:2ii). Sebaliknya, Firaun dalam kisah Yusuf ini bukan hanya mengenal Yusuf, tetapi juga belajar untuk mengenal Allah melalui Yusuf. Orang yang mengerti dengan terang benderang masa depan - dengan bantuan Allah - pastilah orang yang paling tepat untuk membangun policy menghadapi masa depan itu. Karena itulah, Yusuf diangkat menjadi penguasa istana Firaun dan seluruh Tanah Mesir (Kej 41:40-49). Sekarang, Yusuf menjadi penguasa Mesir, negeri yang sudah siap untuk menyongsong masa yang seluruhnya ditentukan oleh Allah.

Dalam konteks masa paceklik dahsyat selama tujuh tahun yang akan datang nantilah akan terjadi perjumpaan antara Yusuf dan para saudaranya, serta seluruh keluarganya. Dengan demikian, kita masuk ke fase kedua kisah Yusuf.

Persaudaraan Dipulihkan
(Kej 42:1-45:15)

1. Yusuf Bertemu dengan Para Saudaranya (Kej 42-44)
Musim paceklik yang dahsyat, sebagaimana diberitahukan oleh Yusuf kepada Firaun Mesir, rupanya bukan hanya menimpa Mesir tetapi seluruh wilayah di sekitarnya, termasuk Tanah Kanaan, negeri Yusuf sendiri. Dengan sangat dramatis, hal itu dibahasakan sebagai kelaparan yang "merajalela di seluruh bumi" (Kej 41:56). Inilah yang memaksa keluarga Yakub mencari jalan keluar agar dapat bertahan hidup. Dia menyuruh anak-anaknya pergi ke Mesir untuk membeli bahan makanan agar mereka bisa tetap bertahan hidup karena di sana, dia mendengar masih ada persediaan. Demi mempertahankan hidup, anak-anak Yakub turun ke Mesir untuk membeli bahan penopang hidup, makanan. Inilah awal kisah perjumpaan Yusuf dengan saudara-saudaranya. Anak-anak Yakub harus pergi ke Mesir untuk menghadap penguasa Mesir yang tidak lain, tidak bukan adalah saudara mereka sendiri, Yusuf, yang dulu mereka singkirkan.

Dalam kisah pertemuan pertama ini, Yusuf tampaknya ditampilkan sebagai orang yang mau membalas dendam (Kej 42). Penyelidikannya terhadap saudara-saudaranya memberi kesan bahwa dia mau melampiaskan balasan atas perlakuan mereka kepadanya sekian tahun yang silam. Kesan pembalasan dendam itu tampak dengan tuntutan Yusuf atas para saudaranya supaya mereka membawa adik mereka yang paling bungsu, Benyamin (Kej 42:15-16). Tuntutan ini berat dan sulit sehubungan dengan kerelaan ayah mereka untuk memberikan dan mengizinkan Benyamin, saudara Yusuf seibu, untuk berangkat ke Mesir bersama para saudaranya (Kej 42:36,38; bdk. Kej 44:22). Kesan balas dendam itu semakin diperkuat dengan perlakuan Yusuf terhadap Simeon yang dibelenggu dan harus tinggal sebagai jaminan atas niat baik para saudara Yusuf (Kej 42:24). Tampaknya tidak ada jalan lain bagi para saudara itu selain menuruti tuntutan Yusuf demi tujuan memperoleh bahan makanan dan demi membuktikan niat baik mereka. Mereka bukanlah mata-mata seperti yang dituduhkan Yusuf.

Pertemuan Yusuf dengan para saudaranya terjadi ketika pertama kali mereka datang ke Mesir (Kej 42:6-8). Namun, pertemuan itu belumlah sebuah perjumpaan yang membuat mereka saling mengenal karena hanya Yusuflah yang langsung mengenali mereka (ayat 7-8). Memang, pertemuan persaudaraan baru sungguh-sungguh terjadi ketika dua belah pihak saling "mengenal", menerima, dan berjumpa dalam arti sesungguhnya. Dalam pertemuan berikutnya, ketika para saudara Yusuf datang lagi untuk kedua kalinya membeli makanan ke Negeri Mesir (Kej 43:1-34), kesan untuk membalas dendam itu semakin kuat.

Kita bisa membayangkan bagaimana susahnya para saudara Yusuf ketika tuduhan pencurian piala tampaknya benar. Piala "yang dinyatakan hilang" itu bukan sembarang piala. Piala itu adalah benda suci yang dengannya orang dapat mengetahui kehendak ilahi. Pencurian terhadap barang suci adalah kesalahan yang serius (bdk. Kej 31:33ii; Hak 18:17ii). Karena itu, "kesalahan" Benyamin adalah kesalahan yang serius dan konsekuensinya serius pula. Mereka harus pulang lagi ke Mesir, ke rumah Yusuf, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan itu (Kej 44:1-17). Yang paling tragis ialah bahwa saudara yang mereka jamin akan pulang dengan selamat ke rumah mereka (Kej 42:37; 43:8-9) justru harus tinggal menjadi budak (Kej 44:10,17). Sesungguhnya, para saudara Yusuf belum berjumpa dengan adik mereka, Yusuf, yang mereka jual dulu.

2. Para Saudara Bertemu dengan Yusuf (Kej 45:1-15)
Akan tetapi, rupanya, kesan balas dendam dalam perlakuan Yusuf terhadap saudara-saudaranya itu memang hanyalah kesan saja. Di balik semuanya itu, Yusuf hanya hendak menguji para saudaranya (Kej 42:15).

Ujian yang dibuat Yusuf terhadap saudara-saudaranya rupanya meyakinkan Yusuf bahwa para saudaranya itu sungguh berniat baik. Beberapa kali diperlihatkan bagaimana para saudara itu menyadari dan menyesali perbuatan jahat mereka terhadap adik mereka, Yusuf, yang sekarang tanpa mereka kenali berdiri di hadapan mereka. Ketika Yusuf menuduh bahwa mereka adalah pengintai yang datang melihat kelemahan Negeri Mesir (Kej 42:9b), mereka menyangkal tuduhan itu dengan menyebut bahwa mereka adalah "anak dari satu ayah" (Kej 42:11). Jawaban atas tuduhan ini sangat kuat kendati tidak dengan sendirinya jelas. Memang benar, tidak mungkin seorang ayah mengambil risiko untuk mengirim anak-anaknya sekaligus menjadi mata-mata karena bila terjadi kesalahan, akibatnya fatal: kehilangan anak-anaknya sekaligus. Karena itu, Yusuf menjadi yakin bahwa mereka jujur mengakui alasan kedatangan mereka. Pernyataan "hamba-hambamu ini dua belas orang, kami bersaudara, anak dari satu ayah" (ayat 13) semakin menggugah perasaan Yusuf. Sekarang, di hadapannya, para saudaranya itu ternyata memperhitungkan dirinya dan Benyamin sebagai saudara mereka. Dahulu, sebelum dan pada waktu peristiwa penjualan dirinya, para saudara tidak menganggapnya sebagai saudara, melainkan sebagai "orang ketiga", "tukang mimpi". Yusuf mencari "saudaranya" ke Dotan, sebaliknya para saudaranya itu menyambutnyasebagai "bukan saudara", "tukang mimpi kita" (bdk. Kej37:16a,19). Sekarang, mereka sendiri mengakui bahwa mereka punya seorang "saudara yang hilang".

Ketika Simeon harus ditahan sebagai jaminan untuk membuktikan kejujuran hati mereka, para saudara sudah menyadari bahwa hal itu adalah akibat dari dosa mereka (Kej 42:21-23). Dan, pada waktu itu, Yusuf pun tampaknya sudah menangkap penyesalan itu ketika dengan haru ia mengundurkan diri dari para saudaranya dan menangis (Kej 42:24).

Puncak dari seluruh kisah pengujian itu tampak ketika Yehuda memaparkan bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab atas keselamatan adik mereka, Benyamin (Kej 44:18-34). Kisah pertanggungjawaban Yehuda atas keselamatan adik bungsu mereka itu merupakan salah satu kisah yang paling mengharukan dalam seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama.

Kembali Yehuda tampil sebagai pembela dan penyelamat. Adalah Yehuda yang mengatakan bahwa tidak ada untungnya membunuh darah dan daging mereka, lebih baik menjualnya saja (Kej 37:26-27). Sekarang dia tampil kembali untuk membela dan menyelamatkan adik mereka, Benyamin, saudara Yusuf seibu. Dengan cara penuh hormat dan mengharukan,Yehuda menceritakan betapa mereka berjuang untuk memohon kepada ayah mereka agar sang ayah mengizinkan adik bungsu mereka ikut pergi ke Mesir. Tanpa Benyamin tidak ada artinya pergi ke Mesir dan berjumpa dengan penguasa Mesir (Kej 44:18-34). Dalam wacana yang mengharukan itu ternyata Yehuda "menang" atas Yusuf.

Seandainya pun Yusuf bertindak demikian terhadap saudara-saudaranya itu karena niat jahat, siapa yang tidak tergerak mendengar penyesalan yang begitu mengharukan? Apalagi sesungguhnya Yusuf hanya menguji dan meneliti kejujuran dan ketulusan hati mereka. Tanpa dapat dibendung, Yusuf lalu memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya (Kej 45:1-15).

"Akulah Yusuf! Masih hidupkah bapa?" (Kej 45:3b). Bagaikan sebuah pewahyuan ilahi, pengungkapan siapa diri Yusuf membuat para saudaranya tidak dapat mengatakan apa-apa (Kej 45:3b). Sampai dua kali Yusuf menegaskan bahwa dia sendiri adalah Yusuf untuk meyakinkan para saudara dan agar mereka tidak takut (Kej 45:4d). Yusuf memperkenalkan dirinya tetapi sekaligus membuat para saudara mengingat apa yang mereka lakukan kepadanya, "menjual ke Mesir". Namun, hal itu bukan untuk membuat mereka semakin takut, melainkan untuk menyingkapkan apa di balik perbuatan mereka. Puncak dari seluruh kisah ini termaktub dalam pernyataan Yusuf, "Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh tanah Mesir" (Kej 45:8). Nanti pernyataan ini akan  diulang kembali dalam Kej 50:20. Dalam ayat yang singkat ini terkandung teologi yang sangat dalam, yakni "Penyelenggaraan Ilahi" (Providentia Divina). Dengan pernyataan itu, Yusuf bukan hanya memaafkan perbuatan saudaranya, tetapi juga melihat "tangan Tuhan" yang memakai kesalahan para saudaranya demi keselamatan keluarganya. Secara sepintas, kisah Yusuf tidak begitu menonjol sebagai "sejarah keselamatan" bila dibandingkan dengan kisah para bapa bangsa Abraham, Ishak, dan Yakub di mana tema "janji Allah" sangat mencolok. Tema itu absen dalam kisah Yusuf ini. Dengan kata lain, sejarah keselamatan tidak langsung kentara. Namun, di situlah terletak kekuatan kisah ini, yaitu ketika Tuhan mengubah kejahatan dalam sejarah seorang anak manusia menjadi kebaikan. Bila tema janji Allah agak kabur, tema penyelenggaraan ilahi menjadi kentara. Inilah yang boleh kita sebut sebagai tuntunan tangan Tuhan yang tersembunyi dan diam-diam dalam sejarah. Dalam kisah Yusuf ini, setelah diceritakan sedemikian banyak hal yang dibuat oleh manusia, pada akhirnya - dari pernyataan Yusuf sendiri - satu-satunya yang bertindak dalam seluruh peristiwa adalah Allah, bukan para saudaranya yang "mengirim" Yusuf ke Mesir.

Sekarang, Yusuf dan saudara-saudaranya sungguh bertemu dan berjumpa, lewat pengenalan, pemaafan, pengampunan, serta penerimaan. Ketika dua belah pihak yang berkonflik bertemu, bermaafan, dan saling mengampuni, di sanalah terjadi persaudaraan yang sesungguhnya, yang bukan hanya ditentukan oleh ikatan darah tetapi oleh ikatan kasih persaudaraan. Persaudaraan dipulihkan!

Selebihnya, kisah tentang Yusuf dan keluarganya (Kej 45:16-50:26) menjadi penutup kisah inti di atas tadi.

Catatan Akhir
Ungkapan "alangkah baik dan indahnya tinggal bersama sebagai saudara" memang benar. Akan tetapi, kehidupan memperlihatkan betapa persaudaraan itu rentan untuk terluka. Berbagai konflik, perang, perseteruan mengancam keindahan persaudaraan tersebut.

Kisah Yusuf dan saudara-saudaranya adalah juga kisah hidup kita di sini dan kini. Kita juga kerap "menjual" atau kalau tidak, "membunuh" saudara kita. Mungkin sebaliknya, kerap kita "dijual" atau "dibunuh" oleh saudara kita. Persaudaraan retak! Akan tetapi, dalam terang iman - bercermin pada Sabda Tuhan - keretakan itu tidak pernah menjadi kata akhir bagi kita. Persaudaraan tetap bisa dipulihkan, bila seorang saudara mau menggunakan kesempatan yang diciptakan Tuhan untuk kembali berjumpa dengan dan mengenal kembali saudaranya.

Mungkin dalam pengalaman kita, kita lebih mengalami diri sebagai "saudara yang dijual" oleh saudara yang lain. Kisah Yusuf mengajarkan kepada kita untuk tetap berpegang pada iman bahwa Tuhan tetap menyertai kita. Kejujuran, kesopanan, kesabaran, dan kesetiaan menjadi kata kunci di tengah dunia di mana kita dijual itu. Dengan demikian, kebaikan bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi akan terjadi juga bagi saudara-saudara yang lain.

Bukan maksudnya untuk membius bila dikatakan bahwa dalam penderitaan tangan Tuhan tetap menolong. Bukan maksudnya juga untuk mengajak “mari kita biarkan dan terima saja penderitaan dari saudara yang lain" ketika dikatakan bahwa ada penyelenggaraan ilahi. Kita mesti aktif menjauhkan segala penyebab penderitaan yang diakibatkan oleh pecah dan terlukanya persaudaraan. Namun, seandainya pun kita toh menderita, kita punya pengharapan bahwa dalam penderitaan itu tangan Tuhan dan penyelenggaraan-Nya tetap hadir meski dalam bentuk yang paling kabur sekalipun. Itulah yang ditunjukkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya.