Social Icons

SOSOK IBU DALAM KITAB KEJADIAN DAN KELUARAN

Di dalam teks Kitab Suci Perjanjian Lama yang bernuansa laki-laki (patriarkal), kita masih dapat menjumpai arus balik yang kuat. Arus balik tersebut menegaskan keberadaan perempuan, yang dinyatakan dalam kisah tentang keberanian, kekuatan, iman, talenta dan jasa kaum perempuan. Kisah-kisah tersebut cukup menggoyahkan asumsi dan bias kebapakan yang mendominasi Perjanjian Lama. Dari sejumlah perempuan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang patut digarisbawahi adalah sosok ibu. Sekilas sosok ibu bukanlah sosok yang paling menarik dibanding sejumlah besar perempuan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Ibu rupanya dianggap orang yang biasa-biasa saja, bukan pemeran utama kisah Perjanjian Lama. Namun, jika kita lebih mendalami Perjanjian Lama, sosok ibu bukanlah sosok yang biasa-biasa saja. Sebagaimana yang kita kira. Ternyata pengaruh mereka sangat besar. Memang kejadian-kejadian penting dalam tradisi Perjanjian Lama dialami oleh kaum laki-laki. Tetapi di balik kejadian-kejadian tersebut, justru kaum perempuan yang menggerakkan dan mengendalikannya. Sebagai contoh, kisah-kisah keibuan dalam Kejadian Bab 12 dan 36 yang menceritakan bahwa anak-anak yang menjadi terkenal merupakan gambaran diri Israel dan ibu mereka yang bertanggung jawab terhadap pembentukan diri anak-anak tersebut.


Ibu-ibu dalam Kitab Kejadian
Kisah-kisah periode para bapa bangsa dalam Kej 12-50 adalah kisah-kisah tentang suatu janji yang beraspek tiga pada Abraham (janji tentang keturunan yang banyak “seperti bintang di langit”, tanah terjanji tanah Kanaan, dan peranannya sebagai perantara berkat Allah bagi semua manusia). Banyak rintangan yang mengancam terwujudnya janji tersebut. Misalnya : kemandulan Sara (Kej 11:30; 16:1; 29:31), direbutnya para istri (Kej 12; 20; 26), istri terlalu tua untuk mempunyai anak (Kej 17:17; 18:12), perintah Allah kepada Abraham untuk mengorbankan anak laki-lakinya (Kej 22:2). Dalam kisah ini apakah peranan kaum perempuan? Peranannya adalah melahirkan anak-anak yang menggenapi janji tersebut. Perempuan yang menjadi ibu dari “orang-orang terpilih” hanyalah perempuan “resmi” (Sara adalah seorang istri “resmi”, bukan Hagar; Ishak dan Yakub tidak boleh mempunyai istri perempuan Kanaan yang dipandang sebagai “orang asing”  Kej 24:3;27:46; 28:1). Anak yang dapat mewarisi janji itu pun haruslah anak resmi (Ishak, bukan Ismail; Yakub, bukan Esau). Selain itu perempuan dijadikan obyek dalam budaya kebapakan yang kuat (Sara berulang-ulang “dibawa” dalam Kej 12). Kitab Kejadian lebih tertarik pada iman Abraham dibandingkan iman Sara (Kej 22). Yang lebih ekstrim : perempuan dihapus dari narasi sejarah iman (Ul 26:5; Yos 24:2&13; 1Sam 12:8&11; Mzm 105  perhatikan yang dilakukan Mzm 105 terhadap Kej 12 dan 20; bdk. dengan Yes 51:2). Jadi secara umum perempuan diabaikan begitu saja dalam banyak kejadian. Di sisi lain, pada saat para perempuan berperan sebagai pelaku (bukan obyek), mereka tampil luar biasa. Dalam hal ini perempuan adalah orang yang mandiri, bukan kaki tangan kaum laki-laki. Inilah paradoksnya. Meskipun kaum perempuan berkali-kali diabaikan dalam kisah perjalanan Israel mewujudkan janji-janji Allah, mereka bertindak pada saat-saat strategis dan mampu menggerakkan alur cerita sehingga Israel dapat mengarah dengan tepat untuk mewujudkan janji Allah.

Kejadian-kejadian utama dalam kehidupan kaum ibu terjadi di seputar anak-anak mereka. Kemandulan ibu adalah tema yang umum karena kemandulan menghalang-halangi munculnya anak yang diharapkan. Tidak mempunyai anak dalam budaya kebapakan sama saja dengan kehilangan status. Dalam situasi Abraham&Sara, hambatan utama untuk terwujudnya janji Allah adalah tidak memiliki keturunan. Sara menyadari hal ini dan justru dialah yang pertama-tama mengusulkan langkah nyata untuk mengatasi hambatan utama. Ia memberikan pelayannya, Hagar (orang Mesir), kepada Abraham. Ini dilakukannya bukan sekedar agar Abraham memiliki keturunan, tetapi agar sesuai dengan adat-istiadat (anak Hagar dapat dianggap anak Sara). Jadi upaya untuk mendapatkan anak adalah untuk kepentingan si perempuan, bukan si laki-laki. Dalam Kej 29&30, Rahel dan Lea memberikan pelayan-pelayan mereka kepada Yakub, sekalipun Yakub sudah memiliki anak laki-laki.

Kembali ke kisah Sara, ternyata hasilnya bertentangan dengan keinginan Sara. Ketika Hagar hamil, ia menjadi sombong dan ingin menjadi ibu bagi Israel. Sekali lagi, Sara harus mengambil tindakan untuk mempertahankan statusnya.Ia memperlakukan Hagar dengan kasar sehingga Hagar melarikan diri. Namun, Allah menampakkan diri kepada Hagar dan memintanya untuk tunduk kepada Sara.

Kisah tersebut merupakan kisah kesengsaraan Sara dan Hagar.  Hagar adalah perempuan tertindas yang berani memperjuangkan kemerdekaannya. Hagar, seorang Mesir, melarikan diri dari penindasan Israel. Paradigma ini berkebalikan unik dengan paradigma Keluaran, di mana Israel melarikan diri  penindasan Mesir. Hagar menjadi ibu dari sebuah bangsa besar yang ciri-cirinya adalah bersikap tidak mau tunduk. Sekalipun kisah ini bersimpati untuk Sara dan kepekaan terhadap Hagar, mereka adalah korban dari masyarakat patriarkal (kebapaan) yang menekankan pentingnya anak laki-laki. Suatu hal menyedihkan, Sara dan Hagar saling mencelakakan. Perempuan terhormat (Sara) memeras bawahannya (Hagar) dan sang bawahan mendambakan kedudukan atasannya. Suatu lingkaran setan yang di dalamnya perempuan saling bertempur memperebutkan status.

Kejadian 17 dan 18 memfokuskan diri pada sosok Sara dan janji lahirnya seorang anak. Sara mengandung keturunan yang sudah lama dinanti-nantikan. Lahirnya anak laki-laki Sara (Kej 21) mengenyahkan ancaman terhadap janji Allah yang datang dari Hagar dan Ismail. Kedudukan Sara mendapat dukungan Allah. Tapi yang jelas, kedua perempuan itu sama-sama mendertia. Yang satu diusir dan menjadi ibu dari sebuah bangsa besar yang dikeluarkan dari bangsa perjanjian, sedangkan yang lainnya tetap tinggal di dalam struktur patriarkal dan hampir kehilangan anak satu-satunya (karena dikurbankan Abraham). Sara tidak muncul dalam kisah “Ishak yang hampir dikorbankan” (Kej 22). Kisah pengurbanan tersebut adalah kisah Abraham, bukan kisah Sara. Seluruh rencana Allah bergantung pada iman Abraham, bukan iman Sara.

Kisah kematian Sara pun disebutkan serba singkat (Kej 23:2). Dalam Kej 24:67 dikisahkan Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara dan mengambil Ribka sebagai istrinya. Ishak mencintainya dan dengan demikian ia dihiburkan setelah ibunya meninggal. Sekalipun singkat, ayat ini mengungkapkan betapa erat hubungan antara ibu dan anak.

Sama seperti Sara, Ribka pada awalnya mandul. Namun setelah Ishak memanjatkan doa untuk istrinya itu ia mengandung anak kembar (Kej 25:21&24), yaitu Yakub dan Esau. Pergulatan antara Yakub dan Esau bahkan sudah dimulai sebelum mereka lahir, dan Ribka yang khawatir meminta petunjuk kepada Tuhan (tanpa bantuan Ishak). Ia menerima jawaban yang menjadi rahasianya : anak yang tua, Esau, akan menjadi hamba bagi anak yang muda, Yakub (Kej 25:23). Ribka sudah tahu dari mula sehingga ketika Ishak bermaksud memberkati Esau (Kej 27:1,5), ia segera menyusun rencana untuk bertindak. Ribka menyiapkan makanan yang disukai Ishak agar dihidangkan oleh Yakub dan ia mengenakan pakaian Esau ke tubuh Yakub dan membalutnya dengan kulit binatang bau dan tubuh Yakub mirip kakaknya sehingga dapat menipu Ishak yang buta. Dengan petunjuk dari Ribka, Yakub berhasil melakukan tipuan dan mengambil berkat Ishak dari Esau, beberapa saat sebelum Esau kembali. Yang jelas, keberhasilan Yakub adalah buah dari kecerdikan dan keteguhan ibunya, Ribka.

Karena diperlakukan tidak adil, Esau marah dan berencana membunuh Yakub. Kembali Ribka melakukan tindakan untuk menyelamatkan Yakub. Yakub harus melarikan diri kepada saudara ibunya, Laban, sampai kemarahan Esau reda dan ia dipanggil pulang ibunya. Ia bahkan berhasil mengatur (Kej 27:46;28:5) agar Ishak mengirim Yakub pergi dengan berkat untuk mengambil istri dari keluarga Ribka. Yakub memperoleh dua istri (Rahel dan Lea). Ia lebih mencintai yang satu dibanding yang lain (Kej 29:30). Ia yang dicintainya pada mulanya mandul (Rahel) sedangkan istri lainnya (Lea) diberi kesuburan, sebagai kompensasi ia tidak dicintai oleh suaminya. Dalam Kej 29 dan 30 dikisahkan pertandingan “kehamilan” antara dua orang istri tersebut. Melalui merekalah Israel dibangun. Dua belas anak Yakub mewakili dua belas suku Israel.

Lea melahirkan anak laki-laki pertama Yakub. Ia merasakan lebih dicintai Yakub (Kej 29:32). Kemudian ia melahirkan tiga anak laki-laki lagi secara berturut-turut. Rahel iri terhadap kesuburan kakak perempuannya dan mengadu pada Yakub (Kej 30:1). Sama seperti kemarahan Sara pada Abraham (Kej 16:5), ketidakpuasan istri terhadap kedudukannya memang ditanggapi. Tetapi masalahnya kaum perempuan hanya bisa mengadu kepada kaum laki-laki tanpa disadari oleh mereka. Lalu Lea dan Rahel memberikan pelayan perempuan mereka masing-masing (Bilha dan Zilpa) kepada Yakub untuk memperoleh anak. Bilha dan Zilpa masing-masing melahirkan dua anak laki-laki.

Usaha untuk memproduksi anak terus-menerus terasa konyol. Selain itu, pelayananan seksual Yakub diperjualbelikan di antara kedua istrinya. Saat Rahel yang mendapat giliran untuk dilayani oleh suaminya, Lea menukar pelayanan seks itu dari Rahel dengan sejumlah buah dudaim. Bayangkan Yakub yang pulang kerja seharian di ladang dan disambut istri yang tidak dicintainya namun menang dalam jual-beli (Kej 30:16). Akibatnya Lea melahirkan anak laki-laki lagi (yang kelima) dan kemudian melahirkan anak laki-laki keenam. Dengan memiliki banyak anak, Lea mengharapkan kehormatan dari suaminya (Kej 30:20).

Akan tetapi Allah akhirnya mendengar permohonan Rahel dengan membuka kandungannya (Kej 30:22). Pertandingan antara kakak-beradik tersebut berakhir. Ini terjadi setelah Rahel mengambil inisiatif untuk memecah kemandulannya dengan buah dudaim (= mungkin buah yang dianggap mengandung zat perangsang birahi yang berkhasiat). Setelah Rahel melahirkan, maka sudah ada 11 dari 12 suku Israel. Selanjutnya, Rahel melahirkan anak lagi sehingga genaplah 12 suku Israel. Rahel meninggal ketika melahirkan anak terakhir itu (Kej 35:16&20).

Dari kisah di atas, didapat suatu pola yang berulang kali muncul dalam kisah-kisah ibu, yaitu : karena ibu-ibu mereka, Israel menjadi bangsa yang besar dan diberkati. Sara memperjuangkan hak waris Ishak terhadap gangguan Ismail, Ribka memperjuangkan hal serupa sehingga Yakub memperoleh berkat dari ayahnya, Rahel dan Lea dalam pertandingan mereka untuk memberi Yakub anak laki-laki membentuk satu keluarga Israel. Jadi, tujuan utama para perempuan adalah demi anak laki-laki mereka. Israel diwujudkan dalam diri anak laki-lakinya, bukan di dalam diri para ibunya.

Ibu-ibu dalam Kitab Keluaran
Musa memiliki beberapa ibu (ibu kandung dan ibu angkatnya putri Firaun) yang berperan dalam peristiwa Keluaran. Selain itu ada tiga ibu dalam peran pembantu dalam Keluaran, yaitu : Sifra dan Pua (para bidan yang mengabaikan perintah Firaun untuk membunuh bayi laki-laki bangsa Yahudi) serta kakak perempuan Musa (yang bertindak pada saat yang tepat dan menentukan masa depan Musa untuk menjadi pemimpin pada kisah Keluaran). Pembebasan Israel dari perbudakan Mesir berawal dari tindakan berani dan ketidaktaatan para perempuan. Pembebasan dimulai pada saat perempuan menolak bekerja sama dengan sang penindas (Firaun). Mereka mengatur strategi untuk menggagalkan rencana Firaun dan dengan demikian menyelamatkan nyawa bayi-bayi.

Dalam Keluaran 2, ketidaktaatan dua bidan (putri Lewi/ibu Musa dalam Kej 1 dan putri Firaun) adalah secara diam-diam tidak mematuhi perintah Firaun untuk melemparkan semua bayi laki-laki ke Sungai Nil (Kel 1:22). Sebagai keturunan ayah yang menindas, putri Firaun justru melakukan kebaikan. Ia mengangkat bayi dari Sungai Nil. Sedangkan ibu Musa berperan menyembunyikannya. Setelah bayi itu makin besar, ia menyiapkan sebuah keranjang untuk anak laki-lakinya agar dapat terapung di Sungai Nil (Kej 2:2&3). Ibu Musa tidak sekedar menunggu terjadinya mukjizat tetapi ia menyiapkan keadaan yang memungkinkan terjadinya mukjizat tanpa bantuan suaminya (kaum laki-laki).

Putri Firaun yang sedang mandi di Sungai Nil menemukan keranjang itu. Ketika ia melihat bayi di dalamnya ia menangis karena iba. Putri Firaun mengenali bayi itu sebagai bayi Ibrani (Kel 2:6) dan dengan melanggar perintah ayahnya ia menyelamatkan bayi itu. Atas usul kakak perempuan Musa, Putri Firaun bukan hanya memutuskan untuk memelihara bayi itu tetapi menyewa perempuan Ibrani (ibu Musa) untuk menyusui bayi itu. Ibu Musa diupah untuk menyusui anaknya sendiri! Putri Firaun menegaskan bahwa bayi itu adalah anaknya sendiri dengan memberi perlindungan di dalam rumah sang penindas kepada calon pembebas rakyat. Pada akhir cerita, anak itu menjadi anaknya dan diberi nama “Musa” (= karena aku telah menariknya dari air).

Hal yang unik, meskipun putri Firaun memberi nama, ia sendiri tidak bernama. Demikian pula tokoh-tokoh lain dalam kisah ini (kecuali Musa, Sifra dan Pua). Ibu Musa kemudian diperkenalkan sebagai Yokhebed (Kel 6:20; Bil 26:59). Sekalipun Ibu Musa dan putri Firaun tidak berperan dalam peristiwa selanjutnya, kakak perempuan Musa (Miryam) yang memegang peranan utama dalam peristiwa Keluaran.

Kesamaan antara ibu-ibu Musa dengan para ibu dalam jaman Abraham&Ishak&Yakub adalah tindakannya yang menentukan masa depan Israel (masa depan anak laki-laki mereka). Perempuan memegang peranan penting dalam Kel 1:15&2:10, tetapi sasaran cerita adalah kelahiran anak laki-laki yang akan menjadi pemimpinbesar rakyatnya. Sekalipun nyawanya diselamatkan oleh seorang perempuan (Kel 4:24&26), Musa segera menjadi tokoh utama. Kontras yang terjadi : tanpa Musa tidak ada peristiwa Keluaran, tetapi tanpa perempuan-perempuan ini Musa tidak ada.

Penutup
Analisis di atas mengingatkan kita bahwa kaum perempuan sering memegang peranan penting namun sangat jarang diberi tempat sebagai tokoh utama. Hal tersebut menghadapkan kita pada dua sisi mata uang dalam menafsirkan Kitab Suci. Di satu sisi, kita harus menghargai sumbangan perempuan yang dikisahkan dalam Kitab Suci, tetapi di sisi lain, kita harus bersikap kritis terhadap budaya laki-laki dalam Kitab Suci. Apabila kita memiliki sikap tersebut, maka kita akan selalu memuji para perempuan dalam Kitab Suci yang peranannya kebanyakan stereotif (nomor dua).