Social Icons

MAKNA ASAP DAN KAPEL SISTINA

Sudah sejak lama manusia menggunakan simbol untuk berkomunikasi. Jauh sebelum Masehi, pada zaman Yunani kuno, manusia menggunakan nyala api obor untuk berkomunikasi jarak jauh. Asap sebagai simbol juga dikenal dalam Perjanjian Lama. Tentang kakak-beradik, Kain dan Habel. Kain menjadi petani dan Habel menjadi gembala kambing domba. Suatu waktu, keduanya mempersembahkan korban kepada Yahwe dan dari korban bakaran itu keluar asap. Asap dari korban Kain tegak lurus menghadap ke langit. Sedangkan asap korban persembahan Habel berputar-putar, mengepul di atas permukaan tanah, dan tidak sampai ke langit.

Tapi itulah simbol. Kitab Suci penuh dengan simbol. Apa arti asap dalam persembahan Kain-Habel? Asap yang tegak lurus menghadap ke langit, berarti diterima Yahwe. Bukankah Yahwe bersemayam di atas? Dan atas adalah simbol kuasa? Sementara asap korban Habel tidak sampai ke atas dan tidak berkenan pada Yahwe.


Simbol asap ini juga dipakai para serdadu yang berperang dan tersesat di hutan-hutan. Serdadu yang tersesat, dan minta pertolongan, akan membakar sesuatu untuk membuat asap. Asap yang mengepul ke udara akan menunjukkan lokasi mereka berada.

Kita pun akrab dengan pepatah, "Ada asap, ada api". Dan asap yang akan muncul dari Kapel Sistina penuh dengan simbol. Kemungkinan besar tidak hanya sekali keluar dari cerobongnya. Tergantung alot tidaknya konklaf berlangsung. Bisa berkali-kali, bahkan sampai puluhan kali, hingga ditemukannya Paus terpilih.

Asap yang keluar dari cerobong Kapel Sistina, agaknya meneruskan tradisi komunikasi jarak jauh. Masing-masing Kardinal yang mengikuti konklaf, diberikan satu lembar surat suara. Mereka akan mengisi nama Kardinal yang dapat dipilih untuk dicalonkan sebagai Paus baru, selain namanya sendiri. Konklaf berasal dari kata Latin cum = bersama dan clavis = kunci, selot grendel atau ruangan tenutup. Sedangkan semantiknya ialah sidang para Kardinal untuk memilih Paus baru.

Selama ini para Kardinal yang mengikuti konklaf dikurung dalam sebuah sel kecil berukuran 4 x 4 m. Dalam sel hanya tersedia sebuah tempat tidur sederhana, meja kecil, dan sebuah kursi. Tidak ada kamar mandi. Jika mandi, atau ada keperluan lain, harus berjalan kaki untuk mencapainya, melewati sel Kardinal lain.

Saat konklaf, para Kardinal sungguh terkucil dari dunia luar. Tidak ada yang bisa mempengaruhi pemberian suara. Suara yang diberikan semata-mata keluar dari pilihan nurani Kardinal, karena itu diyakini juga sebagai suara Tuhan.

Berdasarkan peraturan yang dibuat Paus Yohanes Paulus II, kini para Kardinal yang mengikuti konklaf tidak dikurung dalam sel lagi. Mereka diinapkan di Rumah Santa Marta, sebuah bangunan di dalam Vatikan. Namun, para Kardinal tetap diisolasi dari dunia luar. Mereka masuk dalam sebuah keheningan, agar hati dan jiwa terbuka untuk suara Tuhan.

Kepada masing-masing Kardinal diberikan satu surat suara tiap sekali putaran konklaf. Jika belum memenuhi persyaratan, pemilihan diulang. Setiap kali belum mencapai persyaratan, setiap kali pula surat suara itu dibakar dengan jerami yang diberikan cairan kimia. Jika Paus baru belum terpilih, maka asap yang keluar dari cerobong Kapel Sistina berwama hitam. Hadirin yang menunggu di luar, yang berjarak ratusan meter, akan jadi mafhum bahwa para Kardinal belum berhasil menemukan Paus baru.

Setelah suara para Kardinal bulat memilih satu nama (dan mencapai kuorum), berarti Paus baru sudah ditemukan. Lalu segera surat suara dibakar. Kali ini yang mengepul keluar adalah asap berwama putih. Ini tradisi lama.

Tradisi baru pada pemilihan Paus Benediktus XVI sedikit ada tambahan. Bersamaan dengan mengepulnya asap putih juga dibunyikan lonceng Basilika Santo Petrus. Juga lonceng-lonceng gereja di seluruh penjuru Kota Roma. Ini karena Paus juga sekaligus Uskup Roma. Kecuali itu, agar khalayak tidak keliru menangkap wama asap yang keluar dari cerobong Kapel Sistina.