Social Icons

SEKILAS TENTANG GAGASAN IMAMAT DALAM PERJANJIAN LAMA

Dalam Perjanjian Baru, kata ”kudus” muncul amat jarang, kecuali dalam frasa ”Roh Kudus”. Oleh karena itu ajakan menjadi kudus bukan gagasan populer dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi dalam Perjanjian Lama, ajakan menjadi kudus begitu sentral. Dari ajakan menjadi kudus inilah muncul fungsi imamat dalam masyarakat Israel. Bagaimana duduk perkaranya ? Marilah kita telusuri lebih lanjut.


Dalam tradisi Perjanjian Lama usaha mencapai kekudusan tersebut dapat dicapai dengan berbagai cara. Dalam Kitab Imamat, beberapa bagian Pentateukh dan beberapa bagian Kitab Yehezkiel dikatakan bahwa kekudusan dapat dicapai dengan ketahiran ritual, persembahan kurban dan mengikuti upacara ritual yang ditentukan. Menurut tradisi kenabian kekudusan dapat dicapai dengan menegakkan keadilan sosial dalam masyarakat. Sedangkan menurut tradisi para bijak lestari yang terutama terdapat dalam Kitab Amsal, Kitab Ayub dan Kitab Mazmur, kekudusan dapat dicapai melalui moral pribadi.

Untuk memaknai lebih lanjut tentang kekudusan dalam Perjanjian Lama, mungkin ada baiknya kita pahami dulu arti kata ”kudus”. Kata ”kudus” berasal dari kata Ibrani ”qds”, yang berarti ”memisahkan”. Dalam Perjanjian Lama, kekudusan merupakan sifat Allah yang dari diri-Nya sendiri adalah kudus. Ada suatu kontras yang tidak dapat dikompromikan : Allah yang kudus jauh mengatasi manusia yang tidak kudus. Dengan kenyataan seperti ini, kehadiran Allah di tengah-tengah manusia membawa konsekuensi tertentu. Di satu pihak, kehadiran Allah mendatangkan keselamatan, tetapi di lain pihak kehadiran-Nya menimbulkan kematian ketika secara tidak layak bertemu dengan manusia yang tidak kudus. Sebagai contoh, Kisah Uza dalam 2Sam 6:1-8 mungkin bisa menggambarkan kenyataan tersebut.  Suatu ketika Daud berniat mengangkut Tabut Perjanjian ke Yerusalem. Untuk itu Tabut dibawa dengan kereta dari rumah Abinadab dan dikawal oleh 2 orang anak Abinadab, yaitu Uza dan Ahyo. Ketika sampai di suatu tempat lembu yang menarik kereta itu tergelincir dan untuk menyelamatkan Tabut agar tidak terjatuh Uza mengulurkan tangannya dan memegang Tabut itu agar tidak jatuh. Malang sekali, Tuhan murka terhadap Uza. Uza tewas karena memegang Tabut Perjanjian padahal ia bermaksud supaya Tabut Perjanjian itu tidak jatuh. Kisah Uza ini mau menunjukkan bahwa orang yang tidak berwenang akan mengalami resiko kematian ketika menyentuh sesuatu yang dianggap kudus.

Kalau begitu, manusia tidak bisa seenaknya berhubungan dengan Allah. Manusia butuh pengantara sehingga ia dapat berhubungan dengan Allah secara layak dan pantas. Di sinilah sosok imam diperlukan sebagai pengantara. Imam sebagai pengantara menjadi sarana yang mengantarkan kekudusan (keselamatan), bukan kematian, kepada seluruh umat. Dengan kata lain, jabatan imamat ini lahir dan berkaitan dengan kekudusan Allah. Tanpa hal itu, imamat kehilangan fungsinya. Seperti imam Harun yang mengalirkan kekuatan Allah yang menyembuhkan seluruh umat Israel (Im 9:22-24), imam pun harus menjadi pembawa berkat bagi mereka yang diberkatinya. Imam harus bisa mengejahwantahkan kekudusan (keselamatan) dalam dunia profan.

Sangatlah jelas bahwa imam berhubungan terus menerus dengan kekudusan Allah. Maka dari itu ia adalah milik eksklusif Allah, dikhususkan bagi Allah (bdk Kel 28:1). Sebagai konsekuensinya maka imam harus senantiasa menjaga kekudusan hidupnya. Imamat 21 mengatur secara rinci apa yang harus dilakukan seorang imam untuk menjaga kekudusannya itu.  Dalam ibadat pun imam harus menjaga aturan ketika masuk ke tempat mahakudus (Im 16). Rumusan ”supaya jangan ia mati” yang muncul berulang kali mengingatkan pentingnya kekudusan imam sebagai pelaksana ibadat yang setiap saat berhubungan dengan Allah. Sampai-sampai pelanggaran kekudusan tersebut diancam resiko kematian.

Yang menjadi pertanyaan : Apakah Gereja dapat menimba pengalaman rohani mengenai imamat dalam Perjanjian Lama ? Apakah peranan jabatan imamat masih relevan dalam kehidupan zaman modern, zaman di mana manusia semakin sekuler ? Justru imam harus tetap ada dalam dunia yang semakin sekuler. Dunia sekuler memiliki kecenderungan untuk menyingkirkan Allah dan lebih mengagungkan prestise dan prestasi manusia. Dan kita pun mendapati bahwa Allah seolah-olah ”membisu” akan terjadi berbagai ketimpangan. Di sinilah peran imam, yaitu memaklumkan keberadaan Allah yang kudus sebagai kenyataan sepanjang sejarah hidup manusia. Imam menjadi saksi dan bergantung akan keberadaan Allah itu. Jabatan imamat menunjukkan keberadaannya sejauh jabatan itu bergantung dan mewartakan Allah yang kudus dan membawa umat kepada-Nya. Jabatan imamat sungguh membawa kekudusan sehingga Gereja semakin menapaki peziarahannya menuju Allah sumber segala kekudusan.

Dan kita harus bersyukur masih ada orang-orang yang terpanggil untuk jabatan penting ini dalam Gereja. Kita pun harus bersyukur masih ada orang-orang yang tetap setia pada panggilan imamat mereka hingga akhir hayatnya.