Masa Natal dimulai dari Ibadat
Sore I Hari Raya Natal (Ibadat Harian/Brevir yang didoakan oleh
imam/biarawan-biarawati, sebelum Misa Malam Natal yang pertama) yang diikuti dengan Misa Malam Natal pada
tanggal 24 Desember. Lalu dilanjutkan dengan Hari Raya Natal yang dirayakan tanggal 25
Desember. Masa Natal terus berlanjut dengan Oktaf Natal yang terdiri
dari beberapa Pesta, yaitu Pesta Santo Stefanus, martir pertama (26 Desember), Pesta
Santo Yohanes, Rasul Pengarang Injil (27 Desember), Pesta
Para Kanak-kanak Suci, martir - Para Kanak-kanak yang dibunuh oleh Herodes (28
Desember), dan Pesta Keluarga Kudus (pada hari Minggu di antara 25 Desember dan 1 Januari, dan jika
tidak ada hari Minggu di antaranya maka dirayakan pada 30 Desember). Oktaf Natal ditutup
dengan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah (1 Januari yang juga adalah
Hari Perdamaian Sedunia). Setelah itu dimulailah Hari Biasa dalam Masa Natal.
Masa Natal terus berlanjut. Tanggal 6 Januari dirayakan Hari Raya Penampakan Tuhan/Epifani. Otoritas Gereja dapat menggesernya pada hari Minggu sebelumnya (2-5 Januari) atau hari Minggu sesudahnya (7-8 Januari). Di Indonesia, otoritas Gereja selalu menggeser Hari Raya Penampakan Tuhan ke tanggal-tanggal tersebut jika Hari Raya Penampakan Tuhan tidak bertepatan dengan hari Minggu. Dalam budaya barat, berkembang apa yang disebut Dua belas Hari Natal. Dua Belas Hari Natal ini tidak lain adalah hitungan hari sejak Hari Raya Natal hingga Hari Raya Epifani (6 Januari). Maka, berkembang istilah "Natal hari kedua", "Natal hari ketiga", dan seterusnya. Penghitungan tradisional ini juga mengilhami lagu bernuansa Natal "Twelve Days of Christmas" (On the first day of Christmas, my true love gave to me....dst). Di Indonesia, sehubungan dengan kebijakan otoritas gereja tersebut, maka umat Indonesia seringkali memiliki lebih atau kurang dari "Dua belas Hari Natal".
Hari-hari setelah Hari Raya Penampakan Tuhan/Epifani dinamakan "Hari Biasa Setelah Hari Raya Penampakan Tuhan". Masa Natal berakhir pada Pesta Pembaptisan Tuhan, yaitu pada hari Minggu setelah Hari Raya Penampakan Tuhan. Tetapi, jika Hari Raya Penampakan Tuhan jatuh pada tanggal 7 atau 8 Januari, maka Pesta Pembaptisan Tuhan yang dirayakan hari Minggu itu dimajukan ke hari Senin tepat setelah Hari Raya Penampakan Tuhan. Ini membuat seolah-olah penutupan Masa Natal terjadi di Hari Raya Penampakan Tuhan yang jatuh hari Minggu, karena tidak semua umat menghadiri Misa harian.
Gereja Katolik mengadakan Misa Kudus setiap hari. Maka untuk keperluan ini, sudah sejak lama Gereja Katolik memiliki sistem bacaan kutipan Kitab Suci yang disebut dengan Lectionarium. Selain itu Gereja Katolik juga menyucikan waktu-waktu dalam satu hari dengan IBADAT HARIAN (7 kali dalam sehari). Dari Hari Raya Natal hingga Hari Raya Epifani, bacaan-bacaan Misa dan Ibadat Harian berfokus pada "Penjelmaan Sabda menjadi Manusia", namun setelah Hari Raya Penampakan Tuhan, bacaan-bacaan Misa dan Ibadat Harian berfokus pada Kristus sebagai "Terang bagi Bangsa-bangsa". Inilah sebabnya, dekorasi gua/kandang Natal disingkirkan setelah Hari Raya Penampakan Tuhan (karena gua/kandang Natal berbicara tentang Penjelmaan Sabda menjadi manusia), namun umat Katolik masih bisa saling bertukar ucapan "Selamat Natal" sampai Pesta Pembaptisan Tuhan.
Gereja Katolik memiliki sistem penanggalan liturgi yang "seimbang". Empat puluh hari Masa Prapaskah (tidak termasuk Hari Minggu) seakan "terbayar lunas" dengan sukacita Paskah yang dirayakan selama tujuh pekan penuh. Demikian pula, setelah cukup lama mempersiapkan Hari Raya Natal melalui Masa Adven yang terdiri dari empat hari Minggu, maka wajar kiranya jika sukacita Natal dalam Gereja Katolik dirayakan lebih dari satu hari (kurang lebih dalam kurun waktu yang terdiri dari tiga Hari Minggu). Pengaturan penanggalan liturgi ini, membuat kita teringat akan kata-kata Pemazmur, bahwa Tuhan memberikan kita hari-hari sukacita yang seimbang dengan hari-hari kesusahan kita! (bdk Mzm 90:15).
Masa Natal terus berlanjut. Tanggal 6 Januari dirayakan Hari Raya Penampakan Tuhan/Epifani. Otoritas Gereja dapat menggesernya pada hari Minggu sebelumnya (2-5 Januari) atau hari Minggu sesudahnya (7-8 Januari). Di Indonesia, otoritas Gereja selalu menggeser Hari Raya Penampakan Tuhan ke tanggal-tanggal tersebut jika Hari Raya Penampakan Tuhan tidak bertepatan dengan hari Minggu. Dalam budaya barat, berkembang apa yang disebut Dua belas Hari Natal. Dua Belas Hari Natal ini tidak lain adalah hitungan hari sejak Hari Raya Natal hingga Hari Raya Epifani (6 Januari). Maka, berkembang istilah "Natal hari kedua", "Natal hari ketiga", dan seterusnya. Penghitungan tradisional ini juga mengilhami lagu bernuansa Natal "Twelve Days of Christmas" (On the first day of Christmas, my true love gave to me....dst). Di Indonesia, sehubungan dengan kebijakan otoritas gereja tersebut, maka umat Indonesia seringkali memiliki lebih atau kurang dari "Dua belas Hari Natal".
Hari-hari setelah Hari Raya Penampakan Tuhan/Epifani dinamakan "Hari Biasa Setelah Hari Raya Penampakan Tuhan". Masa Natal berakhir pada Pesta Pembaptisan Tuhan, yaitu pada hari Minggu setelah Hari Raya Penampakan Tuhan. Tetapi, jika Hari Raya Penampakan Tuhan jatuh pada tanggal 7 atau 8 Januari, maka Pesta Pembaptisan Tuhan yang dirayakan hari Minggu itu dimajukan ke hari Senin tepat setelah Hari Raya Penampakan Tuhan. Ini membuat seolah-olah penutupan Masa Natal terjadi di Hari Raya Penampakan Tuhan yang jatuh hari Minggu, karena tidak semua umat menghadiri Misa harian.
Gereja Katolik mengadakan Misa Kudus setiap hari. Maka untuk keperluan ini, sudah sejak lama Gereja Katolik memiliki sistem bacaan kutipan Kitab Suci yang disebut dengan Lectionarium. Selain itu Gereja Katolik juga menyucikan waktu-waktu dalam satu hari dengan IBADAT HARIAN (7 kali dalam sehari). Dari Hari Raya Natal hingga Hari Raya Epifani, bacaan-bacaan Misa dan Ibadat Harian berfokus pada "Penjelmaan Sabda menjadi Manusia", namun setelah Hari Raya Penampakan Tuhan, bacaan-bacaan Misa dan Ibadat Harian berfokus pada Kristus sebagai "Terang bagi Bangsa-bangsa". Inilah sebabnya, dekorasi gua/kandang Natal disingkirkan setelah Hari Raya Penampakan Tuhan (karena gua/kandang Natal berbicara tentang Penjelmaan Sabda menjadi manusia), namun umat Katolik masih bisa saling bertukar ucapan "Selamat Natal" sampai Pesta Pembaptisan Tuhan.
Gereja Katolik memiliki sistem penanggalan liturgi yang "seimbang". Empat puluh hari Masa Prapaskah (tidak termasuk Hari Minggu) seakan "terbayar lunas" dengan sukacita Paskah yang dirayakan selama tujuh pekan penuh. Demikian pula, setelah cukup lama mempersiapkan Hari Raya Natal melalui Masa Adven yang terdiri dari empat hari Minggu, maka wajar kiranya jika sukacita Natal dalam Gereja Katolik dirayakan lebih dari satu hari (kurang lebih dalam kurun waktu yang terdiri dari tiga Hari Minggu). Pengaturan penanggalan liturgi ini, membuat kita teringat akan kata-kata Pemazmur, bahwa Tuhan memberikan kita hari-hari sukacita yang seimbang dengan hari-hari kesusahan kita! (bdk Mzm 90:15).
Dengan memahami uraian di atas, menjadi jelaslah sejak kapan dan berapa lama umat Katolik merayakan Natal. Umat Katolik boleh merayakan Natal selama Masa Natal. Sebelum waktu itu, umat Katolik masih berada dalam masa persiapan selama
empat pekan dengan menjalani Masa Adven. Berkaitan dengan itu
hendaknya kita perlu sadar bahwa ada perbedaan cara pandang dengan
gereja-gereja bukan Katolik. Tidak ada hukum yang tegas memang, yang
memperbolehkan atau melarang untuk menghadiri perayaan-perayaan Natal
sebelum Masa Natal, namun diharapkan kita sadar
supaya perayaan-perayaan tersebut tidak sampai mengganggu konsentrasi
kita akan klimaks perayaan agung Malam Natal yang dipersiapkan dengan
susah payah sepanjang Masa Adven.
Banyak orang Katolik
mengatakan tidak sabar menunggu sampai Malam Natal dan Hari Raya Natal. Nah, justru semangat yang 'berkobar-kobar' dan 'tak sabar menunggu saatnya'
itulah yang mau dinampakkan dalam Masa Adven. Pada
Minggu Adven III kita merayakan Minggu Gaudete (= sukacita) dengan
warna liturgi pink/merah muda. Artinya hati kita bersukacita dan
berkobar-kobar mengingat saat keselamatan itu sudah dekat, tapi kita
masih harus menahan diri sampai hari kedatangan-Nya!. Minggu Adven III sampai Minggu Adven IV ini
adalah minggu untuk 'melatih' kesabaran kita; belajar memahami bahwa
bahkan karya keselamatan Tuhan membutuhkan waktu yang cukup; bukan asal
manasuka mengikuti kemauan segelintir orang. Bukankah normalnya
selama menunggu saat-saat kelahiran orang tidak bersukacita pesta pora
makan minum sementara sang ibu belum melahirkan bayinya?? Itu saat-saat
yang khusus dengan sedikit cemas tapi penuh harap berdoa bagi
keselamatan bayi dan ibunya supaya kelahirannya lancar dan selamat. Baru
sesudah kelahiran kita boleh bersukacita sepanjang minggu sampai
Pembaptisan Tuhan. Begitulah sebaiknya jika kita mau mengikuti tradisi Katolik yang benar.