Social Icons

DOGMA "MARIA BUNDA ALLAH"

Apakah Allah punya ibu ? Dalam arti apakah Maria itu disebut Bunda Allah? Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap menjadi suatu tanda tanya besar bagi umat Katolik yang mau meningkatkan devosi mereka kepada Bunda Maria. Apalagi kadang kala devosi umat Katolik melewati batas wajar, seolah-olah Maria menyingkirkan Yesus, bahkan Allah sendiri. Padahal Maria, seperti digambarkan Perjanjian Baru, mengaku dirinya adalah hamba Allah yang hina dina (Luk 1:38,48).

Nampaknya kita sendiri “dibingungkan” oleh sebutan Bunda Allah. Semua orang di luar kalangan Kristen kiranya harus mengerutkan keningnya dan yang mengakui Allah yang Mahaesa merasakan sebutan itu sebagai hujat, syirk (menurut orang Islam). Alasan mereka, jika Allah yang Mahaesa punya ibu maka Allah itu dewa, sebab seorang ibu peranannya lebih besar daripada anaknya meskipun anaknya dinamakan Allah!!! Hal inilah yang menjadi pertikaian sengit di kalangan umat Kristen pada abad V. Pada saat itu Batrik/Uskup Konstantinopolis (ibukota negara Roma Timur) yang bernama Nestorius secara terang-terangan menolak gelar Bunda Allah itu. Meskipun gelar Bunda Allah sudah biasa dipakai umat Kristen, Nestorius menilai gelar itu sebagai kemerosotan belaka (= jatuhnya umat Kristen kembali ke dalam kekafiran). Kekafiran di masa itu memang memuja cukup banyak “bunda ilahi” yang bermacam-macam. Khususnya di kota Efesus, rakyat jelata memuja bunda segala dewa-dewi (bdk. Kis 19:23+). Nestorius, mengusulkan supaya Maria cukup disebut Bunda Kristus (Kristotokos) sehingga tampaknya lebih dari ibu Yesus saja, namun kurang dari Bunda Allah. Jadi yang sebenarnya dipertikaikan pada abad IV dan V itu bukanlah apakah Maria itu Bunda Allah, melainkan apakah manusia Yesus Kristus boleh atau bahkan harus disebut Allah, seperti yang tercantum dalam Perjanjian Baru (Yoh 20:28; Rm 9:5; 1 Yoh 5:20; Ibr 1:8) dan sudah lazim pada umat.

Maka untuk mengakhiri kebingungan yang ada, pada tahun 431 Konsili Efesus merumuskan ajaran Gereja bahwa Yesus Kristus adalah Allah Putra yang sehakikat dengan Bapa dan menjadi manusia sehingga Dia sekaligus sungguh Allah dan sungguh manusia, tetapi mempunyai hanya satu pribadi (subyek) Ilahi. Ajaran Konsili Efesus tersebut adalah untuk menentang bidaah Nestorianisme. Bidaah Nestorianisme berpendapat bahwa dalam diri Yesus ada dua pribadi (subyek) yaitu manusia Yesus dan Kristus yang adalah Allah Putra. Dan gelar Maria Bunda Allah (Yunani : Theotokos; Latin : Mater Dei atau Dei genetrix) yang juga didogmakan secara resmi oleh Konsili Efesus merupakan akibat sampingan dari usaha Konsili untuk merumuskan siapa Yesus Kristus untuk melawan bidaah Nestorianisme. Gelar Maria Bunda Allah menyatakan bahwa Maria adalah ibu yang melahirkan (satu pribadi) Yesus yang sekaligus mempunyai dua kodrat (kodrat manusia dan kodrat Allah). Dan karena pribadi yang dilahirkan itu adalah pribadi Ilahi maka Maria bisa dan harus disebut Bunda Allah.

Konsili Efesus juga menjelaskan bahwa Maria disebut Bunda Allah bukanlah karena kodrat Ilahi itu berasal-usul dari Perawan Suci, tetapi karena kodrat insani Yesus berasal dari Maria dan disatukan dalam satu subyek dalam kandungan Maria. Dari Maria lahirlah Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Karena itu, dikatakan bahwa Firman itu lahir menurut daging (DS 251). Karena itu, dalam tradisi Gereja, Maria juga diberi gelar "Takhta Kebijaksanaan" (KGK 721). Juga Konsili Vatikan II menyatakan kebenaran iman dogma Maria Bunda Allah : “Bunda Putra Allah, maka putri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53), dan “sebagai Bunda Allah yang tersuci, pantas dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa” (LG 66).

Jelaslah pemakaian sebutan Bunda Allah itu “gila” bunyinya bagi orang luar. Dan bagi kita yang tidak paham sebutan tersebut mudah disalahartikan. Justru di sinilah masalahnya : karena sebutan Bunda Allah sering dipakai, jarang dijelaskan duduk perkaranya. Tidak mengherankan bila anda menemui teman Kristen anda dan menanyakan mereka tentang Bunda Allah, lalu anda bingung dan berkata, “Ya itu memang salah satu misteri (= sesuatu hal yang melampaui pemahaman kita) iman kita yang tidak mungkin dijelaskan”. Memang tetap ada misteri. Tetapi misteri tersebut harus dapat kita pahami. Kalau misteri tersebut melampaui pemahaman manusia berarti misteri itu tidak masuk akal manusia. Buat apa diimani. Jadi misteri jangan dipakai untuk menutupi ketidaktahuan kita.

Setiap tanggal 1 Januari (Hari Kedelapan dalam Oktaf Natal) Gereja merayakan Hari Raya Maria Bunda Allah. 1 Januari adalah awal tahun Masehi. Hal ini bisa kita maknai bahwa kita hendak mempersembahkan seluruh tahun yang baru ini kepada perlindungan Bunda Maria yang telah memberikan kita Yesus, Sang Pencinta Kehidupan. Dengan bantuan Bunda Maria kita juga berharap dapat menyingkapkan dan memeluk Yesus di tengah-tengah kehidupan kita selama tahun yang baru. Dan sejak tahun 1967, 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Dunia. Maka, kita juga diminta untuk mengawali tahun baru ini dengan memohon kepada Tuhan anugerah perdamaian melalui doa-doa Maria Bunda Allah. Menurut kebiasaan pada hari ini Bapa Suci menyampaikan pesannya untuk perdamaian dunia. Jadi, merayakan Hari Raya Maria Bunda Allah searti dengan ikutserta meluaskan dan mewujudkan Kerajaan Damai Yesus, Putra Maria.

Akhirnya, di balik gelar-gelar Maria (termasuk gelar Bunda Allah) tersembunyi keyakinan Gereja. Keyakinan yang menyatakan bahwa Maria sendiri membantu Gereja dalam hal mengarahkan diri kepada Yesus, Putranya. Maria dapat mengarahkan Gereja pada kurban Kristus dan cinta akan Allah Bapa. Memang di dalam Maria orang Kristen dapat melihat perjalanan iman sepanjang penderitaan menuju kemuliaan kebangkitan. Apa yang dialami Gereja selama ziarahnya ini sudah diringkaskan dalam peristiwa Maria. Maka apabila Gereja mewartakan dogma Maria, keselamatan umum turut diwartakan. Dogma Maria berkaitan langsung dengan keberadaan dan esensi Gereja.