Di antara tokoh-tokoh Perjanjian Lama,
Musa mempunyai tempat yang istimewa karena perannya sebagai pemimpin yang
meletakkan dasar dan memberi arah bagi Israel sejak lahirnya dalam peristiwa
Keluaran dari Mesir. Tidak mengherankan bila kenangan tokoh yang satu ini
diabadikan dalam berbagai tradisi yang bertumbuh dan berkembang di sepanjang
perjalanan umat Israel. Menggunakan gambaran agraris yang pernah diketengahkan
oleh Pater C. Groenen, OFM, "Dialah yang menabur bijinya. Dari situ
berkembanglah pohon besar. Semua dijiwai semangat dan agama yang pernah ditanam
Musa, yang diletakkan Musa dalam hati dan jantung bangsa Israel"
(1992:83).
Pemimpin sekaliber Musa dalam tradisi yang
diteruskan dari zaman ke zaman tentu saja merupakan konstruksi yang dibangun berdasarkan
sejarah, tetapi juga melampaui sejarah. Di sini kita langsung berhadapan dengan
kesulitan untuk memilah secara tajam mana yang merupakan lapisan sejarah
terawal tentang tokoh agung ini dan mana yang merupakan tradisi yang diwariskan
melalui kenangan turun-temurun. Berbagai rekonstruksi hasil pisau analisis yang
serbakritis memberi gambaran yang amat kompleks dan penuh perdebatan.[1]
Namun, setidaknya, kita dapat menegaskan, memang ada seorang tokoh Musa yang
hidup dalam sejarah dan membidani kelahiran bangsanya. Jalinan kisah hidupnya
dan perjalanan bangsanya tidak dapat diuraikan lagi dengan pasti, tetapi
kenangan yang diwariskan itu menampilkan tokoh ideal yang tetap memberi inspirasi
mengenai kepemimpinan, tidak hanya dalam ranah religius, tetapi juga
sosio-politik.
Dalam tinjauan ini, ketika menyoroti kepemimpinan Musa,
kita mengandalkan gambaran yang
ditampilkan dalam teks-teks Torah yang merupakan hasil dari penurunalihan yang
panjang. Fokus perhatian kita arahkan pada beberapa ciri kepemimpinannya
berikut dengan peluang dan tantangan yang dihadapinya hingga pada pengalihan
tongkat kepemimpinannya kepada Yosua.
Di balik tampilnya sang
pembebas
Catatan awal kita tentang Musa dapat dimulai
dari akar genealogisnya. Tidak ada yang menonjol tentang keluarganya. Permulaan
kisahnya dituturkan secara bersahaja dengan memperkenalkan ayahnya sebagai
"seseorang laki-laki dari keluarga Lewi" (‘ish mibbet lewi) yang mengawini seorang perempuan Lewi (Kel 2:1).
Pembaca yang mengikuti narasi pada bagian sebelumnya sudah mendapat kesan mengenai
penindasan yang tengah dialami umat Israel. Bagian ini diakhiri dengan perintah
Firaun yang menghendaki agar semua bayi lelaki dilemparkan ke Sungai Nil
(1:22).
Seperti yang kerap terjadi dalam
kisah-kisah yang menuturkan lahirnya seorang tokoh, Musa adalah bagian yang tak
terpisahkan dari penderitaan saudara-saudaranya. Begitu lahir, nyawanya sudah
terancam. Hanya Tangan Tak Kelihatan itu mengarahkan sejarah hidupnya dan sejarah
bangsanya ke arah yang lain. Oleh sebab itu, ketika berbicara tentang Musa dan
tampilnya sebagai pemimpin, kita tidak mungkin berbicara hanya tentang seorang
sosok historis tanpa pemaknaan teologis. Musa sejak awal adalah pemimpin yang
dipersiapkan Tuhan untuk menentukan arah sejarah "bangsa" yang ketika
itu bahkan belum lahir sebagai satu bangsa.
Sebagaimana nyata dalam narasi-narasi kitab
Keluaran, di dalam diri Musa terpantuI kenangan akan pengalaman pahit getir
sekelompok budak kerja paksa yang kelak menjadi bagian dari Israel (bdk.
Groenen 1992:83). Musa diadopsi oleh putri Firaun dan dididik di istana Mesir, namun
rupanya proses "Mesirisasi" ini tidak dapat menumpulkan kepekaannya
terhadap kesengsaraan saudara-saudara seleluhurnya. Hal ini terbukti saat ia
membunuh orang Mesir yang menganiaya seorang Ibrani dan terpaksa lari ke Midian
untuk menghindari pembalasan oleh pihak Mesir (Kel 2:11-15).
Seperti Yakub yang harus hidup di tanah asing,
jauh dari tanah yang dijanjikan Allah kepada Abraham, nenek moyang mereka (Kej 12:7;
bdk. 46:3-4), Musa pun harus merangkul keterasingan sebagai bagian dari
gemblengan yang menempa dirinya untuk membawa kaum seleluhurnya kembali ke
tanah perjanjian. Pengalaman keterasingan menggema dalam nama putranya,
"Gersom" yang maknanya mencerminkan paduan kata gur ('hidup sebagai pendatang') dan syam ('di sana'). "Aku telah menjadi seorang pendatang di
negeri asing" (Kel 2:22). Mesir yang terasa tak asing lagi oleh pengalaman
itu menjadi negeri yang asing bagi Musa. Tidak berlebihan bila dikatakan, siapa
saja yang tinggal menikmati status quo
sulit diharapkan dan diandalkan sebagai pemimpin yang akan membawa perubahan
dan pembebasan bagi bangsanya.
Akan tetapi, melampaui segala persiapan pribadi
itu, pengalaman terpenting yang memberi bobot pada karisma Musa adalah
perjumpaannya dengan Tuhan yang menampakkan diri di semak duri yang menyala
(Kel 3:1-4:17). Allah para leluhurlah yang menyapa Musa dan mengatakan,
"Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku" (3:6). Panggilan
terhadap Musa dimulai dari pengalaman nyata yang menggerakkan Allah "turun
untuk melepaskan" umat-Nya (3:8). Allah yang mendengar seruan umat-Nya
mengambil prakarsa untuk mengutus Musa sebagai pemimpin dalam rencana
pembebasan bagi umat-Nya yang tertindas (3:10).
Interaksi dalam drama perjumpaan itu menunjukkan
betapa karisma Musa bukan pertama-tama terletak pada kualitas dan kapasitas
dirinya,[2]
melainkan terutama pada prakarsa dan pemberdayaan oleh Allah. Nyatanya, empat
kali Musa mengungkapkan keengganan untuk menerima pengutusan ilahi. Pertama, ia
merasa tidak pantas untuk menerima tugas sebesar itu (3:11). Kedua, ia
ragu-ragu apakah saudara-saudara seleluhurnya akan mengakui kepemimpinannya, dan
karena itu, ia menanyakan nama ilahi yang hendak mengutusnya (3:13).
Ketiga, ia memperkirakan, mereka tidak akan mempercayainya dan malah meragukan
penampakan diri TUHAN kepadanya (4:1). Keempat, ia berdalih dengan menyebut kekurangannya
dalam hal berbicara (4:10). Tuhan menjawab semua dalih ini dengan menegaskan
pemilihan-Nya. Ia menyatakan nama-Nya sebagai EHYEH ASYER EHYEH 'Aku Ada yang
Aku Ada', Yang Mahahadir dalam perjalanan sejarah umat-Nya (3:14).[3] Ia
mengukuhkan pula penyertaan-Nya dengan menyatakan tanda-tanda mukjizat kepada
Musa.
Kendati demikian, Musa tetap ingin
mengelak dan mengusulkan agar Tuhan mengutus orang lain yang pantas diutus-Nya
(4:13). Namun, pilihan-Nya tetap jatuh pada Musa, lalu Harun dipersiapkan untuk
menjadi juru bicaranya (4:14). Dapat dikatakan, tanpa penyingkapan diri Allah
dan pengutusan yang setengah memaksa ini, tak terbayangkan bagaimana Musa dapat
tampil sebagai pemimpin karismatis yang merintis kelahiran Israel.
Perantara yang tak
kebal ujian
Musa adalah pemimpin yang tiada tara dalam
kenangan dan pemaknaan baru oleh umat Israel turun-temurun. Dalam
kepemimpinannya tercakup berbagai peran yang tak pernah dipegang secara
serentak oleh siapa pun dalam sejarah Israel. Pertama-tama, sejak pengutusannya
dalam penampakan di belukar menyala, peran terpenting yang dilakukan oleh Musa
ialah menjadi perantara antara Allah para bapa leluhurnya dan umat yang akan dibebaskan-Nya.
Musa awalnya merasa "takut memandang Allah" (Kel 3:6), tetapi segera percakapan
itu berubah menjadi dialog ("Musa berkata...", 3:11,13; 4:13). Di
antara para bapa leluhur Israel, hanya Abraham yang berbicara dengan Allah
sedemikian dialogisnya (bnd. Kej 15;17;18:16-33).
Dalam
peran sebagai perantara
ini, Musa menjalankan peran kenabian sebagai "penyambung
lidah" Allah (4:12; 6:27-7:2). Berulang kali, dalam perjumpaan dengan Firaun,
Musa dan Harun juru bicaranya kerap menggunakan rumusan pesan kenabian :
"Beginilah firman Tuhan" (Kel 4:22; 5:1; 8:1; 9:1). Dalam pewartaan
Nabi Hosea di kemudian hari, bahkan secara eskplisit disebutkan bahwa Israel dituntun
oleh Tuhan keluar dari Mesir dengan perantaraan seorang nabi (Hos 12:14).
Namun, Musa adalah nabi yang tak terbandingkan dengan nabi-nabi sesudahnya (Ul
34:10-12). Ketika kewibawaannya sebagai pemimpin umat diuji oleh pemberontakan
Miryam dan Harun, kedua orang terdekatnya, TUHAN menegaskan keutamaan Musa
melampaui para nabi. TUHAN berbicara kepadanya "berhadap-hadapan"
(bdk. Kel 33:11), bukan hanya melalui penglihatan dan mimpi (Bil 2:6-8).
Akan tetapi, yang paling melekat dalam ingatan
Israel sepanjang masa dan peran utama Musa sebagai pemimpin yang meletakkan dasar
sendi-sendi kehidupan beragama dan bermasyarakat Israel. Umat yang tertindas dibebaskan
oleh Tuhan dengan perantaraan Musa untuk beribadah kepada-Nya (Kel 3:12).[4] Dalam
perjalanan menuju tanah yang dijanjikan Tuhan, Musa menjadi pengantara
perjanjian antara Allah dan umat-Nya, dan menyampaikan segala firman serta
ketetapan yang harus mereka pegang teguh sebagai umat pilihan-Nya (19:3-8).
Baik Dasa Firman (20:1-17) maupun berbagai ketentuan yang mengatur peribadahan dan
aspek kehidupan masyarakat,[5]
pada akhirnya dikaitkan dengan nama Musa (bdk. istilah torat Moseh, 'hukum
Musa', Yos 8:31-32; 1Raj 2:3).
Kepemimpinan Musa yang mengantarai Allah
dan umat-Nya memang menuntut tidak kurang dari dirinya sendiri dengan segala kekuatan
dan kelemahannya. Sebagaimana berlaku
bagi setiap pemimpin
bangsa, kepemimpinan yang terkesan tiada tara itu tak lepas dari ujian
demi ujian. Bagaimana seorang pemimpin sejati menghadapi dan menyikapi krisis
demi krisis dalam perjalanan bangsanya? Kedudukan Musa yang istimewa sebagai pengantara
mengharuskannya dari waktu ke waktu menyendiri ke gunung untuk menerima firman
Allah (Kel 31:18). Namun, ketika Musa tidak turun-turun juga, umat yang baru
saja dibebaskan oleh Allah mulai mencari alternatif lain dengan meminta Harun
membuat berhala berupa anak lembu emas yang akan memimpin mereka (32:1-6).
Pengkhianatan ini menyulut murka TUHAN, sehingga Ia berfirman, "Aku akan
membinasakan mereka, tetapi engkau akan kubuat menjadi bangsa yang besar"
(32:10).
Alih-alih memanfaatkan krisis ini
sebagai kesempatan untuk membesarkan dirinya, Musa mengingatkan Allah akan
janji-Nya kepada para leluhur Israel (32:13). Pada saat yang sangat genting
itu, Musa bahkan mempertaruhkan dirinya pada saat memohon pengampunan TUHAN
atas bangsanya: "Jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab
yang telah Kautulis" (32:32). Kebesaran Musa sebagai pemimpin justru semakin
nyata ketika ia lebih memikirkan masa depan bangsanya daripada dirinya sendiri.
Sikap yang serupa diperlihatkan Musa pada saat murka Allah menyala-nyala karena
sungut-sungut bangsa itu. Mendengar laporan negatif dari para pengintai tentang
bangsa-bangsa kuat yang mendiami tanah Kanaan (Bil 13:28-29), mereka ingin
kembali ke Mesir dan mengangkat seorang pemimpin yang lain (14:1-4). Dalam
krisis ini, Musa kembali memohon pengampunan dengan mengingatkan TUHAN akan
kasih setia-Nya (14:18-19).
Nyata sekali dari kisah demi kisah perjalanan
yang ditempuh Israel, betapa sulitnya memimpin bangsa yang keras kepala (kaseh 'oref, 'keras tengkuk', Kel 32:9).[6]
Pada satu kesempatan ketika umat berkeluh kesah meminta daging, Musa ikut
menyampaikan keluhan kepada Tuhan mengenai tanggung jawabnya atas seluruh
bangsanya sampai-sampai ia menantang Tuhan untuk membunuhnya bila semua
dibebankan kepadanya seorang diri (Bil 11:11-15). Tak terkecuali, Musa pun
harus berhadapan dengan orang-orang dekatnya sendiri. Miryam, saudaranya,
bersama Harun, juga pernah menggugat kepemimpinannya karena perkawinannya
dengan perempuan Kush. Mereka berdua mempertanyakan otoritas Musa sebagai
satu-satunya perantara yang meneruskan firman Tuhan (Bil 12:1-2). Namun, dalam
situasi krisis dan konflik seperti itu, kedudukannya berulang kali pula
dikukuhkan sebagai pemimpin yang direstui Tuhan.
Apa kekuatan yang menopang otoritas Musa
di tengah terpaan permasalahan? Yang pasti bukan kefasihan lidah. Menurut
pengamatan Rolf Rendtorff, doa syafaat Musalah yang menunjukkan dan mengukuhkan
betapa istimewa kedudukannya: "Tak seorang pun selain dirinya yang mampu
melindungi umat, dan terkadang juga pribadi-pribadi tertentu, dari murka dan
hukuman Allah melalui doa syafaatnya bagi mereka".[7]
Doa seperti itu justru muncul dari situasi konflik yang menampilkan penolakan
dan perlawanan terus-menerus terhadap kepemimpinannya. Di dalamnya terungkap penderitaan Musa
sebagai pemimpin bangsa. Sangat sah bila ia merasa marah dan terkhianati oleh
penolakan bangsanya. Namun, seperti yang terjadi di Mara dan di Elim (Kel 15:22-27),
di Masa dan di Meriba (17:1-7), saat umat bersungut-sungut meminta air, Musa "berseru-seru"[8]
kepada TUHAN: "Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi
mereka akan melempari aku dengan batu!" (17:4). Teriakan dari situasi
terdesak dan tertekan itu didengarkan TUHAN yang langsung melibatkan diri di
dalamnya.
Jejak rekam Yosua :
pemimpin yang dipersiapkan?
Panggilan dan pengutusan Musa sebagai pemimpin bangsa
ternyata mengandung konsekuensi
yang harus dipikul seumur hidupnya. Jalan yang ditempuh Musa sebagai pemimpin
besar yang dikenang sepanjang masa bukanlah jalan bertabur bunga. Lebih tepat,
jalan itu dicirikan sebagai via dolorosa
('jalan sengsara'), jalan yang hanya ditempuh oleh segelintir pemimpin sejati!
Harun, saudara Musa sendiri, yang dipercayai untuk memimpin umat saat
ketidakhadirannya terbukti tidak tangguh menempuh jalan itu. Menghadapi tekanan
"massa" yang mengerumuninya, Harun tunduk pada tuntutan mereka yang
jelas-jelas mengingkari TUHAN (Kel 32:1 -6), Dalam refleksi narator di kemudian
hari, ia digambarkan telah melepaskan bangsa itu liar bagai kuda yang lepas
dari kandang (32:25).
Kehadiran Musa, sang pemimpin karismatis,
terkesan tidak tergantikan. Tidak dapat tidak, menjelang akhir hayatnya, dalam pengembaraan
yang kian mendekati Tanah Perjanjian terselip pertanyaan besar mengenai suksesi
kepemimpinan. Siapa yang dapat menggantikannya? Sejak dini terlihat titik rawan
dalam peran Musa yang melakoni kepemimpinan bergaya karismatis. Ketika Yitro,
mertuanya, mengunjungi Musa, ia segera mendapati betapa berat beban yang
dipikul Musa, sebab semua perkara dilimpahkan kepadanya dan ditanganinya
sendirian (Kel 18:13-18). Ia menyarankan agar Musa memberdayakan "orang-orang
yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang
benci kepada pengejaran suap" (18:20). Mengikuti nasihat ini, Musa lalu
mengangkat orang-orang pilihan sebagai pemimpin atas kelompok seribu sampai
sepuluh (18:25).
Berbeda dengan model dinasti yang bersifat
turun-temurun, kepemimpinan yang bergantung pada karisma umumnya tidak dapat diturunalihkan.
Pembaca yang menyimak babak demi babak yang melibatkan peran Musa sebagai pemimpin
tidak menemukan jejak yang serba jelas mengenai sosok yang dipersiapkan untuk menggantikannya.
Semuanya baru tersingkap saat Tuhan mengabulkan permohonan Musa untuk
mengangkat seorang pemimpin atas umat-Nya, supaya mereka jangan sampai seperti
"domba-domba yang tidak mempunyai gembala" (Bil 27:18). Menariknya,
dalam narasi yang menuturkan suksesi kepemimpinan ini, bukan Musa yang
menentukan pilihan dan pengangkatan atas penggantinya. Yosua ditunjuk secara
langsung oleh Tuhan melalui firman yang disampaikan dengan perantaraan Musa
(27:18-21). Ia "hanya" diperintahkan untuk meletakkan tangannya atas
Yosua di hadapan Imam Eleazar dan umat Israel, dan memberi sebagian dari kewibawaannya
(Ibrani : hod 'bobot, kemuliaan'), supaya
umat mendengarkan pemimpin baru ini.
Dengan demikian, sama seperti Musa,
Yosua adalah pemimpin karismatis pilihan Tuhan. Apa yang menjadi kriteria dalam
pemilihan ini? Sulit untuk menjawabnya secara pasti, sebab kita tidak menemukan
syarat-syarat yang eksplisit. Namun, kita dapat menyimak "jejak
rekam" Yosua. Acuan pertama mengenai Yosua terdapat dalam kisah
pertempuran melawan orang Amalek (Kel 17:8-16). Tanpa latar belakang apa pun
tentang Yosua, narator menceritakan bahwa Musa meminta Yosua untuk memilih
orang-orang yang akan berperang melawan Amalek (17:9). Dalam pertempuran itu,
Harun dan Hur menopang tangan Musa yang menentukan kalah menangnya Israel. Akan
tetapi, di akhir pertempuran itu disebutkan, "Demikianlah Yosua
mengalahkan Amalek dan rakyatnya" (17:13). Lalu, dengan nada yang
menyiratkan pengetahuan narator tentang peran Yosua kemudian hari, ia
diingatkan bahwa Tuhan akan menghapuskan ingatkan kepada Amalek dari kolong
langit (17:14). Dapat disimpulkan, sejak dini Yosua telah ditampilkan sebagai
pemimpin militer yang teruji.
Acuan lain tentang Yosua memperlihatkan kedekatannya
dengan Musa sebagai abdinya. Dialah yang mendampingi Musa pada waktu ia naik ke
gunung Allah dan memberitahu Musa tentang suara "massa" dari perkemahan
saat umat menyembah anak lembu emas (Kel 24:13; 32:17). Demikian pula, Yosua yang
masih muda tampak sebagai satu-satunya orang yang hadir di kemah pertemuan saat
Musa meninggalkan kemah itu (33:11). Kemah yang didirikan Musa di luar perkemahan
umat itu adalah tempat Tuhan berbicara kepadanya seperti seorang teman, "muka
dengan muka" (panim 'el panim). Ia
memang tidak digambarkan seperti Musa yang berbicara seakrab itu, namun
kedudukannya yang khusus tercermin dari kehadirannya di kemah pada saat
ketidakhadiran Musa.
Jejak berikutnya tentang Yosua ditemukan
dalam kisah tentang tujuh puluh tua-tua Israel yang mengalami kepenuhan seperti
nabi setelah Tuhan memberi mereka sebagian "roh"[9]
yang hinggap pada Musa (Bil 11:25). Pada waktu kuasa kenabian ini juga memenuhi
Eldad dan Meldad di tempat perkemahan, Yosua meminta Musa mencegah mereka (11:28).
Tampaknya ia bermaksud membela kedudukan Musa yang istimewa, namun Musa sendiri
justru mengharapkan seluruh umat menjadi nabi.
Kedudukan Yosua sebagai pemimpin baru disebutkan
secara eksplisit dalam kisah kedua belas orang yang diutus untuk mengintai
tanah Kanaan. Semua utusan yang mewakili setiap suku adalah
"pemimpin" (nasyi’),
sebutan yang digunakan untuk kepala suku atau kaum (bdk. Bil 1:16,44).[10]
Dari suku Efraim, pemimpin yang didaftarkan untuk tugas itu adalah Hosea bin Nun
(13:8). Menariknya, pada akhir daftar nama itu diberikan catatan tambahan:
"Musa menamai Hosea bin Nun itu Yosua" (13:16). Kecuali Kaleb bin
Yefuna dan Yosua bin Nun, semua pengintai itu kembali dengan memberi laporan
negatif. Negeri yang akan dimasuki Israel memang "berlimpah-limpah susu
dan madunya", tetapi kota-kotanya sangat kuat dan penduduknya berperawakan
besar (13:25-33).
Laporan yang sangat mengecutkan hati segenap
umat itu menimbulkan sungut-sungut dan memicu pemberontakan terhadap Musa dan Harun
(Bil 14:1-4). Hanya Yosua dan Kaleb yang berupaya meneguhkan hati mereka agar
meyakini penyertaan Tuhan dalam menghadapi penduduk negeri itu (14:6-9). Namun,
keduanya nyaris dilontari batu. Tatkala dalam murka-Nya Tuhan berfirman kepada
Musa dan Harun, ditegaskanNya bahwa di antara semua yang berumur dua puluh tahun
ke atas, hanya Kaleb bin Yefuna dan Yosua bin Nun yang diizinkan masuk ke
negeri yang dijanjikan-Nya (14:29-30,38; 26:65). Yang lainnya dari generasi
yang keluar dari Mesir akan mati selagi dalam pengembaraan. Dalam kilas balik yang
disuguhkan narator melalui perkataan Musa, Kaleb dan Yosua mendapat
pengecualian, "sebab keduanya mengikut TUHAN dengan sepenuh hati"
(32:12).
Ditilik dari jejak rekam Yosua bukanlah kebetulan
bila ia terpilih untuk menggantikan Musa. Integritas dan kepemimpinannya telah teruji.
Memang dapat dipertanyakan mengapa bukan Kaleb yang dipilih. Walau hanya dapat menduga,
tampaknya selain aspek integritas, peran Yosua sebagai abdi Musa memungkinkan dia
belajar lebih dekat dari sang pemimpin agung.
Ironi yang menyentak:
transisi dari perintis kepada penerus
Musa, tokoh perintis lahirnya bangsa
Israel, lahir dalam kevakuman pemimpin yang memiliki tekad dan visi untuk
membebaskan umat dari penindasan. Ia ditempa dan ditempatkan dalam sejarah
bangsanya dengan cara yang amat tidak lazim. Dalam penghayatan dan kenangan di
kemudian hari, Tuhanlah yang diyakini memanggil dan memberdayakan dia untuk merintis
pembebasan dan kelahiran umat-Nya.
Dalam kaliber dan cakupan kepemimpinannya
yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan umat, Musa jelas-jelas tidak dapat
dibandingkan dengan semua pemimpin sesudahnya. Para raja di kemudian hari pun tidak
memiliki otoritas yang seluas itu, apalagi hubungan yang sedemikian langsung
dengan Tuhan. Mereka membutuhkan pengukuhan "spiritual" dari para
tokoh agama (bdk. Daud yang diurapi Samuel, 1 Sam 16:1-13; Salomo yang diurapi
Imam Zadok dan Nabi Natan, (1Raj 1:28-53). Satu-satunya jabatan yang tidak dipegang
oleh Musa adalah jabatan imam. Tugasnya dalam ranah yang khusus ini selesai ketika
Harun dan anak-anaknya ditahbiskan (Im 8). Oleh sebab itu, seperti yang
ditengarai di awal tulisan ini, tokoh Musa bukan hanya sosok sejarah melainkan
juga tokoh model yang melampaui sejarah. Pemaknaan ulang terhadap Musa memungkinkan
berbagai peran dan pranata diberi makna baru dengan menelusuri semangat dan
wibawanya pada Musa. Mengutip lagi tulisan Groenen, "Dalam penyesuaiannya dengan
keadaan baru, dalam cara menghadapi peristiwa dan pengalaman, umat Israel tetap
dipimpin oleh semangat, intuisi dan dinamika yang diwariskan kepadanya"
(1992:84).
Dibandingkan dengan Musa, sosok Yosua digambarkan
jauh lebih bersahaja. Hanya sedikit yang diceritakan tentang dirinya dan tidak
seberapa luas cakupan kepemimpinan yang dilimpahkan kepadanya sebagai penerus Musa.
Dapat dimengerti mengapa kepada Yosua berulang kali dikatakan pada waktu peralihan
kepemimpinan: "Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu!" (Ul 31:7, 23; Yos
1:6-7).
Namun, ada suatu kenyataan yang mestinya
cukup menyentak para pembaca, bukan Musa melainkan Yosualah yang memimpin
bangsa itu masuk ke Tanah Perjanjian! Semua impian bangsa itu yang tetap
tinggal impian tanpa peran Yosua yang membawa impian mereka kepada kenyataan.
Dalam
suatu kisah yang
lagi-lagi menceritakan tentang sungut-sungut umat yang meminta air, Musa
diperintahkan Tuhan untuk berbicara kepada bukit batu di dekatnya agar
mengeluarkan air (Bil 20:1-13). Namun, dalam reaksinya terhadap perilaku
mereka, ia memukul bukit itu dengan tongkatnya untuk mengeluarkan air.
Tragisnya, pelanggaran yang kelihatan "kecil" terhadap kekudusan
Tuhan itu berujung pada diskualifikasi terhadap Musa dan Harun. Keduanya tidak
akan masuk ke negeri yang dijanjikan-Nya (20:12). Pembaca yang menyimak
narasi-narasi tentang tokoh
legendaris ini sembari mencermati kepemimpinannya, dibuat tercenung. Sungguh ironi
yang tak terperikan! Akan tetapi, kita sekaligus diajak mengerti, kebesaran
Musa semakin nyata ketika ia sendiri hanya mengantar bangsanya sampai ke
perbatasan dan diizinkan menatapnya dari kejauhan dan ketinggian (Ul 34:1-4).*** (Anwar Tjen)
Anwar Tjen adalah
pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan kepala Departemen Penerjemanan
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
Kepustakaan
Barth,
Christoph. Teologi Perjanjian Lama 1 (Jakarta:
BPKGunung Mulia, 1970).
Dewey
M. Beegle, "Moses", Anchor
Bible Dictionary 4 (1992):909-18.
Groenen,
C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama
(edisi ke-2; Yogyakarta: Kanisius, 1992).
HALOT
= Kohler, Ludwig, Baumgartner, W., dkk. The Hebrew and Aramaic Lexicon of the Old Testament
(2 jilid: Leiden: E.J. Brill, 1999).
Lasor,
W.S., Hubbard, DA, Bush, F.W. Pengantar Perjanjian
Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
Rendtorff,
Rolff. The Canonical Hebrew Bible: A
Theology of the Old Testament (Leiden : Deo Publishing, 2005).
[1]J. van Seters, misalnya, memberi kesimpulan
yang ekstrem mengenai kesejarahan sosok Musa. Penelisikan sejarah terhadap Musa
akan berakhir sia-sia, sebab Musa telah menjadi legenda semata-mata (Seters,
sebagaimana dalam Beegle 1992:910). Namun, pandangan lain yang mengakui
kompleksitas gambaran Musa tetap mempertahankan adanya unsur sejarah dalam
gambaran biblis tentang Musa (bdk. W.S. Lasor dkk. 1993:191, yang mengacu pada
karya Fr. Roland de Vaux dan John Bright).
[2]Bdk. batasan "karisma"
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008): "1. Keadaan atau bakat yang
dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang
untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya;
dua atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu"
[3]Verba EHYEH dibentuk dari kata
HAYA ('ada') dan dalam bentuk berawalan (imperfektif) verba ini dapat mengacu
ke masa kini maupun masa depan ('ada, akan ada'). Yang ditekankan dengan
penggunaan kata ini ialah kehadiran Allah yang selalu menyertai, menolong, dan
melepaskan umat-Nya (Barth
1970:128-129; Lasor dkk. 1993:195-196).
[4]Bdk. Kel 4:23; 7:16; 8:1,20; 9:1;
10:3,7.
[5]Di antaranya yang utama adalah
"kitab perjanjian", (Kel 20:22-23:19); "hukum kekudusan" Im
17-26); "hukum Ulangan" (Ul 12-26). Lihat uraian yang luas dalam
Barth (1970:232-267).
[6]Bdk. Kel 15:22-27; 16:1-25;
17:1-6; Bil 11:1-3, 4-23; 14:1-38.
[7] Rendtorff
(2005), 555.
[8]"Verba
tsa'aq kerap digunakan dalam arti
'berteriak meminta tolong' dalam penderitaan dan keadaan terancam (bnd. Kel
14:10,15; Bil 20:16; Ul 26:7).
[9]Cakupan
makna ruakh dalam Ibrani sangatlah
luas ('angin, nafas, semangat, perasaan, roh, kuasa", lihat HALOT).
Walaupun tidak salah. mengartikannya sebagai 'roh' dalam kaitan dengan Tuhan,
namun dalam seluruh Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) kata itu belum mengacu
pada Roh Kudus dalam pemahaman Trinitas.
[10]"Kedua belas anak Ismael,
leluhur orang Arab, juga disebut dengan gelar yang sama (Kej 12:20; 25:16);
demikian pula Hemor, seorang "raja negeri" di Kanaan (34:2).