KELUARGA
BERIBADAH DALAM SABDA
“Saatnya
akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan
menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran....” (Yoh 4:23)
GAGASAN
PENDUKUNG
Oleh
: Y.M. Seto Marsunu
PENDAHULUAN
"Ibu-ibu,
benarkah anda mengajarkan doa-doa Kristiani kepada anak-anak anda? Benarkah
anda, bersama dengan para imam, menyiapkan mereka untuk menyambut sakramen-sakramen,
yang mereka terima selagi masih muda: sakramen Tobat, Komuni, dan Krisma? Benarkah
anda mendorong mereka, kalau sedang sakit, untuk mengenangkan Kristus yang
menderita sengsara, untuk memohon pertolongan kepada Santa Perawan Maria dan
para kudus? Apakah anda bersama mendoakan Rosario keluarga? Dan anda,
bapak-bapak, benarkah anda berdoa bersama dengan anak-anak anda, dengan seluruh
keluarga, setidaknya kadang-kadang? Contoh kejujuran anda dalam pikiran maupun
perbuatan, berpadu dengan doa bersama, menjadi pelajaran untuk hidup, tindakan
ibadat yang bernilai istimewa. Itulah cara anda membawa damai dalam rumah tangga
anda: Pax hie domui, semoga damai turun di atas rumah ini! Ingat, begitulah
anda membangvn Gereja" (Paus Paulus VI, dikutip oleh Pans Yohanes Paulus
II dalam Familiaris Consortio 60).
Keluarga, terutama para orangtua, mempunyai
tanggung jawab besar dalam membangun Gereja. Tanggung jawab ini dimulai dan
diwujudkan dengan mendidik anak-anak dalam doa. Tentu saja mendidik anak dalam doa
tidak sekedar berarti mengajak anak untuk menghafalkan doa-doa Katolik. Lebih
jauh hal itu berarti membina anak-anak agar tumbuh menjadi orang memiliki iman
yang matang di dalam Kristus dan sungguh berbakti kepada Allahnya. Dalam pemahaman
umum, setiap orangtua menghendaki agar anak-anak mereka menjadi orang yang
berhasil dalam kehidupannya. Keberhasilan ini tidak mungkin dibatasi hanya pada
soal materi dan urusan duniawi. Keberhasilan yang sebenarnya menyangkut soal
kedewasaan dalam iman dan bakti kepada Allah. "Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?" (Mrk. 8:36).
Yang membedakan kehidupan seorang yang beriman dari yang tidak beriman justru keyakinan
akan kebangkitan badan dan kehidupan yang kekal. Orang beriman memang sedang
menjalani kehidupan di dunia ini, tetapi ia sekaligus mengarahkan kehidupannya pada
kehidupan abadi. Sebaliknya, keyakinan akan kehidupan yang abadi menuntun
kehidupannya di dunia ini.
Dalam tulisan ini, kita akan melihat lebih
jauh perjumpaan antara keluarga dengan Allah di dalam ibadah yang dilaksanakan
oleh keluarga. Untuk itu kita akan belajar dari pengalaman umat Israel mengenai
ibadah, kritik para nabi, dan ajaran Yesus. Pertama-tama kita akan melihat
perjumpaan antara Allah yang ada dalam surga dengan manusia yang tinggal di
dalam dunia. Perjanjian Lama memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana Allah
yang tampaknya jauh itu ternyata dekat dan dapat dijumpai oleh manusia di dunia
ini. Perjumpaan itu terjadi di dalam ibadah yang dilangsungkan oleh umat yang
percaya kepada Allah. Pada dasarnya ibadat merupakan bentuk perjumpaan antara
Allah dan manusia yang sehingga terjadi pergaulan yang mesra antara keduanya.
Ketika terjadi penyimpangan dalam praktek ibadah yang dilakukan oleh umat
Israel, para nabi tampil dan mengingatkan mereka.
Umat Israel menganggap ibadah semata-mata
upacara keagamaan, yang terlepas dari kehidupan yang sebenarnya. Para nabi
menegaskan kembali arti ibadah yang sebenarnya, yakni mengungkapkan bakti
mereka kepada Allah yang telah mengasihi mereka. Selanjutnya, kita akan mendalami
pengajaran Yesus mengenai ibadah yang benar kepada Allah. Ia menegaskan bahwa
untuk beribadah kepada Allah orang harus mengenal Allah yang sejati dan
memiliki motivasi yang benar. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, kita akan
melihat bagaimana pemahaman tentang seluk beluk ibadah dapat mendorong umat
Katolik untuk melaksanakan ibadah di dalam lingkup keluarga.
I.
ALLAH : TAKTERHAMPIRI, NAMUN SANGAT DEKAT
Bangsa Israel menyadari bahwa
keberadaannya sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan
dari campur tangan Allah. Dialah yang membuat mereka menjadi ada di dalam dunia
dan menjadikan mereka sebuah bangsa, bahkan bangsa yang dipilih oleh Allah
menjadi umat kesayangannya. Dengan berbagai cara Perjanjian Lama memberikan
gambaran tentang Allah yang menyatakan diri kepada mereka dan apa yang telah
dilakukan-Nya bagi mereka dalam perjalanan sejarah mereka. Allah itu tidak
kelihatan karena Dia adalah Roh. Dia jauh tak terhampiri oleh manusia, namun
sekaligus sangat dekat kepada mereka.
A.
Allah Adalah Roh
Kata "roh" yang berasal dari
rumpun Bahasa Semit (Ibrani dan Arab) berarti sesuatu yang hidup tetapi tidak berbadan
jasmani. Dalam Perjanjian Lama kata "ruakh"
dalam arti aslinya adalah udara yang bergerak, seperti angin atau nafas. Bagi
manusia dan binatang, ruakh menjadi
tanda kehidupan mereka. Ruakh
diberikan oleh Pencipta ke dalam manusia (Kej. 2:7) dan binatang (Kej. 7:22). Inilah
bahasa kiasan yang berarti "menjadikan hidup". Manusia adalah makhluk
jasmani-rohani. Ia diciptakan oleh Allah untuk hidup selamanya, walaupun
badannya akan mati dan menjadi tanah. Ia mempunyai hidup rohani dan tujuan
serta maknanya melampaui dunia ini. Ketika dikatakan bahwa Allah adalah roh,
biasanya yang dimaksudkan paling tidak adalah bahwa ia tidak memiliki tubuh
fisik, bahwa ia immaterial.
Dalam Kitab Suci Roh seringkali diperlawankan
dengan daging. "Orang-orang Mesir hanyalah manusia, bukan ilah;
kuda-kudanya daging belaka bukan roh" (Yes. 31:3; Yes. 40:6-8; Kej. 6:3).
Dalam kutipan ini daging searti dengan manusia, yang lemah, sedangkan roh
searti dengan ilah(i), yang berdaya dan kuat. Yoh. 6:63 juga memperlawankan roh
(yang menghidupkan) dengan daging yang tidak berguna sedikit pun. Mat. 26:41 dan
Mrk. 14:38 berkata tentang daging yang lemah dan roh yang kuat. Yohanes menyejajarkan
lahir dari Roh dengan lahir dari Allah (Yoh. 3:3,6,8; 1:13) sehingga termasuk
dalam dunia ilahi.
B.
Tak Terhampiri
Dengan banyak cara, Perjanjian Lama
mengungkapkan keagungan Allah yang tak terhampiri. Dalam kisah panggilannya
(Yes. 6), Yesaya mendapatkan penglihatan yang menyatakan kemuliaan TUHAN. Dalam
penglihatan itu Yesaya melihat TUHAN duduk di atas takhta yang tinggi menjulang
(ayat 1). Takhta-Nya yang tinggi dan menjulang itu menunjukkan kebesaran dan
kemuliaan-Nya yang memenuhi langit dan angkasa. TUHAN digambarkan memakai jubah
yang panjang, jubah kebesaran seorang raja. Ia disertai oleh para serafim (ayat
2), yang karena kekudusan dan kemuliaan TUHAN mereka tidak dapat memandang
wajah-Nya dan menutupi muka dan kaki mereka. Para serafim memuji-Nya
"kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam" (ayat 3). Allah itu kudus,
Dia melebihi segala sesuatu. Ia sama sekali berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya,
jauh melampauinya dan terpisah darinya sehingga Ia tidak terhampiri dan sangat
menakutkan (bdk. Kel 33:20).
Menyadari penglihatan itu Yesaya ketakutan,
"Celakalah aku! Aku binasa!" (ayat 5). Ia teringat akan akibat dahsyat
yang dapat menimpa dirinya karena sebagai manusia yang berdosa ia telah melihat
Allah dan kemuliaan-Nya (bdk. Kel 33:20). Tidak ada orang yang tahan memandang
wajah Allah karena tidak ada orang yang memandang-Nya akan tetap hidup. Musa
yang berbicara dengan TUHAN pun hanya melihat-Nya dari belakang. Dalam terang kekudusan
Allah, nabi menyadari kedosaannya: "Aku ini seorang yang najis bibir, dan
aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah
melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam". Ia sadar akan kemuliaan
Allah yang harus disembah dan diagungkan melebihi segala sesuatu. Ia sadar juga
akan kehinaannya sendiri serta kesengsaraan bangsanya yang jauh dari Allah.
C.
Amat Dekat
Sebaliknya, banyak juga kisah dalam Perjanjian
Lama mengajarkan bahwa Allah berkenan turun ke dalam kehidupan dunia dan
bergaul akrab dengan manusia. Kisah-kisah itu mengungkapkan bahwa Allah menghendaki
hubungan erat dengan manusia. Tampak di dalamnya betapa dekat Allah dengan
manusia. Ia sungguh berada di tengah-tengah manusia ciptaan-Nya, menjadi teman hidup
mereka, berbicara kepada mereka.
Kisah manusia di Taman Eden membentangkan
bagaimana TUHAN berjalan-jalan di kebun dalam kesejukan sore hari dan bergaul dengan
manusia. Tetapi, dosa membuat manusia takut berhadapan dengan Allah karena pada
mulanya tidak demikian (Kej. 2:8). Jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa tidak
berarti bahwa Allah menutup diri dan tidak mau lagi bergaul dengan manusia.
Henokh hidup dalam suasana persahabatan dengan Allah (Kej. 5:22-24). Demikian
pula Abraham, mengingat kepercayaannya, pantas dimaksudkan ke dalam bilangan
sahabat Allah. Ia mengunjungi Abraham dalam suasana kekeluargaan dan Abraham
menyambut kedatangan-Nya sebagai tamu kehormatan. Ia memberitahukan kepada
Abraham rencana-Nya menghukum Sodom dan Gomora (Kej. 18).
Kitab Keluaran menceritakan bagaimana
TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara
kepada temannya (Kel 33:11). Musa diperbolehkan merasakan pengalaman istimewa dengan
Allah, sekalipun tidak melihat wajah Allah atau langsung memandang wujud-Nya
dan hanya melihat punggung-Nya (Kel. 33: 21-23).
Kedekatan Allah dengan manusia dalam
Perjanjian Lama tampak juga dalam penggambaran Allah sebagai seorang bapa (bdk.
Kel. 4:22) dan sebagai seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya (Yes. 49:15).
Gambaran lain yang mengungkapkan kedekatan Allah dengan manusia adalah gambaran
tentang gembala yang baik. TUHAN memelihara Israel seperti seorang gembala
memelihara kawanannya (Yes. 40:11).
D.
Kehadiran Allah Dalam Dunia
Allah yang demikian terlibat dalam kehidupan
manusia di dunia. Sebaliknya manusia pun menyadari kebergantungannya pada Allah
yang berkuasa atas dirinya dan atas seluruh alam semesta. Ia sadar bahwa ia
memerlukan bantuan dari yang ilahi dalam menjalani kehidupan dunia ini. Dalam
banyak kesempatan Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana Allah hadir menjumpai
manusia dan menolongnya. Tempat-tempat di mana Allah pernah hadir dan menjumpai
manusia itu dipandang sebagai tempat yang suci. Tempat itu menjadi suci karena
telah disucikan oleh kehadiran Allah. Tempat seperti ini sering dikunjungi oleh
orang yang ingin berjumpa dengan Allah karena Ia sendiri pernah hadir di tempat
itu. Kadang-kadang di tempat itu didirikan bangunan untuk mengenangkan kehadiran
Allah.
Tabut Perjanjian. Dalam
Perjanjian Lama tempat paling penting dalam kaitannya dengan kehadiran Allah adalah
Tabut Perjanjian. Tabut itu berupa peti yang di dalamnya ditaruh loh hukum (Kel
25:16), yaitu dua loh batu yang memuat Dasa Titah yang diterima orang Israel di
Gunung Sinai. Loh-loh itu kadang disebut loh-loh hukum Allah (Kel 31:18, Ul
10:2,5); karena itu tabut itu dapat disebut sebagai Tabut Hukum (Kel 25:22). Di
atas tabut itu dipasang dua patung kerubim (makhluk yang berbadan binatang,
bersayap burung dan berkepala manusia) yang melambangkan takhta TUHAN semesta
alam (bdk. 1Raj 8:6-7). Tabut yang mula-mula merupakan tempat penyimpanan Dasa
Titah itu kemudian menjadi lambang TUHAN sendiri. Tidak dapat dipisahkan antara
hukum dengan pemberi hukum. Tabut berperan sebagai lambang kehadiran TUHAN di
tengah bangsa Israel. Tabut itu bahkan hampir diidentifikasikan dengan-Nya
(bdk. Bil. 10:35-36 Musa menyapa Tabut sebagai TUHAN).
Tabut itu menyertai orang-orang Israel
pada pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33-36). Ketika orang Israel hendak
memasuki tanah terjanji, tabut ini memutus aliran Sungai Yordan sehingga orang
Israel dapat menyeberangi sungai itu tanpa menjadi basah (Yos. 3:13 dst).
Kemudian tabut ini dibawa keliling tembok Yerikho (Yos. 6) sampai benteng kota
itu roboh dan orang Israel dapat merebut kota itu. Di Kanaan Tabut Perjanjian ditempatkan
di satu tempat suci dari suku-suku Israel: mula-mula di Gilgal (Yos. 4-5),
kemudian Betel (Hak. 20:27), dan akhirnya di Silo (1Sam. 3:3). Di Kanaan ini
Tabut menjadi lambang persekutuan suku-suku Israel yang berkumpul di tempat
suci itu.
Tempat Suci.
Waktu orang Israel memasuki Tanah Kanaan, mereka tidak hanya merebut tanahnya
tetapi juga merebut kuil-kuil kuno untuk ibadat kepada El. Orang Israel
mengambil alih kuil-kuil yang merupakan tempat ibadat penduduk asli Kanaan ini
dan mempergunakannya sebagai tempat ibadat mereka sendiri.
Tempat-tempat suci ini penting bagi orang
Israel bukan karena mereka merebutnya dari orang Kanaan, melainkan karena
kenangan akan peristiwa yang penting bagi iman mereka yang pernah terjadi di
tempat itu. Di Sikhem Abraham (Kej. 12:6 dst) dan Yakub (Kej. 33:18-20)
mendirikan mezbah. Di tempat ini pula para tua-tua Israel pada zaman Yosua
(Yos. 24) mengucapkan janji untuk selalu setia kepada TUHAN dan menolak dewa-dewi
Kanaan. Asal muasal tempat suci Betel dikaitkan dengan Yakub (Kej. 28; bahkan
dengan Abraham; bdk. Kej. 12:8). Melalui kisah Yakub, dikatakan bahwa Yakub,
nenek moyang mereka sendiri telah mengalami bahwa tempat itu adalah tempat
suci. Dan dengan demikian selayaknya keturunan Yakub menyembah Allah mereka di
tempat itu. Di Hebron ini Daud diurapi menjadi raja (2Sam. 2:4; 5:3). Di tempat
ini pula Abraham mendirikan mezbah bagi Allah (Kej. 13:18; bdk. 18:1).
Selain itu orang Israel juga mendirikan tempat-tempat
ibadah sendiri. Tempat-tempat ini didirikan ketika mereka membuka suatu wilayah
dan membangun permukiman. Misalnya, kuil di Gilgal, sekitar 10 km sebelah timur
laut Yerikho. Tempat suci ini didirikan oleh suku-suku Israel yang telah
meninggalkan Mesir dan masuk wilayah Kanaan (Yos. 4:19 dst) dan menjadi pusat
keagamaan pada zaman Saul (1Sam. 11:15) dan Daud (2Sam. 19:15). Kuil ini masih
tetap memegang peran penting sampai zaman Nabi Amos (Am. 4:4; 9:15; 2Raj. 2:1;
4:38). Kritik para nabi (Am. 4:4; Hos. 9:15) memberi kesan bahwa kuil Gilgal sangat
dipengaruhi oleh tradisi Kanaan. Orang Israel juga mendirikan tempat-tempat
ibadat baru di atas puing-puing kota Kanaan, seperti di Silo dan di Nob. Beberapa
waktu lamanya Silo dipakai untuk menyimpan tabut. Tempat suci ini hancur dalam
pertikaian antara Israel melawan Filistin (bdk. Yer. 7:12; 26:6; bdk. 1Sam.
1-7).
Sebelum Daud memindahkan tabut ke
Yerusalem, tempat-tempat ibadat itu masih dipergunakan. Belum ada hukum yang
memusatkan ibadat di satu tempat. Yerusalem menjadi tempat penting dalam
kehidupan agama Israel karena di tempat ini tabut diberi tempat dan peranan
yang penting. Pemindahan Tabut Perjanjian ke Yerusalem (2Sam. 6) merupakan hal penting
dalam kehidupan agama Israel. Pemindahan itu merupakan wujud pengakuan bahwa
TUHAN adalah Allah yang satu-satunya dalam kerajaan Israel yang didirikan Daud.
Bait Allah.
Pembangunan Bait Allah sebenarnya sudah direncanakan oleh Daud. Daud yang telah
berkuasa atas seluruh Israel merasa prihatin karena TUHAN, yang telah
membuatnya besar dan mulia, serta mengantarnya ke dalam istana justru tinggal
di bawah tenda. Maksudnya, Tabut Perjanjian, tanda kehadiran TUHAN itu,
disimpan di dalam tenda, tempat yang sederhana, padahal Daud diam di dalam
istana yang megah. Tetapi, TUHAN tidak menyetujui rencana Daud karena Ia tidak
memerlukan rumah. Salomolah yang kemudian mewujudkan rencana Daud itu. Ia
mendatangkan ahli-ahli bangunan dari luar negeri untuk membangun tempat ibadat
yang direncanakannya. Bait Allah ini sebenarnya merupakan satu kompleks bangunan.
Ada lapangan luas yang dikelilingi pagar tembok. Di bagian utara lapangan ini
berdirilah bangunan Bait Allah yang sebenarnya. Sekalipun menjadi kebanggaan
Israel dan dipuji keindahannya, Bait Allah bukanlah bangunan yang besar
(panjang: 27,4 m, lebar: 9,4 m, dan tinggi: 13,5 m).
Di depan bangunan ini berdiri mezbah, tempat
kurban dibakar. Bangunan itu sendiri dibagi menjadi tiga: 1) tempat masuk, yang
berupa serambi beratap dan tertutup; 2) yang kudus, ruangan dengan
jendela-jendela dan menjadi tempat para imam menyelenggarakan ibadat tertentu,
khususnya mempersembahkan kurban ukupan; 3) ruangan mahakudus, ruangan tanpa jendela
(sehingga gelap sama sekali). Di ruang inilah Tabut Perjanjian ditempatkan.
Keberadaan Tabut Perjanjian itu menunjukkan bagaimana TUHAN hadir di dalam
rumah kediaman-Nya. Kehadiran Tuhan di Bait-Nya menjadi pusat dan pokok ibadat
Israel. Berkat kehadiran-Nya, Israel menjadi bangsa terhormat dan terpilih
antara bangsa yang lain (Kel. 33:15). Dari dalam bait-Nya TUHAN melindungi umat
yang dipilih-Nya.
Bait Allah yang didirikan Salomo bertahan
selama 400 tahun sebelum akhirnya dihancurkan oleh tentara Babel (587 SM).
Sekembalinya dari pembuangan di Babel, umat Israel membangun kembali Bait Allah
di tempat yang sama (selesai tahun 515 SM). Tahun 20 SM - 70 M Herodes Agung
membangun Bait Allah yang baru menurut pola dasar Bait Allah yang lama. Dalam
Bait Allah yang dibangun sesudah pembuangan dan yang dibangun oleh Herodes
tidak lagi diletakkan Tabut Perjanjian karena tabut itu rupanya hilang waktu tentara
Babel menghancurkan Bait Allah Salomo. Bait Allah Herodes dihancurkan oleh
tentara Roma pada tahun 70 M dan sesudah itu tidak pernah dibangun kembali.
II.
IBADAH
Allah
yang tak terhampiri namun sangat dekat itu dapat berjumpa dengan manusia itu di
tempat suci: Allah dapat menjumpai manusia, dan manusia dapat menjumpai-Nya. Perjumpaan
manusia dengan Allah di tempat suci itu diatur dengan tatanan tertentu yang
disebut ibadah. Dalam Perjanjian Lama pada umumnya ibadah hanya dapat dilakukan
di tempat-tempat suci karena kehadiran Allah dipahami terikat pada
tempat-tempat itu. Dalam perjumpaan itu manusia mempersembahkan kurban bagi
Allah dengan berbagai tujuan. Mereka bersyukur atas semua yang telah diberikan
oleh Allah kepada mereka dan memohon pengampunan dosa. Dalam perjumpaan itu
mereka juga merayakan pekerjaan yang telah dilakukan Allah bagi mereka di masa
lampau.
A.
Etimologi Ibadah
Kata Ibrani "abodah" mulanya menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan oleh
budak bagi tuannya. Ibadah kepada Allah mengungkapkan pengakuan mereka kepada
Allah yang menjadi pemilik dan penguasa mereka. Dalam ibadah manusia
menyampaikan kurban dan persembahan kepada Allah, menyampaikan pengakuan akan
kekuasaan Allah, menegaskan kesediaan untuk hidup sebagai umat dan hamba-Nya,
serta memohon berkat-Nya. Semua ini diungkapkan dalam serangkaian upacara
ritual yang disebut ibadah.
Dalam Perjanjian Lama ibadah dapat
dilakukan secara pribadi (Kej. 24:26 dst; Kel. 33:9-34:8), namun ibadat bersama
sebagai satu jemaat sangat ditekankan (Mzm. 42:4; 1Taw. 29:20). Ibadat umum itu
dilakukan dalam kemah pertemuan dan di Bait Allah. Ketika Bait Allah
dihancurkan menjelang zaman pembuangan, bangsa Israel merasa tidak memiliki tempat
ibadah lagi. Tetapi, itu tidak menghalangi ibadah mereka. Mereka mendirikan
sinagoga di banyak tempat sehingga mereka dapat berkumpul, berdoa, dan membaca
kitab suci. Setelah Bait Allah dibangun kembali setelah pembuangan, Bait Allah
itu dan sinagoga menjadi tempat ibadah mereka.
Pada zaman para nabi hari-hari raya keagamaan
dilangsungkan dengan meriah. Pelayanan di Bait Allah diatur dengan baik. Jumlah
imam makin banyak. Ibadah mereka disertai dengan nyanyian-nyanyian meriah dan
kepada TUHAN dipersembahkan kurban yang tak terbilang banyaknya. Orang-orang yang
percaya pada Allah mengunjungi tempat-tempat itu untuk menghadap hadirat Allah.
Karena itu, orang harus sungguh-sungguh mempersiapkannya, seperti yang tampak
dalam Kej. 35:1-5, yang menggambarkan ziarah Yakub ke Betel. Persiapan ini
dilakukan oleh Yakub dan keluarganya itu untuk membuat diri mereka bersih
karena mereka akan menghadap Allah yang kudus. Semua persiapan ini dilakukan agar
mereka pantas menghadap Allah dan kehadiran mereka diterima oleh-Nya. Untuk apa
sebenarnya umat beriman dalam Perjanjian Lama mengunjungi tempat-tempat suci itu
dan menghadap hadirat Allah? Ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan
berkaitan dengan hal ini.
B.
Hormat kepada Allah
Ibadah pada zaman para bapa bangsa itu
sederhana dan bersifat perorangan (keluarga). Ibadah yang mereka lakukan itu
berupa kurban persembahan dan doa. Ibadah mereka tidak banyak menyangkut
upacara dan ritus, tetapi mereka lakukan sebagai ungkapan hubungan pribadi
dengan Allah. Yang manjadi pokok dalam kisah para bapa bangsa adalah pertemuan manusia
dengan Allah, bukan soal tempat yang dipandang suci, tempat mereka
menyelenggarakan ibadah. Hubungan dengan Allah berlangsung secara
khidmat/hormat, bukan rasa takut. Allah mendekati mereka dalam suasana cinta
kasih dengan janji yang mengikat manusia dalam persekutuan dengan Dia. Manusia
pun mendekati Allah dengan sikap hormat dan percaya akan kasih Allah.
Abraham.
Kisah Abraham diawali dengan kedatangan TUHAN untuk memanggil Abraham. Dalam
perjumpaan itu TUHAN menyampaikan janji untuk 1). Memberikan sebuah negeri, 2).
Membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan 3). Memberkatinya dan menjadikannya
berkat bagi segala kaum di muka bumi. Abram percaya kepada janji itu lalu pergi
meninggalkan negeri, keluarga, dan sanak saudaranya. Bersama dengan Sarai,
istrinya, dan Lot, keponakannya, Abraham berangkat ke Kanaan. Di Tanah Kanaan,
tepatnya di dekat pohon Tarbantin yang terletak di More, TUHAN kembali
menjumpai Abram. Ia menegaskan janji yang telah diucapkan-Nya, "Aku akan memberikan
negeri ini kepada keturunanmu" (Kej. 12:7). Sebagai tanggapan terhadap TUHAN
yang menampakkan diri kepadanya itu, Abram mendirikan mezbah bagi-Nya. Abram
melanjutkan perjalanan ke pegunungan di sebelah timur Betel. Di tempat itu ia
kembali mendirikan mezbah dan memanggil nama TUHAN.
Yakub.
Ketika melarikan diri dari kemarahan Esau, Yakub berencana untuk pergi ke rumah
pamannya di Padan Aram. Dalam perjalanan itu ia menginap di sebuah tempat yang bernama
Lus (Kej. 28:10-22). Dalam mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga
dan bumi. Melalui tangga itu para malaikat Allah turun naik dari surga ke bumi.
TUHAN, Allah Abraham dan Allah Ishak, menjumpainya dan menyampaikan janji yang
telah disampaikan-Nya kepada Abraham dan Ishak. Ia berjanji untuk memberikan
tanah tempat ia berbaring, keturunan sebanyak debu tanah, dan menjadikan dia
dan keturunannya sebagai sarana untuk memberikan berkat Allah bagi semua kamu
di muka bumi. Selain itu, TUHAN juga berjanji untuk menyertai dan melindungi
Yakub ke mana pun ia pergi serta membawanya kembali ke negeri Kanaan.
Penglihatan dalam mimpi yang dialami
Yakub itu membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah Allah, di pintu
gerbang surga. Pada pagi harinya ia mendirikan tugu dan menuang minyak di
atasnya. Lalu ia mengucapkan nazar sebagai tanggapan terhadap janji Allah (Kej.
28:20-22). Jika Allah memenuhi janji-Nya untuk melindungi dia dan memberikan
apa yang diperlukan untuk kehidupannya sehingga ia dapat kembali dengan selamat
ke rumah ayahnya. Maka, Yakub akan 1). Menyembah TUHAN sebagai Allahnya. 2).
Menjadikan tugu yang didirikannya itu rumah Allah. 3). Mempersembahkan kepada
Tuhan sepersepuluh dari segala sesuatu yang diberikan TUHAN kepadanya.
Dalam perjalanan selanjutnya, Yakub
tinggal di rumah Laban. Ia mendapatkan istri, anak, dan kekayaan yang melimpah.
TUHAN benar-benar telah memenuhi janji-Nya dengan membawa Yakub kembali ke
tanah Kanaan dengan selamat. Karena itu, Yakub membawa seluruh keluarganya ke
Betel untuk menghadap Allah di tempat itu. Ia membuat mezbah dan mempersembahkan
kurban kepada Allah (Kej. 35:1-15).
C.
Perayaan Pesta Keagamaan
Di Mesir keturunan Yakub telah berkembang
jumlahnya dan menjadi sebuah bangsa. Merekalah yang dipilih oleh TUHAN untuk
menerima janji yang telah disampaikan-Nya kepada nenek moyang mereka. TUHAN membebaskan
bangsa budak yang lemah dan tertindas itu dari Mesir dan mengangkat mereka
menjadi umat-Nya. Allah menyatakan diri sebagai penyelamat yang peduli akan
nasib mereka yang tertindas itu. Agar Bangsa Israel dapat hidup sebagai
umat-Nya, TUHAN memberikan kepada mereka hukum-hukum yang dapat menjadi pedoman
hidup mereka. Selanjutnya, Ia membawa mereka melintasi padang gurun dan
memberikan tanah Kanaan, yang telah dijanjikan-Nya kepada nenek moyang mereka.
Karena telah diangkat menjadi umat TUHAN,
Israel hanya mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Tidak dibenarkan bila mereka
pergi untuk menyembah dewa-dewi lain. Peristiwa pembebasan dari Mesir,
pemberian Hukum, dan perjalanan di padang gurun itu telah melahirkan berbagai bentuk
ibadah yang dirayakan oleh umat Israel. Mereka merayakan Paskah dan Roti Tak
Beragi untuk mengenangkan peristiwa pembebasan itu. Mereka merayakan Hari Raya Tujuh
Minggu untuk mengenangkan pemberian Hukum Taurat itu, dan mereka merayakan Hari
Raya Pondok Daun untuk mengenangkan perjalanan di padang gurun. Rangkaian hari raya
ini memang dilaksanakan secara umum sebagai satu bangsa, tetapi juga dilaksanakan
dalam lingkup keluarga. Dalam perayaan Paskah setiap keluarga (atau kelompok
keluarga) menyembelih seekor domba atau kambing jantan yang berumur setahun. Kemudian
mereka memakan daging itu dengan sayur pahit.
Setiap laki-laki Israel memiliki kewajiban
untuk menghadap ke hadirat TUHAN tiga kali dalam setahun (Kel. 23:14). Tiga
kesempatan menghadap TUHAN ini menunjuk pada tiga perayaan yang harus dirayakan
dalam satu tahun (Kel. 23:14-19), yakni: a) Hari Raya Roti Tidak Beragi, dirayakan
selama tujuh hari setelah Paskah. Selama tujuh hari semua ragi disingkirkan
dari dalam rumah dan selama itu pula orang makan roti yang tidak diberi ragi.
Kebiasaan ini mengingatkan mereka pada saat nenek moyang mereka harus
meninggalkan Mesir dengan tergesa-gesa sehingga terpaksa mengangkat adonannya sebelum
diragi (bdk. Kel. 12:34,39). b) Hari Raya Tujuh Minggu (bdk. Ke. 34:22). Hari
raya ini merupakan perayaan panen, mengakhiri pesta musim panen gandum, yang
kemudian dihubungkan dengan pemberian Hukum Taurat di Gunung Sinai. Karena dirayakan
tujuh minggu (Ul. 16:9) atau lima puluh hari (Im. 23:16) sesudah Paskah, pesta
ini dalam bahasa Yunani disebut Pentakosta (Tob. 2:1). c) Hari Raya Pondok Daun
(Ul. 16:13; Im. 23:34), merupakan perayaan pemetikan buah-buahan di musim
gugur, pada akhir musim buah-buahan. Selama perayaan itu orang tinggal di
gubuk-gubuk yang dibuat dari ranting-ranting dan didirikan di kebun anggur di musim
pemetikan; pondok-pondok itu mengingatkan umat Israel yang dahulu berkemah di
padang gurun (Im. 23:43).
Pada hari-hari raya ini semua orang laki-laki
pergi mengunjungi tempat suci untuk merayakannya menurut ketetapan yang
berlaku. Semua dilakukan dalam suasana penuh kegembiraan karena mengenangkan karya
penyelamatan Allah di masa lampau. Mereka menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa
yang telah lampau. Di hadapan Allah sendiri, yakni di tempat suci itu, mereka
memuji Allah yang telah menyelamatkan mereka. Para nabi seringkali mengkritik
pesta ziarah dalam kritik mereka terhadap ibadah pada umumnya (Yes. 1:14-15; Am.
5:21; Mal. 2:3). Kritik mereka tidak ditujukan pada pesta ziarahnya sendiri, tetapi
pada sikap dan perilaku mereka yang merayakan. Zakaria bahkan menubuatkan bahwa
para bangsa akan berziarah ke Yerusalem untuk menyembah TUHAN dan merayakan pesta
(Za. 14:16-18).
D.
Ibadah Kurban
Pemberian Tanah Kanaan juga melahirkan
bentuk ibadah yang lain. Dalam Kitab Yosua diceritakan bagaimana TUHAN
berperang untuk merebut negeri itu lalu membagi-bagikannya kepada suku-suku
Israel. Karena Allah sendiri yang telah merebutnya, jelas bahwa tanah itu milik
Allah dan orang Israel hanya penggarapnya. Mereka menggarap tanah itu dan
mendapatkan penghidupan daripadanya. Tetapi, mereka tidak lupa pada Allah,
pemilik tanah yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai ungkapan syukur kepada Allah
dan ungkapan pengakuan akan Tuhan sebagai pemilik tanah, mereka mempersembahkan
sebagian dari hasil tanah itu kepada Allah.
Dari pengalaman akan kebaikan Tuhan ini,
orang Israel melakukan ibadah kurban. Dalam ibadah ini orang Israel membakar
sebagian hasil tanah mereka untuk Tuhan. Sebagian hasil itu berupa sepersepuluh
atau buah pertama dari hasil pertanian atau peternakan mereka. Sebelum Bait
Allah didirikan, orang (keluarga) membawa persembahan mereka ke tempat-tempat
suci dan menyerahkannya kepada imam yang bertugas di tempat itu. Para imam
itulah yang kemudian mempersembahkannya kepada Allah. Demikianlah, Elkana setiap
tahun membawa persembahan bagi TUHAN ke tempat suci di Silo dan menyerahkannya
kepada Eli yang menjadi imam di tempat suci itu (1Sam. 1:3,21). Sesudah Bait
Allah didirikan, barang-barang persembahan itu dibawa ke Bait Allah karena
hanya di tempat itulah kurban-kurban dapat dipersembahkan kepada Allah.
Dalam ibadah Israel kurban kepada TUHAN
memegang peran penting. Pada mulanya kurban persembahan itu merupakan ungkapan
pengakuan akan TUHAN sebagai pemilik tanah Israel yang sesungguhnya, sedangkan
mereka sendiri sebenarnya hanya penggarapnya. Sebagai persembahan, kurban itu
seperti pajak yang dibayarkan kepada para raja. Gagasan ini tidak hanya berakar
pada pemahaman mengenai Allah sebagai raja, tetapi juga pada pemahaman bahwa
Allah yang menyelenggarakan seluruh bumi, layak mendapatkan persembahan.
Sebagai pemberi hujan dan sebagainya, Ia berhak mendapatkan persembahan.
Kurban juga dipersembahkan untuk "menyediakan
makanan" bagi Allah (bdk. Kel. 24:5-6; Im. 3:14; Ul. 32:37-38). Pada zaman
dulu orang percaya bahwa para dewa dan makhluk ilahi hidup dari makanan dan
minuman khusus di surga. Ketika mereka datang ke dunia dan berada bersama
manusia, mereka memerlukan makanan untuk menyegarkan diri mereka, yakni darah dan
lemak dari binatang-binatang, yang diyakini mengandung kehidupan dan tenaga.
Dalam agama Israel, makanan harian untuk Allah di bumi ini disediakan dengan membakar
daging binatang, bersama gandum, minyak, garam, dan anggur (Ezr. 6:9). Selain itu,
Allah juga mendapat persembahan roti sajian (Kel. 25:30; 1Sam. 21:6; 1Raj.
7:48), yang terdiri dari 12 roti dari gandum terbaik, yang diletakkan di altar
dalam dua susunan yang masing-masing terdiri dari enam buah. Roti ini diganti
setiap Hari Sabat, dan roti lama dimakan oleh para imam.
Kurban persembahan kepada TUHAN juga
menjadi ungkapan syukur dari seorang yang nazarnya telah dipenuhi. Persembahan
ini juga dapat dilakukan ketika orang mengucapkan nazar tersebut (Im. 7:16-17;
22:21; 27; Bil. 6:21;15:3-13; Ul. 23:21-23). Persembahan disampaikan
semata-mata untuk mengucap syukur atas anugerah yang telah diterima dari Allah
(Im. 7:12-13; 2Taw. 33:16).
Dalam perkembangan selanjutnya kurban
persembahan memiliki fungsi lain: kurban juga dipersembahkan untuk memohon pengampuan
dosa dan mendamaikan kembali hubungan antara Allah dan manusia yang retak akibat
dosa. Orang Yahudi percaya bahwa hubungan dengan yang tidak suci, baik fisik
maupun moral, membuat orang tidak suci dan tidak layak untuk hadir menghadap
Allah dalam ibadah. Karena itu, orang-orang yang mengalami hal itu perlu mempersembahkan
kurban agar dirinya disucikan kembali dan layak untuk mengambil bagian dalam ibadah.
III.
KRITIK PARA NABI
Perjumpaan
bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan telah mempengaruhi cara pandang
mereka terhadap ibadah kepada TUHAN. Tujuan mereka beribadah bukan lagi untuk
mengungkapkan bakti kepada-Nya, tetapi untuk memenuhi kepentingan mereka
sendiri. Melihat kenyataan itu, para nabi melontarkan berbagai kritik terhadap
ibadah yang dilakukan oleh umat Israel. Semua kritik itu mereka sampaikan agar
umat Israel dapat menjalankan ibadah yang sejati kepada Allah yang telah
menyelamatkan mereka.
A.
Penyimpangan
Menutup mata TUHAN. TUHAN telah memilih
Israel untuk membawa berkat bagi segala bangsa, tetapi mereka justru
memperlakukan TUHAN sebagai ilah atau berhala yang dapat mereka pergunakan
untuk kepentingan dan cita-cita mereka sendiri: kekayaan, kesejahteraan,
kejayaan, dan kekuasaan. Mereka lupa bahwa mereka adalah milik TUHAN dan justru
menganggap Dia sebagai milik mereka sendiri, sebagai alat atau sarana yang dapat
mereka pergunakan menurut kehendak mereka untuk memenuhi keinginan mereka
sendiri.
Perayaan-perayaan meriah dilangsungkan
untuk memuji Allah dan kurban dipersembahkan kepada-Nya. Tetapi, semua itu
mereka lakukan bukan untuk Allah, tetapi untuk mereka sendiri. Mereka memuji
Allah dalam perayaan dan mempersembahkan kurban kepada-Nya supaya Ia merasa
"senang" lalu mau melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Mereka beranggapan bahwa Allah suka
dengan kurban persembahan sehingga tidak mempedulikan perilaku umat-Nya. Mereka
mengira bahwa Allah tidak akan memperhatikan dosa dan kesalahan mereka kalau sudah
diberi kurban persembahan. Akibatnya, orang-orang kaya yang merasa diri dapat
mempersembahkan banyak kurban, bisa berbuat dosa semaunya dan sesudahnya mereka
dapat mempersembahkan kurban kepada TUHAN supaya Ia tidak murka terhadap
mereka.
Para nabi melihat adanya praktek ibadat
yang dilakukan seolah-olah hanya untuk menutup mata TUHAN. Bahkan, mereka
melihat bahwa persembahan yang dibawa ke hadapan TUHAN adalah hasil pemerasan dan
penindasan. Mereka memeras sesama, terutama yang miskin, lalu membawa sebagian
hasilnya kepada TUHAN sebagai persembahan. Mereka beranggapan bahwa yang penting
bagi-Nya adalah kurban yang mereka persembahkan. Jadi, di satu sisi mereka
beribadah, di sisi lain mereka menindas sesamanya. Dengan cara demikian,
sebenarnya ibadah itu hanya menyenangkan diri mereka sendiri, dan sama sekali
tidak berkenan pada Allah.
Memenjarakan TUHAN. Situasi tempat ibadat
di Kerajaan Utara berbeda dari situasinya di Kerajaan Selatan. Di Kerajaan
Selatan peribadatan dipusatkan di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan di Kerajaan
Utara pemusatan seperti itu tidak ada; banyak tempat ibadah didirikan untuk keperluan
ibadah di kerajaan tersebut. Walaupun demikian, tempat-tempat di kedua kerajaan
tersebut dikecam oleh para nabi.
Pada zaman para nabi terjadi banyak salah
paham berhubungan dengan tempat-tempat ibadah itu. TUHAN adalah penguasa
seluruh umat manusia dan seluruh alam semesta, tetapi orang Israel telah
membatasi kuasa dan ruang lingkup-Nya, yakni hanya dalam bidang keagamaan di
tempat-tempat ibadah. Para nabi menegur bangsa Israel agar jangan terus merasa
aman dan menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin mengalami suatu celaka karena
Bait Allah ada di tengah mereka (bdk. Yer. 7).
Selain itu, terjadi juga percampuran antara
agama Israel dengan agama Kanaan. Orang Israel mengambil alih banyak tempat
ibadah orang Kanaan dan meniru kebiasaan mereka dalam beribadah. Salah satunya
adalah bukit pengurbanan, sebuah tempat ibadat terbuka. Di tempat ini didirikan
mezbah (lambang dewa dan tempat mempersembahkan kurban) dan tiang-tiang keramat
(lambang dewi). Tiang-tiang keramat (Asyera) yang menjadi lambang Dewi Astarte
itu merupakan salah satu sebab menonjolnya unsur seksual dalam ibadat di bukit pengurbanan.
Dari kritik-kritik para nabi tampak bahwa Israel meniru kebiasaan orang Kanaan
sehubungan dengan ibadat yang mereka lakukan di bukit-bukit pengurbanan itu.
B.
Kritik Para Nabi
Para nabi tidak tinggal diam menyaksikan
segala bentuk penyimpangan dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Israel.
Mereka melancarkan kritik baik terhadap praktek ibadah yang dilakukan oleh
orang Israel maupun terhadap pandangan mereka yang bersumber pada tempat
ibadah.
Mengenai ibadah.
Para nabi menyerukan bahwa TUHAN tidak tinggal diam melihat praktek yang keliru
dalam ibadah Israel. Jika dibiarkan, mereka akan beranggapan bahwa TUHAN
berkenan pada ibadah dan cara hidup mereka. Lebih jauh hal itu dapat berarti
bahwa Ia membenarkan tindakan mereka. TUHAN tidak berkenan pada kurban yang
mereka persembahkan karena bukan itu yang dikehendaki-Nya. Yang sesungguhnya
dikehendaki oleh TUHAN adalah berlaku baik kepada sesama, terutama yang miskin
dan menderita. Pernyataan ini menjelaskan makna ibadah yang sejati: ibadah adalah
wujud ketaatan kepada TUHAN, Allah mereka. Kalau mereka mau hidup sesuai dengan
kehendak-Nya, yang harus mereka lakukan adalah memperhatikan sesama, dan bukan
menindas sesama lalu mempersembahkan hasilnya kepada TUHAN.
Para nabi menunjukkan bahwa hubungan
umat Israel dengan TUHAN itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan
sesama. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah, pasti mengasihi sesamanya. Ibadat
itu tidak terpisah dari kehidupan yang nyata, tetapi merupakan bagian dari kehidupan
tersebut. Ketaatan untuk hidup sebagai umat Allah sama sekali tidak dapat
dibatasi dalam tempat-tempat ibadah, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan
manusia. Bagi para nabi, ibadah itu tidak memiliki peran mutlak, apalagi bila dianggap
sebagai cara terbaik untuk menyenangkan hati Allah. Ada hal lain yang perlu
lebih mendapat perhatian, yakni kehidupan nyata. Kalau orang tidak mengabaikan
perhatian pada sesamanya, ibadah yang dilakukannya akan kehilangan nilainya.
Mengenai tempat ibadah.
Amos menyatakan bahwa tempat-tempat ibadah Israel sama sekali tidak berkenan
kepada TUHAN, tetapi hanya memuaskan keinginan manusia. Ia melihat bahwa orang
memiliki pandangan yang keliru mengenai tempat suci (Am. 5:4-6). Bagi mereka tempat
itu adalah satu-satunya tempat TUHAN berkenan hadir menjumpai manusia.
Seolah-olah tempat ibadah itu adalah tempat mereka memiliki TUHAN. Padahal, Ia
hadir di mana pun. Ia menghendakinya karena langit adalah takhta-Nya dan bumi
adalah tumpuan kaki-Nya (Yes. 66:1). Allah hadir dalam setiap peristiwa hidup manusia
dan dalam diri sesama manusia, terutama yang miskin karena Dia adalah bapa bagi
anak yatim dan pelindung para janda. Bila orang mencari Allah dengan kurban persembahan,
Allah tidak akan mereka temukan (Hos. 5:6).
Bahkan, Mika menyatakan bahwa sebaiknya
Sion dihancurkan karena keyakinan para pemimpin Israel yang keliru (Mi.
3:9-12). Mereka telah berlaku jahat baik dalam bidang sosial maupun dalam
bidang keagamaan, tetapi mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan ditimpa
malapetaka karena TUHAN "ada di tengah-tengah kita". Ia adalah Allah
mereka dan mereka mengira bahwa tidak mungkin Ia menghukum umat-Nya sendiri, sekalipun
mereka berlaku jahat. Dengan cara demikian, sebenarnya mereka telah
memperlakukan TUHAN seperti berhala.
Yeremia mengungkapkan bahwa Yerusalem
dan Bait Allah telah menjadi sarang penyamun (Yer. 7:11-15). Karena itu, TUHAN
akan menghancurkannya seperti dahulu TUHAN menghancurkan Silo karena penyimpangan
yang dilakukan oleh umat Israel (bdk. 1Sam. 4). Mereka memiliki tempat ibadat
dan merasa telah beribadat kepada TUHAN, tetapi mereka tidak mau mendengarkan TUHAN
sekalipun Ia terus menerus berbicara kepada mereka. Mereka salah bila
menganggap bahwa tempat ibadah adalah jaminan keselamatan mereka karena TUHAN
sendiri akan menghukum mereka.
Karena banyaknya salah paham itu TUHAN
memang membiarkan Bait Allah yang mereka bangun itu dirusak oleh musuh-musuh
Israel. TUHAN tidak akan menjadi tunawisma bila Bait Allah dihancurkan. Ia
tidak memerlukan tempat tinggal di bumi ini karena, "Langit adalah
takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku" (Yes. 66:1). Penghancuran itu
terjadi ketika Babel menyerbu dan menghancurkan Yehuda lalu membuang
penduduknya (yaitu pada 586 SM).
Pembuangan yang dialami oleh Israel merintis
jalan menuju pandangan yang lebih rohani mengenai kehadiran Allah. Bait Allah
telah dihancurkan dan Tabut Perjanjian telah lenyap. Kehadiran TUHAN tak dapat
lagi dikaitkan dengan bangunan dan barang jasmani itu. Nabi Yehezkiel tidak
ragu-ragu menyatakan bahwa kehadiran TUHAN lepas dari Bait Allah dan Yerusalem.
Dalam suatu penglihatan nabi menyaksikan kemuliaan/kehadiran TUHAN meninggalkan
Bait Allah dan Kota Yerusalem (Yeh. 10 dan 11).
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa
TUHAN meninggalkan umat-Nya. Justru terjalin suatu hubungan baru antara
kehadiran TUHAN ini dengan orang buangan, yang tetap setia kepada-Nya. Ketika
berada di antara orang-orang buangan itu di tepi Sungai Kebar, nabi mendapat
penglihatan tentang kemuliaan TUHAN (Yeh. 1). Ia melihat kemuliaan TUHAN ada di
antara orang buangan di sebuah lembah (Yeh. 3:23). TUHAN sendirilah yang
menjadi tempat kudus bagi orang-orang buangan yang terpencar-pencar itu
(11:16). TUHAN akan mengumpulkan dan memimpin orang yang setia kepada-Nya
pulang kembali ke tanah air mereka (36:24).
TUHAN tidak terikat pada suatu wilayah
tertentu. Bangsa-bangsa tetangga Israel percaya bahwa dewa-dewa mereka terikat
pada suatu wilayah, dan bahkan hanya dapat dihormati di wilayah mereka
masing-masing. TUHAN adalah Allah yang bebas. Ia memang memilih suatu bangsa,
tetapi tidak terikat mutlak kepada bangsa pilihan-Nya itu. Bait Allah tempat
tabut itu disimpan bukanlah tempat mereka 'mempunyai' Allah, melainkan tempat
Allah berkenan menyatakan diri dan bertemu dengan mereka (bdk. Kel. 33:9-11;
Bil. 11:25; 12:5:10).
C.
Ibadah Sejati
Melihat kritik para nabi mengenai ibadah,
orang bisa bertanya apakah para nabi itu antiibadah dan apakah ibadah itu tidak
diperlukan? Yang dikecam oleh para nabi sebenarnya adalah cara umat Israel
beribadah.
Ketika ibadah dilakukan sebagai pengakuan
akan kuasa Allah dan tidak dipisahkan dari kehidupan nyata, para nabi tidak
akan keberatan. Para nabi mengingatkan bahwa di padang gurun dahulu, mereka
tidak mempersembahkan kurban untuk Allah (Am. 5:25) dan Ia pun tidak menuntut
itu dari mereka (Yes. 43:23).
Bukan ibadah yang dapat mendekatkan manusia
kepada Allah, melainkan kesetiaan pada Allah dan kesediaan untuk hidup menurut
kehendak-Nya. Kesetiaan ini jauh lebih penting dalam pandangan TUHAN daripada
kurban bakaran, seberapa pun banyaknya. Ia menyukai kasih setia, bukan kurban sembelihan.
Ia senang melihat umat Israel mengenal-Nya dan melakukan kehendak-Nya, tetapi
tidak suka melihat mereka mempersembahkan kurban bakaran (Hos. 6:6; bdk. 1Sam. 15:22).
Nabi Yesaya mengingatkan bahwa ibadah
sejati harus dilaksanakan dengan tangan yang bersih, jangan sampai orang
beribadah dengan tangan yang penuh darah (Yes. 1:10-18). Semua bentuk ibadah
Israel tidak berkenan pada Allah. Allah sudah jemu dengan semua kurban bakaran dan
tidak menyukai darah lembu jantan dan domba. Ini berarti Allah tidak menerima
segala bentuk kurban mereka. TUHAN melarang mereka membawa kepada-Nya
"kurban yang tidak sungguh". Ia pun tidak mau melihat
perayaan-perayaan bulan baru dan Sabat serta pertemuan-pertemuan mereka karena
perayaan mereka itu penuh kejahatan. Bahkan, Ia memalingkan muka ketika mereka menadahkan
tangan untuk berdoa. Sekalipun mereka berkali-kali berdoa, Ia tidak akan
mendengarkan doa mereka karena tangan mereka penuh darah!
TUHAN menunjukkan apa yang dikehendaki
dari umat-Nya (ayat 16-17) : bukan kurban atau persembahan atau ibadah,
seberapa pun banyaknya dan seringnya, melainkan perilaku adil dan benar
terhadap sesama. Ibadah harus dimulai dengan membersihkan diri, dalam arti
bertobat (menjauhi kejahatan dan hidup menurut kehendak Allah). Mereka harus berhenti
berbuat jahat dan belajar berbuat baik dengan bertindak adil terhadap sesama.
Karena, tidak ada yang lebih berkenan pada Allah daripada perhatian terhadap
sesama yang menderita, tertindas, dan tersingkir.
D.
Munculnya Sinagoga
Kehancuran Kerajaan Yehuda mendatangkan
malapetaka bagi iman Umat Israel. Bait Allah telah dihancurkan dan mereka sendiri
terpaksa tinggal di negeri asing. Orang-orang yang dibuang di Babel itu
berusaha untuk mempertahankan kepercayaan mereka. Untuk itu mereka berkumpul
untuk beribadah dan mendalami kembali keyakinan mereka akan TUHAN. Mula-mula mereka
berkumpul di rumah salah seorang warga, tetapi kemudian mereka mendirikan
bangunan khusus yang disebut sinagoga. Bangunan ini berkiblat ke arah
Yerusalem. Ketika berdoa, Daniel menghadap ke arah Yerusalem (Dan. 6:11). Di tempat
ini mereka berkumpul untuk mendengarkan dan mendalami Hukum Taurat. Selain
menjadi tempat pendidikan untuk mendalami Taurat, sinagoga juga menjadi tempat
bagi orang Yahudi untuk melakukan ibadah kepada Allah mereka.
Dalam ibadah itu mereka mengucapkan
Syema (terdiri dari Ul. 6:4-9 dan 11:13-21 dengan Bil. 15:37-41) yang merupakan
pengakuan iman Israel akan Allah mereka. Mereka pun mendengarkan pembacaan
Taurat. Pembacaan itu disusun menurut jadwal tertentu sehingga seluruh Taurat dibacakan.
Sesudah itu, seseorang yang hadir dalam ibadah di sinagoga itu diundang untuk
memberikan uraian mengenai isi Taurat yang telah dibacakan itu. Selain itu,
mereka menyampaikan doa-doa kepada Allah dan menerima berkat Allah yang disampaikan
oleh para imam.
Munculnya sinagoga ini memberikan warna
baru dalam ibadah Israel. Perhatian umat dalam ibadah ini tidak diarahkan pada
ritus atau tatacara kurban, tetapi pada pengangkatan pikiran dan hati umat pada
Allah dan firman-Nya. Umat sujud di hadapan Allah dalam pujian dan doa.
Kehadiran sinagoga itu memupuk keasyikan orang Yahudi untuk membaca dan merenungkan
Taurat. Walaupun sesudah pembuangan orang Yahudi mendirikan kembali Bait Allah,
peran sinagoga tetap sangat penting. Dalam dunia diaspora, orang-orang Yahudi yang
tersebar di seluruh penjuru dunia memelihara iman dan kebaktian mereka pada
Allah justru melalui ibadah yang dilakukan di sinagoga.
IV.
MENYEMBAH ALLAH DALAM ROH DAN KEBENARAN
Apa
yang dikatakan Yesus mengenai ibadah? Keempat Injil mengisahkan bagaimana Yesus
pergi ke Bait Allah dan merayakan pesta-pesta keagamaan Yahudi. Tetapi, Yesus
juga menubuatkan kehancuran Bait Allah yang menjadi pusat peribadatan orang
Yahudi itu. Dalam khotbah tentang akhir zaman yang disampaikan dalam ketiga
Injil Sinoptik, Yesus menyatakan bahwa Bait Allah akan runtuh. Dengan demikian,
orang Yahudi tidak dapat lagi beribadah di tempat suci itu. Dalam Injil Yohanes
Yesus berbicara tentang menyembah Allah tanpa bergantung pada tempat tertentu.
Hal ini disampaikan oleh Yesus ketika berbicara dengan seorang perempuan
Samaria di tepi sebuah sumur.
A.
Di Mana Menyembah Allah?
Ketika menyadari bahwa Yesus mengetahui
kehidupan pribadinya, perempuan itu menarik simpulan bahwa ia sedang berbicara
dengan seorang nabi (ayat 19). Seorang nabi dianggap memiliki pengetahuan adikodrati
(Luk. 7:39). Orang-orang Samaria hanya menerima Taurat sebagai kitab suci
mereka, karena itu pemahaman mengenai nabi harus dipahami berdasarkan Ul.
18:15-22, seorang nabi yang sama seperti Musa. Sebagai nabi Yesus diyakini dapat
memberikan jawaban Allah mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
manusia. Perempuan itu melihat adanya kesempatan untuk mengajukan persoalan
kepada Yesus, yaitu suatu persoalan yang banyak diajukan oleh orang Samaria dan
orang Yahudi. Persoalan itu menyangkut tempat di mana Tuhan Allah harus disembah,
di Gunung Gerizim atau di Yerusalem. "Allah menghendaki orang menyembah
Dia di Gunung Gerizim atau di Yerusalem?" Orang Yahudi dan orang Samaria
selalu bertengkar soal di mana Allah harus disembah. "Nenek moyang kami
menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat
orang menyembah" (ayat 20). Jawaban Yesus terhadap soal yang diajukan oleh
perempuan itu merupakan bagian yang paling mendalam dalam percakapan antara
Yesus dengan perempuan itu (ayat 21-24).
Pertama-tama, Yesus menyatakan bahwa
akan datang masanya orang akan menyembah Allah, bukan di atas gunung ini, dan
bukan di Yerusalem (ayat 21). Memang di masa lampau persoalan di mana Tuhan
harus disembah merupakan persoalan yang dipandang sangat serius. Seolah-olah keberadaan
Allah dan kehadiran-Nya itu sangat bergantung pada tempat tertentu. Sekalipun
para nabi telah menyampaikan berbagai kecaman mengenai hal itu, tidak berarti bahwa
orang Israel mengabaikan peran tempat-tempat suci. Yerusalem tetap dipandang sebagai
kota yang paling suci dan kehadiran Allah tidak pernah dilepaskan dari Bait
Allah yang dibangun di kota itu. Dalam jawaban-Nya Yesus menyebut suatu masa
yang akan datang, di mana tidak lagi menjadi soal, di mana Allah harus
disembah. Soal di mana itu akan lenyap sama sekali dan segala bangsa, termasuk
Yahudi dan Samaria, akan menyembah Allah di segala tempat. Untuk dapat berjumpa
dan menyembah Allah orang tidak perlu datang ke tempat tertentu karena memang
kehadiran-Nya tidak terikat pada hal-hal yang fisik.
B.
Menyembah Allah yang Tidak Dikenal?
Selanjutnya Yesus menunjukkan persoalan
yang sebenarnya ada dalam ibadah yang dilakukan oleh orang Samaria: menyembah
apa yang tidak mereka kenal. Untuk memahami pernyataan Yesus itu, kita perlu mengingat
kembali siapa sebenarnya orang Samaria itu. Pada tahun 722 SM Asyur
menakhlukkan Israel dan membuang seluruh penduduknya ke Asyur dan ke
wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain. Untuk menghindari bangkitnya kembali kekuatan
politik setempat Asyur menempatkan orang-orang dari wilayah-wilayah kekuasaannya
ke Samaria, bekas ibukota Israel itu (2Raj. 17:24-41). Di tempat baru itu mereka
menghadapi menghadapi berbagai kesulitan yang menurut keyakinan mereka terjadi
karena mereka tidak menyembah Allah yang berkuasa di negeri itu. Seorang imam
Israel, yang sudah diangkut ke pembuangan, dipanggil kembali untuk mengajarkan kepada
warga baru itu bagaimana seharusnya berbakti kepada TUHAN. Mereka memang
berbakti kepada TrUHAN, tetapi juga beribadah kepada ilah-ilah mereka masing-masing,
turun temurun.
Mengingat sejarah dan jatidiri mereka itulah,
Yesus dapat menyatakan bahwa orang Samaria menyembah Allah yang tidak mereka
kenal. Mereka melakukan ibadah, tanpa mengetahui kepada siapa ibadah itu
ditujukan. Selain itu, motivasi mereka untuk beribadah kepada TUHAN pun menjadi
keliru. Mereka menyembah TUHAN semata-mata terdorong oleh rasa takut akan bahaya
yang didatangkan oleh Allah yang berkuasa di Israel itu. Tidak ada di benak
mereka untuk mengabdi kepada Allah Israel itu karena memang mereka tidak
memiliki pengalaman pribadi dengan Dia. Yang mereka perlukan hanyalah dapat
tinggal di negeri itu tanpa ancaman dan untuk itu mereka mau menyembah Allah
penguasa negeri itu.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di antara
orang Yahudi: menyembah apa yang mereka kenal karena memang keselamatan datang
dari bangsa Yahudi. Di masa lampau orang Yahudi mengalami Allah yang telah
mengasihi mereka dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan memberikan
kepada mereka Tanah Kanaan yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang
mereka. Pada zaman Daud Allah berjanji untuk membuat takhta dan kerajaan Daud kokoh
untuk selamanya. Ketika kerajaan Daud itu pecah dan runtuh, orang Israel tetap
percaya bahwa janji Allah kepada Daud itu akan dipenuhi. Seorang keturunan Daud
akan bangkit untuk mendirikan kembali Israel lalu dan membawa Israel ke dalam
damai sejahtera. Raja keturunan Daud yang akan memerintah Israel di masa depan itulah
yang disebut sebagai Mesias. Para nabi berulangkali menubuatkan kedatangannya.
Dengan demikian jelas bagaimana tempat
bangsa Israel dalam sejarah pewahyuan Allah. Terhadap penyembahan Samaria,
memang bangsa Israel ada di pihak yang benar. Keselamatan memang datang dari Israel
(Yes. 2:3; Rm. 3:1; 9:4,5;11:18) karena secara lahiriah Mesias memang lahir
dari Israel, sebagaimana telah dinubuatkan oleh para nabi. Orang Samaria tidak
memahami hal ini karena mereka hanya menerima Taurat sebagai Kitab Suci mereka,
dan tidak mempunyai kitab-kitab lain. Hanya saja dalam pemahaman Yesus, Mesias bukanlah
perkara politik seperti yang dibayangkan oleh orang Yahudi pada umumnya. Bagi
Yesus Mesias adalah pribadi utusan Allah yang datang untuk menyelamatkan
manusia dari bahaya kematian kekal akibat dosa dan membawanya masuk dalam kehidupan
abadi di surga.
C.
Dalam Roh dan Kebenaran
Dalam pada itu kesempatan yang timbul
dari bangsa Israel itu tidak terbatas pada bangsa itu saja, tetapi diberikan
untuk seluruh dunia. Saatnya akan tiba bahwa Bait Allah dan seluruh ibadah yang
dirayakan di dalamnya itu akan berakhir. Allah tidak akan disembah dengan
berbagai upacara keagamaan di sebuah tempat yang dipandang layak untuk itu. Penyembahan
kepada Allah tidak lagi bergantung pada tempat sehingga orang tidak perlu lagi
bertengkar di mana Allah ingin disembah oleh manusia. Yesus menyatakan bahwa akan
datang saatnya dan saat itu sudah tiba bahwa ibadah di Bait Allah akan digantikan
dengan ibadah dalam roh dan kebenaran. Bapa menghendaki agar para penyembah
yang benar akan menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.
Roh Allah.
Lalu Yesus memberikan alasan untuk ibadah/penyembahan yang baru itu: Allah itu
adalah Roh. Hal ini menunjuk pada hakikat yang menerangkan bagaimana Allah berhubungan
dengan manusia. Dalam tulisan-tulisan Yohanes, terdapat contoh lain mengenai
hal ini: a) Allah adalah kasih (1Yoh. 4:16), artinya Allah berhubungan dengan
manusia dengan penuh kasih, dan b) Allah adalah terang (1Yoh. 1:5), artinya Allah
berhubungan dengan manusia sebagai cahaya. Kalau dikatakan bahwa Allah adalah
Roh, ini berarti Allah berhubungan dengan manusia sebagai Roh dan memberikan
roh kepada manusia. Karena Allah itu adalah Roh, manusia baru dapat menyembah
Allah sebagai Bapa apabila ia telah lahir kembali dari Roh lalu hidup sebagai anak
dalam hubungan dengan Bapa (Yoh. 3:5; 1:12; 1Yoh. 3:1).
Karena Allah adalah Roh, hanya mereka yang
telah dilahirkan kembali dari roh dapat berhubungan dengan Dia (Yoh. 3:5). Roh
itu berasal dari Allah di surga, bukan dari dunia (1Kor. 2:11,14; 3:16; 6:11; 1Ptr.
4:14). Roh itu milik Allah dan diberikan oleh Allah (Kis. 2:17,18,33; 5:32;
15:18; 1Tes. 4:8; Luk. 1:13). Sesudah Yesus dibaptis langit terkoyak (Mrk. 1:10)
dan Roh Kudus turun dari surga seperti burung merpati ke atas Yesus. Ia pun
turun atas para rasul pada Hari Pentakosta dan kedatangan-Nya disertai angin
ribut dan api. Selanjutnya Roh Kudus turun atas orang-orang yang menerima dan percaya
pada pemberitaan tentang Kristus. Demikianlah, Roh itu turun dari surga (Luk.
1:35; Kis. 19:6; Yoh. 1:32-33), diterima oleh manusia (Kis. 2:33; 8:15,16; Gal.
3:2; 3:14; 1Kor. 2:12; Yoh. 7:39), dan memberikan hidup kepada manusia (Yoh.
6:63). Orang yang lahir dari Roh menerima kehidupan dari Roh dan seluruh
hidupnya digerakkan oleh Roh itu.
Kehadiran-Nya di dunia menunjukkan bahwa
melalui Roh Kudus Allah hadir dalam dunia dan dalam diri manusia. Roh Kudus
menjadi alat, daya ilahi yang khas, yang dengan-Nya Allah tampak dan berkarya
dalam dunia manusiawi. Roh Kudus yang adalah kekuatan dan daya ilahi itu
menampakkan diri dalam macam-macam rupa dan bekerja dengan pelbagai cara.
Kadang-kadang roh itu berupa daya ajaib, kadang-kadang berupa kemampuan untuk mengajar,
memimpin, melayani, dan sebagainya. Penampakan dan karya Roh Kudus itu
seringkali juga disebut "roh", atau "roh-roh" atau
"Roh Kudus" (1Tes. 1:5; 2Kor. 3:8; 6:6; 1Yoh. 4:1-3).
Roh Kebenaran.
Ungkapan "Roh dan kebenaran" artinya sama dengan "Roh yang
adalah kebenaran" atau "Roh Kebenaran". Roh Kudus juga disebut Roh
Kebenaran karena memimpin para murid Yesus ke dalam seluruh kebenaran (Yoh.
16:13). Tetapi, apa yang dimaksud dengan kebenaran? Kebenaran yang dimaksudkan adalah
rahasia Allah sebagaimana disingkapkan oleh Yesus dan diingatkan oleh Roh.
Apakah mungkin bagi manusia untuk memahami Allah sebagaimana Dia ada? Yesus
datang dari Bapa dan telah melihat-Nya (Yoh. 6:46; bdk. Yoh. 1:18). Apa yang dikerjakan
oleh Bapa itulah yang dikerjakan oleh Yesus (Yoh. 5:19) dan apa yang dilihat
oleh Yesus pada Bapa itulah yang dikatakan-Nya (Yoh. 8:38) dan Dialah yang
memerintahkan Yesus untuk mengatakan apa yang harus Ia katakan (Yoh. 12:49).
Dengan demikian, melihat dan mendengarkan Yesus sama dengan melihat dan
mendengarkan Bapa (Yoh. 14:9): "Siapa saja yang telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa".
Dalam Yoh. 14:26 Yesus menyatakan bahwa
Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama Yesus, akan mengajarkan segala
sesuatu kepada para murid dan akan mengingatkan mereka akan semua yang telah dikatakan
oleh Yesus kepada mereka. Apa yang diajarkan oleh Roh sama dengan yang telah
dinyatakan oleh Kristus. Karena, Roh mengajarkan apa yang diajarkan oleh
Kristus. Ia tidak akan berbicara dari diri-Nya sendiri, tetapi menyatakan
segala sesuatu yang telah didengar-Nya (Yoh. 16:13).
Menyembah dalam Roh dan Kebenaran.
Lalu, apa yang dimaksudkan Yesus dengan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran?
Menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berarti menyembah Allah karena
digerakkan oleh Roh yang telah menyatakan kebenaran tentang Allah. Roh memperkenalkan
dan menyatakan siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu Allah sebagaimana Dia ada.
Hal ini dilakukan dengan mengingatkan orang beriman pada semua yang telah diajarkan
oleh Yesus mengenai Allah Bapa yang mengasihi manusla. Roh yang sama
menggerakkan orang untuk menyembah Allah yang sebenarnya (sebagaimana adanya)
dengan sikap hati yang benar, yakni dengan menempatkan diri di hadapan Allah yang
mengasihi dia.
D.
Mesias Pembawa Kebenaran
Perempuan itu menjawab: Ia mengetahui
bahwa Mesias akan datang dan jika datang Ia akan memberitakan segala sesuatu
kepada kami. Dalam keyakinan orang Samaria, Mesias akan datang untuk memulihkan
ibadah yang sejati. Tidak mengherankan bahwa orang berlagak sebagai Mesias yang
muncul pada zaman Pilatus berjanji untuk menunjukkan kepada orang Samaria di
mana Musa menguburkan perlengkapan ibadah (yang suci) di Gunung Gerizim
(Yosefus, Antiquantes, 18.4.1.
§85-87). Yesus menyatakan bahwa Dia yang sedang berbicara dengan perempuan itu
adalah Mesias. Yesus menyatakan bahwa Ia memenuhi pengharapan perempuan itu
akan datangnya Mesias yang akan menunjukkan kepadanya segala sesuatu (tentang
ibadah yang sejati).
V.
IBADAH KELUARGA KRISTIANI
Setelah
melihat seluk beluk ibadah di dalam Kitab Suci, sekarang kita akan melihat bagaimana
pemahaman itu dapat menggerakkan keluarga untuk beribadah kepada Allah. Berdasarakan
pendalaman bahan-bahan dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai ibadah, kita
akan merenungkan bagaimana keluarga menjadi tempat kehadiran Allah. Dalam
keluarga, khususnya dalam ibadah, Allah menjumpai seluruh anggotanya untuk
mendidik mereka hidup menurut kehendak-Nya.
A.
Keluarga sebagai Tempat Kehadiran Allah
Dalam Perjanjian Lama kita melihat bagaimana
Allah yang tinggal di surga itu hadir dalam dunia manusia. Kita juga melihat
bahwa tempat yang dipergunakan sebagai tempat beribadah disebut tempat suci.
Tempat itu dipandang suci bukan karena keistimewaan tempat itu, tetapi karena Allah
pernah hadir dan menyatakan diri di tempat itu. Karena Allah pernah menjumpai
manusia suatu tempat atau karena leluhur mereka pernah berjumpa dengan Allah di
situ, tempat itu dipergunakan sebagai tempat ibadah. Orang Israel datang dan beribadah
di tempat itu karena yakin dapat berjumpa dengan Allah di tempat itu. Kehadiran
Allah yang kuduslah yang membuat tempat itu menjadi kudus.
Dalam Sakramen Perkawinan, Allah hadir
dan mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang dikehendaki-Nya. Ia
menghendaki agar keduanya membangun keluarga dalam ikatan cinta kasih. Tetapi, Ia
tidak hanya mempersatukan keduanya lalu meninggalkan mereka dan membiarkan mereka
menjalani kehidupan di dunia ini. Allah yang berkuasa di surga tetap hadir
dalam keluarga yang mereka bangun dan menyertai orangtua dan anak-anak
sepanjang hidup mereka. Karena Allah senantiasa hadir di dalam keluarga,
keluarga dapat disebut sebagai sebuah tempat suci. Di dalamnya seluruh anggota
keluarga dapat menghadap Allah dan Allah pun berkenan untuk menjumpai mereka.
Sebenarnya hal ini tidaklah baru di dalam
kehidupan keluarga Katolik. Sudah sejak lama orang Katolik memasang benda-benda
suci (patung, gambar, salib, dsb). Semua itu ada di dalam rumah, bukan untuk
hiasan atau sekedar untuk menunjukkan jatidiri sebagai keluarga Katolik. Juga tidak
dimaksudkan bahwa rumah menjadi etalase atau ruang pamer untuk memajang
benda-benda yang dibeli dari berbagai tempat ziarah. Sebaliknya, benda-benda
suci itu membantu seluruh anggota keluarga untuk selalu menyadari kehadiran Allah
di dalam keluarga. Dengan melihat benda-benda suci itu, orang dapat melihat dan
merasakan Allah yang hidup di tengah keluarga. Yesus yang dahulu hadir di
Israel kuno, tetap hadir di tengah keluarga Kristiani.
B.
Ibadah: Perjumpaan Allah dengan Keluarga
Seperti yang telah kita lihat, pada dasarnya
ibadah merupakan perjumpaan Allah dengan manusia. Ibadah yang paling mungkin dilaksanakan
di dalam keluarga adalah Ibadah Sabda. Dalam ibadah ini seluruh anggota
keluarga berkumpul dan bersama-sama menghadap Tuhan yang hadir di dalam
keluarga. Dalam Ibadah Sabda kita bertemu dengan Yesus, mendengarkan sabda-Nya
dan menanggapinya.
Allah Hadir dan Bersabda.
Yesus Kristus telah mati, bangkit, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah
dan menjadi pembela kita (Rm. 8:34). Dengan berbagai cara Ia hadir dalam
Gereja-Nya (Lumen Gentium 48). Dalam perayaan
Ekaristi, selain hadir dalam kedua rupa Ekaristi seperti yang telah kita lihat
(liturgi Ekaristi), Yesus juga hadir dalam Sabda-Nya (liturgi Sabda). Konstitusi
Liturgi menandaskan bahwa Allah benar-benar hadir dalam sabda-Nya, karena Ia
sendirilah yang berbicara bilamana, dalam gereja, Alkitab dibacakan (KL no 27).
Hal yang sama ditegaskan oleh Pedoman Umum Misale Romawi: "Bila Alkitab
dibacakan dalam gereja, Allah sendirilah yang bersabda kepada umat-Nya, dan
Kristus mewartakan kabar baik, sebab Ia hadir dalam sabda itu" (PUMR 29).
Allah telah mempersatukan suami dan
istri dalam ikatan perkawinan dan menghendaki mereka untuk membangun keluarga
yang setia kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup keluarga, Allah tetap menyertai keluarga
itu dan membimbingnya. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dalam Kitab Suci Bapa
yang ada di surga dengan penuh cinta kasih menjumpai para putra-Nya dan
berwawancara dengan mereka (DV 21). Ketika seluruh anggota keluarga berkumpul
dan Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan menyampaikan Sabda-Nya kepada seluruh
anggota keluarga : kepada setiap anggota sebagai pribadi dan sebagai keluarga. Melalui
Kitab Suci Allah menyapa keluarga, menyampaikan kehendak-Nya, dan membimbing keluarga
tersebut.
Menanggapi Sabda Allah.
Melalui Sabda yang dibaca dan direnungkan, Allah telah berbicara kepada seluruh
anggota keluarga. Sebagai tanggapan atas Sabda-Nya, seluruh anggota keluarga
menyampaikan doa-doa kepada Allah. Doa-doa itu dapat berupa pujian, ucapan
syukur, maupun permohonan. Tetapi, semua mengambil inspirasi dari Sabda yang
telah direnungkan sehingga sungguh-sungguh menjadi tanggapan atas Sabda yang
telah disampaikan Allah. Untuk itu orangtua perlu mengajar anak untuk menyusun
doa untuk disampaikan kepada Allah. Ini tidak berarti orangtua mendiktekan doa
untuk diucapkan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mengungkapkan isi
hatinya kepada Tuhan.
Dengan demikian, keluarga juga menjadi
sekolah doa bagi anak-anak yang lahir di dalamnya. Dalam hal ini, orangtua
menjadi guru doa bagi anak-anaknya. Paus Yohanes Paulus II menyatakan,
"Karena martabat serta perutusannya, orangtua Kristiani mengemban tanggung
jawab khas membina anak-anak mereka dalam doa, sambil mengajak mereka menemukan
secara berangsur-angsur misteri Allah dan berwawancara secara pribadi dengan-Nya:
'Terutama dalam keluarga Kristiani yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban
Sakramen Perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah
...'" (FC 60).
C.
Ibadah Keluarga sebagai Sekolah Iman
Keluarga adalah tempat ideal untuk
mewariskan iman, untuk memperkenalkan anak pada Yesus yang diimani, dan untuk
membina hubungan yang akrab dengan Allah. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung
jawab dalam pendidikan iman anak karena mereka dipercaya oleh Tuhan untuk
mendidik dan memelihara anak-anak yang lahir dalam keluarga mereka. Orangtualah
yang pertama-tama memperkenalkan Allah kepada anak-anak dan mendidik mereka
untuk hidup dalam penyerahan diri kepada-Nya.
Dalam Sakramen Perkawinan suami dan
istri berjanji untuk mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan dalam iman
Katolik. Dalam arti umum iman berarti menerima kebenaran tentang Allah dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran ini. Tetapi, iman juga
menyangkut sikap hati: orang yang memiliki iman mempercayakan diri kepada Allah
dan mengandalkan-Nya. Untuk dapat sungguh beriman, orang memerlukan dua hal.
Pertama, mengenal siapa Allah yang sebenarnya (iman yang benar). Kedua,
menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah dan mengandalkan-Nya (iman yang sejati).
Orang beriman mempercayakan diri sepenuhnya pada Allah sebagaimana Ia
menyatakan diri. Ia menyatakan diri melalui ciptaan-Nya, melalui sejarah umat
Israel, dan terutama melalui Yesus Kristus.
Dalam keluarga orangtua memiliki tanggung
jawab besar untuk memperkenalkan Allah yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga
merupakan sekolah kehidupan bagi anak-anak sehingga orangtua bertanggung jawab
untuk mendidik anak tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang
beriman.
Dalam pembinaan iman di dalam keluarga,
Kitab Suci, sumber iman Kristiani, menjadi sarana utamanya. Ibadah yang
dilakukan di dalam keluarga merupakan kesempatan yang sangat baik untuk
memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak dan untuk mendidik dalam iman akan Tuhan.
Dalam ibadah itu orangtua mengajak anak-anak untuk membaca Kitab Suci dan
menjelaskan isinya kepada mereka. Di dalam Kitab Suci kita dapat berjumpa
dengan Allah yang seharusnya dipercaya dan diandalkan oleh manusia. Selain itu,
kita dapat belajar bagaimana harus menyerahkan diri kepada Allah yang sejati
dan mengandalkan-Nya. Hanya dengan membaca Kitab Suci, kita dapat berjumpa
dengan Allah yang kita imani dan dapat mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh. Dengan
demikian, orangtua menjadi pewarta Kabar Gembira Kristus bagi anak-anak mereka.
Seperti Gereja, keluarga menjadi tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana
Injil bercahaya (EN 71). Perlu disadari bahwa masa depan pewartaan Injil
sebagian besar bergantung dari Gereja rumah tangga (FC 52).
Gereja Katolik menempatkan keempat Injil
sebagai kitab yang utama karena memuat kisah hidup dan ajaran Yesus. Karena
itu, keluarga Katolik pun menempatkan keempat Injil sebagai bahan utama untuk
dibaca dan didalami. Ketika membaca Injil kita menyaksikan apa yang dikerjakan oleh
Yesus dan mendengarkan apa yang diajarkan-Nya. Karena itu, semakin banyak
membaca Injil, kita akan mengenal Kristus dengan lebih lengkap. Karena itu,
ketika membaca kisah-Nya, baiklah kita mengajukan: Apa yang dikatakan perikop
ini mengenai Yesus? Apa yang dapat saya teladan dari Yesus dalam perikop tersebut?
Atau apa yang diajarkan Yesus kepada saya? Perlu diingat juga bahwa "...tidak
mengenal Kitab Suci berarti belum mengenal Kristus" (DV25). Ini berarti
bahwa semua orang beriman, para pengikut Kristus, harus membaca Kitab Suci
supaya dapat mengenal Kristus yang mereka ikuti.
Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi
manusia dan yang mengundang kita untuk mengikuti jejak-Nya. Karena itu, Dialah
yang harus menjadi teladan dan pedoman hidup kita. Dalam menjalani kehidupan ini
baiklah kita terus menyadari keberadaan Kristus bersama kita. Ia berjalan
bersama kita dan menyertai kita setiap saat. Yesus pernah hidup dalam keluarga
sehingga Ia memahami situasi dan perasaan yang dihadapi oleh setiap keluarga.
Baiklah kita selalu bertanya: Bila Kristus sendiri menghadapi persoalan yang
sedang saya hadapi, bagaimana sikap-Nya dan apa yang akan dilakukan-Nya? Tetapi,
apa yang disampaikan Allah dalam pembicaraan itu dan apa yang dapat kita dengar
dari-Nya? Allah memperkenalkan siapa diri-Nya, apa yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan
kita, tujuan hidup kita, menghibur kita ketika sedih dan patah semangat,
menegur kita ketika melakukan kesalahan.
D.
Ibadah dan Kehidupan
Agama tidak dinilai berdasarkan nama
ilah yang disembah, tetapi berdasarkan ciri khas agama itu dan pola hidup yang
dihasilkannya. Para nabi telah mengingatkan bahwa ibadah kepada Allah tidak
dapat dilepaskan dari relasi dengan sesama. Ibadah mengungkapkan bakti umat
kepada Allah, saat orang menyadari siapa sebenarnya dia di hadapan Allah. Bakti
kepada Allah tidak dapat dibatasi hanya pada melakukan kegiatan-kegiatan
ritual. Bakti yang sebenarnya diwujudkan dengan melakukan apa yang
dikehendaki-Nya. Yesus telah mengingatkan bahwa hal terutama yang harus
dikerjakan oleh orang yang percaya kepada-Nya adalah mengasihi Allah dan
sesama. Mereka yang mengasihi Allah juga mengasihi sesama. Kasih kepada Allah
itu tidak mungkin lepas dari kasih kepada sesama. Bagaimana hal ini dapat dilakukan
di dalam keluarga?
Dalam Kitab Suci Yesus Kristus memperkenalkan
Allah yang benar kepada manusia, yaitu Allah yang mengasihi manusia. Begitu
besar kasih Allah itu sehingga Ia rela menyerahkan Putra Tunggal-Nya untuk
keselamatan manusia, supaya manusia dapat tinggal dalam kemuliaan abadi
bersama-Nya di surga (Yoh. 3:16). Di hadapan Allah yang begitu mengasihi itu, bagaimana
kita harus menempatkan diri dan bersikap? Ketika beribadah dan menyembah Allah,
orang menempatkan diri sebagai pribadi yang telah dikasihi-Nya. Hal itu dilakukannya
untuk mengungkapkan kepercayaan akan Allah yang mengasihi dia dan untuk mengungkapkan
kasih kepada-Nya. Sikap yang demikian itu tidak terbatas hanya pada tempat ibadah.
Jatidiri sebagai umat yang dikasihi oleh Allah itu selalu ada di dalam diri
orang beriman, kapan pun dan di mana pun. Sebagaimana di dalam Kristus Allah
telah mengasihi dia, orang yang beriman akan Kristus mengasihi sesama.
Pengalaman akan kasih Allah itu menggerakkannya dalam menjalani kehidupan dan mendorongnya
untuk mengasihi sesama.
Tujuan utama membaca Kitab Suci adalah
mendengarkan Sabda Allah dan hidup dari Sabda itu. Membaca, mempelajari, dan
merenungkan Sabda kemudian harus mengalir ke dalam kehidupan yang mengungkapkan
kesetiaan pada Kristus dan ajaran-Nya. Dengan demikian, Sabda Tuhan itu akan
menjadi "pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (Mzm. 119:105). Memang
"segala sesuatu yang tertulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran
bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan
penghiburan dari Kitab Suci" (Rm. 15:4). Tujuan ini terdengar muluk dan
tidak mungkin dicapai. Sekalipun tidak tercapai, bila orang tekun membacanya,
orang akan dapat merasakan hal itu terwujud dalam dirinya. Sabda Allah yang
berdaya perlu menjadi kawan karib setiap orang beriman, waktu lahir, waktu
hidup dan waktu berpulang kepada Sumber dan Asal Sabda Allah itu. Sebab,
"Kitab Suci dapat memberi hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman
kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran" (2Tim. 3:15-16).
Dalam hal ini orangtua perlu membantu
anak-anak mereka untuk senantiasa mengingat Sabda Allah yang telah direnungkan
bersama. Sabda itu akan rnembimbing mereka sehingga dapat mengambil tindakan yang
sesuai dengan kehendak Allah. Orangtua sekaligus bertindak sebagai teladan bagi
anak-anak rnereka tentang bagaimana hidup menurut kehendak Allah. Melalui sikap
dan teladan, orangtua mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk mengasihi Allah
dan sesama. Dengan demikian, anak-anak dapat mengalami bagaimana sebenarnya
harus hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati.
E.
Beribadah dalam Roh dan Kebenaran
Kepada perempuan Samaria itu Yesus telah
menyatakan bahwa akan datang waktunya orang menyembah Allah dalam Roh dan
Kebenaran. Bagi Yesus ibadah bukanlah soal tempat, Allah tidak dapat dibatasi
di tempat-tempat tertentu. Ia dapat disembah di mana saja. Yang penting orang
menyembah Dia karena digerakkan oleh Roh yang menyatakan kebenaran tentang
Allah dan siapa Allah yang sebenarnya, yaitu sebagaimana Dia ada. Orang harus
menyembah Allah dengan motivasi yang benar dan dengan penuh pemahaman siapa
Allah yang sebenarnya. Keluarga dapat senantiasa berjumpa dengan Allah dalam
ibadah yang dilakukan di dalam rumah. Yang utama di dalam ibadah keluarga adalah
mengenal Allah yang benar dan motivasi yang benar dalam beribadah.
Allah yang benar.
Keluarga melaksanakan ibadah karena telah menerima kebenaran tentang Allah. Kebenaran
yang mana? Setiap keluarga Katolik harus menyadari bahwa Yesus telah menjadi
manusia dan mati untuk keselamatan seluruh anggota keluarga. Dia rela mati, menjadi
kurban yang dipersembahkan untuk menghapus dosa manusia sehingga manusia layak
untuk tinggal bersama Allah di surga. Benar bahwa Yesus mati untuk keselamatan
seluruh umat manusia, tetapi kematian Yesus di kayu salib perlu merasuk ke
dalam pribadi setiap anggota keluarga. Kematian Kristus yang mendatangkan
keselamatan itu harus menjadi pengalaman pribadi masing-masing, seperti yang
dialami oleh Paulus. "Hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan
menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Gal. 2:20).
Motivasi yang benar.
Jika memahami kebenaran tentang Allah, seluruh anggota keluarga dapat menghadap
Allah bukan karena terdorong oleh motivasi yang keliru. Misalnya, rasa takut
akan ancaman hukuman dari Allah atau semata-mata agar Allah menuruti
permohonannya. Sebaliknya, seluruh anggota menyadari bahwa kasih Allah kepada
keluarga merekalah yang mendorong mereka untuk beribadah. Di dalam ibadah itu, keluarga
menyampaikan bakti kepada Allah, berdialog dengan Allah, dan membina relasi
dengan Allah yang telah mengasihi mereka. Relasi dengan Allah itulah yang akan
menjadi jiwa yang menggerakkan keluarga dalam menjalani kehidupannya.
AKHIR
KATA
Kehidupan keluarga justru menjadi hidup
ketika seluruh anggota dapat menikmati saat saat yang tampaknya santai dan
menyenangkan. Misalnya, saat rekreasi, makan bersama, dan bermain bersama.
Dalam pembicaraan yang menyejukkan, canda yang menyegarkan suasana, dan
sebagainya, seluruh keluarga dapat merasakan kebersamaan dan kedekatan satu sama
lain. Situasi seperti ini dapat membantu para anggota keluarga untuk memperkuat
ikatan batin satu dengan yang lain. Hal yang sama berlaku dalam hubungan
keluarga dengan Allah. Keluarga perlu menyediakan waktu untuk bertemu dengan
Tuhan dalam suasana yang tenang namun menggembirakan. Ketika Kitab Suci dibacakan,
Allah hadir dan berbicara kepada keluarga. Kemudian dalam doa para anggota
menanggapi Sabda yang telah didengarkan. Perjumpaan keluarga itu dengan Allah
akan menciptakan hubungan yang lebih akrab dan mesra dengan-Nya. Keluarga pun
dapat mengalami kasih Allah dan membawa kasih itu kepada sesama.
Kampung Sawah, HR Kenaikan Tuhan 2013
YM Seto Marsunu
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, R.E., The Gospel According to John. New York: Doubleday, 1966.
Darmawijaya, St., Warta Nabi Abad VIII. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.
Darmawijaya, St., Warta Nabi Sebelum Pembuangan. Yogyakarta: Kanisius, LBI, 1990.
De Menezes, R., Voices from Beyond: Theology of the Prophetical Books. Mumbai : St.
Pauls. 2003.
Harun, M., Kita Telah Melihat Kemuliaan-Nya. Jakarta: LBI, 2005.
Kysar, R., John. Minneapolis: Augsburg, 1986.
McConville, J.G., Exploring the Old Testament : A Guide to the Prophets. Downers Grove:
InterVarsity, 2002.
Moloney, F.J., The Gospel of John. Collegeville, The Liturgical Press, 1998.
Newman B M. dan E.A. Nida, A Translator’s Handbook on The Gospel of John.
Stutgart: UBS, 1980.
Rowley, H. H., Ibadat Israel Kuna. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Sklba, R.J., Pre-Exlilic Prophecy. Collegeville: The Liturgical Press, 1990.
Vriezen, T.C., Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.