KELUARGA MELAYANI
SETURUT SABDA
Bulan Kitab Suci Nasional
LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA
2015
GAGASAN
PENDUKUNG
RD
Stefanus Iswadi Prayidno
PENDAHULUAN
Paus Benediktus
XVI mengeluarkan Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu Iman). Sri Paus
merasa prihatin terhadap merosotnya penerusan iman yang sedang melanda Gereja.
Bapa Suci mengajak segenap warga Gereja untuk merefleksikan imannya sekaligus
mengambil langkah kreatif guna membangun kembali imannya. Untuk itu, lahan
penting yang harus digarap adalah keluarga sebagai tempat utama penerusan iman.
Keluarga diajak kembali merenungkan Kitab Suci. Harapannya, keluarga kristiani
bertumbuh dalam iman berkat permenungan Kitab Suci yang dibaca, direnungkan,
dan dihayati dalam keluarga.
Terkait dengan
itu, tema BKSN 2015 ini adalah “Keluarga yang Melayani seturut Sabda Allah.”
Pelayanan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gereja, bahkan menjadi
identitas dirinya. Jika demikian, maka keluarga kristiani sebagai bagian dari
Gereja turut serta dipanggil untuk menghayatinya dan mewujudkannya dalam
kehidupan sehari‐hari. Keluarga kristiani akan menimba
inspirasi untuk melayani dari dalam Kitab Suci.
Permenungan kita
akan mulai dengan melihat “Arti Pelayanan”. Di situ kita akan melihat sekilas
perkembangan pemahaman tentang pelayanan dalam Kitab Suci: mulai dengan gagasan
mengenai pelayan dari orang yang melakukan sesuatu demi orang lain,
menuju pemahaman pelayanan sebagai persembahan yang hidup kepada Allah dan
solidaritas kepada anggota tubuh Kristus yang sedang menderita.
Pada bagian
berikutnya, “Dari Persaudaraan Menuju Perbudakan”, kita akan merenungkan
bagaimana umat Israel dalam Perjanjian Lama memahami pelayanan mereka.
Pelayanan itu pertama‐tama adalah pelayanan kepada Allah yang
telah membebaskan, tetapi kemudian dinyatakan secara konkret dalam persaudaraan
yang harus dibangun. Bagian ini menggarisbawahi bahwa pengalaman indah
pembebasan oleh Allah dari perbudakan Mesir sungguh mempengaruhi Israel dalam memperlakukan
saudara sebangsa.
Bagian “Melayani
karena Kristus” merenungkan secara khusus apa yang dihayati oleh Santo Paulus.
Bagi Paulus, Kristus menjadi alasan, motivasi, dan teladan dalam melakukan
pelayanan kepada sesama. Jika semuanya dilakukan demi Kristus, maka
sesungguhnya pelayanan itu menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah (bdk.
Rm 12:1‐2). Lalu, di mana pelayanan yang
demikian ini bisa dihayati? Pada tempat pertama, Paulus mengatakan bahwa
kehidupan jemaat adalah tempat untuk melayani, untuk menjawab panggilan kasih
Allah yang dinyatakan dalam Kristus. Jemaat adalah tubuh Kristus sendiri.
Selain itu, seperti Kristus yang melayani tanpa pandang bulu, pada tempat
kedua, pelayanan itu menjangkau semua orang yang lain.
Pada bagian
“Yesus Sang Pelayan Sejati” kita akan merenungkan kehidupan Yesus sendiri
sebagai pedoman utama pelayanan keluarga kita. Yesus membaktikan seluruh hidup‐Nya
untuk mengasihi Allah Bapa‐Nya dan
mencurahkan kasih sehabis‐habisnya untuk manusia. Dialah Hamba
Allah yang menderita itu, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani. Apa yang dikerjakan Yesus selama hidup‐Nya menjadi
seruan bagi para pengikut‐Nya untuk saling melayani.
Akhirnya, seruan
Yesus untuk saling melayani berlaku bagi seluruh keluarga kristiani. Dalam
bagian “Keluarga Kristiani Mengabdi Tuhan” akan direnungkan bahwa Allah sendiri
menjadi alasan bagi keluarga kristiani untuk melayani dan mengasihi. Hal itu
dilakukan di antara anggota keluarga sendiri, lalu diperluas di dalam Gereja
dan masyarakat. Semuanya itu dikerjakan sebagai cara untuk saling menguduskan,
menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah ketika disatukan bersama kurban
Kristus di altar dalam Ekaristi.
ARTI
PELAYANAN
Orang Katolik
begitu akrab dengan kata “pelayanan” (diakonia). Dalam homili hari
Minggu, imam kerap mengucapkannya. Dalam banyak kesempatan kata itu juga
digunakan, misalnya pelayanan sakramental, pelayanan kesehatan paroki,
pelayanan orang sakit, dan sebagainya. Pelayanan lalu menjadi bagian hidup
Gereja, menjadi identitasnya, karena pelayanan menjadi salah satu dari panca
tugas Gereja. Lalu apa sebenarnya arti pelayanan itu?
Dalam pelayanan,
orang melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain. Sesuatu yang baik itu bisa
berupa bantuan untuk orang miskin, pelayanan Sabda untuk menghidupkan iman,
pelayanan Kabar Baik yang menjadi jalan hidup. Akan tetapi, dalam surat‐surat
Paulus, pelayanan itu dipahami lebih dalam lagi sebagai persembahan yang hidup
kepada Allah dan solidaritas kepada anggota tubuh Kristus yang sedang
menderita. Inilah yang secara ringkas akan kita lihat pada bagian ini.
Dalam
Perjanjian Lama: Hamba Melayani Majikan
Kata pelayanan (diakonia)
berasal dari bahasa Yunani. Kalau mencari akar alkitabiahnya, biasanya orang
akan membolak‐balik Perjanjian Baru, karena Perjanjian
Baru ditulis dalam bahasa Yunani. Akan tetapi, sebenarnya apa yang nanti akan
ditemukan dalam Perjanjian Baru itu memiliki asal‐usulnya juga
dalam Perjanjian Lama. Tentu saja Kitab Perjanjian Lama yang dimaksud adalah
apa yang sekarang dinamakan Septuaginta (LXX). Septuaginta adalah Kitab Suci
orang Yahudi yang tinggal di daerah perantauan dan sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Yunani.
Dalam Perjanjian
Lama, digunakan kata “abad” yang artinya melayani, mengabdi. Dari kata “abad”,
muncul istilah “ebed”, yang artinya “pelayan”, bahkan “hamba”. Dengan
kata “abad”, seseorang bekerja untuk orang lain. Tentu saja orang yang
dilayani atau diabdi memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Seorang hamba
bekerja pada seorang majikan atau tuan.
Pada kitab
Ester, diakonia dikenakan kepada para petugas atau pelayan raja
Ahasyweros (1:10; 2:2; 6:3,5). Mereka adalah para sida‐sida
dan para biduanda raja. Dalam 1 Mak 11:58, diakonia terkait dengan
pelayanan meja yang diberikan kepada imam agung baru Yonatan. Akan tetapi, kata
yang sama bisa digunakan untuk menjelaskan pelayanan yang diberikan kepada
Allah sendiri. Dialah yang paling tinggi dari semua yang lain. Dari sana kita
mengenal istilah Hamba Tuhan atau abdi Allah (bdk. 2 Raj 1:10‐11).
Dalam
Perjanjian Baru: Aneka Arti Pelayanan
Diakonia. Kata ini
merujuk pada pekerjaan rumah, khususnya pekerjaan mempersiapkan
makanan (Luk 10:40), pasokan makanan (Kis 6:1), pelayanan kasih (Kis
11:29; 12:25; Rm 15:31; 2 Kor 8:4; 9:1,12,13) di mana rahmat Kristus tampil
secara jelas sebagai motivasi dasarnya, pelayanan pewartaan sabda (Kis
6:4; 20:24; 21:19; 2 Kor 11:8), tugas‐tugas dalam
jemaat (Ef
4:12); pelayanan “para rasul” dan orang yang terpanggil untuk perutusan
(Kis 1:17; Rm 11:13; 2 Kor 3:7; Kol 4:17).
Diakoneo. Kata kerja ini
berarti melayani. Kapan saja digunakan? Kata ini digunakan untuk
menunjukkan tugas melayani meja (Mrk 1:31 par; Luk 10:40; Yoh 12:2; Luk 17:8;
Kis 6:2), membantu seseorang (Mrk 15:41; Luk 8:3; Mat 4:11), membantu komunitas
(2 Tim 1:18; Ibr 6:10; 1 Ptr 4:10,11). Akan tetapi, “melayani” memiliki
makna baru berkat pribadi Yesus dan injil‐Nya (Mrk 10:45
par). Dikaitkan dengan Yesus, kata ini menyatakan pemberian diri‐Nya
bagi orang lain dalam sengsara dan kematian‐Nya (Mrk 10:45).
Diakonos. Kata ini
dikenakan pertama‐tama kepada orang yang melayani meja (Mat
22:13; Yoh 2:5,9). Dalam perkembangannya, diakonos dipahami sebagai pelayan
dalam arti luas: pelayan perjanjian (2 Kor 3:6), pelayan keadilan (2 Kor
11:15), pelayan Kristus (2 Kor 11:23; Kol 1:7), pelayan Allah (2 Kor 6:4),
pelayan Injil (Ef 3:7; Kol 1:23); pelayan jemaat (Kol 1:25). Kristus sendiri
disebut diakonos (dari orang Yahudi) dalam Rm 15:8 dan Gal 2:17.
Diakonat. Diakonat
menjadi sebuah pelayanan khusus. Pelayanannya dipersempit dan dikaitkan dengan
jabatan khusus dalam jemaat yang tugasnya kurang lebih seperti penilik jemaat
(1 Tim 3:1‐2 dan 3:8‐9). Kepada
pelayan khusus diakonat ini diberikan sebuah pekerjaan pelayanan jasmani dan
rohani, seperti pelayanan melalui peribadatan, bantuan untuk orang miskin dan
kepemimpinan dalam jemaat. Di Gereja Katolik Roma diakonat disempitkan sebagai
tahap sebelum tahbisan imam.
Dalam
surat‐surat Paulus: Melayani Anggota
Tubuh Kristus
Suatu ketika
jemaat kristen di Yerusalem terancam kelaparan. Paulus mengajak jemaat di
Korintus untuk mengumpulkan kolekte bagi saudara‐saudari seiman
di Yerusalem. Paulus memahami kolekte atau bantuan ini sebagai diakonia.
Dan tidak sekedar itu. Paulus melihat bantuan itu sebagai ungkapan iman dan
persekutuan (2 Kor 9:13). Artinya, bantuan itu bukan semata aksi sosial,
melainkan solidaritas dengan anggota tubuh Kristus yang lain (Ef 4:12). Kalau
jemaat di Korintus membantu jemaat di Yerusalem yang sedang terancam kelaparan,
mereka sebenarnya sedang membantu anggota tubuh Kristus itu sendiri.
Paulus juga
memberikan gagasan yang indah. Dia menegaskan sekali lagi bahwa “pemberian ini
bukan hanya mencukupkan keperluan‐keperluan orang‐orang
kudus, melainkan juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah” (2 Kor 9:12).
Bantuan pelayanan adalah ucapan syukur kepada Allah sendiri. Jika demikian,
pelayanan itu tak lain adalah ibadah rohani yang ditujukan kepada Allah
sendiri. Segala sesuatu yang dikerjakan bagi anggota tubuh Kristus yang lain
menjadi sebuah persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah.
DARI
PERBUDAKAN MENUJU PERSAUDARAAN
G. Auzou membuat
rumusan yang menarik: dari perbudakan menuju pelayanan. Pelayanan itu
pertama‐tama adalah pelayanan kepada
Allah yang telah membebaskan, tetapi kemudian dinyatakan secara konkret dalam
persaudaraan yang harus dibangun. Dengan rumusan itu, Auzou ingin
menggarisbawahi bahwa pengalaman indah pembebasan oleh Allah dari perbudakan
Mesir sungguh mempengaruhi Israel dalam memperlakukan saudara sebangsa. Dan
inilah yang akan kita pelajari pada bagian ini.
Dasar
Pelayanan: Allah telah menyelamatkan Israel
Umat Israel
menuangkan syahadat mereka secara padat dalam Ul 26:1‐11.
Di sana kita bisa membaca:
“Bapaku
dulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir [...] di sana ia
menjadi suatu bangsa yang besar, kuat, dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir
menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat,
maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar
suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap
kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan kuat dan lengan
yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan tanda‐tanda
serta mukjizat‐mukjizat.”
Pengalaman
perbudakan di Mesir begitu membekas dalam ingatan orang Israel. Mereka sangat
menderita, bukan hanya oleh pekerjaan berat yang harus mereka tanggung,
melainkan terutama bahwa mereka seperti dilupakan. Mereka merasa menjadi
seperti orang yang tidak lagi diingat, terpisah dari cinta Tuhan. Mereka menantikan
uluran tangan Tuhan.
Akhirnya, saat
yang dinanti pun datang, yakni saat pembebasan dari tempat perbudakan. Sungguh
sukacita yang besar. Biarpun demikian, Israel mengerti betul bahwa perjalanan
keluar dari Mesir bukan perkara mudah. Mereka harus menyeberangi Laut Merah.
Selain itu, mereka harus siap melintasi padang gurun yang kering selama 40
tahun. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk semuanya itu. Syukurlah, dengan segala
keterbatasan, mereka lepas dari situasi sangat kritis itu.
Bagi orang
Israel, semua ini sungguh penuh arti. Mereka meyakini betul bahwa Allah ada di
balik semua kejadian luar biasa ini. Allah telah memaksa Firaun “dengan tangan
yang kuat” (Kel 3:19) untuk mengakhiri perbudakan. “Pergilah menghadap Firaun,
sebab Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras, supaya Aku
mengadakan tanda‐tanda mujizat yang Kubuat ini di antara
mereka, dan supaya engkau dapat menceriterakan kepada anak cucumu, bagaimana
Aku mempermain‐mainkan orang Mesir dan tanda‐tanda
mujizat mana yang telah Kulakukan di antara mereka, supaya kamu mengetahui,
bahwa Akulah TUHAN” (Kel 10:1‐2).
Sungguh
pengalaman yang mengesankan dan mendalam. Yang dilakukan Israel kemudian adalah
mengenang “tanda‐tanda” yang dikerjakan Allah di Mesir,
menceritakannya, dan menyanyikan nyanyian bersama Musa (Kel 15). Mereka
bermadah atas keajaiban Allah. Memuji dan memuliakan Allah bolehlah dipandang
sebagai pelayanan pertama kepada Allah yang telah menyelamatkan dan memberikan
kebebasan kepada mereka. Akan tetapi, Israel masih melangkah lebih jauh lagi.
Syukur kepada Allah itu akan mereka hayati betul dalam kehidupan bersama dengan
saudara sebangsa dalam bentuk persaudaraan.
Dekalog
Israel sedang
berdiri di seberang Yordan. Janji yang dulu diberikan kepada nenek moyang
mereka sekarang di ambang pemenuhan. Mereka harus belajar cara hidup baru
ketika Allah telah menggenapi janji‐Nya bagi mereka.
Apakah mereka akan seterusnya mendiami tanah yang dijanjikan Tuhan itu atau
tidak, itu bergantung pada kesetiaan mereka kepada Allah. Orang Israel harus
menjawab kesetiaan itu jika mereka ingin tetap tinggal di tanah mereka yang
baru.
Allah memberikan
Sepuluh Firman kepada Israel sebagai sarana untuk memelihara kesetiaan. Orang
menyebutnya Dekalog, sebuah kata Yunani yang berarti “Sepuluh Firman” (Ul
4:13). Hukum Allah itu dapat diringkas demikian: memanggil Israel agar tetap
setia kepada Allah yang telah memenuhi setiap janji. Hukum‐hukum
itu memerintahkan Israel untuk hanya melayani Allah. Ini akan menjadi jaminan
bahwa Israel akan hidup sejahtera di tanah yang akan diberikan Allah kepada
mereka.
Hukum pertama
sampai ketiga (Ul 5:7‐15) berkaitan langsung dengan tata
perilaku di hadapan Allah. Hukum pertama memberi contoh artinya setia secara
mutlak kepada Allah. Larangan membuat patung mengingatkan mereka akan siapa
sebenarnya Allah mereka, yakni Allah yang tidak pernah dapat disejajarkan
dengan allah‐allah lain. Mereka sekarang harus
menghormati Sabat Tuhan, karena “engkau pun dahulu budak di tanah Mesir” dan
sekarang telah bebas.
Tujuh hukum
berikutnya (ayat 16‐21) berbicara tentang hubungan yang
harus ada dalam masyarakat Israel sendiri. Israel akan tetap taat kepada Allah
selama mereka berbuat baik kepada sesama. Hubungan orangtua dan anak dipandang
sebagai inti hubungan dalam masyarakat Israel. Pembunuhan dilarang. Hubungan
perkawinan sangat dilindungi. Hak milik orang lain harus dihormati dan tidak
boleh dicuri. Jika Allah setia pada kata dan tindakan, maka saksi dusta jelas
pelanggaran berat. Akhirnya, dua hukum terakhir melarang nafsu, karena akan
merusak hidup manusia.
Pembukaan hukum‐hukum
ini sangat menentukan. Allah berfirman, “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa
engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (ayat 6). Hukum‐hukum
itu berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan yang dimaksudkan adalah bukan sembarang
allah, melainkan Allah yang turut serta dalam sejarah kehidupan mereka, yang
membawa Israel keluar dari Mesir. Jika dulu mereka diperbudak di Mesir, maka
sekarang mereka harus menundukkan diri di hadapan Allah yang telah membebaskan
mereka. Kesetiaan mutlak kepada Allah itu tidak pernah terpisahkan dari
perilaku yang benar terhadap sesama manusia.
“Saudaramu
si miskin” (Ul 15)
Sebuah aturan
hidup bersama.
Cara
hidup bersama untuk orang Israel ditemukan dalam Ul 12‐25.
Ketika kehidupan Israel sudah mapan, mereka menentukan hukumnya sendiri untuk
mengatur kehidupan sosialnya. Ketentuan‐ketentuan ini
banyak memberi perhatian kepada pengaturan keseharian, terutama perlindungan
kepada mereka yang lemah. Ditekankan pula kewajiban bangsa terpilih kepada
Allah.
Pengaturan hidup
bersama itu dapat diringkaskan dalam ungkapan berikut ini: satu Allah, satu
bangsa, satu tempat peribadatan, satu tanah, satu hukum. Allah satu‐satunya
ini telah memilih dan membuat perjanjian dengan sebuah bangsa. Bangsa ini harus
menjadi satu, tanpa membedakan perbedaan kaya‐miskin atau
aneka diskriminasi. Yang ideal adalah bahwa seluruh bangsa harus diperlakukan
sebagai sesama saudara. Mengapa? Karena mereka bukan sembarang bangsa,
melainkan umat Allah. Dari sini kita lalu bisa mengerti apa yang ditentukan
dalam Ul 15 berkaitan dengan saudara yang miskin.
Semua adalah
anugerah Tuhan.
Ul 15 berbicara tentang hutang dan perbudakan. Sudah jamak pada masa itu bahwa
hutang bisa berakhir dengan perbudakan jika seseorang tidak mampu membayarnya.
Ketika seorang sepakat untuk memberi pinjaman, si peminjam harus meninggalkan
pakaiannya sebagai pengingat atas pinjaman itu. Aturan hukum berusaha sungguh
untuk mengurangi atau menghapuskan kemelaratan dari masyarakat (ayat 4,7,11).
Aturan hukum mengharuskan si peminjam untuk “membuka tangan lebar‐lebar”
(ayat 8). Pada tahun ketujuh, tahun penghapusan hutang, si peminjam harus
sukarela memutihkan hutangnya kepada “saudara yang miskin”, dengan cara
mengembalikan pakaiannya.
Aturan hukum
mencoba melawan para pejabat yang menindas warganya, sebab yang sering terjadi
adalah bahwa mereka menggantikan hubungan persaudaraan dengan perbudakan.
Aturan hukum menyadarkan bahwa jika si peminjam bersedia membuka tangan dan
menghapuskan hutang, maka yang sedang dilakukannya adalah mengubah pembebasan
hutang itu menjadi sebuah pemberian kepada “saudara yang miskin.” Dan untuk
meyakinkan para peminjam, tata aturan itu menyebutkan bahwa “Tuhan akan
memberkatinya”, bahwa semua yang mereka miliki adalah “pemberian Tuhan”.
Allah telah
membebaskan Israel dari perbudakan. Ul 15:12‐18 berbicara
tentang memerdekakan budak Ibrani. Ketika orang tidak mampu membayar hutangnya,
seringkali dia terpaksa menjadi budak, “menjual dirinya” (ayat 12). Dalam
pandangan Ulangan, sungguh tidak elok bahwa bangsa Ibrani menjadi budak
saudaranya sebangsa sendiri. Mereka seharusnya menjadi saudara. Oleh karena
itu, kepada si majikan, aturan hukum itu mengingatkan bahwa pada tahun ketujuh,
“engkau harus melepaskan dia sebagai orang yang merdeka”. Bukan hanya
melepaskan budak itu, melainkan juga memberinya buah tangan sebagai bekalnya.
Mengapa demikian? Karena “engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau pun
ditebus TUHAN, Allahmu” (ayat 15). Jadi, perintah ini lahir sebagai peringatan
akan karya Allah yang telah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir.
Demikianlah,
persaudaraan yang dihayati dengan penuh hormat pada sesama saudara sebangsa
bukanlah sesuatu yang lain dari meneladan karya Allah atas umat‐Nya:
pembebasan dari perbudakan dan pemberian berkat.
Kekuasaan bukan
untuk sewenang‐wenang. Faktor lain
yang menjadi perhatian Ulangan adalah kekuasaan, sehingga disusunlah ketentuan
hukum tentang raja (Ul 17:14‐20). Godaan
seorang penguasa untuk sewenang‐wenang itu
sangat besar. Karena itu, aturan kitab Ulangan mewanti‐wanti
para penguasa agar tidak “mengembalikan bangsa ini ke Mesir” (ay. 16). Mereka
diingatkan dengan keras agar jangan menyengsarakan rakyat sebagaimana dulu
orang Mesir telah menyengsarakan mereka. Sebaliknya, para penguasa harus
belajar untuk takut akan TUHAN, Allah mereka. Mengapa? Karena sesungguhnya
negeri ini telah diberikan secara cuma‐cuma oleh Tuhan
untuk diduduki. Negeri ini milik Tuhan, dan para penguasa harus memimpin atas
nama Tuhan, bukan dirinya sendiri.
MELAYANI
KARENA KRISTUS
Pengertian
mengenai diakonia mendapatkan makna yang lebih mendalam dalam surat‐surat
Santo Paulus. Paulus memaknai diakonia lebih dari sekadar pelayanan.
Baginya, diakonia mengarah pada sebuah hubungan baru dengan orang lain
berdasarkan Kristus. Apa artinya ini? Artinya, pelayanan itu dilakukan semata‐mata
karena Kristus. Kristus menjadi alasan, motivasi, dan teladan dalam melakukan
pelayanan kepada sesama. Jika semuanya dilakukan demi Kristus, maka
sesungguhnya pelayanan itu bukan lagi sekadar pelayanan, melainkan menjadi
persembahan yang hidup, yang berkenan kepada Allah (bdk. Rm 12:1‐2).
Dasar pelayanan
yang adalah Kristus sendiri itu membawa para pengikut Kristus pada orang‐orang
yang harus dilayani. Pada tempat pertama, Paulus mengatakan bahwa kehidupan
jemaat adalah tempat untuk melayani, untuk menjawab panggilan kasih Allah yang
dinyatakan dalam Kristus. Jemaat adalah tubuh Kristus sendiri. Selain itu,
seperti Kristus yang melayani tanpa pandang bulu, pada tempat kedua, pelayanan
itu menjangkau semua orang yang lain. Hal‐hal inilah yang
akan kita pelajari pada bagian ini.
Inti
Hidup Pengikut Kristus
Dalam Kis 6
tujuh orang dipilih untuk melayani orang miskin dalam jemaat. Stefanus,
Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus diberi mandat khusus
untuk membantu orang‐orang kristen Yahudi yang berbahasa
Yunani. Tetapi, penghayatan diakonia seperti ini belumlah lengkap.
Mengapa? Karena kalau hanya dihayati sebagai tugas khusus dalam jemaat, maka
pelayanan di luar kelompok pasti akan terabaikan.
Diakonia sejatinya lebih
mendalam daripada sekadar tugas atau peran tertentu dalam jemaat. Panggilan ini
mengandaikan perubahan hidup umat beriman. Diakonia ada dalam inti hidup
kristiani. Karenanya, diakonia tidak bisa dipisahkan dari doa dan
liturgi, serta dari dimensi kesaksian dan pewartaan Injil. Bagi Paulus, diakonia
tidak lagi dititikberatkan pada pelayanan meja begitu saja. Bahkan, berbeda
dengan Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, alasan pelayanan meja dan pelayanan
untuk orang miskin hampir tidak pernah muncul. Pendek kata, Paulus menerapkan diakonia
dalam konteks yang lebih luas, dan menjadikannya sebagai bagian dari inti
hidup pengikut Kristus.
Pelayanan
Sabda
Paulus
menghubungkan diakonia dengan pewartaan Injil. Apolos, Paulus, dan para
rasul yang lain adalah “pelayan‐pelayan Tuhan
yang olehnya kamu menjadi percaya” (1 Kor 3:5). Paulus dan rekan‐rekannya
ditampilkan sebagai “pelayan Allah” (diakonoi theou, 2 Kor 6:4).
Berlawanan dengan para rasul palsu, Paulus menjamin otoritas pewartaan dengan
menegaskan bahwa dia adalah pelayan Kristus (2 Kor 11:13 – 15:23). Buktinya
adalah beratnya misi yang pernah dia jalankan dan perjalanan Damsyik (2 Kor 6:4‐10;
11:23‐33; 13:9).
Sebagai seorang
pelayan Kristus, apakah yang diwartakan Paulus? Dia memberitakan karya kasih
Allah dalam diri Kristus, “seorang Mesias yang tersalib” (1 Kor 1:23). Ini
bukan perkara gampang bagi orang Yahudi seperti dia. Mesias itu seorang yang
diurapi Allah. Seorang yang terpilih. Tidak mungkin seorang Mesias itu
disalibkan. Malahan, orang yang disalibkan adalah orang yang kena kutuk oleh
Allah sendiri (bdk. Gal 3:13; Ul 21:23). Hanya pengalaman Damsyiklah yang
membuat Paulus berbalik 180 derajat menjadi pewarta Kristus. Dulu ia pasti
merasa ngeri mendengar kata salib, tetapi sekarang dia memberitakan salib (1
Kor 1:18).
Itulah Kabar
Gembira yang diwartakan Paulus. Dia mewartakan Injil tentang tindakan
penyelamatan Allah dalam Kristus yang tersalib (1 Tes 1:5; Rm 1:16‐17).
Dia menjadi pelayan Injil (Kol 1:23; Ef 3:7). Dengan demikian, Paulus
mengaitkan secara langsung antara diakonia dan pewartaan sabda.
Pelayanan di
dalam Jemaat
Relasi
kekeluargaan dan persaudaraan. Suasana kekeluargaan ditemukan dalam hubungan
Paulus dengan jemaatnya. Pelayanan Sabda pada gilirannya menghasilkan sebuah
hubungan yang sangat khusus antara Paulus dengan jemaat‐jemaat
yang dipercayakan kepadanya. Paulus memperlakukan jemaat layaknya orang yang
dikasihi. Bahkan, kepada mereka ia memiliki cemburu ilahi (2 Kor 11:2). Jemaat
diperlakukan juga dengan penuh kelembutan, seperti seorang ayah dan ibu
memperlakukan anak‐anaknya (1 Tes 2:7‐8,11).
Paulus sungguh
solider dengan jemaatnya. Dia turut merasakan kecemasan jemaat‐jemaatnya
dan merasakan juga penderitaan mereka (bdk. 2 Kor 11:28‐29).
Nasihat‐nasihatnya lebih berupa penghiburan yang
meneguhkan jemaat, meskipun disampaikan dengan nada‐nada
peringatan. Peringatan kerasnya keluar dari hati terdalam untuk membimbing
jemaat. Paulus sering menulis dengan keras dan tegas, tetapi itu dilakukannya atas
dasar kasih kepada jemaat.
Sementara itu,
suasana persaudaraan lebih‐lebih dirasakan
ketika Paulus memperlakukan rekan‐rekan
sekerjanya. Jarak dan waktu tidak selalu membuatnya bisa hadir di tengah‐tengah
jemaatnya. Dia lalu mengutus beberapa orang yang mewakilinya. Betapa
terlihatnya kedekatan relasi antara Paulus dengan orang‐orang
yang bekerja bersama dengan dia atau yang mewakili dia. Mereka diperlakukan
seperti anak atau saudaranya sendiri. Paulus memperlakukan rekan‐rekan
sekerjanya dengan penuh kasih, kelembutan, dan hormat (lih. Rm 16:1; Flp 2:22;
Kol 4:7; Ef 6:21).
Pelayanan dalam
persekutuan.
Paulus
banyak mendirikan jemaat di berbagai tempat. Dia menyadari bahwa sebagai jemaat
yang baru dibangun, ada saja persoalan di antara mereka yang mengancam
persatuan jemaat. Karenanya, Paulus menggarisbawahi unsur “persekutuan” (koinonia)
dalam jemaat. Persekutuan harus dihidupi, didirikan (1 Tes 5:11), atau dibangun
kembali ketika telah retak (1 Kor 1:10; 11:18; 12:25). Diakonia Paulus
sekarang diarahkan pada koinonia.
Mengapa Paulus
begitu serius untuk membangun persekutuan itu? Karena dia menyadari bahwa
jemaat sesungguhnya adalah tubuh Kristus (bdk. 1 Kor 12; Rm 12:4‐5;
15:2). Dengan baptisan, umat telah disatukan dalam Kristus. Disamakan dengan
Kristus dalam kematian, orang Kristen mati terhadap hukum dan dosa (Gal 2:19).
Disamakan dengan Kristus dalam kebangkitan, orang berbagi hidup baru dari
Kristus yang bangkit dan Roh‐Nya (1 Kor
6:17).
Keserupaan
dengan Kristus itu bukan semata pengalaman orang per orang, melainkan
pengalaman sebagai jemaat. “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita
ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang
kita pecah‐pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh
Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu
tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:16‐17).
Kesatuan jemaat itu diperoleh berkat cawan dan roti yang sama.
Dengan demikian,
merusak persekutuan berarti melepaskan diri dari tubuh Kristus dan meninggalkan
Kerajaan Allah yang sesungguhnya. Paulus memaknai jemaat sebagai tempat
pembangunan tubuh Kristus, tempat di mana setiap jemaat beriman dapat
menanggapi panggilannya untuk bersatu, hingga sampai pada kenyataan bahwa
mereka adalah Bait Allah dan Roh Kudus diam dalam diri mereka (bdk. 1 Kor 3:16‐17).
Motivasi
Pelayanan Paulus
Ucapan Syukur. Seseorang
pernah bercerita tentang titik awal bagaimana ia mulai melibatkan diri dalam
karya kerasulan di paroki. Semuanya berangkat dari rasa syukur atas segala
anugerah berlimpah dari Tuhan untuknya. Motif seperti ini juga sangat kelihatan
pada Paulus. Rasa syukur harus ada dalam menjalankan tugas perutusan apapun.
Pada awal setiap suratnya, Paulus selalu mengucapkan syukur dalam doanya untuk
jemaat tertentu. Paulus adalah seorang manusia pendoa, khususnya doa syukur. Paulus mengucap
syukur karena mengakui segala kasih karunia Allah yang menaungi jemaat (Rm
6:14). Dia juga mengucap syukur karena kasih karunia Allahlah yang
menjadikannya seorang pelayan (Ef 3:7). Jadi, pelayanan Paulus pertama‐tama
merupakan akibat dari rahmat Allah.
Persembahan
hidup yang berkenan kepada Allah. Paulus memperkenalkan dirinya dan
rekan kerjanya sebagai “pelayan Allah” (2 Kor 6:4), pelayan perjanjian baru (2
Kor 3:6), dan pelayan dari mereka yang dipercayakan seperti “surat Kristus,
yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh
dari Allah yang hidup” (2 Kor 3:3). Paulus memahami pelayanannya bukan sekedar
tugas dan pekerjaan seorang rasul, melainkan sebagai persembahan yang berkenan
kepada Allah. Kepada jemaat di Filipi ia mengatakan: “Tetapi sekalipun darahku
dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita
dengan kamu sekalian” (Flp 2:17). Paulus mengimani betul bahwa pelayanan
pewartaan Injil adalah bagian dari ibadahnya (Rm 1:9).
Sebuah relasi
akrab dengan Kristus. Inilah sumber kekuatan utama Paulus. Betapa
tidak, pada awalnya Paulus adalah seorang penganiaya jemaat pengikut Kristus.
Peristiwa penampakan Tuhan yang bangkit ketika dia hendak menganiaya jemaat di
Damsyik sungguh telah mengubah hidupnya. Dasar‐dasar imannya
seperti dirobohkan, dirombak, dan dibangun kembali. Salah satunya adalah
pemahaman imannya mengenai Mesias, mengenai Kristus. Peristiwa itu menyadarkan
dirinya bahwa Sang Kristus yang tersalib memang benar‐benar
bangkit.
Pengalaman
Damsyik membawa akibat lain bagi Paulus. Dia yakin bahwa Allah telah memilihnya
sejak dalam kandungan ibunya dan memanggil dia karena kasih karunia‐Nya.
Allah “berkenan menyatakan Anak‐Nya di dalam
aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa‐bangsa bukan
Yahudi” (Gal 3:16). Pernyataan diri Kristus yang bangkit membuat Paulus benar‐benar
bertekuk‐lutut di hadapan‐Nya.
Dengan penuh keyakinan dia berkata, “Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal
2:20). Kristus adalah segala‐galanya bagi
Paulus.
Kristus
sebagai Model
Meneladan
Kristus.
Paulus telah melihat dalam diakonia itu tempat untuk pewartaan dan
tempat untuk membangun tubuh mistik Kristus. Maka bisa dimengerti bahwa dia
memberikan diri sepenuh‐penuhnya kepada jemaat‐jemaat
yang dibimbingnya. Tetapi, bukan hanya itu, Paulus juga masih memiliki satu
alasan yang kuat untuk pemberian dirinya bagi jemaat itu, yaitu meneladan
Kristus sendiri.
Bagi Paulus,
Kristus adalah model yang diikutinya. Begitu melekatnya ia meneladan Kristus,
sampai‐sampai ia mengatakan kepada jemaat untuk
mengikuti teladannya sendiri: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga
menjadi pengikut Kristus” (1 Kor 11:1). Jika demikian, jemaat yang telah
mengikuti teladan Paulus sebagaimana Paulus mengikuti teladan Kristus akan
menjadi teladan bagi yang lain, “sehingga kamu telah menjadi teladan untuk
semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya” (1 Tes 1:7).
Dengan mengikuti
teladan Kristus, umat beriman diundang untuk hidup “dalam Kristus”, untuk
memasuki sebuah relasi bukan sebagai hamba (doulos), melainkan sebagai
anak‐anak Allah (Gal 4:6‐7;
Rm 8:14‐17). Dengan demikian, umat beriman dapat
menjadi “serupa dengan gambaran Anak‐Nya, supaya Ia,
Anak‐Nya itu, menjadi yang sulung di antara
banyak saudara” (Rm 8:29). Bahasa yang digunakan Paulus adalah “mengenakan
Kristus” (Rm 13:14), meninggalkan manusia lama, yang telah disalibkan bersama
dengan Kristus (Rm 6:6), untuk mati bersama dengan Dia dan dengan demikian
hidup bersama dengan Dia (Rm 6:8).
Hubungan antar
Sesama Manusia.
Kristus yang menjadi model Paulus telah memberi arah hubungan antar sesama. Apa
yang dilakukan oleh Kristus menjadi alasan untuk menerima satu sama lain:
“Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah
menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rm 15:7), agar mereka dapat hidup rukun
“sesuai dengan kehendak Kristus Yesus” (Rm 15:5). Kaum beriman seharusnya
mengusahakan damai, keselarasan dan persekutuan.
Solidaritas
harus selalu diutamakan dalam kehidupan jemaat. Itulah ajaran yang bisa dipetik
dari gambaran tubuh dan anggotanya dalam Rm 12:5, di mana seluruh umat beriman
adalah anggota‐anggotanya. Dalam keberagamannya, kaum
beriman dipanggil untuk membentuk satu tubuh Kristus (1 Kor 12). Kristus adalah
kepala tubuh, yaitu Gereja (Kol 1:18; Ef 1:22). Apa yang dilakukan oleh masing‐masing
anggota dapat dirasakan oleh anggota yang lain (1 Kor 12:26). Umat beriman
adalah dia yang tertawa dengan yang tertawa dan menangis dengan mereka yang
menangis (Rm 12:15‐16). Semua harus saling melayani (Gal
5:13), khususnya kepada mereka yang miskin dan menderita (Gal 2:10), saling
menanggung beban (Gal 6:2) dan saling membangun (1 Tes 5:11‐19).
Surat kepada Jemaat Filipi sangat jelas dalam memandang hal ini:
“Karena
itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam
satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri
atau puji‐pujian yang sia‐sia.
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih
utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap‐tiap
orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain
juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang
terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:2‐5).
Model bagi
seluruh umat beriman adalah Kristus sendiri, yang telah “mengosongkan diri‐Nya
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”
(Flp 2:7). Madah kristologis dalam Flp 2:6‐11 menunjukkan
bahwa apa yang telah dikerjakan oleh Kristus semestinya menjadi teladan seluruh
umat beriman. Perendahan diri Kristus sampai pada salib menginspirasi umat
beriman untuk juga merendahkan diri dalam hubungan dengan sesama. Dengan
berlaku demikian, umat beriman akan berjalan di jalan damai dan saling
membangun, akan menjadi hamba Kristus, akan menyenangkan Allah dan sesama (Rm
14:18‐19), tanpa bermaksud mencari penghormatan
manusia (Gal 1:10).
Pemberian diri
kepada orang lain.
Paulus memakai kosa kata peribadatan dalam pelayanan umat beriman. Dalam Rm
12:1‐2 Paulus menasihatkan demikian: “Karena
itu, saudara‐saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang
sejati ... yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Nasihat
Paulus ini membuat orang mengerti bahwa pelayanan apa pun perlu dimaknai
sebagai persembahan hidup yang berkenan kepada Allah. Pelayanan apa pun harus
keluar dari hati yang penuh syukur, seperti juga yang biasa dilakukan oleh
rasul Paulus, yang mengucap syukur dalam banyak kesempatan (Rm 6:14; 1 Kor
14:17; 2 Kor 6:1; 1 Tes 5:18; Kol 3:17; 1 Tim 2:1‐4).
Agape, kasih
tanpa batas, kunci pemberian diri. Kaum beriman, yang berada dalam
situasi mengucap syukur, mendapati bahwa dasar dan tujuan akhir dari syukur
mereka adalah agape (cinta tanpa batas) dari Allah yang telah dinyatakan‐Nya
dalam Kristus (Rm 5:6,8). Sebagai tanggapan atas kasih Allah ini umat beriman
diundang untuk menyesuaikan hidupnya. Mereka harus berjalan seturut kasih Allah
(Rm 14:15) untuk menghormati sesama. Kasihlah yang membangun (1 Kor 8:1).
Melalui kasihlah kita melayani satu sama lain (Gal 5:13). Panggilan untuk menghayati
kasih sekarang bukan lagi perintah, melainkan sebuah “firman” yang merangkum
seluruh perintah dan menggenapi hukum Taurat (Rm 13:9‐10).
Selain itu,
Paulus menganggap kasih sebagai yang terbesar setelah iman dan harapan (1 Kor
13:7,13). Kasih adalah iman dalam perbuatan (Gal 5:6). Ef 5:1‐2
lebih tegas lagi: “Sebab itu jadilah penurut‐penurut Allah,
seperti anak‐anak yang kekasih dan hiduplah di dalam
kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah
menyerahkan diri‐Nya untuk kita sebagai persembahan dan
korban yang harum bagi Allah”. Model untuk hidup dalam kasih adalah Kristus.
Dan dalam kasihlah dibangun tubuh Kristus (Ef 4:6).
Pelayanan antar‐jemaat dan universal. Bentuk baru
hubungan antar umat beriman terkait juga dengan hubungan antar jemaat. Bantuan
(kolekte) antar jemaat untuk melayani orang miskin dimengerti dalam arti ini (2
Kor 8‐9; Rm 15:25‐26).
Paulus tidak pernah bermaksud membangun sebuah jemaat yang tertutup satu sama
lain.
Relasi yang
terbuka antar jemaat ini menyentuh juga relasi dengan orang‐orang
di luar lingkungan jemaat kristen. Memang kosa kata yang digunakan bukan lagi diakoneo
(melayani) atau douleo (mengabdi). Tetapi Paulus sangat menekankan
keterbukaan dan kebaikan kepada semua orang (Rm 12:17), termasuk terhadap orang
yang memusuhi kita (Rm 12:20) dan terhadap para penguasa (Rm 13:1‐5;
bdk. 1 Tim 2:1‐2). Di sisi lain, Paulus juga menekankan
pentingnya memberikan teladan dari jemaat‐jemaat untuk
orang‐orang yang bukan dari komunitas kristen.
Paulus memberi contoh betapa perilaku yang baik bisa menjadi teladan bagi orang
luar: “Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk
mengurus persoalan‐persoalan sendiri dan bekerja dengan
tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai
orang‐orang yang sopan di mata orang luar dan
tidak bergantung pada mereka” (1 Tes 4:11‐12).
YESUS
SANG PELAYAN SEJATI
Santo Paulus
memandang Kristus sebagai satu‐satunya dasar
dan alasan untuk melayani Allah dan sesama manusia. Pada diri Kristus yang
wafat dan bangkit itu, Paulus melihat teladan sempurna dari pelayanannya dan
sekaligus tujuan akhirnya. Dan Paulus memang benar. Selama hidup‐Nya
di tanah Palestina, Yesus mencurahkan seluruh hidup‐Nya
untuk melayani. Dia mengajar, menyembuhkan, dan mengampuni. Dia menghadirkan
Kerajaan Allah di antara manusia. Pada wajah‐Nya terpancar
wajah Allah sendiri. Sehabis‐habisnya Ia
mencurahkan kasih‐Nya karena Ia mengasihi dan taat kepada
Bapa yang mengutus‐Nya. Setuntas‐tuntasnya
Ia memberikan hidup‐Nya kepada manusia, karena Ia datang
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani: “Aku ada di tengahmu sebagai
orang yang melayani” (Luk 22:27; bdk. Yoh 13:1‐15), dan “Anak
Manusia tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28).
Inilah yang akan kita renungkan pada bagian ini.
Panorama
Pelayanan Yesus
Membawa Berita
Gembira.
Sebelum ada Injil mengenai Yesus, telah diwartakan Injil (Kabar Gembira)
oleh Yesus. Di rumah ibadat di Nazaret, Yesus membaca nas dari nabi
Yesaya:
“Roh
Tuhan ada pada‐Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang‐orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang‐orang buta,
untuk membebaskan orang‐orang yang tertindas, untuk memberitakan
tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18‐19).
Dalam tahun
rahmat inilah Yesus hidup di tengah‐tengah orang
banyak, memberitakan Kerajaan Allah, menghidupkan harapan, menyembuhkan,
mengusir setan, dan memilih murid‐murid agar semakin
banyak orang dapat dilayani.
Dalam
memberitakan tahun rahmat Tuhan itu, Yesus menyertainya dengan mukjizat‐mukjizat.
Mukjizat bukanlah “bukti” kehebatan Yesus, melainkan sungguh tanda nyata
kedatangan Kerajaan Allah. Mukjizat menunjukkan bahwa sekarang kasih Allah
telah dinyatakan kepada manusia melalui Yesus. Karenanya, ketika Yohanes
Pembaptis mengutus orang bertanya apakah Yesus benar‐benar
Mesias yang dinantikan, Yesus menjawab para utusan, “Pergilah dan beritakanlah
kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang
lumpuh berjalan, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan
kabar baik” (Mat 11:4‐5). Itulah berita gembira yang
diwartakan oleh Yesus.
Memanggil para
rasul. Dalam
mewartakan datangnya tahun rahmat Tuhan itu, Yesus tidak sendirian. Ia
mengumpulkan sekelompok murid. “Ia memanggil orang‐orang
yang dikehendaki‐Nya dan mereka pun datang kepada‐Nya.
Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus‐Nya
memberitakan Injil dan diberi‐Nya kuasa untuk
mengusir setan” (Mrk 3:13‐15). Orang banyak memang mengikuti
Yesus, datang dan pergi, tetapi para murid dipanggil untuk bersama‐Nya,
mengenal‐Nya, untuk mendapat pengetahuan dari‐Nya.
Setelah itu,
para rasul diutus “untuk mewartakan Injil dan mengusir setan” (Mrk 3:14‐15).
Matius melukis isi pengutusan secara lebih luas: “Dan Ia memberi mereka
kekuasaan untuk mengusir Roh yang tidak bersih dan menyembuhkan segala macam
penyakit” (10:1). Para rasul pertama‐tama adalah
pewarta Injil seperti Yesus sendiri. Tugas pertamanya adalah pewartaan: memberi
manusia cahaya Sabda, ajaran Yesus Kristus. Namun, pewartaan Kerajaan Allah
tidak semata mengajar dengan kata‐kata, tetapi
membawa orang berjumpa dengan Yesus sendiri, merasakan kuasa‐Nya
secara nyata.
Injil Lukas
mengabarkan kepada kita bahwa Yesus membentuk kelompok murid lain lagi, yang
terdiri 70 atau 72 orang dan diutus dengan tugas mirip dengan dua belas rasul
(Luk 10:1‐12). Selain itu, hanya Lukas juga yang
menceritakan kepada kita bahwa ketika Yesus dan murid‐murid‐Nya
berkeliling, para perempuan turut serta. Lukas menyebut tiga nama dan
menambahkan: “Dan banyak lainnya, yang melayani‐Nya dengan apa
yang dimilikinya” (8:3). Memang tugas para murid berbeda dengan para perempuan
itu. Namun, Lukas menjelaskan bahwa banyak perempuan termasuk dalam persekutuan
orang beriman dan bahwa perjalanan mereka sungguh penuh iman bersama dengan
Yesus.
Akhir pelayanan
Yesus.
Warta gembira Kerajaan Allah yang dibawa Yesus kerap kali berbenturan dengan
praktik hidup orang‐orang Yahudi. Berkali‐kali
mereka berusaha menjebak Yesus. Situasi ini membuat Yesus sadar bahwa perutusan‐Nya
akan membahayakan hidup‐Nya sendiri. Sebagai manusia Ia merasa
takut. Ia begitu takut, sampai‐sampai keringat‐Nya
mengucur bercampur darah. Di bukit Zaitun, pada malam itu, terucaplah sebuah
doa yang paling indah: “Ya Bapa‐Ku, jikalau
Engkau mau, ambillah cawan ini daripada‐Ku; tetapi bukanlah
kehendak‐Ku, melainkan kehendak‐Mulah
yang terjadi” (Luk 22:42).
Benar bahwa
saatnya pun tiba. Yesus dikhianati, dijual, ditangkap, dan diadili. Ia berdiri
tanpa seorang pembela pun. Demi kepentingan politik dan stabilitas, satu nyawa
dihilangkan. Pengadilan itu menandai berakhirnya pelayanan Yesus di tengah
orang sebangsa‐Nya.“Yesus berkeliling sambil berbuat
baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai
Dia”, kata Kitab Suci (Kis 10:38). Namun, Ia disalibkan sekitar umur 30 tahun
seperti seorang penjahat. Dia mewartakan Kerajaan Allah, tetapi disingkirkan
oleh orang‐orang atas nama hukum Allah. Apakah yang
membuat‐Nya begitu teguh untuk mewartakan
datangnya tahun rahmat Tuhan itu?
Hamba
Allah yang Menderita
Yesus menyadari
diri‐Nya sebagai hamba Allah yang
menderita.
Dalam Perjanjian Lama, sebutan hamba Allah dikenakan kepada tokoh‐tokoh
besar dalam sejarah Israel. Kita bisa menyebut beberapa tokoh, seperti Abraham
(Mzm 105:42), Musa (Kel 14:32; Bil 12:17; Ul 34:5), Daud (2 Sam 7:5‐8;
1 Raj 8:66), nabi Elia (2 Raj 10:10). Sebutan hamba Allah ini ternyata berlaku
juga untuk seluruh bangsa. Peranan umat dianggap penting dalam sejarah
penyelamatan Allah, sehingga mereka disebut hamba Allah (Yes 41:8‐10;
44:21). Menyebut Yesus sebagai hamba Allah berarti menghubungkan Yesus dengan
tokoh‐tokoh yang menjadi pelaksana penyelamatan
Allah sepanjang sejarah.
Gambaran tentang
Yesus sebagai hamba Allah mencapai puncaknya dalam gambaran hamba yang
menderita. Sejak awal kehidupan Gereja, gambaran tentang hamba yang menderita
itu menjadi madah kesayangan. Madah itu ditemukan dalam Yes 52:13–53:12. Madah
itu berkisah tentang seorang tokoh misterius, tak bernama. Ia menderita berat,
walaupun tak selayaknya dia mengalaminya. Orang sezaman melihat hamba yang
menderita ini sebagai tokoh yang tersingkir, tetapi tokoh itu diperlukan untuk
keselamatan saudara‐saudaranya.
Berulang kali
Yesus memaparkan risiko perjuangan‐Nya di Yerusalem
(Mrk 9:31; 10:33). Yesus mengambil risiko salib itu. Dia bisa saja lari dan
menghindarinya, tetapi itulah yang dipilih‐Nya. Dalam
risiko itu nampak benar ketaatan dan keberanian Yesus sebagai hamba. Ia memilih
jalan pilihan Allah dan Ia tidak mundur dari jalan itu. Yesus memiliki ketaatan
yang hebat, kendati melihat akibat yang berat. Yesus bisa saja menundukkan
lawan‐lawan‐Nya dengan
kekerasan. Mukjizat‐mukjizat membuktikan bahwa Ia bisa
melakukan apa pun yang Ia mau. Tetapi, Ia tahu bahwa karya kasih Allah tidak
bisa diperjuangkan, dibela, dan dilindungi dengan kekuatan kekerasan dan
paksaan. Ia memilih jalan Allah dengan mengorbankan diri‐Nya.
Gereja awali
melihat bahwa Yesus mengalami persis seperti yang dikisahkan penulis kitab
Yesaya itu. Bagi orang Kristen, Yesus adalah yang sesungguhnya menjadi hamba
Allah yang menderita itu. contohnya, ketika bertemu dengan sida‐sida
yang membaca Yes 53:7‐8, Filipus menjelaskan bahwa nabi sedang
mewartakan Yesus Kristus (Kis 8:26‐35). Contoh
lain, ketika Lukas menceritakan bagaimana Yesus mengutarakan nubuat penderitaan‐Nya,
ia melihat Yesus sebagai hamba Allah (lih. Luk 23:37; bdk. Yes 53:12).
Demikianlah, orang kristen perdana melihat Yesus sebagai hamba Allah yang
menderita.
Anak
Manusia yang Datang untuk Melayani
Yesus
menginsyafi diri‐Nya sebagai Anak
Manusia yang datang untuk melayani. Penginjil
rupanya menjadikan Anak Manusia sebagai gelar favorit pribadi Yesus. Sebutan
ini muncul 82 kali dalam Perjanjian Baru dan hampir seluruhnya terdapat dalam
Injil. Dan hampir semuanya, sebutan Anak Manusia itu dikatakan oleh Yesus
sendiri. Betapa pentingnya sebutan ini untuk memahami sosok pribadi Yesus. Lalu
apa yang sebenarnya mau dikatakan dengan sebutan itu?
Awalnya, “anak
manusia” digunakan begitu saja untuk menyebut “orang”. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, sebutan “anak manusia” digunakan secara mengagumkan
dalam Dan 7:13: “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang
dengan awan‐awan dari langit seorang seperti anak
manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan‐Nya.”
Anak manusia dalam kitab Daniel berkuasa atas kerajaan baru. Inilah tokoh yang
dinantikan oleh orang Israel. Tetapi, beginikah Yesus memahami diri‐Nya?
Rupanya tidak.
Gelar anak manusia digunakan Yesus dalam cakrawala penderitaan dan kematian (lih.
Mat 17:12.22; 16:21; 20:18; Mrk 8:31; 10:33; Luk 9:44). Anak Manusia harus
diserahkan ke tangan orang jahat, disalibkan dan pada hari ketiga bangkit (lih.
Luk 24:7). Gambaran anak manusia yang menderita jelas tidak bisa dipahami
oleh alam pikir orang Yahudi yang menantikan anak manusia yang jaya.
Sebaliknya, Yesus sadar bahwa jalan melayani yang ditempuh‐Nya
adalah jalan derita dan kematian. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa‐Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28).
KELUARGA
MELAYANI ALLAH
Pada bagian
sebelumnya kita telah merenungkan pelayanan Yesus yang sempurna. Pada
gilirannya teladan Yesus ini (Yoh 13:15) membawa bersamanya suatu perintah atau
seruan bagi para murid‐Nya: “Yang terbesar di antara kamu
hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk
22:26; bdk. Mat 20:26 par; 23:11). Bukan hanya itu, Dia juga menegaskan:
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara‐Ku
yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
Seruan Yesus
untuk saling melayani berlaku juga bagi seluruh keluarga kristiani. Allah
sendiri menjadi alasan bagi keluarga kristiani untuk melayani dan mengasihi.
Pertama‐tama hal itu dilakukan di antara anggota
keluarga sendiri. Berikutnya, diperluas di dalam Gereja dan masyarakat.
Semuanya itu bukan semata pelayanan lahiriah, atau biar terlihat baik di mata
orang lain, melainkan menjadi cara untuk saling menguduskan, menjadi
persembahan yang berkenan kepada Allah ketika disatukan bersama kurban Kristus
di altar dalam Ekaristi. Pelayanan keluarga kristiani pertama‐tama
dan terutama adalah pengabdian kepada Tuhan sendiri. Kita merenungkannya pada
bagian ini.
Semuanya
bermula dari kehendak Allah
Dalam Kitab
Kejadian (1:26‐28; 2:18‐24) dikisahkan
bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra‐Nya.
Ia menciptakan manusia sebagai laki‐laki dan
perempuan, dan dengan demikian Allah menggoreskan dalam kodrat manusia untuk
saling melengkapi. Bukan hanya itu, Allah juga memberi kuasa kepada manusia
untuk bersama‐sama dengan Allah menciptakan manusia‐manusia
baru. Dan dengan demikian, Kitab Suci memberikan landasan yang sangat kuat
bahwa Allah menciptakan keluarga sebagai tempat untuk menyalurkan kasih dan
kehidupan.
Di dalam
keluarga, manusia dapat mewujudkan panggilan dasar untuk menjaga,
mengungkapkan, dan menyalurkan cinta. Itu artinya cinta kasih harus ada lebih
dahulu. Ada pepatah yang mengatakan: “Kasih bukan hanya terdapat di dalam
pernikahan, tetapi dalam pernikahan harus ada kasih.” Pernikahan tidak menjamin
adanya kasih, tetapi kasih memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
pernikahan. Jika demikian, dalam keluarga, masing‐masing anggota
membawa kasih terlebih dahulu.
Akan tetapi,
tantangan zaman memang membuat semuanya itu tidak selalu gampang. Di satu sisi,
kemajuan ekonomi, misalnya, membuat banyak hal menjadi lebih mudah.
Kesejahteraan keluarga meningkat. Keluarga bisa memanfaatkan banyak hal untuk
menumbuhkan dan memperkaya cinta mereka. Tetapi, di sisi lain, globalisasi
memaksa orang untuk hidup terpencar‐pencar.
Pergaulan antara laki‐laki dan perempuan yang lebih terbuka
sungguh menguji kesetiaan suami‐istri.
Komunikasi yang lebih mudah malah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang
dekat serumah.
Kenyataan‐kenyataan
semacam itu memang nyata dan tak terhindarkan. Hanya saja diperlukan kerendahan
hati untuk kembali ke cita‐cita awal. Ada
pepatah yang mengatakan: bila menginginkan hasil terbaik, silakan ikuti
petunjuk‐petunjuk si pembuatnya. Dan sungguh ini
berlaku untuk setiap keluarga. Keluarga kristiani perlu terus mengingat maksud
Allah mengadakan keluarga ini. Keluarga perlu menginsyafi dirinya sebagai
tempat menyalurkan kasih dan kehidupan.
Saling
Melayani dalam Keluarga
Maksud Allah
menciptakan keluarga sebagai tempat menyalurkan kasih dan kehidupan diawali
dari dalam keluarga itu sendiri. Seorang romo pernah membuat perbandingan yang
menarik mengenai perkawinan. Perkawinan itu bukan seperti sebuah kotak hadiah
yang penuh dengan perhiasan emas yang indah‐indah.
Sebaliknya, perkawinan itu seperti kotak kosong, yang harus diisi sendiri oleh
suami‐istri dan juga anak‐anaknya.
Mereka harus mengisi sendiri hingga kotak itu penuh dengan keindahan.
Semuanya itu
mungkin jika keluarga menghayati nasihat Kitab Suci ini. Tuhan Yesus memberikan
pedoman emas: “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31). Bila pedoman ini diterapkan
dalam kehidupan keluarga, maka dapat diterjemahkan demikian: “Sebagaimana kamu
kehendaki agar suami/istri perbuat bagimu, berbuatlah juga demikian kepadanya.
Sebagaimana kamu kehendaki agar anak mengasihi kamu, berbuat kasihlah juga
kepadanya. Demikian juga sebaliknya dengan anak‐anak.”
Oleh karena itu,
penting sekali disadari adanya kebutuhan dasar setiap orang di rumah yang harus
dipenuhi, karena setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasarnya masing‐masing.
Bapak keluarga, ibu, dan anak‐anak, masing‐masing
memiliki kebutuhan dasar yang berharap bisa dipenuhi. Seorang suami memerlukan
dukungan, kekaguman, dan ucapan terima kasih yang akan menguatkannya. Seorang
istri memerlukan perhatian, komunikasi yang baik, kejujuran, dan keterbukaan
yang juga akan meneguhkannya. Anak‐anak membutuhkan
rasa dipercaya, diterima, yang akan mendewasakan mereka. Jika masing‐masing
saling memenuhi kebutuhan dasar ini, maka deposito cinta dalam keluarga akan
bertambah.
Ikut
Serta dalam Perutusan Gereja
Kasih yang
dialami dalam keluarga menjadi sumber kekuatan yang dahsyat untuk turut serta
dalam perutusan Gereja. Perutusan Gereja yang terpenting bagi keluarga adalah
mewujudkan sebuah Gereja kecil atau disebut juga Gereja rumah tangga (Ecclesia
domestica). Keluarga menjadi tempat Tuhan tinggal dan berkarya untuk
keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Paus Paulus VI mengatakan
dalam ensiklik Evangelii Nutiandi: “…Keluarga patut diberi nama yang
indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam
setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam‐macam
segi dari seluruh Gereja.”
Sebagai Gereja
rumah tangga, keluarga kristiani turut serta menghayati tritugas Kristus. Tugas
kenabian diwujudkan keluarga kristiani dengan mendengarkan dan mewartakan
sabda. Berkat sakramen baptis, krisma, dan perkawinan, keluarga kristiani
mendapatkan tugas misioner. Keluarga kristiani menjadi misionaris cinta kasih
dalam kehidupan, mewartakan Injil kepada pribadi atau keluarga yang kurang
beriman. Tugas ini dijalankan baik secara langsung, maupun melalui perihidup
dan contoh‐contoh keluarga yang baik (FC 53‐54).
Tugas imamat
keluarga kristiani dijalankan dengan menerima sakramen‐sakramen,
beribadat, doa, dan pengurbanan hidup sehari‐hari. Berkat
sakramen perkawinan, keluarga kristiani mendapatkan sumber kekuatan istimewa
untuk menghayati misteri pemberian diri dalam hidup harian mereka, sekaligus
mengubahnya sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Ini
menjadi suatu ibadah yang hidup untuk menyucikan hidup mereka dan dunia (FC
56).
Tugas rajawi
sepenuhnya meneladan apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus yang datang untuk
melayani dan bukan untuk dilayani. Keluarga kristiani melayani sesama menurut
teladan Yesus sendiri. Keluarga dimampukan untuk melihat orang lain di luar
anggota keluarganya sebagai saudara‐saudari Kristus
sendiri, khususnya mereka yang miskin dan menderita (FC 63‐64).
Bersama
Melayani Masyarakat
Kasih yang
dialami dalam keluarga dan keikutsertaan dalam perutusan Gereja membawa
keluarga pada lingkup yang lebih luas, yakni lingkup masyarakat. Penting sekali
diingat bahwa keluarga katolik, sebagaimana keluarga‐keluarga
yang lain, merupakan sel masyarakat yang pertama. Seperti apa dan bagaimana
sebuah masyarakat sesungguhnya sangat ditentukan oleh keluarga‐keluarga
yang hidup dalam masyarakat itu. Keluarga mendukung perkembangan masyarakat melalui
pelayanan cinta kasih kepada sesama (AA 11). Amanat Apostolik Familiaris
Consortio mengajarkan dengan jelas:
“Keluarga
mempunyai hubungan‐hubungan yang amat penting dan organik
dengan masyarakat, karena keluarga merupakan landasan masyarakat dan selalu
menghidupi masyarakat melalui peranannya sebagai pelayan kehidupan: dari
keluargalah lahir warga‐warga masyarakat atau negara dan di
dalam keluargalah mereka menemukan sekolah pertama keutamaan‐keutamaan
sosial, yang merupakan asas yang menjiwai eksistensi dan perkembangan
masyarakat sendiri.” (FC 42)
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa seluruh anggota keluarga sebenarnya sedang “bersekolah”
untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Di dalam keluarga itulah setiap orang
belajar berkorban dan berdialog dengan sesama.
Berkaitan dengan
itu, cukup sering kita mendengar cerita tentang orang‐orang
katolik yang dipercaya oleh warga sekitarnya untuk menjadi pengurus di
masyarakat. Perihidupnya yang baik dilihat orang. Mereka dipercaya. Dan ini
sungguh menjadi sebuah kesaksian hidup yang indah. Dengan kata dan karyanya,
mereka menjadi garam dan terang dunia. Kehadiran mereka sungguh menjadi berkat
untuk sesama.
Menimba
Rahmat Ekaristi untuk Melayani
Sampai di sini
kita telah melihat bahwa keluarga kristiani sungguh dikehendaki Allah sebagai
tempat tumbuhnya cinta kasih dan kehidupan. Tumbuhnya cinta kasih dan kehidupan
itu bermula dengan keseharian yang saling melayani. Itu akan menjadi pengalaman
kasih yang indah, yang dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Dari sana
keluarga punya pijakan untuk turut serta dalam tugas perutusan Gereja dan
pelayanan dalam masyarakat. Untuk dapat menjalankan tugas panggilan dan perutusannya
yang mulia itu, keluarga kristiani sungguh memerlukan rahmat dan kasih Allah
yang besar. Dan rahmat itu diperoleh terutama dari Ekaristi.
Dalam Ekaristi,
Allah menguduskan umat beriman dan umat beriman memuliakan Allah. Allah
membagikan rahmat, memberkati, dan menguduskan mereka melalui sabda yang
diwartakan, doa, madah yang dilambungkan, dan komuni kudus. Kenyataan ini
mengundang keluarga kristiani untuk mengikuti Ekaristi. Di sana anggota
keluarga menyadari kerapuhan masing‐masing, bersedia
untuk saling mengampuni sesama anggota keluarga.
Selain itu,
keluarga kristiani menghadiri perayaan Ekaristi dengan membawa seluruh
perjuangan hidup sehari‐hari dan mempersembahkannya di sana. Ada
suka, ada duka, ada kecemasan, dan ada harapan. Semuanya dibawa ke hadirat
Allah untuk disyukuri dan dipersembahkan bersama dengan kurban Kristus di
altar. Segala pahit getir dan suka cita hidup pribadi dan keluarga diubah
menjadi sumber berkat. Dengan demikian, keluarga kristiani bukan keluarga yang
melulu duniawi, melainkan keluarga yang semakin dikuduskan sekaligus dikuatkan.
Persembahan
hidup keluarga akhirnya disatukan dengan kurban Kristus di altar. Saat imam
mengulangi kata‐kata konsekrasi adalah sungguh saat yang
berahmat. “Terimalah dan makanlah, inilah tubuh‐Ku yang
diserahkan bagimu. Terimalah dan minumlah, inilah piala darah‐Ku,
darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang
demi pengampunan dosa. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Saat itu
mengingatkan suami‐istri dan orangtua‐anak
akan kesediaan diri untuk berkorban demi orang yang disayangi. Cinta yang
meluap di antara mereka pada gilirannya meluber juga kepada sesama, khususnya
yang miskin dan menderita.
DAFTAR PUSTAKA
Agneray,
Paul, Jean‐François Baudoz, dkk. Diakonía. El
servicio en la Biblia. Cuadernos Biblicos 159. Pamplona: Editorial Verbo
Divino, 2013
Darmawijaya,
St. Gelar‐gelar Yesus. Yogyakarta:
Kanisius, 1991
Gianto,
Agustinus.Dag Dig Dug Byaar! Yogyakarta: Kanisius, 2004
Ratzinger,
Joseph (Benediktus XVI). Yesus dari Nazaret. (Terj. B.S. Mardiatmadja).
Jakarta: Gramedia, 2007
Varo,
Francisco. Libros Historicos del Antiguo Testamento. Tema 10. Pamplona:
Instituto Superior de Ciencias Religiosas, 2002
Wignyasumarta,
Ign., dkk. Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Wilhelmus,
Ola Rongan & Hipolitus K. Kewuel (eds.). Keluarga Kristiani dalam Badai
Globalisasi. Madiun: Wina Press, 2011