Sungguh,
alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama
dengan rukun! Seperti minyak yang baik diatas kepala meleleh ke janggut,
yang meleleh ke janggut Harun dan leher jubahnya. Seperti embun gunung
Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN
memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya (Mzm133:1-3),
demikian pemazmur melukiskan indahnya persaudaraan bilamana yang
bersaudara hidup rukun dan saling mencintai.
Persaudaraan
yang demikian dibandingkan oleh pemazmur dengan "minyak yang harum" dan
"embun gunung Hermon". "Minyak yang harum" - biasanya merujuk pada
balsam - adalah tanda kegembiraan, kemurahan, kehangatan, afeksi, dan
lain-lain. Sementara "embun gunung" adalah lambang kesegaran, kesejukan,
dan kehidupan. Di tanah yang sedemikian gersang, seperti di Palestina,
embun pagi dari gunung sungguh menjadi tanda kegembiraan yang
menjanjikan kehidupan. Persaudaraan sesungguhnya bagaikan embun pagi
bagi kehidupan personal maupun nasional. Singkat kata, persaudaraan yang
rukun dan damai membawa kegembiraan, kehangatan, kesejukan, dan
kehidupan.
Persaudaraan yang rukun dan damai, itulah
yang selalu didambakan umat manusia. Tragisnya, dalam pengalaman
keseharian manusia, hal itu tampaknya seperti utopia saja. Dari Kitab
Suci, kita mengetahui bahwa sudah sejak awal mula, persaudaraan telah
retak ketika Kain membunuh saudara kandungnya, Habel (Kej 4:1-16).
Drama
retaknya persaudaraan itu kita alami dan kita hidupi hingga sekarang
dalam kehidupan nyata. Perang antarnegara, perang saudara, konflik
berdarah antarkelompok telah mencabik-cabik pengikat kemanusiaan kita
yang sebenarnya adalah bersaudara. Seorang filsuf pernah berkata, awal
dari segala konflik adalah "pagar". Pagar adalah pembatas antara "aku"
dan "engkau", antara "kami" dan "kamu". Pagar adalah sekat yang
memisahkan kita sebagai saudara. Berbagai sekat dalam kehidupan kita
telah membuat kita picik dan miskin sehingga menimbulkan kecurigaan, iri
hati, dan kebencian. Padahal, sesungguhnya aneka perbedaan itu bisa
menjadi faktor kekayaan dalam kehidupan manusia bila orang hidup saling
mencintai dan rukun sebagai saudara.
Kitab Suci -
sebagai Sabda Tuhan dalam cerita manusia - adalah cermin dari pengalaman
kita di sini dan kini. Kisah yang diceritakan dalam Kitab Suci adalah
sejarah dari dunia ini, maka juga adalah sejarah kita. Di sana juga
diceritakan retaknya persaudaraan manusia. Akan tetapi, dalam kaca mata
iman, keretakan bukanlah 'kata akhir' dalam kisah biblis itu. Keretakan
itu bisa dipulihkan bila orang sanggup bertemu kembali sebagai saudara,
yakni ketika orang sanggup berbalik, menyesal, dan memaafkan. Inilah
yang hendak kita renungkan dalam kisah Yusuf dan saudara-saudaranya
dalam Kej 37-50.
PERSAUDARAAN YANG RETAK (Kej 37:1-36)
1. Yakub dan Keluarganya
Kisah
Yusuf adalah kisah yang paling lengkap dari kisah tokoh-tokoh lain yang
terdapat dalam Kitab Kejadian. Kesatuan kisah ini utuh, kecuali dua
kisah selang tentang "Yehuda dan Tamar" (Kej 38) dan "Berkat Yakub" (Kej
49).
Yakub mempunyai duabelas anak. Kedua belas anak
itu dia peroleh lewat pernikahannya dengan Lea, Rahel, Zilpa (hamba Lea)
dan Bilha (hamba Rahel). Dari Lea, Yakub mendapat anak: Ruben, Simeon,
Lewi, dan Yehuda (Kej 29:32-35) dan kemudian Isakhar, Zebulon, dan
putrinya, Dina (Kej 30:16-21). Dari Zilpa, hamba Lea, Yakub mendapat
anak: Gad dan Asyer. Rahel memberikan anak: Yusuf (Kej 30:22-24) dan
Benyamin (Kej 35:16-22a) bagi Yakub. Bilha, hamba Rahel, memberikan Dan
dan Naftali bagi Yakub (Kej 30:1-8).
Selengkapnya,
kedua belas anak Yakub ini dipaparkan dalam Kej 35:22b-29. Ke dalam
kedua belas anak Yakub ini akan ditambahkan kedua anak Yusuf, yaitu
Efraim dan Manasye, yang lahir di Mesir sebelum Yakub tiba di sana dan
termasuk bilangan anak-anak Yakub dan bagian dari suku Israel (Kej
48:5).
2. Yusuf Dibenci Saudara-saudaranya (Kej 37:1-11)
Dendang
kebahagiaan hidup dalam keluarga yang penuh persaudaraan dan cinta
seperti yang diungkapkan oleh pemazmur (Mzm 133:1-3) di muka rupanya
tidak ditemukan dalam keluarga Yakub atau Israel dengan empat istrinya
dan dua belas anaknya.
Dalam Kej 37:2d dikatakan bahwa
Yusuf menyampaikan kepada ayahnya tentang kejahatan saudara-saudaranya.
Apakah kejahatan itu? Dari teks, kita tidak mendapat jawaban atas
pertanyaan itu, tetapi seorang penafsir Yahudi, Rashi, mencoba
menduganya. Menurut dia, kemungkinan besar sesudah kematian Rahel (Kej
35:16-22a), Benyamin, adik Yusuf, diasuh oleh Bilha, hamba Rahel dan
sangat mungkin juga bahwa Yusuf diasuh oleh Bilha. Dengan demikian,
anak-anak Bilha secara natural akan dekat dengan Benyamin dan Yusuf.
Boleh jadi juga, anak-anak Zilpa, hamba Lea, dekat dengan Benyamin dan
Yusuf karena sangat mungkin bahwa anak-anak Lea menganggap hina saudara
mereka, Gad dan Asyer, sebagai keturunan hamba dari ibu mereka. Hal
inilah yang dianggap jahat oleh Yusuf dan dilaporkannya kepada bapa
mereka, Yakub. Atau, mungkin juga kejahatan yang dilaporkan oleh Yusuf
kepada bapanya adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh Ruben terhadap
Bilha, gundik ayahnya (Kej 35:22b). Entah dugaan ini benar atau tidak,
yang penting adalah bahwa rupanya anak-anak Yakub tidak harmonis.
Favoritisme
- pengistimewaan orang-orang tertentu - rupanya bukan barang baru dan
cukup subur dalam keluarga Yakub, bahkan dalam keluarga ayahnya, Ishak.
Tampaknya, Ishak lebih cinta kepada Esau daripada kepada Yakub.
Sebaliknya Ribka, istri Ishak, lebih cinta pada Yakub ketimbang kepada
Esau. Yakub lebih cinta kepada Rahel daripada kepada Lea (Kej 25:28;
29:30). Dia juga lebih cinta kepada Yusuf dibandingkan kepada semua
anak-anaknya yang lain (Kej 37:3).
Menjadi "anak emas"
biasanya akan mengakibatkan kecemburuan. Pengistimewaan umumnya akan
bermuara pada iri, dengki, dan kebencian. Israel atau Yakub lebih
mencintai Yusuf dari yang lain. Alasan pengistimewaan Yusuf itu ialah
karena Yusuf lahir di masa tua Yakub.
Sedikit
agak aneh bahwa Yakub mengistimewakan Yusuf karena lahir di masa tuanya.
Bukankah Benyamin, adik Yusuf dan yang bungsu dari seluruh anak-anak
Yakub, justru anak yang paling tepat sebagai anak yang lahir di masa tua
Yakub? Bukankah Benyamin juga anak yang dilahirkan Rahel, istri Yakub
yang paling dicintainya? Oleh karena itu, ungkapan "anak di masa tua"
ini ditafsirkan secara lain. Dalam bahasa Ibrani, frasa itu dibahasakan
dengan benzequnim: ben berarti anak; zequnim berarti tua atau pada masa tua. Akan tetapi, kata zequnim mempunyai banyak arti. Zequnim berasal dari kata zaken
yang berarti orang yang sudah tua, tetapi juga bijaksana, tua, punya
otoritas (wibawa), dan kepemimpinan (bdk. Kej 24:2; Yes 9:14). Maka,
ungkapan benzequnim boleh juga diterjemahkan sebagai anak yang
terlahir sebagai pemimpin. Bila arti itu boleh kita terima, maka mengapa
Yakub lebih mencintai Yusuf daripada anak-anaknya yang lain ialah
karena Yusuf adalah anak yang terlahir sebagai pemimpin baginya.
Ternyata memang nanti akan menjadi terbukti bahwa Yusuf telah
"ditakdirkan" untuk menguasai dan memimpin para saudaranya dan bahkan
lebih, memimpin bapa dan ibunya.
Kemungkinan
besar, bukan hanya karena alasan itu sehingga Yakub lebih mencintai
Yusuf. Mungkin, cintanya yang lebih istimewa kepada Rahel, yang
diperjuangkannya dari mertuanya, Laban, selama empat belas tahun untuk
menikahinya (Kej 29:1-30) boleh jadi ditransfer kepada anaknya Yusuf.
Apapun alasannya, Yusuf adalah "anak emas" Yakub.
Wujud
dari pengistimewaan Yakub kepada Yusuf diperlihatkan dengan pemberian
"jubah yang mahaindah". Tidak diterangkan bagaimanakah gerangan "jubah
yang mahaindah" itu, yang dalam bahasa Ibrani disebut ketonet passim. Dalam 2Sam 13:18, kata ketonet passim
ditemukan juga dan di sana diberi artinya. Konon, itulah baju yang
dipakai oleh para putri raja yang masih perawan. Boleh dibayangkan bahwa
baju seperti itu selain indah, pastilah bukan pakaian yang praktis
untuk bekerja karena mungkin bentuknya adalah long dress dan
berlengan panjang. Bila ini yang dimaksud, barangkali bukan keindahan
yang lebih menjadi soal, melainkan akibat dari pakaian seperti itu.
Orang yang memakai pakaian itu bukanlah orang yang akan mengerjakan
pekerjaan kasar harian. Mungkin dalam konteks itulah juga keistimewaan
Yusuf dari antara saudaranya-saudaranya: bebas dari pekerjaan kasar
harian. Justru inilah barangkali yang membakar kebencian para saudaranya
kepada Yusuf.
Api kebencian para saudaranya
terhadap Yusuf semakin disulut oleh mimpi yang diceritakannya baik
kepada saudara-saudaranya, maupun kepada bapanya (Kej 37:5-8,9-11).
Mimpi yang pertama tentang sebelas berkas gandum yang tunduk kepada satu
berkas yang tetap tegak (Kej 37:5-8) dan mimpi yang kedua tentang
matahari, bulan, dan sebelas bintang yang sujud menyembah Yusuf (Kej
37:9-11). Dua mimpi Yusuf itu mengandung satu arti.
Mimpi
yang kedua (Kej 37:9-10) tampaknya mengantar para saudara ke puncak
kebencian terhadap adik mereka. Puncak kebencian itu ialah iri hati. Iri
hati di sini lebih keras dibandingkan dengan kebencian karena di sana
termuat dorongan dan hasrat untukmembalas dendam. Para saudara ingin
membalas arogansi si "tukang mimpi", adik mereka itu. Kisah ini
mengingatkan kita pada nasib Habel yang dibenci dan dicemburui oleh
abangnya, Kain (Kej 4:1-16).
Tampaknya, baik para
saudara maupun bapanya mengerti dengan baik makna mimpi Yusuf. Mereka
menafsirkan kedua mimpi itu sebagai superioritas Yusuf atas keluarga
Yakub. Namun, reaksi para saudara dan bapa Yusuf berbeda atas mimpi itu.
Para saudaranya menjadi semakin benci, sedangkan Yakub mendiamkannya.
Apakah mungkin Yakub sudah tahu bahwa memang begitulah "nasib" anak
kesayangannya, Yusuf? Kemungkinan besar jawabannya adalah "ya".
Sebenarnya
sulit memahami kemarahan para saudara kepada Yusuf. Mengapa? Dalam
dunia Timur Tengah kuno, mimpi adalah sarana pewahyuan (revelasi) yang
ilahi kepada manusia. Itu berarti mimpi bukanlah hal yang bisa dikontrol
oleh orang yang bermimpi. Seharusnya, para saudara dan bapa Yusuf tahu
tentang hal itu. Akan tetapi, memang begitulah dalam kehidupan manusia,
pembawa berita yang tidak menyenangkan akan bernasib malang.
Bandingkanlah kisah Obaja dan Elia (1Raj 18:7-15).
Lalu
apakah yang boleh kita petik dari kisah Yusuf yang lebih disayangi oleh
ayahnya tetapi dibenci oleh saudara-saudaranya ini? Beberapa hal
barangkali boleh menjadi pokok permenungan kita.
Pertama,
bagaimana punjuga manusia tetaplah mendambakan dirinya dihargai seperti
orang lain. Favoritisme adalah salah satu sikap yang bertentangan
dengan dambaan manusiawi tersebut. Alasannya, favoritisme akan
memunculkan sikap yang mengistimewakan orang tertentu dan menomorduakan
orang lain. Menjadi "anak emas" akan melahirkan ketidakadilan dalam
sikap dan perlakuan. Biasanya sikap orang lain terhadap yang
"dianakemaskan" adalah benci dan iri. Maka, untuk menghindarkan sikap
itu, favoritisme perlu dijauhkan karena akan mengganggu persaudaraan,
kekeluargaan, dan kebersamaan secara umum, ketimbang membangun. Lalu
apakah ini berarti bahwa manusia mesti memperlakukan saudara atau sesama
sama rasa sama rata? Bukankah manusiawi juga bahwa manusia mempunyai
seseorang yang lebih dicintai dan dikasihi? Benar bahwa ada yang lebih
dicintai dan dikasihi itu sangat manusiawi. Akan tetapi, yang
dimaksudkan di sini dengan favoritisme atau "anak emas" sudah selalu
mengandung muatan negatif karena mengandaikan perlakuan istimewa secara
berlebihan dan parsialitas (mengistimewakan secara berlebihan satu pihak
dan mengabaikan pihak lain).
Kedua, kebencian dan iri
terarah pada keretakan persaudaraan. Sesungguhnya dalam diri orang yang
membenci dan iri tersimpan suatu hasrat yang "membunuh". Benci dan iri
berarti mengatakan "engkau harus mati!" kepada orang yang dibenci itu.
Ini persis terbalik dengan cinta dan mencinta. Cinta selalu berkata
kepada yang dicintai "engkau tidak akan mati!". Biarpun seseorang yang
kita cintai sudah tiada, dia tetap hidup di hati, pikiran, dan perasaan
kita. Dia tidak mati! Yang sebaliknya terjadi dalam kebencian.
3. Yusuf Dijual oleh Saudara-saudaranya (Kej 37:12-36)
"Pucuk
dicinta ulam tiba", demikian kira-kira dapat kita ungkapkan bagaimana
perasaan para saudara Yusuf ketika mereka melihat si "tukang mimpi"
datang menemui mereka di Dotan, di dekat Sikhem. Saat itulah waktu yang
paling tepat untuk melampiaskan api amarah dan dendam terhadap adik yang
mereka benci dan yang terhadapnya mereka iri hati. Waktu yang tepat itu
sekaligus bermakna ganda. Itulah waktu yang tepat untuk melampiaskan
dendam mereka, sekaligus itulah waktu yang tepat untuk membuktikan
kepada si "tukang mimpi" itu bahwa mimpinya sungguh-sungguh hanyalah
"mimpi" dengan cara membunuhnya.
Menarik
untuk memperhatikan awal dan akhir dari cerita yang terdapat dalam
perikop Kej 37:12-36 ini. Pada awal kisah diceritakan bahwa Yakub atau
Israel menyuruh Yusuf anak kesayangannya pergi untuk melihat "keadaan
baik" (shalom) para saudaranya. Kata Israel kepada Yusuf,
"Pergilah engkau melihat apakah baik keadaan saudara-saudaramu dan
keadaan kambing domba; dan bawalah kabar tentang itu kepadaku" (Kej
37:14). Sebaliknya, di akhir cerita, kabar yang datang kepadanya adalah
"keadaan buruk" dari anak yang lebih dikasihinya, Yusuf (Kej 37:32-35).
Seperti
sudah disinggung di atas tadi, memang kebencian dan iri hati selalu
mengandung keinginan akan "keadaan buruk" atas orang yang dibenci. Benci
dan iri hati mengarah pada pembunuhan atau membuat mati orang yang
dibenci itu. Para saudara Yusuf sungguh mau membunuh dia. Dengan jelas
tampak di sini suatu rencana kriminal yang dilakukan dengan tahu dan
mau, atau penuh kesadaran. Hal itu tampak dengan ungkapan bahwa "mereka
telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya" (Kej 37:18b).
Tiada kesalahan yang lebih besar daripada kesalahan, kendati kecil, yang
dilakukan dengan penuh kesadaran. Kebencian sesungguhnya terarah atau
mengarahkan orang pada kematian (bdk. 1Yoh 3:13). Para saudara Yusuf
dengan tahu dan mau hendak mengakhiri hidup Yusuf.
Semuanya
sudah terencana, bahkan mereka telah menciptakan cerita untuk menutupi
kejahatan mereka yang akan mereka katakan nanti kepada bapa mereka,
Yakub. Bila ditanya di mana Yusuf, jawabnya, "Dia telah dimakan binatang
buas!" (Kej 37:20).
Untunglah, dalam kebencian yang
dalam dan membakar itu, salah seorang dari para saudara itu mengusulkan
agar adik mereka tidak dibunuh (Kej 37:21-22). Ruben, yang sebagai anak
sulung mungkin sadar bahwa dialah yang paling bertanggung jawab atas
nasib adik-adiknya termasuk Yusuf, mengusulkan agar Yusuf dimasukkan ke
dalam sumur. Atau, mungkin Ruben ingin menebus dosanya atas perbuatan
tak senonoh dengan Bilha, hamba perempuan Rahel, ibu Yusuf (Kej 35:22)?
Entah apapun motif keinginan untuk menyelamatkan Yusuf di benak Ruben,
yang jelas dia sebenarnya ingin mengembalikan adiknya itu kepada ayah
mereka dengan selamat (Kej 37:29-30).
Jalur perdagangan yang melalui Palestina ada dua: Jalan (Jalur) Laut yang terkenal dengan nama Latin, Via Maris dan Jalan Raya Raja yang oleh para ahli disebut King's Highway.
Jalan Laut adalah jalan raya yang menyusuri pantai barat Laut
Mediterania, Palestina. Jalan inilah yang terutama menghubungkan Negeri
Mesir di selatan dan negeri-negeri di Asia, persisnya daerah
Mesopotamia. Selain Jalur utama ini, Jalan Raya Raja menjadi alternatif
bagi para pedagang. Jalan Raya Raja ini mengambil rute di sebelah timur
Sungai Yordan, melewati daerah-daerah Moab dan Gilead yang kemudian
nanti sampai ke daerah Asia atau Mesopotamia. Namun, tidak jarang para
pedagang juga mengambil lintasan yang menghubungkan Jalan Laut dan Jalan
Raya Raja, melewati kota-kota yang ada di antaranya, termasuk Dotan.
Selain
Sikhem, Dotan termasuk kota yang agak besar. Dotan terletak beberapa
kilometer (kurang lebih 30 km) di sebelah utara Sikhem. Kota ini
merupakan lintasan pendek yang dilalui oleh para pedagang dari
negeri-negeri di utara ke negeri di selatan dan sebaliknya. Maka, tidak
mengherankan bahwa para pedagang melewati daerah Dotan ini. Mereka
membawa damar, balsam, dan damar ladam (Kej 37:25). Barang-barang itu
sangat penting bagi orang Mesir untuk keperluan pengobatan, pengawetan
mayat, atau keperluan lain.
Ketika terjadi nasib malang
Yusuf ini, pedagang yang adalah orang-orang Ismael lewat. Sesungguhnya,
para saudara Yusuf ingin membunuh dia. Yehuda mendapat ide yang bagus
melihat kafilah orang Ismael itu. Ketimbang harus menumpahkan darah
saudara sendiri, daging dari daging sendiri, lebih baik menjualnya. Yang
penting ialah menyingkirkannya dari tengah keluarga dan dengan demikian
membatalkan realisasi mimpi dari si "tukang mimpi" itu. Menumpahkan
darah - apalagi darah saudara sendiri - adalah dosa berat dan kekejian
yang besar (bdk. Kej 2:23-24;4:9-10). Darah sang korban akan menjerit
menuntut pembalasan sampai ke surga (lih. Kej 4:10; Yeh 24:7). Jadi, ide
Yehuda bermakna ganda: tidak menumpahkan darah sehingga tangan mereka
bersih dari darah dan mereka mendapat sedikit untung.
Kendati
tidak dikatakan secara eksplisit bahwa para saudara lain setuju atau
tidak setuju dengan usul Yehuda, mereka mendengar perkataan Yehuda.
Jadilah mereka menjual Yusuf kepada pedagang, orang Ismael, dengan harga
dua puluh syikal perak. Kita tidak tahu berapa nilai uang tersebut pada
waktu itu. Yang jelas, Yusuf, saudara dan adik mereka, telah menjadi
"barang dagangan" (komoditas) karena kebencian. Manusia yang menjadi
barang dagangan hanyalah budak. Sesuatu menjadi "komoditas" biasanya
memang diakibatkan oleh nafsu akan untung dan uang. Tetapi, di sini
kiranya yang menjadi alasan ialah karena kebencian.
Kisah
Yusuf ini mengingatkan kita akan peristiwa Yesus dan Yudas Iskariot.
Yudas Iskariot menjual Yesus kepada para musuh karena kebencian (Mat
26:14-16, istimewa ay 15; par.). Kebencian memang membuat sesama, bahkan
saudara sendiri, hanya sebatas komoditas; yang lebih parah, membuatnya
sebatas "barang, hal" atau "objek" semata.
Ekskursus
Ada
dua hal yang sulit dalam kisah penjualan Yusuf ini. Pertama, siapa
sebenarnya yang ingin atau berinisiatif untuk menyelamatkan Yusuf: Ruben
atau Yehuda? Kedua, kepada siapa sebenarnya Yusuf dijual oleh para
saudaranya: kepada orang-orang Ismael atau kepada orang Midian?
Tampaknya ada dua alur kisah yang sejajar. Para ahli mencoba menjawab
kedua pertanyaan itu dengan dua corak penjelasan.
Yang
pertama, menurut para ahli, kisah yang kita peroleh dalam Kitab Suci
kita sekarang adalah pemaduan dua kisah dari sumber yang berbeda, yakni
sumber Elohis dan sumber Yahwis. Kisah pertama dengan tokoh Ruben
berasal dari sumber Elohis. Sumber Elohis ini datang dari Kerajaan Utara
(Israel). Dalam kisah ini, para saudara Yusuf ingin membunuh Yusuf,
tetapi Ruben mengusulkan agar dia dimasukkan saja ke dalam sumur yang
tidak berair. Maksud Ruben jelas, yakni untuk menyelamatkan adiknya itu
nanti dan mengembalikannya kepada ayahnya (Kej 37:21-22,29-30).
Sedangkan kisah kedua dengan tokoh Yehuda berasal dari sumber Yahwis.
Sumber Yahwis ini datang dari Kerajaan Selatan (Yehuda). Sama seperti
yang pertama, ketika para saudara Yusuf hendak membunuhnya, Yehuda
mengusulkan agar mereka menjual Yusuf saja. Selain terhindar dari dosa
berat - membunuh darah dan daging (saudara) sendiri - dengan demikian,
mereka justru akan mendapat untung (Kej 37:26-27a). Kedua kisah inilah
yang berpadu sekarang dalam teks Kitab Suci kita sekarang. Mungkin kisah
yang lebih tua adalah kisah dari sumber Elohis karena sangat masuk akal
bahwa Ruben, sebagai anak tertua dari semua anak-anak Yakub, merasa
lebih bertanggung jawab atas nasib dan keselamatan adik mereka.
Sementara, kisah Yahwis adalah suatu versi yang hendak mengangkat dan
menonjolkan Yehuda yang nota bene adalah pahlawan dalam tradisi Yahwis juga nenek moyang suku Yehuda di Kerajaan Selatan.
Kepada
siapa Yusuf dijual? Menurut tradisi Elohis, para saudara tidak menjual
Yusuf. Adalah orang Midian yang lewat dari tempat itu yang mengangkat
Yusuf dari dalam sumur yang tak berair itu dan menjualnya kepada orang
Ismael dan orang Ismael inilah yang membawanya ke Mesir (Kej 37:28a).
Yang sulit dimengerti ialah bahwa di akhir kisah dikatakan bahwa orang
Midianlah yang menjual Yusuf ke Mesir kepada Potifar. Tampaknya kata
kunci penentu dalam tradisi Elohis ini adalah kata "mereka" (ay 28b).
Dalam bahasa Indonesia, kata itu hilang karena diterjemahkan dengan
struktur kalimat pasif: "... Yusuf diangkat ke atas dari dalam sumur..."
Dalam bahasa Ibrani tertulis:"... mereka mengangkat Yusuf ke atas dari
dalam sumur...". Siapa "mereka" ini? Para saudara Yusuf atau orang
Midian? Tampaknya, "mereka" ini adalah orang Midian karena ternyata
nanti, dalam Kej 40:15, Yusuf menceritakan kepada pegawai minuman anggur
Firaun bahwa dia diculik dan dicuri. Sedangkan menurut tradisi Yahwis,
para saudaralah yang menjual Yusuf kepada orang-orang Ismael (Kej
37:27-28b). Nanti, ketika Yusuf bertemu dengan para saudaranya itu di
Mesir, dia juga mengatakan bahwa mereka telah menjual dia ke Mesir (Kej
45:4c) dan dalam Kej 39:1 dikatakan bahwa dari orang Ismael, Potifar
membeli Yusuf di Mesir (Kej 39:1).
Bagaimana harus
dipecahkan kesulitan ini? Pemecahan pertama, setelah melihat kisah yang
tidak sinkron ini, para ahli mengatakan bahwa kisah yang kita peroleh
sekarang ini berasal dari dua sumber yang berbeda dan disatukan oleh
redaktur tanpa dengan jeli memperhatikan runtutnya jalan cerita dalam
kisah. Umumnya, pemecahan inilah yang diterima banyak ahli.
Akan
tetapi, ada juga ahli yang melihat kisah yang tersimpan dalam Kitab
Suci kita sekarang ini sungguh satu kisah yang utuh dan kompak. Orang
Ismael sebenarnya sama dengan orang Midian. Kedua sebutan ini dipakai
secara bergantian untuk menunjuk orang yang sama. Atau boleh juga
dimengerti bahwa orang Ismael adalah sebutan umum untuk merujuk
"pedagang-pedagang nomaden", sedangkan orang Midian sebagai sebutan
etnis. Bisa juga dipahami sebutan orang Ismael sebagai panggilan bagi
semacam "liga suku", sedangkan orang Midian adalah salah satu suku dari
liga suku tersebut. Singkatnya, kisah penjualan Yusuf ke Mesir berasal
dari satu sumber.
Memang, seluk beluk terjadinya kisah
ini secara eksegetis perlu diketahui. Akan tetapi, bagi kita yang paling
penting adalah inti atau pesan kisah ini. Pilihan mana pun yang
diambil, yang jelas inti kisah yang ada di hadapan kita sekarang ialah
bahwa Yusuf dijual oleh para saudaranya dankhirnya sampai di Mesir.
YUSUF DI “PEMBUANGAN” (Kej 39:1-23)
1. Yusuf di Rumah Potifar di Mesir (Kej 39:1-6)
Kisah
tentang Yusuf diawali dengan pemberitahuan tempat Yakub tinggal, yakni
di tanah penumpangan ayahnya. Sekarang, sejarah Yakub dan keturunannya
dimulai. Setelah Abraham dipanggil Allah dari Ur-Kaldea, kepadanya sudah
dijanjikan untuk mewarisi dan mendiami suatu tanah (Kej 12:1-9). Namun
demikian, sudah sejak masa bapa bangsa pertama ini juga, kepada Abraham
dikatakan bahwa keturunan Abraham kelak akan tinggal di negeri orang
asing yang bukan kepunyaan mereka (Kej 15:13). Tanah "yang bukan
kepunyaan mereka" ini adalah Tanah Mesir dan Yusuf adalah pendahulu dari
keturunan itu.
Benar, Yusuf adalah pendahulu bagi
keluarga dan bangsanya nanti di Tanah Mesir. Akan tetapi, menjadi
pendahulu itu bukanlah pilihannya. Dia "terpaksa" menjadi pendahulu
karena keberadaan itu adalah akibat dari upaya para saudaranya
untukmenyingkirkan dan membuang dia ke tanah orang asing, ke tempat yang
jauh. Sekarang dia berada di tanah "pembuangan", sekurang-kurangnya
menurut pikiran para saudaranya. "Blessing in disguise"
boleh dikatakan untuk menyimpulkan nasib Yusuf yang dijual oleh para
saudaranya ke tanah asing dan jauh ke Mesir, tetapi justru dianugerahi
dengan segala bentuk keberhasilan, baik kepada dirinya maupun kepada
orang yang membelinya (Kej 37:36; 39:1).
Pepatah
"manusia berencana tetapi Tuhan yang menentukan" tampaknya berlaku bagi
nasib Yusuf. Rencana para saudaranya ialah untuk membuktikan bahwa
mimpinya hanyalah mimpi semata (Kej 37:18b-20). Mereka berencana
membunuhnya tetapi akhirnya menjauhkan Yusuf dari tengah-tengah mereka
dengan menjualnya. Akan tetapi, justru di sinilah rencana Tuhan atas
diri Yusuf terwujud. Kelak, Yusuf sendiri mengakui bahwa Tuhan
sendirilah yang mengirim dan mengutusnya pertama datang ke Mesir (Kej
45:5) untuk mempersiapkan jalan bagi keluarganya, bagi keturunan
Abraham, seperti yang sudah dikatakan oleh Allah sebelumnya kepada nenek
moyang mereka itu.
Yusuf dijual kepada seorang pegawai
tinggi kerajaan Mesir bernama Potifar. Dalam bahasa Mesir, nama itu
bermakna "pemberian dewa Ra". Dewa Ra adalah dewa matahari di Mesir.
Dalam Kej 39:1-6 ini secara sangat singkat diungkapkan keberhasilan
Yusuf dan bagaimana dia menjadi orang kepercayaan majikannya. Kata kunci
dari segalanya itu adalah bahwa dia "disertai oleh Tuhan". Kisah ini
mengingatkan kita akan tokoh yang paling besar dalam sejarah bangsa
Israel, Musa. Dia adalah tokoh yang memimpin pemerdekaan bangsa Israel
dari perbudakan Mesir, bukan dengan kekuatan tangan manusia melainkan
karena dia "disertai oleh Tuhan". Penyertaan Tuhan atas diri Yusuf juga
ditransfer kepada orang di mana dia tinggal, sang majikan, Potifar (ay
2-5). Sedemikian besar kepercayaan majikannya kepadanya, sehingga sang
majikan tidak tahu lagi apa-apa di dalam rumahnya, kecuali makanan yang
dia makan (ay 6). Ungkapan "selain dari makanannya sendiri" boleh
dipahami dalam beberapa arti. Ungkapan tersebut bukanlah tanda
kekurangpercayaan Potifar pada Yusuf. Mungkin yang dimaksudkan dengan
ungkapan itu adalah istri Potifar sendiri (lih. ay 9; perhatikanlah
kaitan antara istri dan makanan dalam Ams 30:20) atau hal-hal pribadi.
Mungkin juga ungkapan itu merujuk pada aturan pantang diet keagamaan.
Dengan
kata lain, "nasib malang" yang membuatnya sampai di Mesir sekarang
telah berubah menjadi "nasib mujur". Semuanya itu terjadi karena Tuhan
berkenan kepada Yusuf. Keenam ayat ini bukan hanya hendak menceritakan
kehebatan Yusuf, melainkan juga dan terutama hendak menjelaskan
alasannya, yaitu karena Tuhan ada bersama dia.
2. Yusuf dan Istri Potifar (Kej 39:6c-23)
Setelah
dikisahkan perubahan pengalaman Yusuf sesudah dia dibawa ke Mesir dan
bagaimana dia menjadi orang kepercayaan majikannya - dan dengan demikian
menjadi orang penting di rumah tuannya yang nota bene adalah
pegawai tinggi di Mesir - sekarang datang drama kehidupan Yusuf yang
sesungguhnya: perjumpaan dengan istri Potifar. Dalam teks biblis,
namanya tidak disebut tetapi secara imajinatif, McKay menamainya
Rafitop, persis kebalikan dari nama Potifar untuk melukiskan sikap dan
perlakuan kedua tokoh dalam kisah itu terhadap Yusuf.
Rupanya
penyertaan Tuhan atas diri Yusuf tidak hanya tampak dalam berkat
keberuntungan bagi Yusuf dan tuannya, Potifar, melainkan juga dalam
penampilan dirinya dengan "sikap yang manis dan paras yang elok" (Kej
39:7). Pelukisan tampang seorang laki-laki seperti ini agak mencolok.
Hanya Rahel, ibu Yusuf sendiri, yang diberi atribut seperti itu (Kej
29:17). Rupanya, "sikap manis dan paras yang elok" menjadi keberuntungan
sekaligus "sumber petaka" bagi Yusuf.
Terbawa arus
gairah seksual, sang istri tuannya mengajak Yusuf untuk berbuat dosa.
Dengan bahasa yang singkat dan padat hal itu dilukiskan: "Marilah tidur
dengan aku!" (Kej 37:7). Yusuf menolak dengan sopan tetapi tegas. Ada
dua alasan yang dikemukakan Yusuf untuk tidak melakukan dosa itu, yakni
tidak mau mengkhianati kepercayaan tuannya (menghormati tuannya) dan
tidak mau berbuat dosa di hadapan Allah. Inilah pegangan yang tetap
dipertahankan oleh Yusuf berhadapan dengan godaan istri tuannya itu
sehingga walaupun digoda dari hari ke hari (ay 10), dia tidak jatuh.
Sampai akhirnya si wanita yang frustrasi karena nafsunya tidak
tersalurkan itu membalas kemurnian hati Yusuf, hamba dan budak itu (Kej
37:11-19).
Sesungguhnya motif yang paling kuat yang
membuat Yusuf menang dalam godaan itu adalah keyakinannya atas perbuatan
yang benar di hadapan Tuhan. Kendati Yusuf tidak menyebutkan kata zina
dalam teks kita, kiranya itulah yang dia maksudkan. Larangan untuk
berbuat zina adalah hukum ilahi, hukum Tuhan yang sudah ditaati sejak
zaman para bapa bangsa. Walaupun seorang laki-laki di Israel diizinkan
untuk mempunyai lebih dari satu istri, namun bersetubuh dengan seorang
wanita yang sudah bersuami, bahkan yang masih dalam status terikat
pertunangan pun, sudah terhitung berzina. Karena zina dianggap sebagai
dosa yang demikian berat, maka baik si wanita maupun si laki-laki harus
menanggung hukuman mati sebagai akibatnya (bdk. Ul 22:22-24 // Kel
38:24; Kel 20:15 // Im 18:20 // Ul 22:14ii). Dalam hal ini, kesetaraan
gender di dunia Timur Tengah kuno secara umum dan di Israel secara
khusus memang tidak ada. Seorang wanita yang sudah menikah dengan
seorang laki-laki terikat secara mutlak kepada suaminya. Maka,
barangsiapa mencoba melanggar aturan ilahi itu, dia melanggar salah satu
aturan yang paling suci dari perintah Allah Israel.
Di
dunia Timur Tengah kuno di luar Israel, perkawinan juga dianggap
sebagai lembaga yang dilindungi oleh para dewa. Akan tetapi, persoalan
zina tidak dianggap sebagai masalah berat seperti di Israel. Di sana,
zina hanya dipandang sebagai kesalahan ringan, persoalan yang menyangkut
hak privat si suami yang dirugikan (terhina karena istrinya berzina)
dengan si pezina (istri atau kekasih istri itu). Namun, budaya Mesir
dalam hal zina mirip dengan budaya Israel. Perzinahan atau upaya berzina
dianggap kesalahan berat.
Tampaknya, bagi Yusuf,
keutamaan itu sangat penting. Berbuat zina adalah dosa bukan hanya
terhadap manusia, melainkan juga dosa terutama terhadap Allah (ay 9).
Maka, walaupun istri Potifar tidak mengenal Allah yang diimani Yusuf,
Yusuf memberi alasan penolakan untuk berbuat dosa itu karena Allah tidak
berkenan dengan perbuatan seperti itu. Di sini, Yusuf ditampilkan
sebagai model kemurnian.
Kejahatan melahirkan
kebohongan; kebohongan memunculkan ketidakadilan; ketidakadilan
mengorbankan orang benar. Demikian rangkaian peristiwa yang menimpa
Yusuf berkaitan dengan godaan dari istri majikannya. Setelah gagal
menggoda Yusuf untuk tidur bersama dia yang terakhir kalinya, sang istri
majikan akhirnya membohongi sang suami bahwa sang budak, orang Ibrani
itu, telah menghina sang istri. Sialnya, Potifar begitu percaya kepada
istrinya itu. Tanpa upaya verifikasi, dia menangkap dan menjebloskan
Yusuf ke dalam penjara. Potifar bertindak tidak adil karena dia tidak
mencari kebenaran dan pihak lain (Yusuf). Ketidakadilan inilah
yangmelahirkan korban orang yang benar: Yusuf dipenjarakan!
Kisah
wanita penggoda yang tidak berhasil membalas dendam terhadap laki-laki
yang digodanya sangat umum dikenal. Kisah seperti itu rupanya universal.
Entah kisah biblis tentang Yusuf ini diturunkan langsung atau tidak
dari sana, ternyata di Mesir juga ditemukan kisah yang agak mirip
mengenai "Dua Orang Bersaudara".
Konon, di suatu tempat
tinggallah dua orang bersaudara. Yang sulung bernama Anpu dan yang
bungsu bernama Bantu. Mereka berdua bekerja di ladang. Ketika si adik
pulang ke pondok untuk mengambil bibit yang akan mereka tanam, istri si
abang, Anpu, menggoda si adik. Bantu, si adik yang masih lajang itu -
karena menaruh hormat kepada abangnya yang sudah seperti seorang bapa
baginya - menolak tawaran itu. Sesungguhnya, Bantu berjanji tidak akan
memberitahukan hal itu kepada abangnya, suami si wanita itu. Namun,
ketika Anpu kembali ke rumah, dia menemukan istrinya sedang dirundung
kesedihan dan mendengar cerita bohong yang dibentangkan oleh sang istri
terkasih itu. Yakin atas kebenaran cerita sang istri, Anpu berusaha
untukmembunuh adiknya. Suatu ketika, Anpu mengintai adiknya ketika ia
sedang membawa lembu ke ladang. Tetapi, secara ajaib, lembu yang dibawa
memberitahukan bahaya itu kepada Bantu. Anpu mengejar Bantu sampai ke
suatu sungai yang tiba-tiba dibanjiri oleh buaya-buaya sehingga Anpu dan
Bantu terpisah oleh sungai itu. Dalam jarak yang dipisahkan sungai itu,
Bantu menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi. Akhirnya, Anpu yakin
atas perkataan adiknya dan kembali ke rumah, lalu sebaliknya membunuh
istrinya.
Yang menarik dalam kisah yang mirip ini
adalah bahwa dalam kisah "Dua Orang Bersaudara", si tertuduh punya
kesempatan untuk membela diri dan akhirnya "menang". Dalam kisah Yusuf,
dia tidak mendapat kesempatan itu. Dalam kisah biblis, pembelaan orang
benar bukan terutama oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Yusuf tidak
membela dirinya tetapi Tuhan menyertai dia yang nanti membuktikan
kebenarannya.
Selain itu, ada juga hal yang menarik
dari kisah Yusuf dan istri Potifar ini. Kendati dia sudah hidup di
pembuangan - atau kalau mau lebih positif: di perantauan - dia hidup dan
berdiri teguh pada warisan peradaban dan kerohanian yang diterima
sebelumnya di negerinya. Seperti sudah dikatakan di atas, alasan utama
penolakannya atas godaan sang majikan perempuan itu adalah kesetiaannya
untuk tidak berbuat dosa di hadapan Allahnya. Warisan rohani itu tetap
dipertahankannya, kendati dia sudah hidup nyaman dan mewah di tanah
pembuangan. Warisan peradaban juga dipegang teguh, yakni tidak mau
membuat kejahatan atas kebaikan majikan, Potifar. Posisinya yang
terpercaya tidak dia gunakan sebagai kesempatan untukmerusak majikannya.
Dengan
kata lain, kendati hidup jauh dari keluarga dan tanah airnya, Yusuf
tidak kehilangan identitas. Salah satu ancaman dari kehilangan identitas
di tanah perantauan adalah bahwa manusia gampang jatuh untuk
"menyesuaikan diri" dengan tempat di mana dia hidup sekarang. Akibatnya
ialah hilangnya jati diri yang sesungguhnya.
3. Yusuf di dalam Penjara (Kej 39:20-23)
Jika
dilihat, hukuman yang ditimpakan kepada Yusuf atas tuduhan berat itu -
kendati memang tidak benar - agaknya ringan. Soalnya, bila orang merdeka
dituduh berbuat jahat saja bisa mendapat hukuman mati, apalagi orang
yang tidak merdeka. Karena itu, hukuman yang diterima oleh Yusuf agak
mengherankan. Ada penafsir yang mengatakan bahwa, konon, sebenarnya
kemarahan Potifar bukan pada Yusuf secara langsung tetapi pada istrinya.
Dia menghukum Yusuf hanya untuk "menyelamatkan muka". Namun, tafsiran
seperti itu kurang didukung oleh teks biblis sendiri. Sebab, seandainya
demikian, penulis kiranya akan menulis hal itu. Ada juga penafsir lain
yang menduga bahwa Potifar sebenarnya sangat terikat dan percaya pada
Yusuf sehingga dia tidak sampai hati menghukum lebih berat. Namun,
tafsiran ini pun terlalu bernuansa psikologis dan penuh perasaan.
Mungkin
hukuman itu harus dimengerti sebagai penahanan atau "penantian" untuk
eksekusi hukum yang lebih berat, seperti kasus yang akan menimpa juru
roti dan juru minuman nanti (Kej 40:22). Apapun keterangan yang paling
tepat untuk menerangkan ringannya hukuman yang diterima Yusuf ini,
kiranya yang hendak ditekankan oleh penulis kisah ini adalah bahwa Tuhan
menyertai Yusuf. Itulah alasan mengapa dia dihukum demikian. Secara
literer, tentulah Yusuf tidak boleh mati begitu saja karena kalau
demikian, rencana ilahi tidak berjalan dengan mulus. Yusuf dihukum dan
direndahkan untuk bangkit nanti sebagai penguasa di Mesir.
Oleh
manusia, harkat dan martabat Yusuf diturunkan - dari orang kepercayaan
menjadi orang yang dipenjarakan - namun oleh Tuhan, dia tetap
diperhatikan dan dilindungi. Dalam situasi baru di penjara itu, Tuhan
ada bersama dia. Dan, penyertaan Tuhan tersebut membawa berkat baginya,
persis seperti pelukisan dalam ayat 1-6 ketika dia mengawali kariernya
di rumah Potifar.
Tuhan menyertai dan melindungi Yusuf
dalam kehidupan lahiriah. Ini tidak berarti bahwa Yusuf lepas dari
penderitaan, melainkan penyertaan itu tampak dan dialami di
tengah-tengah penderitaan. Di sini muncul teologi yang sangat dalam,
yakni keyakinan atau kepercayaan akan perlindungan Tuhan kendati
tampaknya penderitaan dan kesengsaraan "diizinkan". Refleksi ini sangat
menakjubkan. Teologi ini memperlihatkan kepada kita bahwa orang yang
disertai Tuhan juga tidak luput dari penderitaan. Dan, penderitaan
bukanlah tanda absennya Tuhan.
4. Yusuf Menjadi Penguasa di Mesir (Kej 40-41)
Yusuf
yang telah menjadi kesayangan dan kepercayaan kepala penjara itu (Kej
39:21) mendapat teman senasib: juru roti dan juru minuman raja Mesir.
Kita tidak tahu berapa lama Yusuf tinggal di dalam penjara tuannya.
Rupanya,
Yusuf bukan hanya jago bermimpi tetapi juga dianugerahi keahlian untuk
menafsir mimpi. Sesungguhnya, pengetahuan untuk menafsir mimpi bukanlah
keahlian atau kepintaran manusiawi, tetapi lebih-lebih merupakan
anugerah atau ilham ilahi (Kej 39:8; Kej 40:16; bdk. Dan 2:18-22).
Kemampuan dalam menafsir mimpi inilah yang kelak menjadi tangga titian
karier Yusuf menuju puncak tampuk penguasa di Mesir.
Sekali
lagi Yusuf memperlihatkan keutamaannya di dalam penjara bersama dengan
kedua pegawai Firaun yang ikut dipenjarakan bersama dengan dia.
Keutamaan Yusuf tampak sebagai orang yang solider, prihatin, dan
perhatian kepada kedua temannya itu. Demikianlah, pada suatu pagi kedua
temannya di penjara itu murung dan tak bergairah. Yusuf langsung
menangkap tanda-tanda yang membuat mereka gelisah (Kej 40:6-7). Benar
saja, keduanya bersusah hati karena mereka bermimpi. Lalu Yusuf
menawarkan diri untuk menolong mereka dengan kesediaan untuk menafsirkan
mimpi mereka.
Simpul dari tafsir mimpi sang juru
minuman dan juru roti raja Mesir itu adalah "Firaun akan meninggikan
kepala" mereka (Kej 40:13,19,20). Kalimat ini bermakna ganda karena bagi
sang juru minuman, itu berarti restorasi dan rehabilitasi posisinya
(Kej 40:21) dan bagi sang juru roti, itu bermakna eksekusi dirinya
dengan hukuman gantung (Kej 40:22). Kepada sang juru minuman yang akan
direstorasi itu, Yusuf meminta agar sang juru minuman sudi menceritakan
hal ihwal diri Yusuf kepada Firaun (Kej 40:14-15). Sialnya, sang juru
minuman itu tidak mengingat permintaan Yusuf itu (Kej 40:23). Sejarah
manusia memang sering demikian, orang kerap tidak mengingat perbuatan
baik sesamanya.
Ayat penutup (Kej 40:23) kisah mimpi
kedua pegawai Firaun itu menjadi ayat yang mengesankan untuk kisah
"petualangan" Yusuf selanjutnya. Dengan ayat itu, Yusuf diperlihatkan
sebagai orang yang dilupakan dan ditinggalkan oleh sesama yang ditolong
oleh Allah. Dia tetap tinggal sendirian dalam penjara. Akan tetapi,
rupanya itu hanya kesan. Sekarang tibalah fase baru dalam kehidupan
Yusuf dengan munculnya mimpi Firaun sendiri (Kej 41). Ternyata, sang
juru minuman tidakmelupakan Yusuf secara total. Atas penuturannya (Kej
41:12-13), Firaun menyuruh agar Yusuf dipanggil untuk menafsirkan
mimpinya. Di hadapan Sang Firaun, Yusuf dengan rendah hati dan sangat
sopan mengoreksi pemahaman Firaun bahwa Yusuf dapat memberi arti mimpi.
Yusuf menegaskan bahwa kemampuan untuk menafsirkan mimpi bukanlah dari
dirinya sendiri tetapi dari Allah (Kej 41:16). Sama seperti
pernyataannya kepada sang juru minuman (Kej 40:8), Yusuf mengarahkan
perhatian Firaun bukan pada dirinya tetapi kepada Allah yang akan
memberikan makna mimpi itu.
Ada dua mimpi Firaun tetapi
sesungguhnya keduanya adalah satu (Kej 41:25). Duplikasi mimpi yang
bermakna sama ini memperlihatkan bahwa peristiwa itu akan datang dalam
waktu singkat, tanpa seorang pun sanggup mengelakkannya (Kej 41:32).
Lalu dengan lancar, penuh keyakinan, singkat, dan padat, Yusuf
membeberkan makna mimpi itu. Singkatnya, arti mimpi Firaun adalah bahwa
akan datang masa melimpah selama tujuh tahun dan sesudahnya masa
paceklik selama tujuh tahun juga (Kej 41:29-31).
Menarik
untuk memperhatikan peran Allah dalam keseluruhan wacana Yusuf di
hadapan Firaun. Dalam ayat 16, 25, dan 28 dikatakan bahwa pelaku utama
dan penentu dari realisasi mimpi itu adalah Allah. Puncak pemakluman
makna mimpi itu adalah nasihat yang disampaikan Yusuf kepada Firaun agar
Firaun mengangkat orang yang sanggup mempersiapkan bangsa Mesir untuk
menyongsong kedua masa itu (Kej 41:33). Yusuf juga bahkan menasihati
agar Firaun sendiri berbuat sesuatu (Kej 41:34-36). Sekarang, budak yang
dipenjarakan itu telah menjadi "penasihat" penguasa tertinggi Mesir,
Firaun sendiri. Fase kisah penjualan Yusuf ke Mesir oleh para saudaranya
(Kej 37;39-41) diakhiri dengan naiknya Yusuf menjadi penguasa Mesir
(Kej 41:37-57).
Nasihat Yusuf dipandang baik oleh
Firaun. Firaun sendiri ditampilkan sebagai orang yang mengenal Allah
(Kej 41:38-39) yang sangat berbeda nanti dengan penggantinya, yang bukan
hanya tidak mengenal Yusuf tetapi juga menghina Allah (Kel 1:8; 5:2ii).
Sebaliknya, Firaun dalam kisah Yusuf ini bukan hanya mengenal Yusuf,
tetapi juga belajar untuk mengenal Allah melalui Yusuf. Orang yang
mengerti dengan terang benderang masa depan - dengan bantuan Allah -
pastilah orang yang paling tepat untuk membangun policy
menghadapi masa depan itu. Karena itulah, Yusuf diangkat menjadi
penguasa istana Firaun dan seluruh Tanah Mesir (Kej 41:40-49). Sekarang,
Yusuf menjadi penguasa Mesir, negeri yang sudah siap untuk menyongsong
masa yang seluruhnya ditentukan oleh Allah.
Dalam
konteks masa paceklik dahsyat selama tujuh tahun yang akan datang
nantilah akan terjadi perjumpaan antara Yusuf dan para saudaranya, serta
seluruh keluarganya. Dengan demikian, kita masuk ke fase kedua kisah
Yusuf.
Persaudaraan Dipulihkan
(Kej 42:1-45:15)
1. Yusuf Bertemu dengan Para Saudaranya (Kej 42-44)
Musim
paceklik yang dahsyat, sebagaimana diberitahukan oleh Yusuf kepada
Firaun Mesir, rupanya bukan hanya menimpa Mesir tetapi seluruh wilayah
di sekitarnya, termasuk Tanah Kanaan, negeri Yusuf sendiri. Dengan
sangat dramatis, hal itu dibahasakan sebagai kelaparan yang "merajalela
di seluruh bumi" (Kej 41:56). Inilah yang memaksa keluarga Yakub mencari
jalan keluar agar dapat bertahan hidup. Dia menyuruh anak-anaknya pergi
ke Mesir untuk membeli bahan makanan agar mereka bisa tetap bertahan
hidup karena di sana, dia mendengar masih ada persediaan. Demi
mempertahankan hidup, anak-anak Yakub turun ke Mesir untuk membeli bahan
penopang hidup, makanan. Inilah awal kisah perjumpaan Yusuf dengan
saudara-saudaranya. Anak-anak Yakub harus pergi ke Mesir untuk menghadap
penguasa Mesir yang tidak lain, tidak bukan adalah saudara mereka
sendiri, Yusuf, yang dulu mereka singkirkan.
Dalam
kisah pertemuan pertama ini, Yusuf tampaknya ditampilkan sebagai orang
yang mau membalas dendam (Kej 42). Penyelidikannya terhadap
saudara-saudaranya memberi kesan bahwa dia mau melampiaskan balasan atas
perlakuan mereka kepadanya sekian tahun yang silam. Kesan pembalasan
dendam itu tampak dengan tuntutan Yusuf atas para saudaranya supaya
mereka membawa adik mereka yang paling bungsu, Benyamin (Kej 42:15-16).
Tuntutan ini berat dan sulit sehubungan dengan kerelaan ayah mereka
untuk memberikan dan mengizinkan Benyamin, saudara Yusuf seibu, untuk
berangkat ke Mesir bersama para saudaranya (Kej 42:36,38; bdk. Kej
44:22). Kesan balas dendam itu semakin diperkuat dengan perlakuan Yusuf
terhadap Simeon yang dibelenggu dan harus tinggal sebagai jaminan atas
niat baik para saudara Yusuf (Kej 42:24). Tampaknya tidak ada jalan lain
bagi para saudara itu selain menuruti tuntutan Yusuf demi tujuan
memperoleh bahan makanan dan demi membuktikan niat baik mereka. Mereka
bukanlah mata-mata seperti yang dituduhkan Yusuf.
Pertemuan
Yusuf dengan para saudaranya terjadi ketika pertama kali mereka datang
ke Mesir (Kej 42:6-8). Namun, pertemuan itu belumlah sebuah perjumpaan
yang membuat mereka saling mengenal karena hanya Yusuflah yang langsung
mengenali mereka (ayat 7-8). Memang, pertemuan persaudaraan baru
sungguh-sungguh terjadi ketika dua belah pihak saling "mengenal",
menerima, dan berjumpa dalam arti sesungguhnya. Dalam pertemuan
berikutnya, ketika para saudara Yusuf datang lagi untuk kedua kalinya
membeli makanan ke Negeri Mesir (Kej 43:1-34), kesan untuk membalas
dendam itu semakin kuat.
Kita bisa membayangkan
bagaimana susahnya para saudara Yusuf ketika tuduhan pencurian piala
tampaknya benar. Piala "yang dinyatakan hilang" itu bukan sembarang
piala. Piala itu adalah benda suci yang dengannya orang dapat mengetahui
kehendak ilahi. Pencurian terhadap barang suci adalah kesalahan yang
serius (bdk. Kej 31:33ii; Hak 18:17ii). Karena itu, "kesalahan" Benyamin
adalah kesalahan yang serius dan konsekuensinya serius pula. Mereka
harus pulang lagi ke Mesir, ke rumah Yusuf, untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan itu (Kej 44:1-17). Yang paling tragis ialah bahwa saudara
yang mereka jamin akan pulang dengan selamat ke rumah mereka (Kej 42:37;
43:8-9) justru harus tinggal menjadi budak (Kej 44:10,17).
Sesungguhnya, para saudara Yusuf belum berjumpa dengan adik mereka,
Yusuf, yang mereka jual dulu.
2. Para Saudara Bertemu dengan Yusuf (Kej 45:1-15)
Akan
tetapi, rupanya, kesan balas dendam dalam perlakuan Yusuf terhadap
saudara-saudaranya itu memang hanyalah kesan saja. Di balik semuanya
itu, Yusuf hanya hendak menguji para saudaranya (Kej 42:15).
Ujian
yang dibuat Yusuf terhadap saudara-saudaranya rupanya meyakinkan Yusuf
bahwa para saudaranya itu sungguh berniat baik. Beberapa kali
diperlihatkan bagaimana para saudara itu menyadari dan menyesali
perbuatan jahat mereka terhadap adik mereka, Yusuf, yang sekarang tanpa
mereka kenali berdiri di hadapan mereka. Ketika Yusuf menuduh bahwa
mereka adalah pengintai yang datang melihat kelemahan Negeri Mesir (Kej
42:9b), mereka menyangkal tuduhan itu dengan menyebut bahwa mereka
adalah "anak dari satu ayah" (Kej 42:11). Jawaban atas tuduhan ini
sangat kuat kendati tidak dengan sendirinya jelas. Memang benar, tidak
mungkin seorang ayah mengambil risiko untuk mengirim anak-anaknya
sekaligus menjadi mata-mata karena bila terjadi kesalahan, akibatnya
fatal: kehilangan anak-anaknya sekaligus. Karena itu, Yusuf menjadi
yakin bahwa mereka jujur mengakui alasan kedatangan mereka. Pernyataan
"hamba-hambamu ini dua belas orang, kami bersaudara, anak dari satu
ayah" (ayat 13) semakin menggugah perasaan Yusuf. Sekarang, di
hadapannya, para saudaranya itu ternyata memperhitungkan dirinya dan
Benyamin sebagai saudara mereka. Dahulu, sebelum dan pada waktu
peristiwa penjualan dirinya, para saudara tidak menganggapnya sebagai
saudara, melainkan sebagai "orang ketiga", "tukang mimpi". Yusuf mencari
"saudaranya" ke Dotan, sebaliknya para saudaranya itu
menyambutnyasebagai "bukan saudara", "tukang mimpi kita" (bdk.
Kej37:16a,19). Sekarang, mereka sendiri mengakui bahwa mereka punya
seorang "saudara yang hilang".
Ketika Simeon harus
ditahan sebagai jaminan untuk membuktikan kejujuran hati mereka, para
saudara sudah menyadari bahwa hal itu adalah akibat dari dosa mereka
(Kej 42:21-23). Dan, pada waktu itu, Yusuf pun tampaknya sudah menangkap
penyesalan itu ketika dengan haru ia mengundurkan diri dari para
saudaranya dan menangis (Kej 42:24).
Puncak dari
seluruh kisah pengujian itu tampak ketika Yehuda memaparkan bahwa dia
adalah orang yang bertanggung jawab atas keselamatan adik mereka,
Benyamin (Kej 44:18-34). Kisah pertanggungjawaban Yehuda atas
keselamatan adik bungsu mereka itu merupakan salah satu kisah yang
paling mengharukan dalam seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama.
Kembali
Yehuda tampil sebagai pembela dan penyelamat. Adalah Yehuda yang
mengatakan bahwa tidak ada untungnya membunuh darah dan daging mereka,
lebih baik menjualnya saja (Kej 37:26-27). Sekarang dia tampil kembali
untuk membela dan menyelamatkan adik mereka, Benyamin, saudara Yusuf
seibu. Dengan cara penuh hormat dan mengharukan,Yehuda menceritakan
betapa mereka berjuang untuk memohon kepada ayah mereka agar sang ayah
mengizinkan adik bungsu mereka ikut pergi ke Mesir. Tanpa Benyamin tidak
ada artinya pergi ke Mesir dan berjumpa dengan penguasa Mesir (Kej
44:18-34). Dalam wacana yang mengharukan itu ternyata Yehuda "menang"
atas Yusuf.
Seandainya pun Yusuf bertindak demikian
terhadap saudara-saudaranya itu karena niat jahat, siapa yang tidak
tergerak mendengar penyesalan yang begitu mengharukan? Apalagi
sesungguhnya Yusuf hanya menguji dan meneliti kejujuran dan ketulusan
hati mereka. Tanpa dapat dibendung, Yusuf lalu memperkenalkan dirinya
kepada saudara-saudaranya (Kej 45:1-15).
"Akulah
Yusuf! Masih hidupkah bapa?" (Kej 45:3b). Bagaikan sebuah pewahyuan
ilahi, pengungkapan siapa diri Yusuf membuat para saudaranya tidak dapat
mengatakan apa-apa (Kej 45:3b). Sampai dua kali Yusuf menegaskan bahwa
dia sendiri adalah Yusuf untuk meyakinkan para saudara dan agar mereka
tidak takut (Kej 45:4d). Yusuf memperkenalkan dirinya tetapi sekaligus
membuat para saudara mengingat apa yang mereka lakukan kepadanya,
"menjual ke Mesir". Namun, hal itu bukan untuk membuat mereka semakin
takut, melainkan untuk menyingkapkan apa di balik perbuatan mereka.
Puncak dari seluruh kisah ini termaktub dalam pernyataan Yusuf, "Jadi
bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah
menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh tanah
Mesir" (Kej 45:8). Nanti pernyataan ini akan diulang kembali dalam Kej
50:20. Dalam ayat yang singkat ini terkandung teologi yang sangat dalam,
yakni "Penyelenggaraan Ilahi" (Providentia Divina). Dengan
pernyataan itu, Yusuf bukan hanya memaafkan perbuatan saudaranya, tetapi
juga melihat "tangan Tuhan" yang memakai kesalahan para saudaranya demi
keselamatan keluarganya. Secara sepintas, kisah Yusuf tidak
begitu menonjol sebagai "sejarah keselamatan" bila dibandingkan dengan
kisah para bapa bangsa Abraham, Ishak, dan Yakub di mana tema "janji
Allah" sangat mencolok. Tema itu absen dalam kisah Yusuf ini. Dengan
kata lain, sejarah keselamatan tidak langsung kentara. Namun, di situlah
terletak kekuatan kisah ini, yaitu ketika Tuhan mengubah kejahatan
dalam sejarah seorang anak manusia menjadi kebaikan. Bila tema janji
Allah agak kabur, tema penyelenggaraan ilahi menjadi kentara. Inilah
yang boleh kita sebut sebagai tuntunan tangan Tuhan yang tersembunyi dan
diam-diam dalam sejarah. Dalam kisah Yusuf ini, setelah diceritakan
sedemikian banyak hal yang dibuat oleh manusia, pada akhirnya - dari
pernyataan Yusuf sendiri - satu-satunya yang bertindak dalam seluruh
peristiwa adalah Allah, bukan para saudaranya yang "mengirim" Yusuf ke
Mesir.
Sekarang, Yusuf dan saudara-saudaranya sungguh
bertemu dan berjumpa, lewat pengenalan, pemaafan, pengampunan, serta
penerimaan. Ketika dua belah pihak yang berkonflik bertemu, bermaafan,
dan saling mengampuni, di sanalah terjadi persaudaraan yang
sesungguhnya, yang bukan hanya ditentukan oleh ikatan darah tetapi oleh
ikatan kasih persaudaraan. Persaudaraan dipulihkan!
Selebihnya, kisah tentang Yusuf dan keluarganya (Kej 45:16-50:26) menjadi penutup kisah inti di atas tadi.
Catatan Akhir
Ungkapan
"alangkah baik dan indahnya tinggal bersama sebagai saudara" memang
benar. Akan tetapi, kehidupan memperlihatkan betapa persaudaraan itu
rentan untuk terluka. Berbagai konflik, perang, perseteruan mengancam
keindahan persaudaraan tersebut.
Kisah Yusuf dan
saudara-saudaranya adalah juga kisah hidup kita di sini dan kini. Kita
juga kerap "menjual" atau kalau tidak, "membunuh" saudara kita. Mungkin
sebaliknya, kerap kita "dijual" atau "dibunuh" oleh saudara kita.
Persaudaraan retak! Akan tetapi, dalam terang iman - bercermin pada
Sabda Tuhan - keretakan itu tidak pernah menjadi kata akhir bagi kita.
Persaudaraan tetap bisa dipulihkan, bila seorang saudara mau menggunakan
kesempatan yang diciptakan Tuhan untuk kembali berjumpa dengan dan
mengenal kembali saudaranya.
Mungkin dalam pengalaman
kita, kita lebih mengalami diri sebagai "saudara yang dijual" oleh
saudara yang lain. Kisah Yusuf mengajarkan kepada kita untuk tetap
berpegang pada iman bahwa Tuhan tetap menyertai kita. Kejujuran,
kesopanan, kesabaran, dan kesetiaan menjadi kata kunci di tengah dunia
di mana kita dijual itu. Dengan demikian, kebaikan bukan hanya bagi diri
kita sendiri, tetapi akan terjadi juga bagi saudara-saudara yang lain.
Bukan
maksudnya untuk membius bila dikatakan bahwa dalam penderitaan tangan
Tuhan tetap menolong. Bukan maksudnya juga untuk mengajak “mari kita
biarkan dan terima saja penderitaan dari saudara yang lain" ketika
dikatakan bahwa ada penyelenggaraan ilahi. Kita mesti aktif menjauhkan
segala penyebab penderitaan yang diakibatkan oleh pecah dan terlukanya
persaudaraan. Namun, seandainya pun kita toh menderita, kita punya
pengharapan bahwa dalam penderitaan itu tangan Tuhan dan
penyelenggaraan-Nya tetap hadir meski dalam bentuk yang paling kabur
sekalipun. Itulah yang ditunjukkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus dalam
kematian dan kebangkitan-Nya.