Pertama-tama,
harus kita bedakan sebutan yang sering kali muncul yaitu “Kelompok
Kedua Belas” dan “Para Rasul”. Sebutan yang lebih dulu muncul adalah
“Kelompok Dua Belas”, yaitu kelompok orang yang dipilih Yesus semasa
hidup-Nya. Mereka dipilih untuk melambangkan pembaharuan Israel. Mereka
itu duduk di atas singgasana untuk mengadili 12 suku Israel (Mat 19:28;
Luk 22:30). Di situlah sekali Yesus berbicara mengenai pelambangan 12
suku Israel yang diperbaharui oleh “Kelompok Dua Belas”. Mereka
merupakan sosok eskatologis, sebagaimana ditunjukkan oleh peranan mereka
sebagai hakim yang duduk di atas singgasana surgawi. Hal tersebut
diungkapkan oleh Paulus. Paulus melukiskan mereka sebagai kelompok yang
aktif dalam informasi sekitar Gereja muda di Yerusalem (1 Kor 15:5).
Mereka dianggap sebagai bagian dari pengadilan yang diharapkan terjadi
di Yerusalem, di Bukit Zaitun (Kis 1:11-12; Za 14:4-5). Di antara
anggota “Kelompok Dua Belas” itu yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul
giat bekerja di luar Yerusalem hanyalah Petrus dan Yohanes (Gal 2:1;1
Kor 1:12;9:5).
Sedangkan sebutan “Para Rasul” memiliki banyak makna dalam Perjanjian Baru. Dan kelompok ini pasti memiliki anggota yang lebih banyak dibandingkan “Kelompok Dua Belas” (1 Kor 15:5.7). Bagi Paulus setidak-tidaknya, syarat bagi seorang rasul adalah melihat Tuhan yang bangkit, diutus mewartakan dan memberi kesaksian tentang Tuhan dengan kata-kata dan perbuatan di mana-mana. Berdasarkan kriteria ini, Petrus dan Paulus pasti termasuk “Kelompok Para Rasul” (Gal 2:7). Namun apakah Paulus sendiri menganggap semua anggota “Kelompok Dua Belas” berdasarkan kriteria ini, kita tidak tahu pasti.
Selanjutnya,
dapat dikatakan Gereja Perdana merupakan penjelmaan, wujud nyata dari
Israel yang diperbaharui itu. Gereja Perdana tidak menganggap dirinya
terpisah dari Israel lama. Maka “Kelompok Dua Belas” memegang peranan
penting dalam persatuan komunitas Gereja Perdana. Akan tetapi mereka
bukanlah administrator (= pengurus) komunitas. Baik sebagai kelompok
maupun sebagai pribadi mereka tidak dilukiskan sebagai yang memerintah
Gereja lokal (Kis 6:2).
Bagaimana organisasi
kelompok Kristen lokal tersebut berkembang ? Kita hanya memiliki sedikit
informasi dari sumber yang acak-acakan. Kis 6:5 berkisah tentang 7
orang pemimpin yang dipercaya untuk melayani komunitas Hellenis (mungkin
kelompok Kristen-Yahudi yang bersikap radikal terhadap rumah ibadat,
lebih radikal dibanding kelompok Kristen-Yahudi yang disebut Yahudi).
Dalam bab-bab selanjutnya dalam Kisah Para Rasul, Yakobus, saudara
Tuhan, dan tua-tua lain dianggap sebagai yang memegang peranan penting
dalam Gereja Yerusalem (Kis 12:17; 15:4.13; 21:18). Paulus berbicara
mengenai yang telah memimpin mereka “dalam Tuhan” di sekitar tahun 50-an
dalam 1 Tes 5:12. Surat yang lebih muda, 1 Kor 12:28 menyinggung adanya
sejumlah karunia yang bekerja di antara para pemimpinkomunitas (rasul,
nabi, pengajar, pembuat mukjizat, penyembuh, penolong, pemimpin dan
orang yang bisa berkata-kata dalam bahasa roh). Tetapi tidak diketahui
dengan pasti apa yang dikerjakan oleh seorang pemimpin dalam suatu
komunitas, meskipun di situ ada juga rasul dan nabi. Yang jelas Paulus
memiliki semua wewenang itu. Pada pembukaan Surat Filipi (Flp 1:10),
Paulus mengisyaratkan adanya uskup-uskup (episcopos = penilik) dan diakon-diakon dalam Gereja. Tetapi apa yang mereka lakukan, tetap tidak jelas bagi kita.
Dalam Surat-surat pastoral (1 Timotius dan Titus) menunjukkan adanya usaha sesudah masa Paulus, untuk menunjuk uskup-uskup - presbiter
di setiap kota bersamaan dengan diakon-diakon. Mereka itu mengajar,
mengurus harta milik komunitas, mengawasi kehidupan moral dan
pelaksanaan doktrin dan lain-lain. Dalam Buku Didakhe 15,1 (dokumen awal
Gereja sekitar tahun 100 M), orang menghormati para uskup dan diakon
sebagai pengganti para nabi dan pengajar yang karismatik. Pada jaman
Santo Ignatius dari Antiokia (sekitar tahun 110 M) di beberapa Gereja di
Asia Kecil dan Yunani sudah ada kebiasaan seorang uskup untuk mengawasi
seluruh Gereja lokal dengan dibantu oleh presbiter dan diakon. Itulah
yang menjadi model Gereja akhir abad kedua.
Oleh karena itu dalam Gereja Katolik ada doktrin yang menyatakan bahwa para uskup adalah pengganti para rasul. Doktrin tersebut tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa para uskup adalah pengganti “Kelompok Dua Belas” dengan alasan hanya ada 12 tahta untuk mengadili 12 suku Israel seperti diuraikan di atas. Maka yang memiliki peranan tersebut tidak akan lebih dari 12. Dalam Gereja Perdana tidak pernah ada usulan untuk mengganti anggota “Kelompok Dua Belas” yang sudah meninggal (Penggantian Yudas terjadi karena ia menyerahkan jabatannya di antara para anggota “Kelompok Dua Belas” sehingga harus ada jumlah 12 untuk memulai pembaharuan Israel karena dulu ada 12 bapa bangsa bagi Israel kuno).
Di
lain pihak para rasul memiliki peranan mewartakan Injil serta membentuk
komunitas-komunitas orang beriman. Seseorang harus bertanggung jawab
atas pelayanan pastoral atas komunitas-komunitas yang muncul sebagai
hasil misi apostolik. Menjelang pertigaan akhir abad pertama atau bahkan
beberapa tahun sebelumnya dapat dijumpai sebutan uskup bagi mereka yang
memegang peranan pemimpin dalam beberapa komunitas. Pada tahap sebelum
itu terdapat banyak uskup atau penilik dalam komunitas dan pada tahap
sesudah itu ada kebiasaan setiap komunitas hanya memiliki satu uskup.
Karena itu sangatlah benar jika kita mengatakan bahwa uskup-uskup
mengambil alih tugas pelayanan pastoral terhadap komunitas-komunitas
yang didirikan oleh penginjilan apostolik. Jadi mereka adalah pengganti
para rasul, bukan pengganti “Kelompok Dua Belas”.
Penggantian
apostolik tersebut menyatakan bahwa para uskup pada dasarnya mengambil
alih tugas para rasul. Akan tetapi penggantian tersebut tidak
menjelaskan bagaimana para uskup ditunjuk atau dipilih. Kita hanya
mengetahui sedikit tentang hal itu; malah tidak dapat yakin apakah ada
tindakan formal berkenaan dengan penggantian tersebut. Berdasarkan
analogi dengan kebiasaan orang Yahudi dan gambaran yang ditunjukkan oleh
Paulus kepada Timotius (2 Tim 1:6), beberapa orang berpikir bahwa
penumpangan tangan merupakan tanda penggantian atau pengangkatan uskup.
Sedangkan Timotius sendiri tidak disebut sebagai uskup dalam arti
sebagai administrator dari sebuah komunitas lokal. Ia bertugas agar di
dalam komunitas-komunitas ada presbiter para uskup. Jadi
merupakan tugas semiapostolik. Karena itu penumpangan tangan atas
dirinya boleh diartikan sebagai penunjukkan dirinya sebagai seorang
utusan apostolik. Selain itu Timotius juga menumpangkan tangan pada
orang lain (1 Tim 5:22), tetapi tetap tidak jelas apakah mereka
administrator Gereja atau bukan.
Keterangan lain yang
didapat adalah Paulus dan Barnabas menunjuk penatua-penatua dalam setiap
Gereja di kota-kota Asia Kecil (Kis 14:23). Akan tetapi tetap kabur
apakah peristiwa ini sungguh historis sewaktu Paulus masih hidup. Di
lain pihak tentu hal ini pasti tidak dimuat dalam Kis seandainya pada
tahun 80-an belum ada tradisi penunjukkan apostolik atas para uskup.
Tradisi semacam ini juga terungkap dalam surat-surat pastoral seperti
kita lihat di atas. Di sana dikatakan Paulus menunjuk utusan apostolik
seperti Timotius dan Titus, yang kemudian menunjuk para uskup. Tradisi
tersebut didukung oleh Surat 1 Klemens 42:2 pada akhir tahun 90-an.
Menurut surat itu, para rasul ditunjuk Kristus berjalan dari satu kota
ke kota lain sambil memilih para uskup dan diakon pertama di antara
mereka yang bertobat. Memang hal itu tidak berarti seluruh
presbiter-uskup ditunjuk oleh para rasul. Namun ada kemungkinan bahwa
beberapa di antara mereka ditunjuk oleh para rasul.
Akan
tetapi sekitar tahun 100 M, Didakhe 15,1 mengajar orang Kristen agar
menunjuk bagi diri mereka sendiri para uskup dan diakon. Rupanya masih
ada cara lain untuk memilih para uskup. Pada kenyataannya mereka semua
menikah, bisa jadi mereka memilih anaknya sendiri untuk menggantikan
dirinya. Hal itu termasuk masalah yang tidak kita memiliki informasinya.
Jelaslah bahwa Gereja mengembangkan suatu patokan teratur mengenai
seleksi dan pentahbisan para uskup, dan sejak abad ketiga hal itu telah
diikuti secara umum.
Doktrin Gereja Katolik yang
menaruh hormat yang tinggi terhadap tahbisan beranggapan bahwa kekuatan
pastoral yang menguduskan merupakan bagian dari kekuatan Kristus.
Kekuatan ini sekarang dipraktekkan lewat wewenang episkopat (uskup),
presbiterat (imam) dan diakonat (diakon). Tentu saja tidak seluruh aspek
wewenang dapat dikembalikan kepada Kristus. Misalnya, pada perjamuan
terakhir Yesus sama sekali tidak menyinggung siapa yang harus
mentahbiskan yang lain dan bagaimana cara tahbisan itu dilaksanakan.
Bahkan gambaran umum bahwa Kristus sendiri yang mentahbiskan "Kelompok
Dua Belas” pada perjamuan terakhir dengan segala penyederhanaannya,
tidak mengisyaratkan bahwa Ia berdiri dan berjalan keliling sambil
menumpangkan tangan atas “Kelompok Dua Belas”. Mereka yang pada akhirnya
oleh Gereja dipandang sebagai uskup, presbiter dan diakon mengambil
bagian dalam tugas kegembalaan yang dijalankan Kristus kepada para
pengikut-Nya. Jabatan yang memerlukan tahbisan tersebut tidak hanya
dibentuk oleh Gereja yang bertindak atas wewenangnya sendiri, melainkan
juga karena keberadaan jabatan itu merupakan bagian penting dari
kelangsungan pelayanan Yesus Kristus. Kita harus bersyukur bahwa jabatan
tersebut menjadikan Gereja semakin menemukan jati dirinya. Hal itu
penting sehingga dijamin oleh doktrin yang menggambarkan tahbisan
sebagai sakramen yang didirikan oleh Kristus. Bukan bagaimana cara
pemilihannya dan oleh siapa. Bagaimana dan oleh siapa menjadi baku lewat
praktek dan kebiasaan religius.