Mukjizat-mukjizat
Yesus bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, kita mencoba
membahas beberapa aspek penting dari mukjizat itu. Dengan diharapkan kita bisa
mempunyai gambaran yang kurang lebih lengkap tentang mukjizat-mukjizat Yesus.
Yesus dan Mukjizat-mukjizat-Nya
Mukjizat! Tidak
bisa dipungkiri bahwa kata itu bak magnet yang mengundang banyak orang untuk memperbincangkan dan mempersoalkannya. Tidak harus dipungkiri bahwa mukjizat
bisa kita teropong dari pelbagai macam sudut, baik dalam konteks religius
maupun di luar konteks religius. Akan tetapi, di sini mukjizat akan diteropong dari Kitab Suci. Bahwa nanti kita juga akan
menyinggung kisah mukjizat dari perspektif lain, itu lain perkara.
Dalam bukunya
yang pertama, Lukas memberi kesaksian bahwa pada suatu hari ketika Yohanes
Pembaptis mendengar kabar dari murid-muridnya tentang apa yang diperbuat oleh
Yesus, ia mengutus dua di antara muridnya untuk menghadap Yesus dengan membawa
pertanyaan ini, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan
seorang lain?” Dan kepada mereka, Yesus memberikan jawaban demikian, “Pergilah,
dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta
melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli
mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar
baik” (Luk 7,22 bdk. Mat 11,4-5). “...apa yang kamu lihat dan kamu dengar...”
Oleh para penafsir, kata-kata Tuhan ini biasanya diartikan sebagai menunjuk
kepada dua unsur pelayanan Yesus, yaitu ‘yang dilihat’ atau karya atau tindakan
Yesus dan ‘yang didengar’ atau pewartaan atau sabda Yesus.
Seperti bisa
dilihat dalam catatan kaki, kata-kata Yesus ini merupakan kutipan dari dua
nubuat Yesaya, yaitu Yes 35,5-6 dan 61,1. Kita akan kembali pada teks ini pada
waktunya nanti.
Pada kesempatan
lain, tatkala menceritakan pengalaman dua murid yang sedang berjalan dari
Yerusalem ke Emaus, Lukas mengisahkan pembicaraan antara dua murid itu dengan
Yesus yang bangkit, tetapi tidak mereka kenal. Tentang Yesus dari Nazaret, dua
orang itu mengatakan, “Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan
dan perkataan di hadapan Allah dan seluruh bangsa kami” (Luk 24,9). Sekali lagi
dipakai di sini rumusan ‘pekerjaan dan perkataan’
Kalau kita
membolak-balik injil – khususnya injil pertama, kedua dan ketiga – kita akan
bertemu dengan sekian banyak kisah-kisah mukjizat. Terus terang tidak mudah
menentukan secara persis berapa mukjizat yang sebenarnya dikerjakan oleh Yesus.
Bisa terjadi satu peristiwa diceritakan beberapa kali dengan detil yang sedikit
agak berbeda. Meskipun demikian, secara umum, bisa dikatakan bahwa kisah
mukjizat Yesus terdapat dalam daftar di bawah ini.
11 mukjizat
|
Matius
|
Markus
|
Lukas
|
4 mukjizat
|
Matius
|
Lukas
|
|
1 mukjizat
|
Markus
|
Lukas
|
|
2 mukjizat
|
Matius
|
Lukas
|
|
3 mukjizat
|
Matius
|
||
2 mukjizat
|
Markus
|
||
7 mukjizat
|
Lukas
|
Persoalannya semakin merepotkan karena kadangkala,
kita juga berhadapan dengan sebuah teks yang hanya menyebutkan bahwa telah
terjadi sebuah mukjizat tanpa mengisahkan apa dan bagaimana mukjizat itu
terjadi. Misalnya, di antara para ibu yang mengikuti Yesus, ada seorang yang
oleh Lukas disebut demikian, “Maria yang disebut Magdalena, yang telah
dibebaskan dari tujuh roh jahat” (Luk 8,2 bdk. Mrk 16,9). Tampaknya atas diri
Maria Magdalena pernah terjadi sebuah mukjizat pengusiran setan. Tetapi di
dalam injil tidak ada kisah mendetil tentang hal ini. Belum lagi kalau kita
berhadapan dengan informasi seperti ini:
“Yesus pun
berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan
memberitakan Injil Kerajaan Surga serta menyembuhkan orang-orang di antara
bangsa itu dari segala penyakit dan kelemahan mereka. Lalu tersebarlah berita
tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk
keadaannya, yang menderita berbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan
setan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka” (Mat
4,22-23).
Dari teks seperti
ini, yang lazim disebut sebagai Summarium,
kita hanya tahu bahwa mukjizat terjadi. Akan tetapi, sekali lagi, kita sama
sekali tidak tahu berapa kali mukjizat Yesus terjadi, mukjizat apa yang
terjadi, atau bagaimana mukjizat itu terjadi.
Rasanya baik jika
pada kesempatan ini sekaligus saja kita bicarakan tentang mukjizat yang
terdapat dalam Injil Yohanes. Di dalam tradisi injil Yohanes, kita hanya
mendapatkan tujuh mukjizat dalam bagian pertama injil, yang biasa disebut Kitab
Tanda-tanda (Yoh 1-12) dan satu lagi pada bagian appendiks (Yoh 21). Dalam
injil Yohanes, dipergunakan istilah ‘tanda’ (semeion) untuk menyebut mukjizat (lihat misalnya, Yoh 2,11; 4,54). Mukjizat-mukjizat
itu bisa diperinci sebagai berikut: tiga mukjizat penyembuhan (Yoh 4,43-54;
5,1-47; 9,1-41), satu mukjizat menghidupkan orang mati (Yoh 11,1-44), dan empat
mukjizat alam (Yoh 2,1-12; 6,1-13; 6,16-21; 21,6-11). Dari antara empat
mukjizat alam ini ada dua yang mempunyai padanan dalam injil sinoptik, yaitu
pemberian makan kepada lima ribu orang (Yoh 6,1-13 bdk. Mrk 6,30-44) dan Yesus
berjalan di atas air (Yoh,16-21 bdk. Mrk 6,45-52).
Yang juga menarik
dalam Injil Yohanes adalah bahwa injil ini tidak mempunyai kisah mukjizat
pengusiran setan. Di dalam injil Yohanes memang tidak sekali pun disebutkan
mengenai roh bisu atau roh jahat. Apakah hal ini mencerminkan suatu pemahaman
yang lebih maju tentang setan dan pengusiran setan? Dalam Yoh 10,21 kita
mendapatkan teks yang berbunyi, “Itu bukan perkataan orang yang kerasukan
setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?” Menurut keterangan
ini, setan atau roh jahat tampaknya tidak mempunyai kekuatan sebagaimana
dikisahkan dalam injil sinoptik, seperti misalnya, mengguncangkan orang yang dirasukinya
(Mrk 1,26) atau berteriak-teriak (Mrk 3,11) atau menyeret orang yang
dimasukinya (Luk 8,29).
Memperhatikan
begitu banyaknya mukjizat yang diperbuat oleh Yesus, tampaknya kita perlu
menyimpulkan bahwa karya mukjizat seperti ini tentu bukan suatu pekerjaan
sampingan saja. Mukjizat Yesus rasanya merupakan bagian integral dari seluruh
karya pelayanan publik-Nya. Kalau demikian kita bisa bertanya: apa sebenarnya
tugas utama yang mesti dilaksanakan oleh Yesus?
Yesus dan Kerajaan Allah
Kalau kita
menyimak injil Markus, kita ketahui bahwa kata-kata pertama yang keluar dari
mulut Yesus terdapat dalam Mrk 1,15 “Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah
dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Biasanya, kata-kata yang
pertama kali diucapkan seorang tokoh menunjukkan arah penting untuk memahami
sang tokoh. Kalau demikian, maka menurut Markus, kehadiran Yesus ada kaitannya
dengan Kerajaan Allah.
Suatu kali di
tempat lain, ketika Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi, orang banyak datang
mencari Dia dan berusaha menahan Dia agar tidak meninggalkan mereka. Menanggapi
permintaan mereka itu, Yesus menjawab, “Di kota-kota lain juga Aku harus
memberitakan Injil Kerajaan Allah, sebab untuk itulah Aku diutus” (Luk
4,42-43). Memperhatikan rumusan ini, kelihatan bahwa Yesus datang untuk
mewartakan Kerajaan Allah.
Yesus datang
untuk mewartakan Kerajaan Allah (atau Kerajaan Surga kalau kita mengikuti tradisi Matius bdk. Mat 4,17). Di sini,
paling tidak ada dua pertanyaan yang mesti kita renungkan bersama. Pertama,
perlu dijelaskan sedikit apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah. Dan kedua,
bagaimana Yesus mau melaksanakan tugas perutusan-Nya ini?
Kerajaan Allah?
Semua orang
setuju bahwa inti pewartaan Yesus adalah Kerajaan Allah. Di dalam karya publik-Nya
berulangkali Ia bicara tentang Kerajaan Allah. Tidak jarang kita menemukan
rumusan, misalnya, “Kerajaan Surga itu seumpama...” Tetapi sekali pun Yesus
tidak pernah menjelaskan apa itu Kerajaan Surga atau Kerajaan Allah.
Istilah persis,
“Kerajaan Allah” memang tidak terdapat dalam Perjanjian Lama. Akan tetapi di
banyak tempat kita menemukan rumusan yang lebih antropomorfisme, yaitu “Allah
meraja” dengan aneka macam variasinya. Tampaknya dalam periode tertentu dalam
sejarah bangsa Israel, terjadi perubahan dalam cara menyebut Allah yang
berkarya. Penyebutan langsung nama Allah dihindarkan. Oleh karena itu, “Allah
meraja” (Kel 15,18; Yes 24,23; 52,7; Yeh 20,33) diganti menjadi Kerajaan Allah,
yang artinya sebenarnya sama saja. Bagi para nabi, Kerajaan Allah ini mendapat
arti eskatologis: Kerajaan Allah adalah tindakan Allah penuh yang definitif dan
terakhir (lihat misalnya, Mi 2,12ss; 4,1-7; Yes 24,21-23; 33,22; Zef 3,14-20).
Seorang raja yang ideal diharapkan bisa
memenuhi dua kewajiban utama. Pertama, seorang raja seharusnya mampu menjamin
kemerdekaan rakyatnya dari hadapan ancaman dari bangsa-bangsa sekitar. Oleh
karena itu, diharapkan bahwa ia mempunyai kekuatan militer yang cukup untuk
menjalankan fungsinya. Kedua, seorang raja yang sejati semestinya juga mampu
menjamin terwujudnya keadilan di antara rakyatnya, terutama kepada mereka yang kecil,
lemah, miskin dan tersingkir. Kedua hal tersebut juga diharapkan dari Allah
sebagai raja. Tidak mengherankan jika pada zaman Yesus terbersit juga sebuah
harapan yang berkembang di beberapa kelompok Yahudi bahwa kerajaan Allah yang
datang berarti pembebasan Israel dari penjajahan Romawi (lihat Luk 24,21; bdk.
Kis 1,6). Yesaya memaklumkan bahwa Allah yang datang dan meraja adalah Allah yang
berpihak pada orang miskin.
“Lihatlah, Allahmu
akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang
menyelamatkan kamu! Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan
telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat
seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar
di padang gurun, dan sungai di padang belantara” (Yes 35,4-6)
Seperti sudah
disinggung di atas, nubuat Yesaya ini persis diulang kembali oleh Yesus saat Ia
menjawab pertanyaan murid-murid Yohanes Pembaptis yang menanyakan identitasnya
(Luk 7,22 bdk. Mat 11,4-5).
Di tempat lain,
nabi Yesaya menubuatkan bahwa Roh Tuhan akan turun pada seseorang (nabi).
Dialah yang akan diurapi Tuhan untuk mewartakan kabar baik kepada orang miskin.
“Roh Tuhan ALLAH
ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara (= miskin), dan merawat
orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang
tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara” (Yes
61,1)
Di dalam Alkitab,
frase ‘kepada orang miskin diberitakan kabar baik’ dalam bahasa Yunani (ptōchois euanggelizomai) hanya muncul
empat kali, sekali dalam PL yaitu Yes 61,1 (LXX) dan tiga kali dalam PB, yaitu
Mat 11,5; Luk 7,22 dan 4,18. Perlu dicatat di sini bahwa teks PL versi
Indonesia yang kita miliki yang berbunyi “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara” sebenarnya lebih tepat diterjemahkan dengan “kepada orang-orang miskin.” Dengan
demikian, fakta ini meneguhkan apa yang sudah dikatakan di atas bahwa Luk 7,22
(dan Mat 11,5) merupakan kutipan dari dua nubuat nabi Yesaya.
Teks PB ketiga
yang memuat Yes 61,1 adalah Luk 4,18-19 yang berbunyi.
Kepada-Nya diberikan
kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada
tertulis: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Di sinagoga
Kapernaum, Yesus membaca kitab nabi Yesaya dan membaca persis bagian ini, Yes
61,1. Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa pada ay. 21 Yesus dengan jelas menegaskan
bahwa “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dengan
demikian, Yesus menyatakan bahwa Dia adalah Sang Utusan yang dinubuatkan oleh
nabi Yesaya, yang akan diurapi oleh Roh Tuhan. Itu berarti bahwa Dia juga yang
akan memainkan peranannya sebagai yang mewartakan kabar baik kepada orang
miskin, dan macam-macam hal seperti tertulis dalam Luk 4,18 itu.
Pengamatan teks
yang kita lakukan di atas membawa kita pada satu kesimpulan. Yesus adalah tokoh
yang datang untuk menjalankan peranannya atas nama Allah untuk membebaskan yang
kecil, miskin, lemah dan tersingkir. Dialah yang mewartakan Kabar Gembira
kepada orang kecil, miskin, lemah dan tersingkir. Dialah yang datang untuk
mewartakan Kerajaan Allah atau Allah yang meraja.
Bagaimana Yesus mewartakan
Kerajaan Allah?
Pertanyaan yang
muncul berikutnya adalah: bagaimana Yesus mewartakan kedatangan Kerajaan Allah
itu? Untuk pertanyaan ini, saya kira jawabannya jelas: karya publik Yesus harus
diletakkan dalam kerangka pewartaan Kerajaan Allah. Secara konkret ini berarti
bahwa Yesus mewartakan Kerajaan Allah melalui perkataan dan tindakan-Nya. “Ya...pasti
begitulah! Mau bagaimana lagi?” demikian orang bisa berkomentar. “Tetapi,
apakah bisa dijelaskan secara lebih persis hubungan antara perkataan dan
tindakan Yesus?” Seperti sudah dikatakan, di beberapa teks, kedua hal ini,
perkataan dan tindakan selalu muncul bersama-sama dan dengan demikian
menunjukkan hubungan yang amat erat antara keduanya. Bagaimana?
Dikisahkan bahwa
pada suatu hari, ketika Yesus baru selesai menyembuhkan seorang buta dan bisu
yang baru saja dikuasai setan, orang Farisi berkomentar, “Ia mengusir setan
dengan kuasa Beelzebul, pemimpin setan” (Luk 11,15 bdk. 11,28; Mat 12,24; Mrk
3,22). Ada dua hal yang mungkin menarik untuk diperhatikan dari teks seperti
ini. Pertama, tindakan mengusir setan
dan/atau menyembuhkan orang sakit tampaknya merupakan sesuatu yang lazim
terjadi – paling tidak menurut pandangan orang pada zaman tersebut. Bahwa Yesus
bisa menyembuhkan orang sakit atau kerasukan setan sama sekali tidak
dipersoalkan oleh orang Farisi. Tampaknya kekuatan ini merupakan sesuatu yang
bisa juga diberikan kepada orang lain. Dalam Mat 10,1 (bdk. Mrk 3,15; Luk 9,1)
dikatakan bahwa para murid diberi kuasa (eksousia)
“untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk menyembuhkan orang-orang dari segala
penyakit dan kelemahan.” Kedua, yang
dipersoalkan dari diri Yesus bukan kemampuannya untuk mengusir setan, tetapi asal muasal kekuatan tersebut. Beberapa
kali Yesus ditanya mengenai hal ini. Dalam Mrk 11,28 (bdk. Mat 21,23),
tampaknya setelah Yesus mengutuk pohon ara, Yesus ditanya oleh para tokoh
agama, “Dengan kuasa manakah
Engkau melakukan hal-hal itu? Siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu, sehingga Engkau melakukan hal-hal itu?”
Orang-orang sekampung Yesus juga pernah mempersoalkan kehebatan-Nya ini. “Maka
takjublah mereka dan berkata, "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mukjizat-mukjizat
itu?” (Mat 13,54). Dan kali ini, orang Farisi menuduh Yesus membuat penyembuhan
dengan kekuatan Beelzebul yang disebut dengan Pemimpin Setan. Justru karena
pada zaman itu, mukjizat merupakan sesuatu yang tidak jarang terjadi, maka yang
dipersoalkan adalah kekuatan mana yang mendasari tindakan Yesus itu.
Untuk menanggapi
tuduhan orang Farisi itu, Yesus kemudian berkata, “Tetapi jika Aku mengusir
setan dengan kuasa (harafiah: dengan jari)
Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk 11,20 bdk.
Mat 12,28). Dengan kata-kata ini dua hal ditegaskan oleh Yesus. Yang pertama, kuasa
yang bekerja dalam diri Yesus sehingga membuat Ia mampu mengusir setan bukanlah
kuasa Beelzebul, tetapi kuasa Allah sendiri. Di sini tampak relasi antara
perkataan dan tindakan Yesus. Tanpa keterangan yang disampaikan Yesus, tindakan
Yesus yang mengherankan itu menimbulkan pertanyaan dan tuduhan banyak orang. Yang
sebaliknya juga rasanya benar, tanpa tindakan Yesus kata-kata Yesus bisa saja hanya
dianggap sekedar omong kosong belaka. Kita tahu bahwa di dalam Injil, berulang
kali orang-orang meminta tanda kepada Yesus. Rumusan dalam Injil Yohanes
mungkin bisa mewakili, "Tanda apakah yang Engkau perbuat, supaya kami dapat melihatnya dan percaya kepada-Mu?
Apakah yang Engkau kerjakan?” (Yoh 6,30). Dengan kata lain, keduanya saling
melengkapi: tindakan meneguhkan perkataan Yesus; kata-kata Yesus menerangkan
tindakan-Nya.
Hal kedua yang
juga ditegaskan oleh kata-kata Yesus dalam Luk 11,20 adalah bahwa tindakan
pengusiran setan ini merupakan tanda hadirnya Kerajaan Allah. Dengan kehadiran
Kerajaan Allah, kejahatan dikalahkan. Dosa, penderitaan fisik maupun mental,
malapetaka alam dan kematian adalah bentuk-bentuk kuasa kejahatan dalam hidup
manusia. Sekarang, Yesus tampil membawa kuasa kerajaan dan menyatakan bahwa
lawan kuasa kejahatan sekarang bekerja di antara manusia untuk mengalahkan
kejahatan. Yesus tidak hanya datang untuk mewartakan Kerajaan Allah, tetapi
juga menghadirkan Kerajaan Allah melalui tindakan-Nya.
Bagian ini bisa
ditutup dengan sebuah rangkuman pendek. Tindakan-tindakan Yesus yang seringkali
mengherankan, yang dalam hal ini kita sebut mukjizat, ternyata memainkan
peranan integral dalam seluruh karya pelayanan Yesus. Mukjizat itu meneguhkan
firman Yesus yang disampaikan kepada banyak orang. Tetapi tidak hanya itu.
Mukjizat itu juga sekaligus menjadi tanda datangnya Kerajaan Allah yang
mengalahkan kuasa kejahatan yang menyengsarakan manusia.
Mukjizat dan Ragamnya
Di dalam injil,
diceritakan ada sekian banyak mukjizat mengagumkan yang dibuat Yesus. Flavius
Josephus, sejarawan Yahudi abad pertama, juga memberi kesaksian tentang Yesus
yang digambarkannya sebagai “pembuat karya-karya yang mengagumkan” (= paradoxon ergon poietes) (Ant 18.3.3 ¤ 63-64). Dari injil, kita juga tahu bahwa
ada beberapa macam mukjizat yang dikerjakan Yesus. Kendati para ahli tidak
selalu sepakat, rasanya kita bisa mengikuti pengelompokkan mukjizat Yesus yang
diusulkan oleh Joseph A. Fitzmyer, SJ (A
Christological Catechism, 34).
Sebelum kita
mengamati masing-masing jenis mukjizat yang dikerjakan Yesus, mungkin baik jika
disampaikan beberapa hal sederhana tetapi penting. Di dalam Alkitab bahasa
Indonesia, beberapa peristiwa luar biasa yang diperbuat oleh Yesus disebut dengan
kata “mukjizat” (Mrk 6,2.5; Luk 10,13; 19,37; Mat 13,54). Akan tetapi, kalau
kita berpaling pada teks aslinya, maka sebenarnya kita tidak pernah bertemu
dengan kata “mukjizat” atau istilah yang dipakai dalam tradisi teologi Latin: miraculum. Dalam injil-injil sinoptik,
karya itu biasanya disebut dynameis
yang sebenarnya berarti “karya kuasa.” Sama halnya dengan Injil Yohanes. Di
dalam injil keempat karya-karya itu disebut erga
“karya, pekerjaan” (Yoh 5,36; 10,25.32) atau semeia yang berarti “tanda” (Yoh 2,11; 4,54; 9,16).
Dua istilah
terakhir yang dipakai Yohanes mengalihkan perhatian kita dari memandang
karya-karya istimewa yang mengatasi hukum alam menjadi karya-karya yang
mempunyai makna dan arti religius. Mukjizat yang dibuat Yesus tidak berhenti di
situ saja tetapi membawa kepada sesuatu yang ada di baliknya. Sementara istilah
pertama, dynameis, lebih menunjuk
kepada pribadi Yesus dan kerajaan yang Ia wartakan. Dengan demikian semua
mempunyai ciri kristologis.
Setelah berbicara
tentang istilah, kita bisa melangkah maju dengan mengamati kisah-kisah mukjizat
yang terdapat dalam Alkitab. Karena kisahnya terlalu bervariasi, maka tidak
mudah untuk menentukan jenis mukjizat macam apa yang secara konkret diperbuat
oleh Yesus. Akan tetapi secara umum bisalah mukjizat Yesus dimasukkan dalam 4
(empat) golongan: a)
Penyembuhan, b) Pengusiran setan, c) Menghidupkan orang mati, dan d) Mukjizat alam.
a. Pengusiran Setan
Gagasan bahwa roh
jahat bisa mengganggu manusia baik dari luar maupun dari dalam (kerasukan
setan) sebenarnya merupakan gagasan yang berkembang luas di mana-mana. Bahkan sampai
saat ini, di generasi iPad ini kita
masih mendengar kisah-kisah seperti itu. Kisah orang kerasukan setan serta
eksorsisme terus saja menjadi kisah yang menyita perhatian khalayak.
Catatan yang
terdapat dalam Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa para murid Yesus yang pertama
meyakini bahwa mereka mendapatkan kuasa mengusir setan/roh jahat dari Yesus
sendiri sebagai bagian dari pengutusan mereka (Mrk 6,7; Mat 10,1.8; Luk 9,1). Tidak
hanya itu, satu kali Injil Markus bahkan mencatat bahwa seorang yang bukan pengikut Yesus juga mengusir setan
atas nama-Nya (Mrk 9,38-40). Kisah para Rasul menceritakan bahwa Paulus juga
mampu mengusir roh jahat yang merasuki seseorang (Kis 16,16-18; bdk. juga
19,12). Sementara itu beberapa dukun Yahudi berusaha meniru Paulus mengusir roh
jahat dalam nama Yesus, tetapi ternyata mereka tidak berhasil (19,13-17).
Seperti disinggung di atas, kecuali injil
Yohanes, Injil Sinoptik memang beberapa kali menceritakan bagaimana Yesus
mengusir setan/roh jahat. Kita bisa menemukan misalnya:
- pengusiran roh jahat di rumah ibadat Kapernaum (Mrk 1,21-28; Luk 4,33-37)
- pengusiran roh jahat dari orang Gerasa (Mrk 5,1-20 par)
- pengusiran roh dari seorang anak yang bisu (Mrk 9,14-29 par)
- penyembuhan orang bisu yang kerasukan setan (Mat 9,32-34)
- orang buta dan bisu yang kerasukan setan (Mat 12,22-23; Luk 11,14)
- pembebasan Maria Magdalena dari tujuh roh jahat (Luk 8,2)
- perempuan Siro-Fenisia yang anaknya kerasukan setan (Mrk 7,24-30; Mat 15,21-28)
Perlu
diperhatikan bahwa dalam mengusir roh jahat atau setan, Yesus tidak menggunakan
teknik-teknik tertentu yang mungkin lazim dipergunakan waktu itu. Dia tidak berdoa,
tidak melakukan gerak-gerik tertentu, juga tidak mengucapkan mantera-mantera
tertentu atau menggunakan benda-benda tertentu. Yesus juga tidak mengusir setan
atas nama seseorang seperti yang dilakukan orang (lihat misalnya Kis 16,18;
19,13). Yang dibuat Yesus hanyalah membentak, menegor dengan keras, mengusir
setan atau roh jahat yang merasuki seseorang.
Kalau kita berpaling pada satu ayat
tertentu, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka
sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat 19,28). Pengusiran
setan lalu menjadi bagian integral dari seluruh karya pelayananan Yesus yang
mau membebaskan bangsa Israel dari segala penyakit dan kekuatan jahat yang mengakibatkan
penderitaan dalam diri mereka.
b. Penyembuhan
Mukjizat
penyembuhan termasuk karya Yesus yang mempunyai ragam bervariasi. Akan tetapi,
dengan hanya membaca kisah-kisah tersebut, kita tidak tahu persis penyakit apa saja
yang sebenarnya disembuhkan oleh Yesus. Gambaran yang disampaikan oleh para
pengarang injil ditentukan oleh situasi orang zaman itu yang belum mempunyai pengetahuan
yang memadai untuk menentukan suatu penyakit tertentu. Di dalam Injil, tidak
ada medical record dari orang-orang
yang menderita sakit dan
disembuhkan Yesus. Meskipun demikian, mungkin kita bisa menggolongkan mukjizat
penyembuhan itu sebagai berikut:
- Mungkin kita mempunyai empat atau lima kisah mukjizat penyembuhan orang yang lumpuh (Mrk 2,1-12; Yoh 5,1-9; Mat 8,5-13), orang yang tangannya mati sebelah (Mrk 3,1-6); perempuan yang bungkuk punggungnya (Luk 13,10-17). Di sini mungkin masih ditambahkan apa yang dirumuskan secara umum dalam Mat 11,5 yang mengatakan, “orang lumpuh berjalan.” Semua kisah itu berasal dari tradisi yang berbeda-beda.
- Ada tiga kisah berbeda yang bersangkutpaut dengan penyembuhan orang buta (Mrk 10,46-52; Mrk 8,22-26; Yoh 9,1-47). Mungkin juga bisa ditambahkan rumusan umum, “orang buta melihat” (Mat 11,5).
- Dua kasus orang kusta (Mrk 1,40-45 par; Luk 17,11-19).
- Kasus-kasus yang hanya terjadi sekali: penyembuhan ibu mertua Petrus (Mrk 1,29-31 par); perempuan yang sakit pendarahan (Mrk 5,24-34 par); seorang yang sakit busung air (Luk 14,1-6); seorang yang tuli dan gagap (Mrk 7,31-37); seorang hamba Imam Besar yang telinganya disembuhkan (Luk 22,49-51).
Kalau kita memperhatikan
banyaknya mukjizat penyembuhan yang dibuat Yesus dan mempertimbangkan bahwa
kisah-kisah itu sebenarnya berasal dari tradisi yang berbeda-beda, maka tidak
bisa dikesampingkan kemungkinan bahwa semasa hidup-Nya, Yesus memang pernah
melakukan tindakan penyembuhan orang yang menderita sakit.
c. Menghidupkan orang mati
Menyembuhkan
orang sakit saja sudah membuat heboh banyak orang, apa lagi menghidupkan
kembali orang yang sudah mati. Boleh dikata mukjizat jenis ini yang paling
merepotkan manusia modern. Beberapa ahli pernah berpendapat bahwa mukjizat
jenis ini sebenarnya merupakan ciptaan Gereja perdana yang mau mengungkapkan
keyakinan Gereja bahwa Kristus yang bangkit telah mengalahkan kuasa kematian.
Tetapi kita juga
bisa mempersoalkan bahwa gagasan seperti itu sebenarnya bertitik tolak dari
sebuah penalaran tertentu. Karena mukjizat itu tidak bisa terjadi; - demikian
titik tolak berpikir banyak orang - maka kisah-kisah injil tentang mukjizat
pasti tidak sungguh-sungguh terjadi. Kalau sekarang hal itu dianggap tidak bisa
terjadi; maka dulu pun pasti tidak pernah terjadi. Atau kemungkinan orang
memberi penjelasan bahwa orang mati yang dibangkitkan sebenarnya bukanlah orang
yang benar-benar sudah mati. Apa yang mereka anggap ‘mati’ mungkin saja
sebenarnya belum mati. Apalagi pada zaman itu, pemahaman medis tentu masih amat
primitif dibandingkan zaman kita ini.
Tetapi apakah
hanya demikian? Kalau kita memperhatikan Perjanjian Lama, kita temukan beberapa
cerita di mana seorang tokoh membangkitkan orang mati. Bisa kita sebutkan
misalnya, kisah Elia dan Elisa yang membangkitkan orang yang sudah mati (1Raj
17,17-24; 2Raj 4,18-37; bdk. 2Raj 13,-20-21). Dalam Kisah para Rasul juga
dikisahkan bahwa Petrus membangkitkan seorang perempuan bernama Tabita atau
Dorkas (Kis 9,36-43). Beberapa tulisan Greko-Romawi memuat juga kisah-kisah
tentang orang sudah mati tetapi dihidupkan kembali. Demikian juga beberapa
kisah dalam tradisi Kristen dan tradisi rabinik. Dengan demikian, mesti
dikatakan bahwa meskipun jumlahnya sedikit, jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan kisah penyembuhan dan pengusiran setan, kisah pembangkitan orang mati
ternyata juga ada dan beredar. Oleh karena itu, tradisi Kristen awal yang
mendengar atau mengisahkan kisah Yesus membuat mukjizat membangkitkan orang
mati sebenarnya tidak mendengar sesuatu yang sama sekali belum pernah didengar
sebelumnya.
Di dalam Injil, sebenarnya hanya ada tiga
kisah yang menceritakan Yesus membangkitkan orang mati:
- membangkitkan anak Yairus (Mrk 5,21-43 par) yang berasal dari tradisi Markus;
- membangkitkan anak muda di Nain (Luk 7,11-17) yang hanya terdapat dalam Injil Lukas dan oleh karena itu, berasal dari tradisi Lukas;
- membangkitkan Lazarus (Yoh 11,1-46) yang berasal dari tradisi Yohanes.
Di sini mungkin
kita bisa juga menambahkan kata-kata Yesus yang biasanya dikatakan berasal dari
tradisi Q (terdapat hanya dalam Mat dan Luk), yaitu “... orang buta melihat,
orang lumpuh berjalan, orang kusta sembuh, orang tuli mendengar, orang mati
dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11,5; Luk
7,22).
Data-data di atas
menunjukkan bahwa ternyata masing-masing tradisi yang berada di belakang
keempat injil, ternyata menyimpan kisah Yesus yang membangkitkan orang mati. Dari
sini kita hanya dapat mengatakan bahwa kisah mukjizat Yesus yang membangkitkan
orang mati kemungkinan besar mempunyai dasar pada hidup dan pelayanan Yesus
sendiri.
Berbicara tentang mukjizat membangkitkan
orang mati, satu catatan kiranya patut ditambahkan. Di dalam Injil sebenarnya
kita bertemu dengan dua model kisah pembangkitan orang mati atau kita sebut
saja kisah kebangkitan. Kedua model itu berbeda satu sama lain secara mencolok.
Yang pertama adalah kisah kebangkitan orang mati yang terjadi semasa karya
publik Yesus. Dalam kisah ini, mereka yang tadinya sudah mati mendapatkan kembali
kehidupannya dengan segala sesuatunya. Tentang anak Yairus yang dibangkitkan
dikatakan bahwa ia “berdiri dan berjalan” (Mrk 5,42); sementara Yesus sendiri
menyuruh mereka memberi anak itu makan (Mrk 5,43). Anak seorang janda dari
Nain, setelah dibangkitkan, “duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus
menyerahkannya kepada ibunya” (Luk 7,15). Demikian juga Lazarus keluar dari
kubur, “kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kafan dan mukanya tertutup dengan kain peluh” (Yoh 11,44). Berbeda dengan yang terjadi pada Yesus.
Ketika Ia bangkit dikatakan bahwa “kain
kafan terletak di tanah, sedangkan kain
peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak dekat kain kafan itu,
tetapi terlipat tersendiri di tempat yang lain” (Yoh 20,6-7).
Jika
diperhatikan, ketiga kisah mukjizat membangkitkan orang mati mempunyai unsur-unsur
yang sama:
- Yesus bertemu dengan orang yang sedang mengalami kesedihan karena kehilangan (kecuali Luk 7,11-17)
- Yesus berkata atau bertindak yang membangkitkan orang yang sudah mati itu
- Reaksi dari orang yang mengamati.
Kalau kita mengamati struktur kisah ini,
kita melihat bahwa sebenarnya kisah ini lebih mirip dengan mukjizat penyembuhan
orang sakit. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mukjizat pembangkitan orang
mati lebih berkaitan dengan kehidupan fisik di dunia ini. Orang yang sudah
mati, ‘disembuhkan’ dari ‘penyakit’ terakhir, yaitu kematian dan kemudian
dikembalikan ke kehidupan sebelumnya.
Kisah kedua adalah kisah tentang
kebangkitan Yesus sendiri. Kisah ini sama sekali berbeda dengan kisah-kisah
mukjizat yang diceritakan di atas. Pertama, bahwa Yesus dibangkitkan tidak
berarti bahwa Ia kembali ke kehidupan sebelumnya. Kebangkitan Yesus tidak
berarti Ia kembali ke kehidupan yang lama, melainkan berpindah melintasi
kematian menuju kepenuhan kehidupan abadi dalam persekutuan dengan Allah
sendiri. Berbeda dengan mukjizat pembangkitan orang mati yang di dalam Injil
hampir selalu dikisahkan dengan lengkap, kita sama sekali tidak mempunyai
narasi tentang kebangkitan Yesus.
d. Mukjizat Alam
Kelompok keempat
biasanya disebut dengan ‘mukjizat alam’ (Nature
Miracle). Namun segera mesti kita sadari bahwa sebutan ‘mukjizat alam’ yang
biasanya dipakai rasanya terlalu umum dan tidak bisa menunjukkan ciri-ciri
khusus dari masing-masing mukjizat ini. Kisah-kisah ini tidak mempunyai
struktur yang jelas seperti misalnya yang terdapat dalam kisah-kisah
penyembuhan (lihat di atas sehubungan dengan kisah pembangkitan orang mati).
Entah karena alasan apa, tiba-tiba saja Yesus berjalan di atas air (lihat Mrk
6,45-52 bdk. Yoh 6,16-21). Demikian juga kisah Yesus yang mengutuk pohon ara
(Mrk 11,12-14.20-21). Rasanya tidak ada alasan yang amat mendesak yang memaksa
Yesus untuk berbuat demikian. Kita juga bisa bertanya, sebenarnya tindakan apa
yang mengakibatkan sebuah mukjizat alam terjadi? Dalam ketiga mukjizat lainnya,
hal ini cukup kentara, misalnya Yesus menghardik roh jahat, atau memerintahkan si
lumpuh untuk bangkit, atau yang lain. Tetapi di dalam kisah mukjizat alam? Apa
yang menyebabkan terjadinya mukjizat pergandaan roti? Apakah pada saat Yesus
‘menengadah ke langit dan mengucap berkat” (misalnya Mrk 6,41 passim)?
Kita tidak perlu
memasuki diskusi semacam ini, kita langsung saja melihat secara lebih mendetil
mukjizat apa yang biasanya digolongkan dengan ‘mukjizat alam’ ini.
- Mukjizat Pemberian (Gift Miracle). Termasuk dalam kategori ini adalah kisah di mana benda atau hal-hal tertentu tersedia dengan cara yang amat mengherankan. Kita bisa sebutkan di sini: kisah pergandaan roti (Mrk 6,30-44 dsb.) dan kisah perkawinan di Kana ketika Yesus mengubah air menjadi anggur (Yoh 2,1-11).
- Mukjizat Penampakan Tuhan (Epiphany Miracle). Dalam mukjizat ini keilahian seorang pribadi tampak dengan jelas. Satu-satunya mukjizat yang masuk dalam kategori ini adalah kisah Yesus yang berjalan di atas air (Mrk 6,45-52 bdk. Yoh 6,16-21).
- Mukjizat Penyelamatan (Resque Miracle). Kisah ini menceritakan penyelamatan entah dari angin badai yang mengamuk atau dari penjara. Sepanjang berkaitan dengan kisah Yesus, satu-satunya contoh untuk mukjizat jenis ini adalah kisah Yesus yang menenangkan angin ribut (Mrk 4,35-41; Mat 8,23-27; Luk 8,22-25). Kisah lain di luar injil bisa ditemukan misalnya dalam Kis 5,17-25 yang menceritakan bagaimana para rasul dibebaskan dari penjara.
- Mukjizat Kutukan (Curse Miracle). Dengan kata-katanya, sang pembuat mukjizat menyebabkan terjadinya sesuatu yang merugikan atau kerusakan. Satu-satunya contoh dari pengalaman Yesus adalah ketika Ia mengutuk pohon ara yang tidak berbuah (Mrk 11,12-14.20-21; Mat 21,18-22).
Kalau kita
mengamati kisah-kisah yang tersaji di atas, maka tampak bahwa masing-masing
kisah itu hanya muncul sekali di dalam Injil. Hanya dua kisah saja yang
diceritakan dua kali dalam tradisi yang berbeda, yaitu kisah Yesus yang
berjalan di atas air (Yoh 6,16-21; Mrk 6,4-52) dan kisah pergandaan roti (Mrk
6,30-44 dsb; Yoh 6,1-15). Berkaitan dengan mukjizat-mukjizat Yesus, persis dua
mukjizat ini yang menghubungkan tradisi sinoptik dengan tradisi Yohanes.
Demikianlah,
mukjizat-mukjizat Yesus sebagaimana diceritakan dalam Injil bisa dikategorikan
ke dalam empat golongan besar. Dua catatan penting kiranya bisa disampaikan di
sini. Yang pertama, antara tiga
kategori pertama dengan kategori terakhir ada dua perbedaan besar. Ketiga
kategori pertama, yang terdiri dari mukjizat pengusiran roh jahat, penyembuhan
dan pembangkitan orang mati, sebenarnya mempunyai kesamaan fundamental. Ketiga
mukjizat itu sebenarnya bisa dikategorikan mukjizat penyembuhan atau
penyelamatan. Bagaimana pun, kisah-kisah itu menunjukkan bahwa orang
diselamatkan atau disembuhkan entah dari setan atau roh jahat, dari penyakit,
atau dari kematian. Sementara mukjizat yang kita masukkan dalam kategori
keempat tidak mempunyai keseragaman apa pun yang bisa mempersatukan.
Kisah-kisah ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang satu sama lain berbeda
sama sekali.
Catatan kedua. Di dalam Injil kita menemukan
banyak kisah mukjizat yang termasuk dalam tiga kategori pertama (pengusiran roh
jahat, penyembuhan dan pembangkitan orang mati). Bahkan bisa dikatakan bahwa
kisah-kisah seperti itu bisa ditemukan di setiap tradisi yang melatarbelakangi
Injil (misalnya, tradisi Markus, tradisi L, tradisi M, tradisi Q, dan tradisi
Yohanes). Sementara ‘mukjizat alam’, seperti sudah kita catat, hanya ditemukan
masing-masing sekali saja. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi mereka yang mau
menyelidiki historisitasnya. Tetapi begitulah kisah-kisah mukjizat yang kita
miliki.
Sebagaimana sudah
tersirat di sana sini, kisah-kisah mukjizat bagaimana pun juga menimbulkan
pertanyaan dalam diri banyak orang, khususnya manusia zaman modern yang merasa
diri sudah mempunyai jawaban atas segala persoalan hidup. Oleh karena itu,
sebelum kita melanjutkan perbincangan tentang mukjizat dalam kerangka Bulan Kitab
Suci Nasional, sedikit kita
singgung soal bagaimana pada zaman ini, mukjizat bisa dipahami. Sebagian besar
uraian tentang mukjizat di bawah ini diolah terutama dari John P. Meier, Marginal Jew II, 509-1038.
Mukjizat?
Kita sudah
melihat bahwa pada dasarnya karya publik Yesus diwarnai dengan dua unsur yang
saling berkaitan, yaitu perkataan dan perbuatan, atau sabda dan karya.
Mengomentari pasangan kata ini, sabda dan karya Yesus, banyak orang menyebutnya
sebagai pasangan yang tidak serasi. Mengapa demikian? Kedua bentuk karya Yesus
ini sudah amat dikenal di dunia ini karena alasan yang berlainan. Tahun lalu di
beberapa tempat saya pernah mengatakan bahwa beberapa perumpamaan Yesus
mempunyai gema yang amat kuat dan berpengaruh. Lihat saja, perumpamaan tentang Orang Samaria yang Murah Hati. Bagaimana
kekuatannya ketika dipakai untuk mengajar. Tetapi tidak hanya itu, kita juga
melihat berapa karya seni – khususnya seni rupa – yang diinspirasikan oleh
perumpamaan tersebut. Kita juga tahu bagaimana perumpamaan ini mengilhami
banyak orang untuk mendirikan lembaga-lembaga sosial, rumah sakit, atau rumah pondokan,
bahkan juga dengan nama The Good
Samaritan, untuk menolong orang yang berkekurangan. Demikian juga halnya
dengan perumpamaan tentang Anak yang
Hilang, yang membuat Rembrandt van Rijn lebih dari sekali menuangkannya ke
atas kanvas. Pendek kata, perumpamaan yang berisi pengajaran Yesus dengan mudah
diterima oleh banyak orang tanpa kesulitan. Lalu bagaimana dengan pasangannya,
yaitu tindakan atau karya atau, kalau mau lebih persis, mukjizat Yesus?
Hmm....bertolak
belakang dengan perumpamaan Yesus, tindakan atau karya Yesus, khususnya
mukjizat yang dibuat Yesus, menimbulkan persoalan besar bagi orang modern.
Bertubi-tubi aneka pertanyaan ditujukan kepada mukjizat-mukjizat Yesus. Apakah
mukjizat bisa terjadi? Apakah mukjizat itu memang terjadi? Apa yang sesungguhnya
terjadi dengan peristiwa yang biasa dianggap sebagai kisah mukjizat? Dapatkah
atau memangkah Allah turut campur dalam sejarah umat manusia dengan cara yang
begitu istimewa? Apakah orang modern dengan semua informasi dan ilmu
pengetahuan yang ia miliki masih dapat percaya kepada mukjizat? Bagaimana kita
orang sekarang bisa memahami mukjizat itu? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin seringkali kita dengar di sekeliling kita.
Apakah Mukjizat itu Mungkin?
Ini adalah
pertanyaan yang mau coba kita renungkan pada bagian ini. Akan tetapi sebelum
kita bergerak, mungkin baik kalau kita merumuskan dulu apa yang disebut sebagai
mukjizat. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kata ini secara tidak disadari
juga sering kita pakai. Seorang mahasiswa yang mengetahui bahwa ia lulus ujian
meskipun sebelumnya sama sekali tidak belajar, bisa saja mengatakan, “Ini
sungguh sebuah mukjizat!” Seorang yang terlibat dalam sebuah kecelakaan yang
mengerikan tetapi ternyata ia tidak mengalami cedera, mungkin juga akan
berkomentar, “Ini sungguh sebuah mukjizat!” Seorang yang berulang kali terkena stroke tetapi tetap bisa pulih seperti
sediakala, barangkali juga akan menyatakan, “Ini sungguh sebuah mukjizat!”
Tetapi apa itu sebuah mukjizat?
Mungkin daripada
bergulat dengan sebuah definisi abstrak, kita bisa mulai dengan sebuah contoh
kasus. Kita ambil sebagai contoh kasus penyembuhan yang dikatakan terjadi di
Lourdes, Perancis. Seperti yang mungkin sudah pernah kita dengar, di tempat
Bunda Maria menampakkan diri kepada seorang gadis kecil Bernadette Soubirous
pada tahun 1858, banyak orang mengatakan bahwa dirinya disembuhkan. Pengakuan
orang yang merasa disembuhkan ini kemudian diteliti oleh sebuah panitia di
Lourdes yang disebut Lourdes Medical
Bureau yang terdiri dari para dokter dari berbagai spesialisasi, baik orang
beriman maupun bukan orang beriman. Panitia ini bertugas meneliti kasus-kasus
yang diajukan dan kemudian menentukan apakah kesembuhan yang terjadi memang
tidak bisa dijelaskan secara medis.
Jika memang
panitia menentukan demikian, maka kasus ini diserahkan kepada sebuah komisi
yang disebut International Lourdes
Medical Committee yang berkedudukan di Paris, yang terdiri dari para ahli
medis yang berpengalaman dari berbagai keyakinan. Mereka ini harus membuat
penelitian lebih lanjut tentang kasus yang diajukan tersebut. Setelah
penelitian yang kira-kira berlangsung 5-10 tahun, barulah komisi ini bisa
menyatakan bahwa penyembuhan ini secara medis tidak bisa diterangkan. Setelah
itu, barulah kasus tersebut dibawa kepada otoritas gerejani di mana orang yang
disembuhkan tinggal. Selanjutnya, Uskup membentuk sebuah komisi diosesan yang
terdiri dari pada imam, para kanonis dan para teolog untuk menyelidiki
peristiwa ini. Dialah yang akhirnya, setelah berkonsultasi dengan Tahta Suci,
menyatakan bahwa penyembuhan itu memang sebuah mukjizat, “sebuah tanda dari Allah sendiri.” Sejak tahun 1858 sampai
sekarang ini, ada sekitar 7000 kasus yang masuk kategori ‘secara medis tidak
dapat diterangkan’ tetapi hanya sekitar 67 kasus saja yang oleh Gereja Katolik
diakui sebagai mukjizat.
Dari contoh di
atas tampak bahwa ada dua istilah yang digunakan, yaitu ‘secara medis tidak
bisa diterangkan’ dan ‘mukjizat.’ Penilaian bahwa sebuah penyembuhan dikategorikan
‘secara medis tidak bisa diterangkan’ diberikan oleh panitia yang terdiri dari
para ahli yang berasal dari berbagai latar belakang. Ilmu pengetahuan dan
keahlian para ilmuwan yang meneliti kasus-kasus itu hanya bisa sampai pada
kesimpulan seperti itu, ‘secara medis tidak bisa diterangkan.’ Ini adalah batas
mereka sebagai ilmuwan. Seorang dokter katolik bisa saja mengatakan,
“Penyembuhan ini adalah sebuah mukjizat. Allah sungguh bekerja dalam peristiwa
ini!” Tetapi pernyataan ini tidak dikatakannya sebagai seorang dokter, tetapi
sebagai seorang beriman yang mempunyai pandangan tentang dunia yang khas. Sama
halnya, di hadapan peristiwa yang sama, seorang dokter atheis bisa saja
mengatakan, “Entah bagaimana penyembuhan ini nantinya mau dijelaskan, Allah tidak
bekerja dalam kasus ini. Tidak ada mukjizat karena Allah yang menyebabkannya
tidak ada.” Pernyataan ini tidak dikatakan sebagai seorang dokter, tetapi
sebagai seorang yang mempunyai keyakinan tertentu. Dengan kata lain, penilaian
bahwa suatu mukjizat terjadi atau tidak bukanlah
sebuah penilaian yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Mukjizat adalah sebuah istilah teologis.
Ada dua hal yang
rasanya penting untuk direnungkan lebih lanjut: pertama, zaman kita ternyata
menyaksikan apa yang disebut mukjizat; dan kedua, mukjizat itu berkaitan dengan
iman. Dua hal ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
Mukjizat: Sekarang dan Dulu
Kasus-kasus
penyembuhan di Lourdes sebenarnya menyadarkan kita bahwa penyembuhan yang ‘secara
medis tidak bisa diterangkan’ ternyata bisa saja terjadi di mana pun dan kapan
pun. Dari sini kita bisa membuat sebuah analogi, kalau sebuah situasi tertentu
bisa menghasilkan suatu fenomena tertentu sekarang ini, maka tidak bisa ditolak
secara a priori bahwa fenomena
tersebut tidak bisa terjadi di masa lalu jika situasi yang sama terjadi. Atau secara
sederhana bisa dikatakan bahwa penyembuhan di Lourdes yang terjadi pada zaman
kita menunjukan bahwa hal yang sama bisa saja terjadi di masa lalu.
Kalau sesuatu
yang ‘secara medis tidak bisa diterangkan’ memang bisa saja terjadi, maka kita
bisa bertanya apakah kisah-kisah mukjizat yang dikerjakan Yesus sebagaimana
tercantum dalam Injil bisa mempunyai dasar historis? Yang jelas, di dalam Injil
kita menemukan tidak hanya satu tetapi cukup banyak kisah mukjizat. Dari
manakah asal kisah-kisah tersebut? Memang harus diakui bahwa ada proses panjang
sebelum sebuah kisah (mukjizat) sampai kepada bentuk seperti yang sekarang ini
kita temui dalam Injil. Dalam proses ini, seorang redaktur bisa saja menambah,
mengurangi atau mengubah sebuah kisah sesuai dengan minat teologisnya. Meskipun
demikian, kita bisa bertanya: apakah ada alasan untuk berpikir bahwa
sekurang-kurangnya inti dari cerita-cerita mukjizat itu berasal dari zaman dan
kehidupan Yesus sendiri? Dengan kata lain, apakah Yesus semasa hidupnya
melakukan tindakan tertentu yang oleh diri-Nya atau orang sezaman-Nya dianggap
sebuah mukjizat? Atau kisah-kisah seperti itu lebih baik dipahami saja sebagai
ciptaan Gereja Purba untuk menunjukkan kehebatan Yesus yang mereka akui Tuhan
demi kepentingan aktivitas misionaris mereka?
Mungkin kita
tidak bisa sampai pada kepastian seratus persen, tetapi ada beberapa kriteria
yang bisa dan biasa digunakan untuk menduga historisitas sebuah kisah atau
sebuah pernyataan dari Yesus. Sekurang-kurangnya ada 4 kriteria yang bisa
diajukan di sini:
1. Berapa banyak kisah-kisah itu muncul? Kita berusaha meneliti kisah-kisah
mukjizat yang ada dari sudut asal-usul
atau sumber serta bentuk kisah tersebut. Jika kita
menemukan bahwa sebuah kisah mukjizat berasal dari sumber-sumber yang berbeda dan dalam bentuk yang berbeda-beda pula, bisa disimpulkan bahwa historisitas
kisah itu cukup kuat. Di dalam Injil kita menemukan bahwa kisah-kisah mukjizat
itu berasal dari tradisi-tradisi yang berbeda-beda.
Nah...di sini
mungkin perlu ada keterangan sedikit. Semoga tidak terlalu banyak mengulang.
Sebagaimana kita ketahui kita mempunyai empat injil: yang tiga biasanya disebut
Injil Sinoptik karena isinya sekaligus mirip dan berbeda; sementara yang satu
lagi adalah Injil Yohanes. Orang mengatakan bahwa Injil Matius dan Injil Lukas
itu merupakan hasil olahan dari Injil Markus dan satu sumber lain lagi yang
disebut Q (= Quelle) yang artinya sumber. Tetapi Mat dan Luk juga
menggunakan sumber-sumber yang khas mereka sendiri yang biasa disebut M dan L.
Dengan kata lain, Injil Matius itu merupakan gabungan dari Mrk, Q dan M;
sementara Injil Lukas merupakan ramuan dari Mrk, Q dan L. Begitu kira-kira
proses terjadinya injil-injil Sinoptik.
Dengan demikian,
tradisi-tradisi yang berada di balik keempat injil adalah tradisi Mrk, tradisi
Q, tradisi M, tradisi L, serta tradisi Yohanes. Dalam hal ini, kisah-kisah
mukjizat Yesus ternyata bisa ditemukan di semua tradisi itu.
Tidak hanya itu,
rujukan kepada mukjizat yang dibuat Yesus tidak hanya berupa kisah, tetapi juga
berupa pernyataan seperti misalnya ketika Yesus menjawab utusan Yohanes yang
datang kepada-Nya. “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar
dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta sembuh,
orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan” (Mat 11,4-5). Di sini tidak ada
kisah, yang ada hanya pernyataan (bdk. juga misalnya Mat 12,27).
Pendek kata,
dengan kriteria pertama ini bisa dikatakan bahwa ada banyak kesaksian yang
mendukung bahwa selama hidup-Nya Yesus memang pernah melakukan sesuatu yang
oleh Diri-Nya sendiri dan juga orang lain dianggap sebagai mukjizat.
2. Apakah kisah-kisah itu koheren? Kita mempunyai banyak kisah tentang mukjizat Yesus, tetapi kita bisa
bertanya apakah kisah-kisah itu memang mendukung satu sama lain? Kita bisa
mulai dengan kisah pengusiran setan. Berhadapan dengan mukjizat ini, orang bisa
bertanya: apa artinya ini dalam keseluruhan karya pelayanan Yesus? Jawabannya bisa
ditemukan misalnya dalam Luk 11,20, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan
kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Demikian
juga mukjizat penyembuhan yang dilaksanakan oleh Yesus mendapatkan
penjelasannya, misalnya, dalam jawaban Yesus yang disampaikan kepada Yohanes
yang sudah dikutip di atas. “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu
dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta
sembuh, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan” (Mat 11,4-5). Dengan itu
mau dikatakan bahwa penyembuhan-penyembuhan yang terjadi merupakan tanda
pemenuhan dari nubuat Yesaya tentang kedatangan keselamatan definitif bagi
Israel. Ada koherensi atau kesesuaian antara pernyataan dan tindakan yang
dibuat Yesus sebagaimana dikisahkan oleh tradisi-tradisi injil yang ada.
3. Apakah kisah-kisah itu sama dengan kisah mukjizat lainnya? Dipertanyakan di
sini apakah kisah-kisah mukjizat dalam Injil sama atau mirip dengan kisah-kisah
mukjizat lain, kisah mukjizat yang berasal dari tradisi lain, entah itu dari
dunia Greko-Romawi atau tradisi Yahudi, yang beredar pada waktu itu? Jawabannya:
tidak. Kisah mukjizat Yesus tergolong kisah yang jauh lebih tua daripada
kisah-kisah senada yang lain, sehingga tidak mungkin bahwa kisah mukjizat Yesus
itu merupakan suatu imitasi atau plagiat dari kisah-kisah lainnya. Lagi pula,
kisah mukjizat Yesus berbeda dengan kisah-kisah lain yang ada. Misalnya, kisah
yang terdapat dalam tradisi rabinik biasanya mempunyai pola tertentu. Seorang
orang kudus mohon kepada Allah suatu berkat tertentu, misalnya mohon kesembuhan
atau mohon hujan. Lalu diceritakan bahwa doanya didengarkan oleh Allah. Kisah
seperti ini tentu berbeda dengan kisah-kisah mukjizat yang terdapat dalam
Injil. Apa yang dibuat oleh Yesus adalah sesuatu yang unik, yang tidak ada
bandingannya dengan tokoh lain.
4. Apakah ada yang memalukan dalam kisah mukjizat Yesus? Judulnya agak aneh, tapi maksudnya begini.
Kita ambil saja kisah Yesus yang mengusir setan sebagaimana yang terdapat dalam
Mat 12,22-30. Setelah Yesus menyembuhkan orang yang kerasukan setan, banyak
orang takjub dan berkomentar, “Ia ini agaknya Anak Daud.” Tetapi dikatakan
bahwa orang Farisi yang mendengarnya berkata, “Demi Beelzebul, penghulu setan,
Ia mengusir setan” (ay. 24). Kisah penyembuhan yang dibuat Yesus ternyata
membuat Dia dituduh bersekutu dengan setan. Ini tentu sebuah tuduhan yang
memalukan. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kisah itu memang historis;
memang demikian halnya. Kalau tidak, untuk apa menciptakan sebuah kisah yang
hanya memalukan Tuhan, yang menempatkan Tuhan dalam posisi sulit?
Demikianlah,
empat kriteria sudah dicoba disampaikan untuk menilai kisah-kisah mukjizat yang
banyak terdapat dalam Injil. Berdasarkan kriteria tersebut, kita bisa
mengatakan dengan cukup aman bahwa peristiwa yang digambarkan dalam kisah-kisah
mukjizat tersebut tampaknya memang mempunyai asal usul pada masa hidup dan
karya Yesus sendiri. Dengan kata lain, selama hidupnya Yesus tampaknya memang
pernah membuat sesuatu yang dianggap sebuah mukjizat oleh diri-Nya sendiri dan
orang-orang yang di sekitarnya. Bahkan harus dikatakan bahwa dibandingkan
dengan bahan-bahan yang lain yang terdapat dalam Injil, seperti misalnya,
sabda-sabda Yesus tertentu, historisitas kisah-kisah mukjizat ini justru
mendapatkan dukungan paling kuat.
Mukjizat: Loncatan Iman?
Jangan lupa,
bagian ini adalah permenungan kedua dari yang sudah disampaikan di atas:
mukjizat itu berkaitan dengan iman. Di atas sudah ditegaskan bahwa sebagai
dokter, para dokter yang meneliti kasus penyembuhan di Lourdes, hanya bisa
mengatakan bahwa penyembuhan ini secara medis tidak bisa diterangkan. Itu saja.
Itu batas kompetensinya sebagai ilmuwan. Tetapi pada saat yang sama, seorang
dokter katolik bisa mengatakan, “Ini mukjizat! Allah campur tangan di sini.”
Pernyataan ini bukan kesimpulan yang datang dari penelitiannya sebagai seorang
dokter, melainkan dari seorang beriman. Dengan kata lain, mukjizat tampaknya
memang berkaitan dengan iman.
Lalu, bagi
seorang beriman, apa artinya? Untuk kita yang hidup di abad internet ini
mukjizat selalu menjadi fenomen yang menimbulkan pertanyaan yang bersifat
historis, seperti misalnya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah itu semua
sungguh terjadi?” Tetapi kita bisa bertanya, apakah orang-orang yang sezaman
dengan Yesus juga memahaminya demikian? Rasanya tidak. Pada bagian ini, Mgr. I.
Suharyo dalam bukunya Pengantar Injil
Sinoptik (hlm. 136-137) menulis demikian. Bagi Yesus dan orang-orang
sezaman-Nya, mukjizat adalah tanda: mukjizat itu berbicara mengenai sesuatu dan
mengenai seseorang. Maka sangat pentinglah mengubah pertanyaan mengenai
mukjizat. Mungkin baik kalau diberikan contoh untuk membandingkan. Seorang guru
ilmu hayat memberikan bunga kepada seorang murid. Pertanyaan yang muncul
tentulah, “Apa ini?” Seorang pemuda memberikan bunga kepada seorang pemudi.
Kalau demikian pertanyaannya menjadi lain, “Apa maksudnya?” Dalam kasus
pertama, yang diperhatikan ialah bunga sebagai suatu benda, kasus kedua lebih
berhubungan dengan bunga sebagai pembawa pesan, sedang kebendaannya menjadi
sangat sekunder.
Kalau mukjizat
itu adalah tanda, maka pertanyaannya: apakah yang mau ditandakan? Pernyataan
ini hanya bisa dijawab secara umum saja. Untuk menjawab pertanyaan itu, sekali
lagi kita kembali kepada rumusan yang pernah dipakai oleh Yesus untuk
menjelaskan mukjizat pengusiran setan yang baru saja dilakukannya, “Tetapi jika
Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah
datang kepadamu” (Luk 11,20). Apa artinya kalau dikatakan ‘Kerajaan Allah sudah
datang’? Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Allah yang meraja berarti
kekalahan secara definitif sang kejahatan yang senantiasa mengganggu ketenangan
hidup manusia.
Kalau mukjizat
adalah sebuah tanda, maka peristiwanya sendiri bukan merupakan sesuatu yang
paling penting. Kalau seandainya peristiwa yang pada zaman penulis injil
dianggap mukjizat ternyata terbukti bukan sebuah mukjizat, hal ini pun tidak
perlu terlalu mencemaskan kita. Yang penting adalah bahwa bagi orang beriman,
pesan yang mau disampaikan lewat peristiwa-peristiwa mukjizat, tetap berlaku.
Sebuah catatan
kecil mungkin baik disampaikan di sini. Seringkali dikatakan bahwa orang modern
tidak bisa percaya kepada mukjizat. Rudolf Bultmann pada zamannya pernah secara
tajam mengatakan, “It is impossible to use electric light and the wireless and
to avail ourselves of modern medical and surgical discoveries, and at the same
time to believe in the New Testament world of ...miracles.” Benarkah pernyataan
seperti itu? Apa kenyataannya? Paling tidak bisa secara singkat disampaikan
hasil satu survey yang berkaitan erat dengan mukjizat. Menurut hasil pengumpulan
pendapat yang di Amerika yang dibuat oleh George Gallup atau yang lain, pada
tahun 1989 82 % orang Amerika percaya akan adanya mukjizat. Bagi mereka, bahkan
sampai sekarang, masih diyakini bahwa mukjizat itu terjadi oleh kuasa Allah
sendiri yang mengatasi kemampuan manusiawi. Menurut catatan, majalah Newsweek edisi 1 Mei 2000 menyampaikan
hasil sebuah poll yang menyatakan bahwa 84 % orang Amerika dewasa percaya bahwa
Allah mengadakan mukjizat. 48 % dari antaranya mengaku pernah menyaksikan
mukjizat itu.
Kalau demikian,
rasanya memang masih benar apa yang dilantunkan banyak orang...
Tak
terbatas kuasa-Mu Tuhan,
semua dapat Kau lakukan
apa yang kelihatan mustahil bagiku
itu sangat mungkin bagimu
....mukjizat itu nyata
V. Indra Sanjaya, Pr
Daftar Bacaan Pilihan
Bockmuehl, Markus (ed.), The Cambridge Companion to Jesus (Cambridge University Press, New
York 2001)
Burkett, Delbert R., The
Blackwell Companion to Jesus (Wiley-Blackwell, Chichester 2011)
Fitzmyer, Joseph A., A
Christological Catechism. New Testament Answers (Paulist Press, New York
1981)
Harrington, Daniel
J., Historical Dictionary of Jesus (The Scarecrow Press Inc., Plymouth
2010)
Jacobs, Tom, Siapa
Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru (Kanisius, Jogjakarta 1982)
Meier, John P., A
Marginal Jew. Vol II: Mentor, Message, and Miracle (Doubleday, New York
1994)
Suharyo, I., Pengantar
Injil Sinoptik (Kanisius, Jogjakarta 1989)
Twelftree, Graham H. (ed.), The Cambridge Companion to Miracles (Cambridge University Press,
New York 2011)
Weddle, David L., Miracles.
Wonder and Meaning in World Religions (New York University Press, New York
2010)
Internet